NovelToon NovelToon

Tutorku Tunanganku

Sebuah Permintaan

“Kei, lo dipanggil sama Bu Rasmi buat datang ke ruang guru sekarang,” ucap gadis berambut panjang dengan badge name Luna Geraldine itu dari depan kelas.

Gadis bernama lengkap Keisha Zievanna ini menoleh ketika mendengar namanya disebut oleh seseorang. Tidak biasanya ia dipanggil ke ruangan sakral itu jika tidak ada keperluan. Kerutan pada kening juga raut wajah seolah sedang kebingungan benar-benar tergambar jelas.

“Ngapain?” tanya Keisha.

“Gue nggak tahu sih tapi kata gue sih ya mending sekarang lo ke sana sekarang.” Luna berkata sambil mendorong pundak Keisha agar segera beranjak dari bangku beton yang sedari tadi menjadi tempat keduanya berbincang ringan.

“Oke, thanks ya Lun,” kata Keisha.

Keisha lantas bangkit berdiri dan merapihkan rok abu-abu miliknya sebelum benar-benar melangkah pergi meninggalkan koridor kelas. Jarak antara ruang kelas dengan kantor guru tidak lah jauh. Hanya berbeda satu lantai saja.

Ketukan lirih sang puan beri ketika akan memasuki kawasan berbahaya yang menjadi daerah teritorial para guru. Ketika izin sudah didapat, Keisha masuk ke dalam dan mencari sosok yang memanggilnya tadi. Gadis berambut coklat kehitaman itu segera mendatangi meja Rasmi yang berada tidak jauh dari pintu masuk.

“Ada keperluan apa ya Ibu memanggil saya?” tanya Keisha sopan.

Rasmi menoleh. Sudut bibirnya terangkat naik membentuk sebuah senyuman. “Ibu mau minta tolong ke kamu buat jadi tutor sebaya Jiwangga. Kamu bantu dia ya buat naikin nilai-nilainya. Saya udah angkat tangan menghadapi anak itu. Setidaknya sampai Jiwangga bisa naik kelas dengan nilai yang memuaskan,” jawab Rasmi tanpa basa-basi.

“Saya nggak yakin bisa jadi tutor yang baik buat dia, Bu,” tolak halus Keisha.

“Kamu ini kan murid kebanggaan kita semua, saya yakin sekali kalau kamu mampu mengajari Jiwangga. Cuma satu orang aja loh Kei. Mau ya?” tanya Rasmi tetapi nada bicara wanita itu seakan menekan Keisha untuk setuju atas permintaannya.

“Kalau saya gagal gimana Bu?” Keisha menggigit bibir bawahnya gugup. Ada rasa tidak yakin yang membuat dirinya enggan untuk mengusulkan macam-macam.

“Semisal gagal ya kamu bisa coba lagi. Saya percaya kamu bisa menangani Jiwangga. Ibu minta tolong sekali sama kamu ya, Keisha,” mohon Rasmi seraya menggenggam tangan Keisha dengan sorot pandang sayu.

Keisha menghela napas berat lantas menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Meski enggan, gadis itu tidak bisa serta-merta menolak begitu saja jasa guru di hadapannya ini. Terlalu banyak bantuan yang dia terima selama mengikuti banyak perlombaan. Suka atau tidak pada akhirnya Keisha menerimanya.

Meskipun menerima tugas dengan separuh hati tak rela. Lagi pula, siapa yang tidak mengenal sosok pemuda yang sedang keduanya bicarakan. Kepopuleran seorang Jiwangga Abram sudah tidak perlu diragukan lagi. Pemuda itu mahir dalam banyak hal. Termasuk berbuat onar dan suka mengganggu murid perempuan bersama teman-teman satu gengnya.

Chaos Brotherhood adalah sekumpulan pemuda yang suka membuat onar dengan Jiwangga sebagai ketuanya. Mereka tidak hanya tampan, tetapi juga memiliki pesona dalam bidang olahraga. Sedikit banyak piala kejuaraan basket dan, futsal, dan taekwondo memenuhi lemari kaca karena prestasi mereka.

“Saya nggak ada pilihan lain buat nolak juga kan. Ya udah saya bakal bimbing Jiwangga sampai nilainya membaik di ujian kenaikan kelas nanti Bu,” kata Keisha pasrah.

“Nah gitu dong. Kamu bisa kembali ke kelas sekarang ya, tuh bel udah bunyi dari tadi,” titah Rasmi.

“Baik, saya permisi dulu Bu Rasmi,” pamit Keisha.

Keisha membungkuk dengan kepala tertunduk sopan. Ia berbalik arah menuju pintu keluar dan tidak lagi menoleh ke dalam kantor guru. Gadis itu berjalan lebih lambat dari semua orang. Sorot pandangnya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya penyesalan dari langkah nekat yang diambilnya secara gegabah tadi.

Tidak ada jalan untuk kembali sekarang. Rasanya ingin sekali Keisha menolak sekuat tenaga permintaan dari Rasmi yang dirasa tidak masuk akal untuknya. Berurusan dengan Jiwangga Abram? Si pembuat onar itu...hanya memikirkan namanya saja sudah membuat Keisha sakit kepala.

Keisha berjalan tak tentu arah. Pikirannya melalang buana menjelajah alam lain sedangkan tubuhnya dipaksa untuk tetap melangkah. Terlalu asik berada dalam ilusi, gadis itu sampai tidak menyadari kalau ada presensi manusia lain yang juga berjalan berlawanan arah dengannya. Keisha hampir saja jatuh jika tidak berpegangan pada lengan seseorang di hadapannya.

“Punya mata nggak sih lo? Kalau jalan tuh lihat depan bukannya nunduk,” omel orang itu.

Keisha menoleh cepat ke sumber suara. Netranya seketika terbuka lebar bulat sempurna sebab terkejut. Ia tidak menyangka akan berhadapan langsung dengan pemuda yang tadi hanya ada dalam khayalannya. Suara omelan tadi berasal dari mulut seorang Jiwangga Abram.

Refleks cekalan tangan pada lengan pemuda itu langsung terlepas begitu saja. Keisha kembali pada setelan awal. Alis sedikit turun ke arah dalam hidung, kedua matanya yang menyipit, dan sudut mulut membentuk lengkungan ke bawah. Terlihat sangat tidak bersahabat sekali.

“Ya gue juga tahu kalau jalan tuh butuh kaki sama mata,” balas judes Keisha.

“Kalau dikasih paham tuh nggak usah nyolot,” balas Jiwangga sinis.

“Suka-suka gue lah. Badan juga badan gue,” sahut Keisha tidak mau kalah.

“Terserah lo aja lah,” kata Jiwangga malas.

Jiwangga kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karena ditahan oleh Keisha. Ia tertinggal cukup jauh dari teman-temannya. Pemuda berkulit sawo matang itu hanya melirik sekilas ke arah Keisha lalu meninggalkannya begitu saja.

Keisha berusaha menahan diri untuk tidak melampiaskan rasa frustasinya dengan berteriak sekencang mungkin sekarang. Usapan kasar wajah ia beri sesaat kemudian. Keisha tidak ingin dipandang aneh oleh orang lain ini segera beranjak pergi menuju kelasnya di lantai dua.

***

Keisha kembali ke kelas sambil mengunyah cireng isi kesukaannya. Ia mendengar dari teman satu kelas jika guru yang mengajar di jam berikutnya tidak masuk. Mereka hanya diminta untuk melanjutkan catatan dan mengerjakan buku latihan. Makanya dia bisa santai jajan dulu di kantin sebelum masuk.

Hitung-hitung camilan yang bisa membuat moodnya naik setelah diberi tugas berat. Keisha mengunyah cireng isi ayam suwir pedas itu lahap. Ia tidak sempat ke kantin karena menghadap ke kantor guru tadi. Lima biji makanan berbahan tepung tapioka itu akhirnya habis tak bersisa.

Keisha meneguk hingga separuh lebih isi botol minumnya demi memberi kepuasan pada tenggorokannya yang kering. Perut yang semula keroncongan karena belum diisi kini sudah penuh maksimal. Gadis itu mengusap permukaan perut datarnya sambil bersandar pada bangku yang didudukinya.

“Lo dipanggil Bu Rasmi lama banget deh. Lo mau diajuin ikut lomba yang mana lagi?” tanya Luna membuka pembicaraan.

“Bukan masalah lomba,” jawab Keisha lesu.

“Terus?” tanya Luna dengan kening berkerut heran. Pasalnya, sahabatnya ini langganan sekali mengikuti banyak perlombaan demi mewakili sekolah sampai ke tingkat nasional.

“Bu Rasmi nyuruh gue buat jadi tutornya Jiwangga,” kata Keisha.

“HAH? Jiwangga? Si tukang bikin onar ketuanya Chaos Brotherhood? Lo serius nggak sih?” pekik Luna kencang. Ia menutup mulut dengan kedua tangan kemudian ketika sadar suaranya terlalu nyaring, sampai membuat beberapa teman di sekitarnya menoleh ke arah mereka.

“Mana ada gue bohong sih, Lun. Gue udah udah coba buat nolak permintaannya Bu Rasmi, tapi beliau maksa??? Gue nggak enak buat nolaknya lah,” gerutu Keisha.

“Ya kalau gue jadi lo juga bakal susah sih nolak permintaannya dia. Gue turut prihatin sama kesialan yang lo dapat hari ini. Emang apes itu nggak ada di kalender, Kei. Lo harus banyak stok sabar deh kalau berhadapan sama Jiwangga,” kata Luna.

“Pusing banget gue. Kasih tahu kalau guru jam berikutnya masuk ya. Gue mau tidur bentar,” kata Keisha.

Keisha mengambil jaket miliknya yang tersampir di bangku. Ia membentuk kain itu menjadi sebuah bantal yang nyaman untuk dipakai. Saat sedang mencari posisi ternyaman masuk ke alam mimpi yang indah, dari pintu masuk seorang pria separuh baya membawa beberapa buku tebal juga laptop di tangan.

Musnah sudah rencana Keisha untuk tidur barang sebentar sebab kelas yang ‘harusnya’ kosong ini malah dipakai oleh guru lain demi mengisi jam.

Ajakan Tutor

Bel istirahat kedua pun menggema di seluruh penjuru sekolahan. Semua murid seketika menghela napas lega karena pelajaran selesai lebih cepat. Ada yang langsung berlari ke kantin, pergi ke luar kelas dan bertemu teman berbeda kelas, atau menggosip bersama teman satu kelas. Waktu singkat mereka gunakan untuk memberi jeda pada sendi-sendi yang lelah karena terlalu lama duduk.

Keisha mengusap perlahan tengkuk juga permukaan lehernya lelah. Sepanjang pelajaran gadis itu terlalu fokus memperhatikan guru yang sedang mengajar. Arah pandangnya selalu lurus ke depan membuat tubuhnya selalu duduk dalam keadaan tegap. Gadis berkulit seputih susu dengan rambut hitam bergelombang itu kemudian merenggangkan tubuh juga ototnya ke kanan dan kiri.

Ekor mata si puan tak sengaja bersinggungan dengan Tristan, salah satu anggota dari Chaos Brotherhood. Mereka memang berada dalam satu kelas yang sama, namun jarang bertegur sapa. Keisha malas kalau harus berinteraksi dengan manusia yang tidak pernah bertutur kata baik. Pemuda bertubuh jangkung itu menguap sambil memainkan handphone miliknya.

Tidak lama setelah itu, Tristan keluar dari kelas membawa benda pipih pintar juga sebuah tabung serupa bentuknya dengan rokok elektrik santai. Ia terlalu bodo amat dengan sekitar yang menatap ke arahnya seperti mencela tingkah yang si tuan lakukan. Tristan menghilang dibalik pintu kelas entah pergi kemana.

“Kei, lo mau dimsum nggak? Anak kelas sebelah lagi jualan katanya,” tanya Luna.

“Lun! Sekarang ikut gue ya,” ajak Keisha bersemangat. Dia ingat kalau masih ada satu misi rahasia yang harus diselesaikan secepat mungkin.

Gadis dengan paras ayu layaknya sebuah boneka hidup ini mengerjapkan matanya tidak mengerti. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan berbahan dasar tepung, udang, dan ayam itu nikmat. “Kemana?” tanya Luna.

“Temani gue samperin gengnya Jiwangga,” ucap Keisha mantap.

“Uhuk uhuk.” Luna menepuk perlahan dadanya sebab ia merasa potongan daging udang itu salah sasaran masuk ke dalam tenggorokannya terlalu cepat. Disambarnya botol air mineral di atas meja lalu ia teguk hingga tandas. “Ngapain nyamperin Jiwangga sama gue? Lo kalau mau ya datengin aja sendiri anjir,” omel Luna.

“Gue nggak mau kalau sendirian Luna. Please mau ya temenin gue,” ucap Keisha seraya mengerucutkan bibirnya dan tatapan mata yang sengaja dibuat berkaca-kaca.

“Dimsum gue aja belom habis???” tolak Luna.

“Gue ganti deh sama dimsum mentai buatan Kak Shenina, nanti gue beliin 10 buat lo kalau lo mau nemenin gue sekarang,” bujuk Keisha.

“Sumpah? Gue mau yang ukuran large 1 box ya. Ayo kita cari tongkrongannya Chaos Brotherhood.” Luna menyuapkan satu buah dimsum terakhirnya ke dalam mulut. Tawaran yang sangat menggiurkan, siapa yang bisa menolak pesona dimsum mentai buatan kakak kelas mereka. Luna sudah menjadi penggemar nomor satu makanan gurih itu.

Keisha mengerlingkan netranya malas. “Dih gini aja lo semangat paling depan,” cibir Keisha.

Luna acuh saja dengan ucapan sahabatnya. Lantas gadis itu merangkul lengan Keisha untuk segera keluar dari kelas demi mencari keberadaan salah satu di antara tujuh berandal yang sialnya menjadi pujaan hati kaum hawa di SMA Manggala. Keisha tidak ada alasan untuk menolak antusiasme Luna ketika sudah diberi sogokan makanan.

Semangat gadis itu akan berada di atas awan, karena mottonya adalah hidup untuk makan enak. Keisha dan Luna mencari keberadaan Jiwangga dan teman-temannya di seluruh sekolah namun mereka belum juga menemukannya. Waktu istirahat sebentar lagi akan usai dan Keisha tidak ingin melewatkan waktu sedikitpun. Dia tidak mau terlambat masuk ke kelas.

Keisha menarik tangan Luna untuk memeriksa gudang dekat lapangan basket, siapa tahu Jiwangga ada di sekitar tempat itu. Dewi Fortuna sepertinya sedang berbaik hati pada dua gadis cantik itu. Baru saja mengeluh dalam hati untuk diberi petunjuk sepasang manik kecoklatan itu menangkap sosok beberapa pemuda tengah bermain basket di tengah teriknya sinar matahari.

“Itu mereka kan ya?” tunjuk Keisha ke lapangan basket.

Luna menoleh. “Akhirnya ketemu juga. Lengkap tuh ada Jiwangga, Harvey, Tristan, Lucas, Joshua, Julian, sama River,” sahut Luna.

“Sebenarnya habis ketemu Bu Rasmi tadi gue nggak sengaja papasan sama Jiwangga. Gue yang nggak sengaja nabrak dia terus kena omelannya dia. Rese banget sumpah. Ya walaupun salah gue juga sih tapi kan gue nggak mau ngaku aja,” aku Keisha. Ingatan akan momen tabrakan tadi masih sedikit bersarang di otaknya.

“Jiwa tuh biar tengil begitu tapi galak coy,” sahut Luna.

“Ngapain juga sih mereka nongkrong panas-panas gini, bikin gosong kulit gue aja kudu muter-muter satu sekolah nyari si biang kerok ini doang,” omel Keisha sebal.

“Tinggal bilang lo nyari dia buat apaan habis itu kita cabut. Gue juga nggak tahan nih di bawah panas matahari yang udah kayak neraka bocor begini,” keluh Luna. Gadis itu perlahan mengusap keringat yang mengalir di keningnya.

“Iya iya.”

Keisha memberanikan diri untuk berjalan mendekat ke arah tribun yang ada di lapangan basket. Ada beberapa tempat duduk di sana dan Jiwangga ada di antara mereka. Pemuda tampan berkulit sawo matang itu tengah asik bercanda dengan teman-temannya. Sembari langkah kakinya terlalu sibuk untuk menjangkau si tuan, Keisha sempatkan untuk berdoa agar diberi banyak kesabaran saat menghadapi Jiwangga.

Kehadiran dua gadis itu dengan cepat disadari oleh Tristan. Pemuda berambut sehitam arang sedikit panjang itu menyenggol lengan Jiwangga. Memberi kode lewat dagu tentang kedatangan manusia lain yang tidak terduga. Pemuda yang diberi isyarat itu lantas mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Setengah alisnya terangkat dengan bibir tersenyum menyeringai.

Keisha kembali berhadapan dengan Jiwangga untuk kedua kalinya. Dia ingin segera menyampaikan apa yang menjadi keresahannya, tetapi hawa yang menyelimuti mereka terlalu panas untuk dikendalikan. Keisha tidak bisa menahan perubahan warna pada wajahnya yang kian memerah sebab gadis itu memiliki alergi terhadap suhu. Hal itu membuat ketujuh pemuda itu salah paham akan maksud si puan.

“Eh ada Neng Keisha,” sapa River genit.

“Lo tadi yang tabrakan sama Jiwa di koridor IPS kan ya?” tunjuk pemuda dengan badge name Harvey Wibisono.

“Tumben amat nyamperin kita-kita nih Kei. Lo mau confess perasaan lo ke Jiwa kan? Bawa badan aja nih? Coklat sama suratnya mana? Gue lihat-lihat kok nggak ada ya,” tanya River. Pemuda bertubuh jangkung dengan rambut ala kuaci ini mencari benda ‘yang seharusnya dibawa saat mengungkapkan perasaan’ pada tubuh Keisha.

“Siapa juga yang mau nembak! Gue nggak sudi punya cowok kayak dia juga,” sanggah Keisha. “Gue ke sini karena perintah Bu Rasmi. Lo harus datang ke kelas 11 IPA 1 habis pulang sekolah nanti,” ucap Keisha.

“Ngapain?” tanya Jiwangga.

“Mulai sekarang gue yang bakal jadi tutor lo sampai ujian kenaikan kelas,” jawab Keisha.

Jiwangga mengerutkan keningnya bingung. Lantas pemuda yang memiliki tatapan setajam serigala ini bangkit berdiri. Ia memposisikan tubuhnya terlihat sejajar dengan Keisha. “Ngapain juga diajarin, gue mah udah pintar,” balas selengekan Jiwangga.

“Oh ya? Kalau emang lo pintar, harusnya bisa dong nilai-nilainya nggak ada yang jeblok. Setiap ujian selalu remed terus berujung dijemur di lapangan karena bolos terus kerjaannya,” celetuk sarkas Keisha. Kali ini dia yang memberikan ultimatum berupa sindiran pada pemuda tengil di hadapannya.

Jiwangga mematung. Tatapan tajamnya hanya tertuju pada Keisha saat ucapan perempuan ini benar-benar menyenggol fakta dalam dirinya. Jemari tangan pemuda itu terkepal erat demi menahan amarah yang mulai menjalar hingga ke otak.

“Gue tunggu habis pulang sekolah nanti. Jangan sampai nggak datang ya. Ayo cabut Lun, terlalu panas di sini hawanya,” ajak Keisha mengibaskan tangan ke area wajah sambil melirik sinis ke arah Jiwangga.

Keisha meninggalkan begitu saja Jiwangga dan teman-temannya yang masih sama-sama terdiam tanpa kata. Mereka tidak menyangka jika ada yang berani menyenggol ketua dari Chaos Brotherhood seterang-terangan ini.

Menunggu Yang Sia-Sia

Jiwangga memandang lekat pada siluet punggung Keisha yang semakin menjauh. Hawa panas masih melekat begitu erat memeluk hatinya. Ia menoleh pada teman-temannya dengan senyuman remeh. Bisa-bisanya ada seseorang yang berani untuk memerintah seorang Jiwangga Abram. Terlebih dia perempuan lagi.

Sampai sejauh ini belum ada yang benar-benar menentang Jiwangga dan Chaos Brotherhood. Kebanyakan dari siswa di SMA Mandala takut bila ditindas, digoda, bahkan diajak bicara oleh ketujuh pemuda ini, karena orang-orang sudah mencap mereka sebagai pembuat onar. Jiwangga kembali mendudukkan bokongnya di antara Joshua dan Tristan yang sedang menghembuskan asap dari pod.

“Lo aman Jiw?” tanya Lucas.

“Siapa sih tuh cewek? Sok iye banget tingkahnya,” cibir Jiwangga.

“Keisha Zievanna namanya. Dia yang sering wakilin sekolah kita buat ikut lomba-lomba sains sama debat sampai ke tingkat nasional. Kesayangan guru-guru juga tuh,” kata River.

“Nggak heran kalau dia bisa seberani itu adu bacot ama si Jiwa tadi,” kekeh ringan Julian.

“Kayaknya si Keisha ini teman satu kelasnya Tristan. Iya nggak sih?” Joshua menoleh ke arah sahabatnya yang masih asik bermain dengan asap.

Tristan menganggukkan kepalanya. “Iya. Aura ambisnya tuh keliatan dari dia jalan,” balas Tristan.

“Lo nanti datang ke kelas tutornya si Keisha, Jiw?” tanya Harvey. Pemuda dengan proporsi tubuh besar itu melemparkan bola basket di tangannya dan masuk ke ring. Ia tidak bisa duduk manis saat melihat benda bulat kesukannya dianggurkan begitu saja.

“Ogah malas banget, ngapain juga gue datang. Gue masih bisa belajar sendiri dan gue nggak butuh bantuan dia,” balas ketus Jiwangga.

Jiwangga berlari ke arah Harvey lalu merebut bola di tangan pemuda itu. Jemarinya bergerak aktif untuk memantulkan bola basketnya melawan gravitasi bumi. Dalam sekejap mata benda bulat itu sudah terlempar jauh menuju ring lawan dari jarak berdiri Jiwangga yang cukup jauh. Berharap dengan melayangnya bola basket itu bisa mewakili kekesalan yang pemuda itu rasakan, tetapi sepertinya tidak mengubah keadaan.

Emosi masih saja membuatnya tidak nyaman dan gerah hati rasanya. Jiwangga merasa seperti direndahkan di depan semua orang. Ada rasa sesak yang membuat moodnya turun drastis. Jiwangga lalu tanpa berkata apa pun langsung meninggalkan anggota Chaos Brotherhood di lapangan. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan api yang semakin membara dalam tubuh.

***

Jam-jam pulang sekolah memang selalu ramai dipenuhi oleh para murid yang menanti jemputan mereka untuk datang. Ada pula sebagian dari mereka memilih menetap sejenak di sekolah karena berbagai urusan. Entah berlatih menari, menyibukkan diri di perpustakaan, atau mengosongkan kelas untuk sesi tutor bersama Jiwangga seperti yang Keisha lakukan.

Begitu pelajaran kimia di jam terakhir selesai, Keisha merapihkan seluruh barang-barangnya ke dalam tas. Ia menyisakan dua buku catatan di atas meja. Gadis itu terlihat lebih tenang dari pada sebelumnya walaupun ada sedikit gugup dan takut. Sesekali ia melirik pada jarum jam di pergelangan tangan yang terus berputar.

Sudah setengah jam sejak bel pulang berbunyi Keisha menunggu tetapi belum ada tanda-tanda Jiwangga akan datang. Demi mengisi waktu kosong gadis Zievanna ini memilih untuk membaca novel yang sengaja dibawa dari rumah. Suasana hening di dalam kelas membuat si puan mampu melahap semua alur cerita sampai rampung sebab tidak ada yang mengganggu.

Ia terlalu larut dalam indahnya diksi novel dan baru tersadar saat mendengar suara bunyi perutnya yang meledak begitu saja. Berhubung hanya ada Keisha di kelas, jadi suara keroncongan itu terdengar nyaring. Perut kecilnya protes meminta diisi oleh sesuatu yang bisa membuat gadis itu kenyang.

“Jiwangga kemana sih? Sampai jam segini belum datang juga!” seru Keisha kesal. Lagi perempuan itu memeriksa jam di pergelangan tangan yang sekarang sudah menunjukkan pukul empat sore. Gadis itu berjalan keluar dari kelas untuk melihat keadaan sekitar. Koridor kelas sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa siswa saja yang berlalu-lalang. “Dia nggak dengar apa yang gue bilang tadi kali ya,” gumam Keisha.

“Loh kok belum pulang Kei?”

Keisha menoleh pada sumber suara. Raut wajah yang semula cemberut dan tidak ramah ini seketika berubah. Ia menyapa teman dalam satu organisasi kepengurusan sekolah dengan senyuman lebar. “Gue nungguin si Jiwangga buat tutor tapi sampai sekarang belum datang juga. Lo sendiri kenapa belum balik, Lang?” balas tanya Keisha.

“Gue diminta sama Pak Samidin buat ngajarin anak kelas 10 alat perkusi tuh. Lagi istirahat juga ya sekalian aja gue mau jajan ke depan dulu. Lo mau titip nggak?” Pemuda bernama lengkap Gilang Pamungkas ini bertanya sekaligus menawarkan bantuan.

“Tadinya gue mau pesan makanan di online tapi berhubung lo juga nawarin ya boleh deh. Bakso malang aja kayak biasa sama es kopyor kalau masih ada si mang yang jual. Nanti lo total aja berapa biar gue ganti,” kata Keisha.

Gilang mengibaskan tangan perlahan. “Apaan nggak usah. Lo nih kayak sama siapa aja. Kebetulan gue juga mau beli bakso malang tuh langganan anak Manggala. Gue beli dulu ntar gue bawain lagi ke sini,” ucap Gilang.

“Thanks ya Lang,” kata Keisha.

Gilang memberikan respon dengan acungan jempol pada Keisha dan pergi meninggalkan koridor jurusan IPA. Sedangkan si cantik mencari suasana baru demi menunggu kedatangan Jiwangga yang tak kunjung muncul. Jemarinya sibuk menggulir layar handphone ketika menemukan tontonan menarik.

Keisha sesekali mengabadikan suasana sekolah dikala senja dalam lensa kamera handphone miliknya. Ia mendengus kesal saat mendengar suara langkah kaki membuat gadis itu refleks menoleh. Keisha jadi berharap kalau yang datang adalah Jiwangga.

“Nih bakso malang punya lo,” kata Gilang memberikan sebuah bungkusan berisi bakso malang pesanan Keisha. Seketika aroma wangi dari kaldu juga daun seledri yang pekat menyebar ke berbagai arah, seolah meminta untuk disantap cepat-cepat. “Kopyornya nggak ada jadi gue ganti sama es kuwut,” sambung Gilang.

Keisha menerima uluran plastik itu dengan penuh rasa syukur di tengah rasa laparnya yang berada di titik maksimal. Ia bagaikan menemukan oasis di padang gurun. Gadis itu menjatuhkan pilihan untuk menumpas dahaga dengan segelas es jeruk kuwut yang segar. “Gue nggak tahu deh kalau nggak ada lo, gue bakal nunggu di kelas dengan perut keroncongan parah,” kata Keisha.

“Sekolah sebentar lagi mau tutup tuh. Lo yakin masih mau nungguin Jiwangga datang? Kata gue sih dia emang nggak bakal datang dari awal. Bocah bandel yang susah diatur kayak dia tuh mana mau sih nurutin omongan orang lain.” Gilang berkata sambil menyeruput kuah bakso dari ujung plastik.

“Kalau bukan karena permintaannya Bu Rasmi juga gue ogah berurusan sama dia, Lang. Habis bakso ini masuk ke perut imut gue ini juga bakal langsung balik kok. Nungguin supir datang juga di pos satpam,” jelas Keisha.

“Gue antar aja Kei dari pada lo nunggu kelamaan di pos depan,” putus Gilang. Pemuda tampan dengan tubuh tinggi nan besar itu lantas bangkit dari duduknya lalu mendekat pada tong sampah beberapa langkah ke depan untuk membuang sampah bakso malangnya.

Kenapa ya kaum adam kalau makan itu cepat sekali? Padahal punya Keisha juga belum habis separuh.

“Nggak usah Gilang. Gue nggak mau ngerepotin lo,” tolak halus Keisha.

“Gue nggak apa-apa, Kei. Area sekolah kalau mau malam itu rawan. Suka ada kumpulan orang mabok yang suka keliaran di sekitar sini. Gue nggak mau teman gue kenapa-napa. Gue tunggu lo selesaiin makan lo tuh sambil push rank bentar ya,” kata Gilang sambil mengeluarkan handphone dari saku celananya.

“Ya udah kalau lo maksa. Gue kabarin supir keluarga dulu,” balas Keisha.

Keisha melahap potongan siomay keringnya sebelum memainkan kembali handphone demi memberi sebuah kabar pada sang supir pribadi. Ia buka aplikasi dengan logo telfon berwarna hijau itu kemudian. Jemarinya bergerak lincah saat mengetikkan setiap pesan yang ingin disampaikan.

Keisha: Pak Cipto, udah berangkat jemput belum? Kalau belum aku nggak jadi dijemput aja Pak.

Pak Cipto: Loh kenapa Mbak Keisha? Bapak ini mau panasi mobil dulu.

Keisha: Aku pulang diantar teman.

Pak Cipto: Oalah yowes kalau gitu. Mbak Keisha pulangnya hati-hati.

Keisha: Iya Pak Cipto.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!