Aku duduk di ruang tamu, menatap punggung Aisyah yang sibuk menuangkan teh ke dalam dua cangkir. Sudah lima belas tahun aku menikah dengannya, dan selama itu pula ia telah menjadi istri yang luar biasa. Aisyah memberiku dua putri yang cantik dan cerdas, melengkapi rumah tangga kami dengan kebahagiaan yang seharusnya cukup.
Namun, bagi orang tuaku, itu belum cukup.
Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungku yang tak beraturan. Ini bukan percakapan yang mudah.
Aisyah duduk di hadapanku, menyodorkan secangkir teh. “Ada yang mau kamu bicarakan?” tanyanya, suaranya tetap lembut seperti biasa.
Aku meremas jemariku sendiri sebelum akhirnya berkata, “Aisyah… Aku ingin menikah lagi.”
Tangannya yang baru saja hendak mengangkat cangkir teh terhenti di udara. Matanya menatapku dalam diam. Aku tak bisa membaca ekspresinya—tidak marah, tidak terkejut. Hanya… kosong.
Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya berkata, “Kenapa?”
Aku menghela napas, merasa dadaku semakin berat. “Ini permintaan orang tuaku. Mereka ingin aku punya anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga.”
Aisyah tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. “Jadi dua anak perempuan yang sudah kulahirkan belum cukup?”
Aku ingin mengatakan bahwa mereka cukup. Bahwa aku bahagia dengan keluarga kecil kami. Tapi jika itu benar, mengapa aku tetap meminta izin ini?
“Aku tidak ingin menyakitimu, Aisyah,” ucapku lirih. “Aku hanya ingin melakukannya dengan baik, dengan izinku.”
Aisyah menatapku lama, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
Aku mengerjap, tak percaya dengan seberapa mudahnya ia menjawab. “Kamu mengizinkan?”
Ia mengangguk sekali lagi. “Silakan. Tapi dengan satu syarat.”
Aku menelan ludah, siap mendengar apapun. “Apa itu?”
“Jangan pernah mengganggu hidupku lagi.”
Aku terdiam. “Maksudmu?”
“Setelah kamu menikah lagi, aku tak ingin ada urusan lagi denganmu,” katanya tenang. “Aku tetap menjadi ibu bagi anak-anak kita, tapi aku tak ingin lagi menjadi istrimu, baik dalam hati maupun kenyataan.”
Jantungku berdegup kencang. Aku ingin membantah, ingin meyakinkannya bahwa aku tetap mencintainya, bahwa aku tak ingin kehilangan dirinya.
Tapi, bukankah aku yang lebih dulu mengkhianatinya?
Dan saat itu, aku menyadari satu hal. Aku telah mendapatkan izin yang kuinginkan—tapi di saat yang sama, aku juga kehilangan sesuatu yang lebih berharga.
...****************...
Sejak malam itu, Aisyah berubah.
Ia tetap melakukan tugasnya sebagai istri—membuatkan sarapan, mengurus anak-anak, dan menjaga rumah tetap rapi. Tapi ada sesuatu yang hilang. Kehangatan yang biasanya menyelimuti rumah kami perlahan memudar.
Dulu, setiap pagi ia selalu menyambutku dengan senyuman ketika aku berangkat kerja. Sekarang, yang kudapatkan hanya anggukan singkat tanpa tatapan mata. Dulu, ia sering menyeduhkan kopi untukku saat aku pulang. Kini, yang ada hanya meja makan kosong dengan makanan yang sudah dingin.
Dan yang paling menyakitkan, ia tak lagi memanggilku dengan sapaan lembut seperti dulu.
“Aisyah…” Aku mencoba berbicara padanya suatu malam ketika anak-anak sudah tidur.
Ia menoleh, tapi tidak benar-benar melihatku. “Ada apa?”
Aku menatap wajahnya, mencari sisa-sisa kehangatan yang biasa ia berikan. “Kenapa kamu berubah?”
Aisyah tersenyum tipis—bukan senyum bahagia, tapi lebih seperti seseorang yang sudah tidak peduli. “Aku tidak berubah, Reza. Aku hanya menyesuaikan diri.”
“Menyesuaikan diri?” Aku mengernyit.
“Ya.” Ia menghela napas pelan, lalu menatapku dengan mata yang tenang, terlalu tenang hingga terasa menyakitkan. “Bukankah kamu sendiri yang memulainya? Aku hanya mempersiapkan hati agar tidak terlalu sakit nanti.”
Dadaku terasa sesak mendengar jawabannya. Aku baru meminta izin, bahkan belum benar-benar menikah lagi. Tapi baginya, aku sudah menghancurkan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki.
Aku ingin mengatakan bahwa aku masih mencintainya. Bahwa pernikahan kedua ini bukan karena aku menginginkannya, melainkan karena tuntutan orang tua. Tapi entah kenapa, aku merasa kata-kata itu tidak akan ada gunanya.
Karena aku sudah kehilangan Aisyah, bahkan sebelum aku benar-benar pergi.
...****************...
Pagi itu, sebelum aku sempat berangkat kerja, suara mobil berhenti di depan rumah. Aku melongok ke luar jendela dan melihat ibuku turun, diantar oleh sopir. Wajahnya terlihat serius, seperti seseorang yang datang untuk memastikan sesuatu.
Aku menarik napas panjang, sudah bisa menebak tujuan kedatangannya.
Saat aku membuka pintu, ibuku langsung masuk tanpa menunggu undangan. “Mana Aisyah?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku melirik ke arah dapur. Aisyah ada di sana, sedang merapikan sarapan anak-anak. Mendengar suara ibu, ia menghentikan gerakannya sejenak, lalu berjalan mendekat dengan tenang.
“Assalamualaikum, Bu,” sapanya sopan.
Ibuku hanya membalas dengan anggukan singkat sebelum langsung ke inti pembicaraan. “Jadi, Aisyah. Aku datang ke sini ingin memastikan satu hal.” Ia melirik ke arahku, lalu kembali menatap Aisyah. “Reza bilang kamu sudah mengizinkan dia menikah lagi. Apa benar begitu?”
Aisyah tidak langsung menjawab. Ia menatap ibuku dengan ekspresi yang sulit kutebak.
“Ya, Bu. Saya sudah mengizinkannya.” Suaranya datar, tanpa emosi.
Ibuku mengangguk puas. “Bagus. Ibu hanya ingin memastikan. Ini demi kebaikan Reza juga. Kami butuh cucu laki-laki untuk meneruskan nama keluarga.”
Aku melirik ke arah Aisyah, berharap ada reaksi darinya. Tapi seperti beberapa hari terakhir, ia tetap dingin, seolah apa yang sedang dibicarakan ini tidak ada hubungannya dengan dirinya.
“Tapi, Bu…” Aisyah tiba-tiba berbicara lagi, membuat ibuku mengangkat alis. “Saya hanya ingin mengingatkan satu hal. Saya memang mengizinkan, tapi mulai sekarang, jangan lagi libatkan saya dalam keputusan ini.”
Ibuku mengernyit. “Maksudmu?”
“Saya sudah mengizinkan, jadi saya tidak mau ditanya lagi soal ini. Jangan tanya saya tentang bagaimana perasaan saya, jangan minta saya pura-pura baik-baik saja, dan jangan pernah berharap saya akan tetap sama seperti dulu.”
“Aisyah…” Aku mencoba menyela, tapi Aisyah menoleh padaku dengan tatapan tegas.
“Silakan jalani keputusan ini, Reza. Saya tidak akan menghalangi.” Ia kemudian menatap ibuku. “Tapi saya juga tidak akan memaksakan diri untuk tetap menjadi istri yang sama seperti dulu. Saya hanya akan menjadi ibu bagi anak-anak saya.”
Ibuku tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi, Aisyah—”
“Maaf, Bu. Saya harus menyiapkan anak-anak untuk sekolah.” Aisyah menyela dengan sopan, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, sementara ibuku menghela napas panjang. “Kenapa dia jadi begitu?” keluhnya.
Aku tidak menjawab. Karena jauh di dalam hati, aku tahu jawabannya.
Aisyah tidak lagi berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah dia lepaskan.
Ibuku menatapnya dengan ekspresi terkejut, lalu menoleh ke arahku. “Kenapa dia jadi seperti itu?” suaranya terdengar tidak percaya.
Aku hanya diam.
“Aisyah tidak pernah seperti ini sebelumnya,” lanjut ibuku, masih dengan nada heran. “Biasanya dia selalu menghormati Ibu, selalu mendengarkan sampai selesai. Sekarang dia pergi begitu saja?”
Aku menghela napas panjang. “Dia sudah berubah, Bu…”
Ibuku menggeleng pelan. “Jangan-jangan… dia sebenarnya tidak mengizinkanmu menikah lagi, tapi hanya pura-pura setuju?”
Aku terdiam, kata-kata ibu menggema di kepalaku. Apakah Aisyah memang benar-benar mengizinkanku? Ataukah dia hanya menyerah… dan mulai melepasku perlahan?
Sejak percakapan pagi itu, aku tahu ada sesuatu yang berubah dalam rumah tanggaku. Aisyah tidak lagi menjadi istri yang hangat seperti dulu, dan ibuku tetap bersikeras dengan keinginannya.
Hari itu, setelah pulang kerja, aku mampir ke rumah orang tuaku. Seperti yang sudah kuduga, begitu aku duduk di ruang tamu, ibuku langsung membicarakan topik yang sama.
“Reza, kamu sudah menjalan hubungan dengan Laras,kan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menghela napas berat. “Bu, ini belum saatnya…”
“Belum saatnya bagaimana?” Ibuku mengerutkan kening. “Kamu sendiri yang bilang kalau Aisyah sudah mengizinkan. Lalu, kenapa masih menunda? Atau jangan-jangan… kamu mulai ragu?”
Aku terdiam. Ragu? Ya, aku memang ragu. Sejak melihat perubahan Aisyah, aku mulai bertanya-tanya apakah keputusan ini benar.
“Kamu itu laki-laki, Reza. Jangan terlalu banyak pakai perasaan,” lanjut ibuku dengan nada tegas. “Orang tua mana yang tidak ingin cucu laki-laki? Ibu hanya ingin memastikan nama keluarga kita tetap ada. Apa itu salah? Lagi pula kamu sudah ada wanita lain kan? Jadi cepat menikahlah dengan Laras!"
Aku menekan pelipisku, merasa semakin tertekan. “Bu, tolong jangan terburu-buru untuk menikahi Laras, lagi pula aku sudah punya dua anak perempuan yang luar biasa. Kenapa harus laki-laki?”
Ibuku menatapku seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. “Karena kamu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini! Ibu dan Ayah ingin ada penerus. Apa kamu tidak kasihan melihat ayahmu yang selalu berharap?”
Aku diam. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar alasan itu.
“Pokoknya, Ibu tidak mau tahu. Kamu harus segera menikah dengan Laras secepatnya,” lanjutnya. “Kalau kamu terus menunda, Ibu sendiri yang menikahkan kalian berdua di KUA!"
Aku tersentak. “Bu, jangan lakukan itu!”
“Lalu kapan? Ibu sudah cukup sabar menunggu!” Ibuku bersikeras.
Aku menghela napas panjang. “Beri aku waktu, Bu…”
Ibuku menatapku tajam. “Jangan terlalu lama. Aisyah sudah bukan masalah lagi. Dia sudah mengizinkan, artinya kamu bebas melangkah.”
Aku ingin membantah, ingin mengatakan bahwa Aisyah memang mengizinkan, tapi hatinya jelas sudah tidak ada untukku lagi. Tapi aku tahu, ibuku tidak akan peduli.
Bagi ibu, yang terpenting adalah nama keluarga. Bukan perasaan istriku, bukan keharmonisan rumah tanggaku.
Dan di saat itu, aku mulai bertanya-tanya… apakah aku benar-benar masih memiliki kendali atas hidupku sendiri?
...****************...
Aku duduk di dalam mobil, menatap kosong ke depan. Kata-kata ibuku masih terngiang di kepalaku—perintah untuk segera menikah lagi, untuk mendapatkan anak laki-laki.
Seharusnya aku merasa tertekan. Seharusnya aku bingung. Tapi yang ada justru perasaan lain.
Karena kenyataannya, aku sudah memiliki seseorang.
Wanita yang selama ini menjadi tempatku berbagi keluh kesah. Wanita yang selalu memberiku perhatian lebih ketika aku merasa Aisyah mulai menjauh. Wanita yang, sejujurnya, sudah lebih dulu ada sebelum ibu dan ayahku menuntutku berpoligami.
Namanya Laras.
Aku mengenalnya sejak beberapa bulan lalu melalui salah satu rekan bisnis. Awalnya, aku hanya menganggapnya sebagai teman bicara. Tapi entah bagaimana, aku mulai nyaman dengannya. Laras selalu bisa mengerti keluhanku, selalu menenangkanku saat aku merasa tertekan dengan sikap dingin Aisyah.
Tanpa kusadari, aku telah melangkah terlalu jauh.
Aku sudah melanggar kepercayaan Aisyah bahkan sebelum aku meminta izinnya.
Ketika ibu dan ayah menuntutku untuk menikah lagi, aku tidak perlu berpikir lama. Aku sudah memiliki pilihan, seseorang yang bisa memenuhi keinginan mereka. Seseorang yang tidak akan menolakku seperti Aisyah.
Aku tahu ini salah. Aku tahu, dalam hati kecilku, aku sudah mengkhianati Aisyah.
Tapi aku terus meyakinkan diri sendiri.
“Aisyah juga yang membuat jarak lebih dulu,” bisikku dalam hati. “Dia yang berubah lebih dulu… Aku hanya mencari tempat yang bisa menerimaku.”
Aku meraih ponsel dan mengetik pesan.
Reza: Laras, aku ingin bertemu.
Tak butuh waktu lama, jawabannya masuk.
Laras: Aku selalu ada untukmu, Mas. Katakan di mana, aku pasti datang.
Aku menarik napas panjang.
Mungkin, dengan Laras, aku bisa mendapatkan apa yang tidak lagi bisa kudapatkan dari Aisyah. Perhatian, kehangatan… dan tentu saja, anak laki-laki yang diinginkan keluargaku.
Aku menyalakan mesin mobil, melaju menuju pertemuan yang seharusnya tidak pernah terjadi jika aku masih setia pada pernikahanku.
Aku memilih sebuah kafe yang cukup tenang di sudut kota, tempat yang tidak terlalu mencolok tetapi nyaman untuk berbicara. Begitu aku masuk, Laras sudah ada di sana, duduk di sudut dengan secangkir kopi di depannya.
Dia tersenyum saat melihatku datang. Senyum yang selalu terasa menenangkan, berbeda dengan tatapan dingin yang kini sering kudapatkan dari Aisyah.
Aku duduk di depannya, menghela napas panjang sebelum berbicara.
“Ada apa, Mas? Sepertinya wajahmu lelah sekali,” tanya Laras lembut, menatapku dengan penuh perhatian.
Aku menggenggam cangkir kopi yang baru saja diantarkan oleh pelayan, mencoba menenangkan pikiranku. “Ibu semakin menekan. Dia ingin aku segera menikah lagi.”
Laras menatapku tanpa ekspresi terkejut. “Dan itu artinya…?”
Aku menatapnya dalam-dalam. “Aku ingin kamu yang menjadi istri keduaku.”
Ada sedikit kilatan di matanya, seolah dia sudah menduga ini akan terjadi. Dia meletakkan sendok kecilnya ke atas tatakan cangkir, lalu bersandar di kursinya.
“Aisyah sudah mengizinkan?” tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk. “Ya… secara teknis, dia mengizinkan. Tapi sejak saat itu, dia berubah. Dia jadi lebih dingin, lebih jauh.”
Laras tersenyum tipis. “Wajar, Mas. Perempuan mana yang tidak sakit hati kalau suaminya ingin menikah lagi? Tapi… kalau dia sudah mengizinkan, itu artinya Mas bebas melangkah.”
Aku menatapnya. “Kamu tidak keberatan, kan?”
Laras menyesap kopinya sebelum menjawab, “Mas tahu jawabannya. Aku sudah siap untuk ini sejak awal.”
Jawabannya membuatku sedikit lega, meskipun ada bagian dalam diriku yang masih dihantui rasa bersalah.
“Mas…” Laras mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kalau memang Mas ingin segera menikah, kapan rencananya?”
Aku terdiam.
Ibu tentu ingin ini terjadi secepat mungkin. Aku bisa saja langsung mengurus semuanya dalam beberapa bulan ke depan. Tapi… entah kenapa, ada sesuatu yang menahanku.
Mungkin karena aku tahu, ketika aku benar-benar melangkah ke jenjang itu, maka aku dan Aisyah tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi.
Tapi bukankah sejak aku mulai dekat dengan Laras, aku memang sudah mengkhianati Aisyah?
Aku menarik napas panjang. “Secepatnya.”
Laras tersenyum puas. “Baiklah, Mas. Aku akan menunggu.”
Dan di saat itu, aku tahu, jalan yang kupilih benar-benar tidak akan ada jalan kembali.
Setelah pertemuan dengan Laras, aku langsung pulang. Jalanan malam cukup lengang, tetapi pikiranku penuh dengan berbagai hal. Tentang keputusan yang sudah kuambil, tentang bagaimana Aisyah akan bereaksi jika ia tahu aku sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan Laras bahkan sebelum meminta izinnya.
Aku menghela napas berat. Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal itu sekarang. Yang terpenting, ibu dan ayah sudah setuju, dan Laras juga siap. Semuanya seharusnya berjalan lancar.
Tapi begitu aku sampai di rumah dan membuka pintu, perasaan aneh langsung menyelimutiku.
Sepi.
Tidak ada suara anak-anak yang biasanya berlarian di ruang tamu. Tidak ada suara Aisyah yang menyapaku dengan lembut. Tidak ada aroma masakan hangat seperti biasanya.
Aku mengernyit, meletakkan tas kerja di meja dekat pintu. “Aisyah?” panggilku, tapi tidak ada jawaban.
Aku melangkah masuk ke ruang keluarga. Lampunya sudah dimatikan, hanya tersisa temaram dari lampu kecil di sudut ruangan. Aku berjalan ke dapur—kosong.
Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Aku bergegas menuju kamar tidur utama dan membuka pintunya.
Tidak ada siapa-siapa.
Lemari pakaian sedikit terbuka, tapi aku tidak melihat ada barang yang berantakan atau tanda-tanda bahwa seseorang pergi dalam keadaan tergesa-gesa.
Aku buru-buru ke kamar anak-anak, berharap menemukan mereka di sana. Tapi sama saja. Kamar itu kosong.
Aku mengeluarkan ponsel, menelepon Aisyah. Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak diangkat.
Sekali lagi aku mencoba menelepon, kali ini suaranya langsung masuk ke pesan suara.
Perasaan tidak enak mulai menjalar di hatiku.
Kemana mereka? Kenapa Aisyah pergi tanpa memberitahuku?
Aku mencoba berpikir jernih. Mungkin dia hanya pergi ke rumah orang tuanya, atau mungkin mengajak anak-anak menginap di rumah saudaranya. Tapi… kenapa tidak memberitahuku?
Aku duduk di sofa, mengusap wajahku dengan frustrasi.
Baru saja beberapa jam lalu aku merasa begitu yakin dengan keputusanku. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, aku merasa… seolah sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kusadari.
Bab 8: Jarak yang Semakin Nyata
Saat aku masih duduk di sofa, mencoba memahami situasi, tiba-tiba ponselku bergetar. Dengan cepat aku meraihnya, berharap ada kabar dari Aisyah.
Aisyah: Aku pulang ke rumah orang tua untuk sementara. Jika sudah selesai, aku akan kembali.
Aku menghela napas panjang. Setidaknya dia tidak pergi begitu saja tanpa jejak. Aku sedikit lega mengetahui bahwa dia hanya kembali ke rumah orang tuanya. Tapi… "jika sudah selesai" itu maksudnya apa?
Aku mengetik balasan.
Reza: Kenapa tidak bilang dulu ke aku?
Pesanku terkirim, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa dia membaca. Aku menunggu beberapa menit, mencoba menghubunginya lagi. Tetap tidak diangkat.
Aku meremas rambutku dengan frustrasi. Aisyah memang tidak pernah meninggalkan rumah seperti ini sebelumnya. Bahkan dalam pertengkaran paling buruk yang pernah kami alami, dia selalu tetap ada, tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Tapi sekarang, dia memilih pergi.
Aku tahu keputusanku meminta izin untuk menikah lagi sudah menyakitinya. Tapi sejujurnya, aku tidak menyangka dia akan bereaksi seperti ini.
Kupandangi layar ponsel, berharap dia akan segera memberi jawaban. Tapi hingga beberapa menit berlalu, tidak ada pesan balasan.
Aku melirik jam dinding. Sudah larut. Aku berdiri, berjalan ke kamar anak-anak yang kosong. Biasanya, aku selalu menemukan mereka sudah tertidur, dengan Aisyah yang sesekali duduk di samping mereka, membacakan cerita sebelum tidur. Tapi malam ini, tidak ada siapa-siapa.
Rumah ini terasa begitu sepi tanpa mereka.
Aku mengembuskan napas, lalu kembali ke kamar tidur. Aku mencoba untuk tidur, tapi pikiranku terus saja dipenuhi pertanyaan.
Apakah Aisyah benar-benar hanya pergi untuk sementara?
Atau ini adalah awal dari jarak yang lebih besar antara kami?
...****************...
Hampir seminggu sudah Aisyah dan anak-anak pergi dari rumah. Setiap hari aku mengirim pesan, mencoba menghubunginya, tapi tak pernah ada jawaban. Ponselnya selalu aktif, tapi tidak pernah ia angkat.
Aku duduk di meja makan, menatap ponsel yang kini terasa begitu asing. Biasanya, Aisyah selalu cepat membalas pesanku, bahkan sekadar mengingatkanku untuk makan atau menanyakan kapan aku pulang. Tapi sekarang, layar ponselku hanya dipenuhi pesan-pesan yang tak pernah terbaca.
Aku mengetik lagi.
Reza: Aisyah, kamu di sana? Aku merindukan kalian. Tolong angkat teleponku.
Kirim.
Tapi aku tahu, balasannya mungkin tak akan datang.
Aku mengusap wajahku dengan frustrasi. Sepi. Rumah ini benar-benar terasa kosong tanpa mereka. Tidak ada suara tawa anak-anak, tidak ada Aisyah yang menyambutku dengan senyum hangatnya, tidak ada aroma masakan yang biasa mengisi ruangan.
Aku meraih ponsel lagi, menekan nomor Aisyah. Kali ini, aku berharap lebih.
Nada sambung terdengar… satu… dua… tiga kali. Tapi kemudian panggilan itu berakhir begitu saja, tanpa jawaban.
Aku menggebrak meja dengan kesal.
Apa ini? Sampai kapan Aisyah akan bersikap seperti ini? Aku memang meminta izin untuk menikah lagi, tapi dia sendiri yang mengizinkannya. Kenapa sekarang dia seperti ingin menghilang dariku?
Atau…
Aku mulai dihantui ketakutan lain.
Apa mungkin Aisyah tidak benar-benar mengizinkan, tapi hanya mengucapkannya karena sudah terlalu lelah dengan semua ini?
Aku meraih kunci mobil. Aku tidak bisa terus begini. Aku harus menemui Aisyah, harus mendengar langsung dari mulutnya.
Karena jika aku kehilangan dia… dan anak-anakku… aku tidak yakin aku bisa menerimanya.
Aku masih duduk di ruang tamu, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan balasan dari Aisyah. Kepalaku dipenuhi berbagai pikiran yang membuat dadaku terasa sesak. Aku benar-benar merindukan mereka, tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa jika Aisyah terus menghindar dariku.
Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar dari luar. Aku melirik ke arah jendela dan melihat mobil ayah sudah terparkir di halaman. Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi.
Aku berjalan malas-malasan ke pintu dan membukanya.
Ibu dan ayah berdiri di sana, wajah mereka terlihat serius. Aku sedikit terkejut melihat kedatangan mereka yang mendadak.
“Ada apa, Bu, Yah?” tanyaku sambil mempersilakan mereka masuk.
Mereka duduk di sofa, dan aku ikut duduk di seberang mereka. Ibu langsung membuka pembicaraan dengan nada mendesak.
“Reza, sampai kapan kamu akan menunda pernikahanmu dengan Laras?”
Aku terdiam. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Sejak pertama kali mereka memintaku menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki, mereka terus mendesakku. Tapi sekarang, dengan keadaan Aisyah yang pergi dari rumah, aku semakin merasa ini bukan waktu yang tepat.
Ayah menatapku tajam. “Kamu ini bagaimana, Reza? Aisyah sudah mengizinkan, kan? Lalu kenapa masih menunda? Apa lagi yang kamu tunggu?”
Aku menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosiku.
“Ibu, Ayah… Aisyah memang mengizinkan, tapi lihatlah sekarang. Dia pergi dari rumah. Sudah seminggu dia tidak pulang dan tidak membalas pesanku. Aku tidak bisa menikah dalam keadaan seperti ini,” kataku dengan nada frustasi.
Ibu mendengus pelan. “Perempuan memang begitu. Awalnya pura-pura kuat, tapi akhirnya tetap kembali. Biarkan saja dia menenangkan diri, nanti juga dia sadar bahwa dia tidak punya pilihan lain.”
Aku menggeleng pelan. “Tidak, Bu… Aku rasa kali ini berbeda. Aisyah benar-benar berubah. Dia bukan hanya marah, tapi… seperti tidak ingin ada aku lagi dalam hidupnya.”
Ayah menatapku dengan tajam. “Kamu ini lelaki, jangan terjebak perasaan! Tujuan utama kita adalah memastikan ada penerus laki-laki dalam keluarga ini. Aisyah hanya memberimu anak perempuan, dan kamu tahu itu tidak cukup.”
Kata-kata ayah terasa seperti belati yang menusuk dadaku. Seolah anak-anakku yang sekarang tidak berharga hanya karena mereka perempuan.
“Ayah…” Aku menatapnya dengan rahang mengatup. “Anak perempuan atau laki-laki itu tetap anakku. Mereka darah dagingku.”
Ibu melambaikan tangannya dengan tidak sabar. “Sudahlah, Reza. Jangan buang waktu. Laras sudah siap. Kamu hanya perlu menetapkan tanggal pernikahannya.”
Aku meremas tangan di pangkuanku. Ini semua terasa begitu salah. Dulu, aku memang menginginkan ini—menikahi Laras. Tapi sekarang, saat aku melihat akibatnya… saat aku melihat Aisyah menjauh… aku mulai mempertanyakan semuanya.
Aku menghela napas panjang.
“Aku akan pikirkan lagi, Bu, Yah.”
Ibu hendak protes, tapi ayah menahannya. “Baik. Tapi jangan terlalu lama, Reza. Kami tidak mau menunggu lebih lama lagi.”
Mereka akhirnya berdiri, bersiap untuk pergi. Aku mengantar mereka sampai ke pintu, lalu menatap mobil mereka yang melaju pergi.
Begitu mobil menghilang di kejauhan, aku kembali masuk ke rumah yang kini terasa lebih kosong dari sebelumnya.
Aku menatap sekeliling. Tanpa Aisyah dan anak-anak, rumah ini hanyalah bangunan tanpa jiwa.
Aku menyandarkan kepala ke sofa, menatap langit-langit.
Apakah aku benar-benar siap kehilangan Aisyah hanya demi memenuhi keinginan orang tuaku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!