NovelToon NovelToon

Si Buntung Dan Lengan Bionik Nya

Chapter 1

“Kamu gimana sih !” Bentak seorang wanita cantik.

“Ma – maaf,” balas seorang pria muda pekerja kantoran.

“Aduh kalau begini, gimana aku bisa bayar cicilan, sana cari kerja, di pecat bukan masalah !” bentak sang wanita.

“Iya sayang, maaf.”

Pria muda itu keluar kembali dari kontrakan lusuh milik nya, dia melangkah gontai menelusuri jalan. Kepalanya terasa pening tujuh keliling, sebab dia baru saja di pecat dari perusahaan yang memperkerjakannya. Dia berjalan sampai ke taman dan duduk di salah satu kursi taman, beberapa anak kecil datang mengejeknya.

“Buntung...buntung,” ujar salah seorang anak sambil menunjuk pria itu.

“Buntung...ih buntung,” tambah anak di sebelahnya yang ikut ikutan menunjuk.

“Eh tidak boleh gitu, ayo anak anak jalan (menoleh melihat sang pria) maaf ya, permisi,” ujar seorang ibu yang buru buru mendorong anak anak meninggalkan pria malang itu.

Pria itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum getir walau hatinya sangat perih, tapi dia tidak bisa berucap apa apa karena memang benar keadaan nya seperti itu, dia tidak memiliki lengan kiri nya. Dia menoleh melihat sebelah kemeja lengan panjang yang tidak ada isinya di sebelah kiri, namun dia bukanlah cacat sejak lahir. Setelah melihat lengannya, dia menoleh melihat ke atas,

“Aku harus bagaimana sekarang, aku tidak punya apa apa lagi, Vania membutuhkan uang untuk bayar cicilan,” ujar nya dalam hati.

Dengan susah payah, dia mengeluarkan smartphone nya dari saku dan meletakkan smartphonenya di paha. Dia mulai membuka situs situs lowongan pekerjaan menggunakan satu tangan, karena sudah putus asa, apapun dia klik tanpa membaca deskripsi atau job desk nya terlebih dahulu.

Selagi asik menekan nekan smartphone nya, tiba tiba sebuah telepon masuk. Dia melihat telepon itu dari mertuanya, wajahnya langsung berubah pucat, dengan tangan gemetar dia mengangkat teleponnya,

“Heh Marlon, kamu benar benar keterlaluan ya, Vania baru saja selesai telepon mama, dia menangis bercerita kamu di pecat lagi sampai dia pinjam uang sama mama untuk memenuhi kehidupan kalian,  kamu itu benar benar tidak tahu diri ya. Sudah ceraikan saja Vania, kasihan anak itu harus bersama kamu seumur hidup, sekarang juga !” bentak mertua perempuan nya di telepon.

“Aku sedang mencari pekerjaan baru mah, selama ini aku masih ada tabungan yang cukup untuk membiayai aku dan Vania sekaligus bayar kontrakan,” ujar Marlon.

“Kamu benar benar tidak tahu malu ya, kamu tahu kan keluarga kami seperti apa ? kami pemilik perusahaan, sejak menikah sama kamu, Vania jadi sengsara, lagipula, kontrakan kontrakan kamu itu milik keluarga kita kan, jangan sok kamu. Untung kalian belum punya anak, mama menyesal punya menantu seperti kamu tahu ga !” Bentak ibu mertua tanpa mengerem mulut nya lagi.

“Ma sudah ma, biar aku yang bicara,” terdengar suara seorang laki laki yang terkesan sombong di belakang mertuanya.

Marlon tentu saja mengenal suara laki laki yang sombong itu sebab suara itu milik kakak iparnya,

“Halo Marlon, gini ya, aku jelaskan, Vania barusan telepon nangis nangis katanya kamu di pecat lagi, apa bener ?” tanya nya.

“Be..bener kak,” Jawab Marlon gelagapan.

“Jangan panggil kakak, aku bukan kakak mu, lalu gimana rencana mu ? menyerah begitu saja ?” tanya pria itu dengan sombongnya.

“Tidak, aku sekarang sedang di luar mencari pekerjaan,” jawab Marlon.

“Kamu itu bodoh apa gimana ? cari pekerjaan itu mudah, tinggal klik beres, ah iya lupa, kamu buntung sih ya, cari kerja yang untuk orang buntung dengan gaji gede dong, gini aja, mama papa dan aku sudah sepakat, kalau sampai minggu depan kamu belum dapat pekerjaan, kita minta kamu ceraikan Vania, kalau kamu menolak tahu sendiri akibatnya, kami tidak segan segan main kasar, ngerti tidak !” bentak pria itu.

Marlon diam saja, wajahnya sudah menjadi merah padam karena dia bingung harus bicara apa dan amarahnya sudah sampai ke ubun ubun.

“Baik, aku mengerti,” dengan suara gemetar, Marlon terpaksa menjawab nya.

“Ok, aku anggap kamu sudah paham, sekarang jalan sana, cari kerja.....tuut...tuut.”

Telepon di tutup, Marlon menyimpan smartphone nya di dalam saku celananya, tangannya masih gemetar, dia tertunduk untuk menelan semua emosinya, air matanya sedikit keluar dari pelipis matanya karena menahan malu dan marah nya. Setelah dia kembali tenang, Marlon berdiri dan berjalan pulang sambil berharap lamaran lamaran yang sudah dia masukkan ada hasil nya.

Ketika sampai di kontrakan, Marlon melihat Vania yang sedang duduk sambil menonton televisi di ruang tengah. Vania sama sekali tidak menoleh melihatnya datang apalagi menyambutnya. Marlon yang sudah terbiasa dengan sikap istrinya, melangkah masuk ke dalam kamar, dia duduk di meja sambil terus memandang smartphone nya berharap dia cepat mendapat panggilan pekerjaan.

“Ding dong.” Terdengar suara bel rumah nya berbunyi, dia mendengar langkah kaki Vania yang berlari ke arah pintu dan membuka pintunya, kemudian dia mendengar suara langkah Vania kembali masuk ke dalam. Dengan perlahan, Marlon berdiri dan berjalan ke pintu kamarnya, dia membuka sedikit pintu kamarnya dan melihat Vania sudah kembali duduk di sofa sedang menikmati makanan yang sepertinya baru saja di antar ke kontrakan nya.

“Gruyuuuk,” perutnya berbunyi karena lapar, tapi dia sama sekali tidak berani keluar dari kamar apalagi minta sedikit makanan nya, dia hanya bisa melihat Vania yang sedang makan dan memegang perutnya. Setelah itu, dia kembali duduk di kursi di depan meja dan kembali memandangi smartphone nya. “Ding dong.” Bel kembali berbunyi, sekali lagi terdengar suara langkah kaki Vania yang berlari ke arah pintu.

Tiba tiba pintu kamarnya di buka, Vania masuk membawakan sisa makanan yang baru saja dia makan ke dalam dan meletakkan nya di meja. Tanpa bicara apa apa, dia kembali keluar tanpa menutup pintu, Marlon berdiri dan menutup pintunya, sekilas dia melihat Vania membeli makanan jenis yang berbeda sekali lagi dan sedang melahapnya sambil menonton televisi.

“Berapa banyak dia beli makanan ? oh benar juga, dia baru pinjam dari mamanya,” gumam Marlon di dalam batinnya.

Dengan perlahan dia menutup pintunya dan kembali ke meja, karena perutnya berbunyi sekali lagi dan kebetulan ada makanan di meja, tanpa berpikir lagi dia menyantap makanan nya dengan hati yang sedih. Dia terus bertanya tanya, kenapa sikap Vania berubah terhadapnya dan sangat berbeda dari sikap nya dulu. Marlon sudah mengenal Vania sejak masih duduk di bangku smp dan alasan lengan Marlon harus di amputasi juga berhubungan dengan Vania.

Semua terjadi ketika Marlon dan Vania berumur 14 tahun, mereka kebetulan satu sekolah dan saat itu, Marlon tidak mengetahui latar belakang keluarga Vania yang sebenarnya adalah konglomerat pemilik perusahaan yang sedang booming kala itu. Ketika sekolah mereka sedang mengadakan outing, Marlon kebetulan satu grup sama Vania yang terkenal cantik dan populer di sekolah.

Banyak pria yang mendekatinya, tapi tidak dengan Marlon, dia tahu diri karena merasa dirinya adalah seorang anak yatim piatu yang di asuh oleh paman dan bibinya, di tambah penampilannya yang seperti kutu buku kurang pantas berada di sebelah Vania. Dia menyingkir dari para siswa yang mengerubungi Vania  bagai lebah dalam satu grup nya.

Namun ketika hendak menyeberang sungai, guru pembimbing outing menghentikan mereka karena sungai yang sedang bergolak sehingga menutupi jembatan yang hanya terbuah dari susunan papan. Grup Marlon menunggu dengan tenang di tepi sungai, banyak siswa pria yang ingin menunjukkan kejantanan nya di hadapan para gadis dengan nekat bermain main di tepi sungai walau sebenarnya berbahaya.

Marlon yang sebenarnya juga menaruh hati kepada Vania hanya duduk di tempat yang jauh dan melihat Vania dari kejauhan yang sedang tertawa tawa di hibur oleh para siswa. Kemudian seorang siswa mengajak beberapa siswi putri termasuk Vania untuk ikut merasakan sensasi berdebar debar di tepi sungai ketika sungai sedang begolak. Ternyata kejadiaan naas pun terjadi, gelombang sungai yang besar datang dan menghantam tepi sungai.

Semua nya berteriak dan berpegangan, setelah selesai, mereka tidak melihat Vania ada di antara mereka. Marlon yang duduk agak jauh dan terus memperhatikan Vania, menyaksikan Vania tercebur ke sungai dan terseret arus, dia langsung berdiri kemudian berlari ke tepi sungai. Rasa suka terhadap Vania dan rasa takut tidak bisa melihat Vania lagi, membuat Marlon nekat melompat masuk ke sungai.

Setelah terombang ambing oleh derasnya aliran sungai, akhirnya dia berhasil menyusul dan meraih Vania yang sudah lemas, tapi mereka berdua tetap hanyut terbawa aliran sungai yang deras. Ketika melewati celah dua batu besar yang sangat sempit, dia menarik tangan Vania dan berbalik, lengan kiri Marlon masuk ke dalam celah sempit itu, dia merasakan sakit yang luar biasa, tapi dia bersyukur karena mereka berdua berhenti karena terganjal batu tempat tangannya yang terjepit itu.

Lebih dari satu jam keduanya berada di sungai dan terus di hantam arus, Marlon sudah tidak merasakan lagi rasa sakit di tangannya dan seluruh tubuhnya menjadi lemas, tangan sebelahnya terus berusaha mendekap Vania dengan erat di bantu oleh kedua kakinya. Lalu sensei dan para penduduk yang menetap dekat lokasi perkemahan mereka menolong mengevakuasi Marlon dan Vania yang sudah tidak sadarkan diri dan melepaskan tangan Marlon yang terjepit di antara batu.

Para guru langsung menghubungi orang tua Vania dan paman dari Marlon, mereka membawa keduanya ke rumah sakit, namun naas bagi Marlon, diagnosa dokter mengatakan kalau syaraf di tangan Marlon sudah hancur akibat terjepit di batu dan untuk menyembuhkannya membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Akhirnya dengan berat hati dan karena tidak mau membebani paman nya, Marlon mengambil opsi kedua yaitu mengamputasi lengan kiri nya.

Semenjak itu, kehidupan Marlon tidak sama seperti sebelumnya, banyak siswa pria di sekolahnya yang mencibir dirinya karena menganggap dia sok pahlawan di hadapan Vania yang merupakan idola angkatan mereka. Tidak sedikit dari mereka yang merundung Marlon karena kesal dan bahkan samapai memukulinya. Bahkan para guru dan orang tua Vania menyalahkan Marlon atas kejadian yang menimpa Vania.

Bukan hanya dari keluarga Vania, sikap paman dan bibi Marlon pun menjadi berubah karena Marlon yang sok pahlawan menolong Vania dan membuat orang tua Vania jadi menekan mereka karena meminta ganti rugi. “Harusnya biarkan saja dia mati,” ujar paman nya kepada sang bibi ketika Marlon tidak ada, namun Marlon mematung berdiri di balik dinding mendengar nya.

Lalu karena tidak tahan tinggal di rumah itu, Marlon minta di pindah keluar kota tempat kotanya menetap sekarang dan meneruskan sma di sana. Pamannya mengabulkan nya, dia rela membiayai sekolah Marlon, namun Marlon harus mencari penghasilan sendiri untuk biaya hidupnya. Dengan terseok seok, setiap pulang sekolah Marlon bekerja sampai malam hanya demi memenuhi kebutuhannya, sampai Vania akhirnya pindah dan masuk ke sekolahnya.

Vania melarikan diri dari rumah dan menyusul Marlon atas bantuan dari nenek nya yang ternyata satu kota dengan Marlon. Setelah tinggal bersama sampai lulus kuliah, mereka memutuskan menikah, namun setelah mereka menikah selama 3 tahun, sang nenek meninggal, sikap Vania terhadap Marlon mulai berubah total. Dia berubah seakan akan membenci Marlon dan ingin berpisah dengan nya, dia juga memutuskan untuk kembali ke keluarganya sampai membuat Marlon menjadi seorang menantu yang tidak di inginkan di dalam keluarganya.

Sejak itu, caki maki dan tuduhan tuduhan yang tidak masuk akal terus di tujukan kepada Marlon dari papa mertua, ibu mertua dan kakak ipar nya (end flashback). Setelah selesai makan, Marlon keluar dari kamar untuk mandi, namun ketika dia keluar, Vania sudah tidak ada di ruang tengah, di meja hanya ada secarik kertas bertuliskan, “aku pergi sama teman temanku.”

“Pergi sama teman teman ? jam segini ?” Tanya Marlon dalam hati sambil membaca note nya.

Chapter 2

Keesokan paginya, Marlon terbangun, dia duduk di atas tempat tidurnya, “krrrk....krrrk.” terdengar suara Vania di sebelahnya yang masih mendengkur tidur. Marlon melihat Vania masih mengenakan pakaian pergi nya kemarin yang dia sendiri tidak tahu punya siapa pakaian yang di pakai istrinya, sebab dia tahu Vania tidak memiliki pakaian yang serba terbuka seperti yang sedang di pakainya sekarang.

“Dling.” Sebuah pesan masuk ke smartphone Vania yang berada di sebelah nya. Tanpa sengaja Marlon melihatnya, isi pesannya, “nanti malam kita keluar lagi ya, sayang.” Marlon mengucek matanya memperhatikan benar atau tidak pesan yang dia lihat itu. Dia juga melihat siapa pengirim nya,

“Ditto ? dia masih berhubungan dengan Ditto ?” tanya Marlon dalam hati sambil melihat Vania yang tertidur.

Ditto adalah seorang senior ketika Marlon dan Vania masih kuliah, dia selalu mendekati Vania dan selalu menjelek jelekkan dirinya karena dirinya berlengan satu dan miskin. Ditto memang anak dari ceo perusahaan yang mengelola restoran berantai yang tersebar seantero negeri, kehidupannya selalu glamor dan sering bergonta ganti pasangan.

Marlon masih berusaha berpikir positif, dia turun dari tempat tidurnya dan menyelimuti tubuh Vania, kemudian dia keluar kamar sambil melihat smartphone nya, berharap ada panggilan pekerjaan walau baru sehari. Marlon membuatkan sarapan untuk dirinya dan Vania menggunakan sebelah tangannya, walau hanya roti tawar isi daging asap dan telur rebus, baginya sudah cukup mewah dan mudah di buat.

“Huaaaah.” Vania keluar dari kamar, dia melihat Marlon yang duduk di meja makan dan langsung membuang wajahnya ke arah lain kemudian duduk di sofa sambil melihat smartphone nya,

“Kamu masih berhubungan dengan kak Ditto ?” tanya Marlon.

“Kenapa memangnya ? Bukan urusan mu kan !” bentak Vania ketus.

“Tentu saja urusanku, kamu kan tahu kak Ditto orangnya seperti apa,” balas Marlon dengan nada sedikit tinggi.

“Hah ? kamu marah ? cari kerja dulu sana, baru boleh marah,” balas Vania ketus.

“Tapi kenapa kamu masih menghubungi dia ?” tanya Marlon.

“Terserah aku, aku bosan di rumah, aku ingin keluar,” jawab Vania.

“Iya, tapi kenapa sama dia,” Balas Marlon lagi.

“Kamu berisik ya, aku mau pergi,” Vania berdiri dan berjalan masuk kembali ke kamar kemudian menutupnya dengan membanting pintu.

Karena yang melihat Vania marah ketika dia menegurnya, Marlon menutup wajahnya menggunakan tangan nya, nafsu makannya mendadak hilang, dia berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Setelah selesai, dia keluar dari rumah tanpa pamit kepada Vania yang tidak keluar lagi dari kamar. Dia berjalan keluar dari kontrakannya, banyak tetangga yang bergosip melihat dirinya ketika dia melewati mereka.

Tanpa memperdulikannya walau dia mendengar apa yang di bicarakan dan menusuk hatinya, dia terus berjalan mempertebal telinganya juga emosi nya agar tidak terpancing.

Sepanjang jalan dia terus memperhatikan smartphone nya, tapi tidak ada satupun pesan yang masuk. Tiba tiba teleponnya berbunyi, dia melihat paman menelponnya,

“Halo Marlon,” sapa paman.

“Halo om, tumben telepon aku ?” tanya Marlon curiga.

“Iya, kamu apa kabar ?” tanya paman baik baik.

“Baik baik saja paman, ada apa menelpon ku ?” tanya Marlon yang malah bertambah curiga karena paman berbicara baik.

“Begini, om kan sedang mencicil mobil untuk keperluan kerja, tapi bulan ini lagi ada kendala di pekerjaan, boleh tidak om pinjam uang, tidak besar kok, hanya segini (menyebutkan jumlahnya),” jawab paman.

“Hah, aku tidak punya uang segitu om,” balas Marlon.

“Tolonglah Marlon, om hanya kali ini saja minta bantuan mu, kamu kan punya mobil, bisa tidak di gadaikan dulu, nanti om yang tebus,” ujar paman memaksa.

“Mobil ku sudah di jual, om. Aku sekarang tidak pakai kendaraan, lagipula waktu itu yang pakai mobil bukan aku, tapi Vania. Om kan tahu aku tidak bisa menyetir karena kondisi ku,” balas Marlon.

“Atau kamu pinjam sama mertua kamu, ayolah Marlon bantu om,” ujar paman.

“Tidak bisa, om. Aku tidak bisa pinjam ke papa mertua, kan om tahu hubungan aku dan mereka tidak baik karena kejadian dulu,” balas Marlon.

“Jadi kamu tidak mau menolong, om nih. Kamu sudah lupa ya, yang membesarkan kamu om dan tante,” balas paman mulai sedikit kencang.

“Loh kok gitu, aku benar benar tidak bisa menolong saat ini om, aku tidak bohong,” ujar Marlon membela diri.

“Baiklah, mulai hari ini kamu tidak usah pakai nama belakang ku lagi, kita putus hubungan....tuuut...tuuut...tuuut,” telepon di putus.

“Loh kok gitu ? om.....om,” teriak Marlon.

Dia menutup teleponnya, kepalanya menjadi semakin pusing, dia ingin menolong pamannya, tapi memang saat ini dia tidak bisa. Marlon tertegun sambil melihat smartphone nya. Tiba tiba smartphone nya berbunyi dan dia mengangkatnya,

“Om ?” Tanya Marlon yang tidak melihat siapa penelponnya.

“Maaf, apa benar ini dengan tuan Marlon ?” tanya suara seorang wanita di telepon.

“Iya benar, maaf, aku pikir om ku, maaf ini dengan siapa ?” tanya Marlon sambil melihat nomor yang tertera di layar dan tidak dia kenal.

“Apa benar anda memasukkan lowongan pekerjaan di tempat kami ?” tanya wanita itu.

“Um....aku tidak tahu juga, tapi memang semua yang ada di situs lowongan itu aku masukkan, nama perusahaannya apa ?” tanya Marlon.

“Itu tidak penting, anda adalah pelamar kami satu satunya, setelah mempelajari cv anda, kami mengundang anda untuk langsung bekerja pada kami, gaji yang kami tawarkan adalah (menyebutkan angkanya),”

“Hah...benarkah, gajinya besar sekali, tapi apa anda tidak salah nih ? aku hanya memiliki sebelah tangan seperti yang ku tulis di cv ku, apa tidak masalah ?” tanya Marlon dengan hati berdebar debar.

“Tidak salah dan tidak masalah, baiklah, saya akan mengirimkan pesan untuk alamat lokasi kerja anda dan peta alamat nya, mohon besok datang jam 9.00, terima kasih, semoga hari anda menyenangkan....tuuut...tuuut,” telepon di tutup.

Marlon tertegun, wajah yang sebelumnya terlihat suram, langsung di penuhi senyuman yang lebar  dan berseri seri,

“Aku harus segera pulang dan memberitahu Vania,” ujarnya dalam hati yang mendadak menjadi ladang bunga.

Marlon langung berbalik dan berlari pulang dengan perasaan berbunga bunga. Tapi ketika sampai di depan kontrakan, dia melihat sebuah mobil sedan yang cukup mewah dan hanya ada pengemudi mobil di dalamnya. Karena berpikir bukan urusannya, dia melangkah menuju ke pintu kontrakan nya. Ketika tangannya sudah memegang handle pintu, dia mendengar suara orang yang sedang bercumbu di dalam.

Langsung saja dia membuka pintu dan menerobos masuk, dia melepas sepatu kemudian berjalan ke ruang tengah yang ternyata kosong, tapi dia melihat pakaian Vania yang di pakainya berserakan di lantai, kemudian dia mempertajam telinganya dan mendengar suara dari kamarnya, dengan perlahan dia mendekati kamarnya, tangannya memegang handle pintu dengan gemetar, dia menelan saliva nya untuk mempersiapkan diri. “Blak.” Marlon membuka pintunya.

Matanya langsung membulat, dia melihat istrinya yang hanya memakai pakaian dalam sedang berciuman mesra dengan seorang pria bertubuh besar yang sudah setengah telanjang di atas tempat tidurnya. Marlon mengenali pria itu,

“Vania ? kenapa kak Ditto ada disini ?” tanya Marlon.

Mendengar pertanyaan Marlon, Ditto terlihat kaget tapi Vania langsung menenangkan nya, kemudian Vania bangun dan berdiri, dia menghampiri Marlon,

“Ke..kenapa dia di sini Vania ?” tanya Marlon lagi.

Tangan nya sudah mengepal dan gemetar karena emosinya sudah memuncak sampai melewati batas maksimal.

“Kenapa ? karena aku mengundangnya, masalah ? tentu tidak kan, kamu sendiri siapa yang menyuruh pulang hah ? cari kerja sana,” jawab Vania.

“Blaaar.” Kepala Marlon meledak, dia langsung mendorong pundak Vania dengan sebelah tangannya, tapi Ditto berdiri menghampiri Marlon kemudian langsung mendorong Marlon keluar dari kamar dan tersenyum sinis memandangnya.

“Jangan sentuh Vania ku,” ujarnya di hadapan Marlon.

“A...apa ? kamu bilang apa kak Ditto ? Vania mu ? aku suaminya...” Teriak Marlon.

“Lalu kenapa kalau kamu suaminya, memang kamu bisa memberi Vania apa ? di ranjang pun susah dengan tangan yang hanya satu itu kan hahaha,” ejek Ditto.

“Keterlaluan kamu...” Bentak Marlon.

Dia langsung menerjang maju, tapi apa daya, tenaganya kalah kuat dari pria bertubuh besar nan kekar bernama Ditto di depannya dan dia malah terpental jauh ke belakang menghantam meja di ruang tengah. Marlon bangkit perlahan, dia melihat Vania hanya melihat nya saja dan tidak menolongnya sama sekali, malah Vania bertanya pada Ditto apa Marlon menyakitinya atau tidak. Hati Marlon benar benar hancur, akhirnya sesuatu yang sudah dia simpan lama keluar dari mulutnya.

“Kamu keterlaluan Vania, aku menjadi buntung seperti ini demi kamu !” bentak Marlon.

Vania terdiam, dia membuang wajahnya menoleh ke arah lain sambil melipat tangan di dadanya seperti tidak merasakan apa apa,

“Ya, aku tahu, makanya aku bertanggung jawab menikahi mu, tapi sekarang sudah dong, bebaskan aku,” ujar Vania.

Bukannya sadar, Vania malah memojokkan Marlon dengan mengatakan Marlon adalah anak yatim piatu yang tidak punya apa apa dan dia menikahi Marlon hanya karena merasa hutang budi di tambah kasihan tanpa ada rasa cinta sama sekali. Marlon yang mendengar perkataan istrinya langsung menunduk, air matanya sudah tidak keluar lagi karena amarahnya sudah melewati puncaknya, dia memaksakan dirinya berdiri walau tubuhnya terasa sakit sekali.

Dengan tertatih, dia berjalan masuk ke kamarnya melewati kedua orang yang masih setengah telanjang di depan kamar, dia mengambil tas dan mengisi tas itu dengan pakaiannya, setelah selesai, dia berjalan keluar dari kontrakan tanpa menoleh sedikit pun kepada Vania dan Ditto yang sedang merangkul Vania sambil tersenyum melihat dirinya keluar, walau Vania nampak menoleh melihat ke arah lain sehingga wajahnya tidak terlihat.

Marlon dengan gontai berjalan tanpa arah, kepalanya benar benar pening dan tidak bisa berpikir sama sekali. Wanita yang dia cintai dari sejak smp sampai dia rela mengorbankan satu lengan nya, tidak menghargai dan tidak mencintai diri nya sama sekali. Perkataan Vania yang mengatakan kalau dia menikah dengan Marlon hanya untuk balas budi benar benar menusuk dan mengoyak hati Marlon. Air matanya mengucur dengan deras seperti bendungan jebol.

Dia benar benar merasa bodoh selama ini menahan caci maki mertua dan kakak iparnya dan teman teman Vania yang sering mencemoohnya hanya demi bisa bersama Vania.

“Aaaaaaaaaaaah,” Marlon mengeluarkan isi hatinya yang membuatnya sesak dengan teriakan keras tanpa memperdulikan sekelilingnya.

Setelah lega, dengan langkah terhuyung, dia meneruskan jalannya, kepala nya benar benar sudah blank atau kosong total, hidupnya sudah berakhir, yang ada di tatapan nya hanyalah jalan raya yang di penuhi banyak mobil yang melaju kencang di depannya.

Chapter 3

Marlon semakin dekat ke jalan raya, mobil mobil yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi, nampak sebagai penyelamat di mata nya. Dia benar benar sudah tidak merasa rugi sama sekali jika dia pergi ke alam lain atau dunia lain. Akhirnya dia keluar dari jalan menuju ke kontrakannya dan tiba di jalan tepi jalan raya, dengan langkah yang pasti dan mantap, Marlon melangkah masuk ke jalan raya.

“Teeeeet,”

Beberapa mobil menghindari Marlon dengan memberi klakson kencang, ada juga yang mengerem mendadak dan berteriak “goblok,” kepada dirinya, namun Marlon terus melangkah menyebrang jalan raya yang cukup lebar itu. Tiba tiba,

“Dooooooong,”

Kali ini yang menekan klakson bukanlah mobil biasa, melainkan sebuah truk pengangkut sampah yang kebetulan sedang berjalan di jalur cepat. Marlon menoleh dan tersenyum, bukannya melangkah pergi, dia malah berbalik menghadap ke truk yang sudah tidak mungkin mengerem lagi dan merentangkan sebelah tangannya seraya memejamkan mata.

“Dooooooong,”

“Awaaas bego,” teriak beberapa orang di tepi jalan.

Suara keras klakson dan pekikan banyak orang di tepi jalan, menjadi musik bagi telinganya, dia sama sekali tidak bergeming. Tapi tiba tiba, “duaaaak,” seseorang menabrak Marlon dan “uoooong,” truk langsung melewati Marlon. Beberapa mobil mengerem dan berhenti di depan Marlon. Karena kaget dan sedikit kesal sebab rencananya gagal, dia menoleh melihat siapa yang mendorongnya.

Marlon kaget bukan kepalang karena yang mendorong dirinya adalah seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun yang mengenakan seragam sd lusuh dan menjadi gelandangan demi mencukupi kebutuhan hidup, dia melihat anak itu telungkup dan menatap dirinya sambil tersenyum, dengan kantung bekas permen jatuh di depannya dan uang di dalam nya berceceran keluar. Anak itu berdiri dan menghampiri Marlon.

Kedua kakinya lecet dan terluka karena dia jatuh tersungkur, namun wajahnya tetap ceria dan malah dia menjulurkan tangannya kepada Marlon,

“Om ga apa apa ?” tanya nya.

“Hik....hik...hik,”

Marlon tidak menjawab, dia langsung menangis tersedu sedu dan memeluk anak kecil di depannya. Banyak orang yang mengerumuni mereka, memberikan tepuk tangan bagi sang pahlawan kecil dan tidak sedikit yang mengabadikan momen itu dengan smartphone mereka. Tak lama kemudian, seorang petugas polisi lalu lintas menghampiri mereka, dia jongkok di depan sang anak dan mengelus kepalanya, kemudian dia menolong Marlon berdiri dan membawa Marlon ke pos nya.

Setelah duduk di pos dan sudah sedikit tenang, dia menoleh melihat anak kecil yang juga ikut bersama mereka dan sedang di obati kakinya oleh seorang polwan. Marlon berdiri menghampiri sang anak,

“Terima kasih ya dek, kalau ga ada kamu, om pasti mati percuma, nama kamu siapa ?” tanya Marlon.

“Saya Andika om,” jawab sang anak.

“Dika rumahnya di mana ?” tanya Marlon.

“Di kolong jembatan om,” jawab Dika jujur.

Marlon terdiam sejenak, dia mengeluarkan dompet dan menarik keluar selembar uang pecahan 100 ribu, tapi tiba tiba Dika mengambil uangnya dan memasukkannya lagi ke dompet Marlon,

“Dika ga kerja om, jadi om ga perlu bayar Dika,” ujarnya sambil tersenyum sehingga giginya yang ompong terlihat.

Marlon tersenyum dan mengelus kepala Dika yang nampak lebih senang kepalanya di elus daripada di beri uang. Setelah itu, dia kembali duduk di kursi nya. Tak lama kemudian, sang polwan selesai mengobati Dika, dia langsung turun dan berjalan ke pintu keluar,

“Dika,” panggil Marlon.

“Apa om ?” tanya Dika sambil menoleh walau tangannya sudah memegang handle pintu.

“Suatu hari nanti, om pasti akan sukses, di saat itu, om akan datang jemput kamu,” jawab Marlon sambil tersenyum.

“Ok om, Dika tunggu ya, Dika pulang dulu ya om, nanti kalo ga di cariin emak,” balas Dika ceria.

“Iya, hati hati ya,” ujar Marlon.

“Iya om, om juga hati hati ya,” balas Dika.

“Klek,” Dika membuka pintunya dan berlari keluar dari pos polisi, Marlon sangat bersyukur karena dia di tolong oleh seorang malaikat berwujud gelandangan kecil yang tidak pernah di anggap orang sama sekali. Setelah di periksa oleh polisi, Marlon di ijinkan untuk pergi, dia berdiri dan melangkah keluar dari pos polisi.

Setelah itu, dia melangkah entah kemana hanya dengan uang 200 ribu rupiah di kantung nya dan tas punggung nya, namun sorot matanya berbeda dari sebelumnya, dia nampak menemukan cahaya yang meneranginya, senyum pun menghiasi wajahnya, tiba tiba “dling,” sebuah pesan masuk ke smartphone nya, dia menarik keluar smartphone nya dari kantung celananya.

Marlon sedikit kaget karena layar smartphone nya pecah, dia duduk di kursi yang di sediakan di trotoar kemudian dengan susah payah membuka layar smartphone yang semakin sulit di buka karena retak. Setelah melihat isi pesannya, harapan baru muncul di hatinya karena isi nya adalah alamat tempat wawancara dia besok dan share location nya. Dia menggenggam smartphone nya,

“Lihat saja Vania, aku akan sukses, aku akan tunjukkan pada mu kalau aku bisa dan ketika kamu sudah melihat semuanya, jangan harap aku akan kembali pada mu,” ujar Marlon penuh semangat.

Marlon melangkah dengan mantap menuju ke taman kota yang sepi untuk bermalam di sana karena di sana ada kamar mandi gratis.

******

Sementara itu, di kontrakan, setelah selesai bertukar peluh, Vania dan Ditto berbaring di ranjang dengan selimut menutupi tubuh mereka yang telanjang. Ditto menoleh melihat Vania yang nampak tertegun,

“Ada apa ?” tanya Ditto.

“Oh...ma – maaf, tidak apa apa,” jawab Vania.

“Kamu....masih memikirkan si buntung itu ?” tanya Ditto.

“Hah...siapa yang memikirkan dia, tidak mungkin lah,” jawab Vania.

“Akh,” tiba tiba Vania kaget dan menoleh melihat Ditto karena tangan Ditto meremas sebelah bukit kembarnya dan memilin pucuknya.

“Sudah, cukup,” ujar Vania menyingkirkan tangan Ditto dari dadanya.

“Haah...sudah jelas kamu masih memikirkan si buntung itu, baiklah, aku pergi,” ujar Ditto bangun dan duduk di ranjang.

Ditto menyalakan rokoknya dan berdiri memakai pakaiannya, Vania tidak bereaksi sama sekali, dia menutup dadanya menggunakan kedua lengannya dan menoleh melihat ke arah lain. Setelah keluar dari kontrakan, “duk,” Ditto menendang pot kosong di depan rumah,

“Sial, hati nya masih terpaut dengan si buntung itu, aku harus bisa mendapatkan dia demi mendekati orang tuanya dan memperluas bisnis ku....si buntung harus lenyap dari dunia ini,” ujar Ditto dalam hati karena geram.

Ditto mengambil smartphone nya di kantung, dia membuka layarnya dan menekan nekan layarnya, kemudian dia menelpon,

“Halo,” ujar seorang pria yang bersuara berat di sebelah sana.

“Ini aku, ada pekerjaan untuk mu dan anak buah mu,” balas Ditto.

“Siap bos,” balas pria bersuara berat di sebelah sana.

Sambil berjalan menuju mobilnya, Ditto mengutarakan seluruh rencananya kepada pria di telepon yang nampak antusias terdengar dari suara nya. Setelah itu, Ditto langsung menaiki mobilnya,

“Lama,” tegur seorang gadis cantik di dalam mobil.

“Sori sayang, tapi kamu sudah makan dulu kan tadi ?” tanya Ditto.

“Ya, aku sendiri baru datang ke mobil kamu kok,” jawab sang gadis.

“Ok, langsung saja ya,” balas Ditto.

“Tentu saja, aku sudah sejak tadi bergairah hehe, trus rencana nya berhasil ?” tanya sang gadis.

“Tentu saja sayang, dia sebentar lagi jadi milik ku dan perusahaan papa nya akan jatuh menjadi milik ku hahahaha,” jawab Ditto yang sudah merasa menang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!