NovelToon NovelToon

Cinta Beracun Pak Gustav

Bagian 01

“Shhh ... ah ....” Gladys meringis kecil memegang perutnya.

Rasa sakit tiba-tiba saja bergejolak, seolah ada tangan besar yang meremas rahimnya.

“Gladys? Kamu baik-baik saja?” Bu Rina, Dosen Pemasaran Strategis bertanya begitu melihat raut kesakitan di wajah mahasiswinya.

“Saya baik-baik saja, Bu. Cuma haid di hari pertama kok,” jawab Gladys tersenyum kecil.

“Saya lihat wajah kamu pucat sekali, setelah selesai presentasi kamu istirahat saja di UKK.”

Gladys mengangguk berterima kasih. “Baik, Bu.”

Ia melanjutkan kembali tugas miliknya, hari ini ada presentasi mandiri di kelas Pemasaran Strategis begitu selesai menjelaskan dan menjawab beberapa pertanyaan teman kelas Gladys mengemasi barang-barangnya dan keluar dari kelas.

Perempuan muda itu berjalan tertatih-tatih menahan sakit diperutnya yang kian menjadi, ia cengkeram notebook yang ia peluk di dada keras-keras hingga buku-buku tangannya memutih.

“Aku hamil, lagi,” ucap Gladys tempo hari menautkan jemarinya cemas.

Jujur saja dalam lubuk hati terdalamnya Gladys mau melahirkan anak ini, merawat dan membesarkannya, ia sudah cukup merasa berdosa setelah menggugurkan kandungannya yang pertama.

Akan tetapi ia tidak bisa memutuskan, hidup Gladys sepenuhnya dikendalikan oleh pria ini, pria yang bersedia memberikan fasilitas mewah yang Gladys minta dengan menukarkan harga diri dan tubuhnya.

 “Gugurkan,” perintah Gustav.

Wajah campuran Indonesia-Italia itu berujar tenang dari balik meja kerjanya tanpa melihat lawan bicara, ruangan bernuansa gelap itu terasa sesak bagi Gladys.

Wajah perempuan muda itu seketika pias.

“T—tapi aku ingin membesarkannya,” bantah perempuan itu memberanikan diri.

Gerakan tangan Gustav yang sedang bekerja seketika terhenti, ia mendongak perlahan dengan tatapan tajam  pada gadisnya membuat napas Gladys tercekat.

“Pahami tempatmu! Kau itu propertiku, akulah yang berhak mengatur hidup mati dan tubuhmu!” hardik Gustav marah.

Dia melempar pulpen mahal berlapis emas di tangan ke lantai hingga membuat Gladys terkejut dan ketakutan.

“Berani sekali kau mengaturku, pergi habisi anak itu segera atau kau yang akan ku habisi!”

Gladys keluar dari ruangan Gustav  menelan rasa kecewa.

Tanpa terasa air matanya jatuh, kaki Gladys sampai pada barisan toilet khusus siswi yang terpisah dari gedung belajar.

Bukannya ke UKK dia masuk ke bilik toilet paling ujung terpencil.

Menggantung tas serta melepaskan rok dan celana dalam yang ia kenakan, Gladys mendudukkan diri pada di kloset.

“Shh ... ah, sakit ...,” rintihnya memegang perut.

Sepertinya obat penggugur kandungan yang ia makan semalam sudah bereaksi, tadi pagi telah terjadi pendarahan kecil dan sekarang  rasa sakitnya jauh lebih besar.

Sakit, sakit sekali, rahimnya seperti di tarik-tarik dan kram hingga ke punggung, darah sedikit demi sedikit mengalir di kaki.

Gladys mengurut perutnya ke bawah dengan keras, sambil menggigit bibir meredam teriakan.

“Keluarlah! Keluar!”

Ia pukuli perutnya brutal, tangisnya pecah. Tangis sakit dan kecewa.

“Keluar dari rahimku!”

Gladys terus-terusan urut perut bawahnya keras-keras hingga ia rasakan suatu tarikan kuat memaksa segumpal daging keluar dari peranakannya bersama dengan darah segar yang banyak.

“Aahh ...!” teriak Gladys panjang kemudian jatuh bersandar lemas.

Kini perutnya terasa kosong dan lega tapi menyisakan rasa sakit luar biasa di bagian bawahnya.

Napasnya tersengal-sengal. Ia tatap daging merah yang baru keluar dari rahimnya tersebut yang tergeletak di bawah kaki.

Masih sangat kecil dengan bentuk tak karuan mirip katak. Pelan ia ambil janin itu lalu ia peluk di dada, mengabaikan bajunya yang terkena noda darah.

“Maaf,” lirih Gladys memaki diri sendiri dalam hati.

“Maaf, Maafkan aku.” Dan ia pun menangis sesenggukan tanpa suara.

Tiba-tiba saja suara ketukan terdengar dari luar.

Tok! Tok!

“Maaf ada orang di dalam? Kalau tidak saya buka ya.” Gladys mematung.

 

 

Bagian 02

“Maaf, maafkan aku ... aku nggak bisa membiarkanmu hidup atau hidupku yang akan hancur,” lirih Gladys sesak menggigit bibir kencang.

Gladys menangis tanpa suara, bermenit-menit kemudian setelah merasa lebih baik, ia bangkit dari kloset.

Gladys siram darah-darah kental di lantai dan badannya secara menyeluruh hingga bersih dan tidak lupa menyemprotkan parfum demi menyamarkan sisa bau anyir.

Ia pakai kembali celana dalam dan roknya merapikan penampilan serta membasuh wajahnya supaya terlihat lebih segar.

Gladys terlonjak kaget, lamunannya buyar karena tiba-tiba ada yang mengetuk pintu toilet.

“Ada orang di dalam? Kalau enggak saya buka ya?”

“Ada!” seru Gladys spontan.

Tiba-tiba dia panik, ia siram dan semprot parfum lebih banyak lagi begitu merasakan aroma darah masih bisa tercium.

Jantungnya berdetak cepat, siram, semprot, rapikan.

Gladys terburu-buru, ia raih tas berisi macbook yang di gantung dan meraih handle pintu tapi sebelum sempat memutar kunci perempuan itu melotot kaget melihat seonggok daging merah tergeletak di sudut.

“Oh shit!"

Ia lupa membereskan yang satu itu. Buru-buru Gladys mengambil janin kecil tersebut tanpa pikir panjang melemparnya ke dalam lubang kloset.

“Udah belum sih? Lama banget kebelet ini!” seru orang di luar.

“I—iya sebentar,” sahut Gladys gemetar menekan flush toilet berkali-kali tapi daging itu tak kunjung hanyut.

Sepertinya ukuran janin Gladys terlalu besar untuk di tampung oleh lubang toilet sekecil ini.

“Ayo, ayo masuk,” gumam Gladys setengah frustrasi karena usahanya tak kunjung berhasil.

“Cepetan woy!” si orang di balik pintu sudah tidak sabar.

Dengan nekat ia tekan daging merah itu ke bawah menggunakan kaki, flush dan barulah daging itu hilang tidak terlihat.

Gladys bernapas lega, cepat-cepat ia pakai kembali sepatunya lalu membuka pintu bilik toilet.

 “Lama banget sih?” cetus seorang gadis berambut pendek di depan pintu kesal.

Toilet penuh semua, sehingga dia memilih menunggui Gladys karena dia yang terlama di sini.

“Maaf, gue sakit perut tadi,” ucap Gladys tersenyum tidak enak hati.

“Minggir.”

 

 

***

 

Gladys memutuskan untuk pulang, toh sudah tidak ada kelas yang harus ia ikuti lagi hari ini.

Perempuan muda itu menghembuskan nafas lelah bersandar pada dinding lift. Ia di dalam sendirian. Tidak ada orang lain sehingga Gladys secara leluasa bisa melihat pantulan wajahnya di kaca.

Pucat. Wajahnya pucat sekali setelah kehilangan banyak darah barusan. Rona pink yang biasa menghiasi wajahnya juga menghilang hanya tersisa kulit pucat yang sedikit kusam.

Lift berdenting, pintu terbuka. Gladys berjalan gontai melalui lorong lantai delapan di mana unit apartemennya berada.

Badannya pegal-pegal dan sakit. Gladys mandi, mengganti pakaian serta mencuci baju yang ia pakai barusan lalu berbaring di atas kasur.

Di saat-saat seperti ini perasaannya selalu memburuk seperti awan gelap yang berdatangan menutupi matahari.

Ia raba-raba perutnya yang telah rata kembali, meresapi rasa perih yang tersisa di sana.

“Ini salahku, seandainya aku tidak egois aku tidak akan kehilangan kalian,” ucap Gladys.

Salahnya. Dua kali menghilangkan janin dalam perut dengan cara paksa tapi mau bagaimana lagi, Gladys sendiri tidak punya pilihan.

“Maafkan, aku. Maafkan mama, Nak.” Air mata berjatuhan.

Gladys sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal bersamaan akibat insiden kecelakaan di tempat kerja. Saat itu Gladys hancur.

Gladys yang memiliki mimpi bersekolah tinggi dan menjadi seorang ekonom ternama seketika down.

Kecelakaan itu bukan hanya merenggut nyawa orang tuanya tapi juga menghancurkan mimpi-mimpinya.

“Ayah, Mama, bangun. Jangan tinggalin Gladys, Gladys takut sendirian. Kalau kalian tidak ada siapa yang akan melindungi dan menyayangi aku.” Hari itu ia meraung keras. Menangisi mayat orang tuanya, menangisi hidupnya.

Gladys hidup mandiri sejak saat itu, ia bekerja paruh waktu melanjutkan sekolahnya sendirian. Saudara ayahnya banyak tapi semua orang berpaling dari darinya.

 Tidak ada yang sudi membantu anak yatim piatu itu bahkan sebutir besar sekalipun.

“Tante tidak bisa kasih kamu uang Gladys. Kamu kan tahu sendiri Tante juga hidup kesusahan,” ucap Tante Titi adik kandung ayahnya.

“Om juga tidak bisa bantu. Om single parents punya tanggungan banyak.”

Setelah pembicaraan itu mereka tidak pernah lagi menghubungi Gladys. Gadis muda itu luntang-lantung membiayai sekolahnya sendiri, ia belajar dengan giat dengan harapan mendapat beasiswa kuliah dari pemerintah.

Sayangnya Gladys gagal. Dia mengikuti tes dua kali tapi namanya tidak keluar.

Padahal Gladys miskin, ia layak mendapatkan bantuan pendidikan pemerintah tapi yang dapat malah anak orang kaya, anak-anak makmur yang memiliki gelang emas dan IPhone keluaran terbaru.

Temannya yang juga gagal juga berkata begitu, orang tua temannya akhirnya mengusahakan lewat jalur mandiri setelah anaknya gagal dua kali.

“Kok mereka bisa mendapat beasiswa dari pemerintah ya? Padahal outfit mereka keren-keren, cincin emas besar, IPhone terbaru, kalah sama aku, anak jalur mandiri yang bajunya itu-itu saja dan HP dua jutaan.”

Entahlah, entah apa yang salah. Namun, sejak itu Gladys berhenti berharap bisa kuliah lagi.

Tapi harapan itu muncul lagi ketika Gustav tiba-tiba saja datang padanya.

“Kamu anak yang baik dan cerdas, saya bersedia menjadi sponsor sekolahmu asalkan kamu menurut pada saya,” ucapnya hari itu.

Gladys yang polos dan naif menerima begitu saja uluran tangan orang asing bernama Gustav Elon itu.

Ia kembali ceria dan senang setelah masuk ke universitas swasta elite favoritnya tapi kesenangan sementara itu hancur pada hari di mana Gustav masuk ke kamar dan menelanjanginya.

Dan Gladys akhirnya paham arti dari kata ‘menurut’ yang terucap dari bibir Gustav.

Karena sudah terlanjur terikat, Gladys memasrahkan harga diri dan tubuhnya, ia juga menjadi terobsesi dengan nilai mulai hari itu.

Gladys belajar gila-gilaan agar lebih cepat lulus dan bisa melepaskan diri dari Gustav.

Lama merenung dan menangis ia akhirnya tertidur kelelahan.

 

 

***

 

“Eung?”

 

Gladys mengerjap-ngerjapkan matanya pelan merasakan usapan lembut di kepalanya, juga badannya terasa hangat dan nyaman.

“Tidur saja lagi, masih gelap,” ucap seseorang pelan lirih di telinga Gladys.

Perempuan itu mendongak ke atas menemukan wajah tampan Gustav yang berbaring di samping memeluknya.

Tubuh mereka menempel erat dengan ia yang tidur berbantalkan lengan pria itu dan wajahnya semula terbenam di dada telanjang Gustav.

“Kau tuli? Kubilang tidurlah lagi, hari masih gelap,” ujar Gustav kesal karena Gladys bukannya menjawab atau lanjut tidur malah melamun.

“Wajahku setampan itu ya sampai kau selalu terpana setiap kali menatapnya?” ejeknya tersenyum sombong.

“Aku lapar,” sahut Gladys. Ia bangun untuk duduk.

Gustav ikut bangun juga. “Kau mau makan apa malam-malam buta begini, angin? Kulkas kosong dan semua restoran sudah tutup.”

Gladys mengerjap. “Apa?” Refleks ia melihat jam dinding, pukul dua pagi.

Ternyata ia tertidur lama sekali setelah lelah menangis dari siang.

Gustav berdecih sinis, perempuan di sampingnya itu tidur dari siang seperti orang mati bahkan tidak ingat sama sekali saat dia datang dan tidak memberikan sambutan seperti biasa.

“Dasar tolol, seharusnya kau ingat untuk mengisi kulkas sebelum tidur seperti mayat!” sarkas Gustav.

Gladys menghela napas berat, pilihan terakhir adalah turun ke minimarket yang buka 24 jam di bawah dan makan makanan instan daripada kelaparan.

 Tapi niat itu urung begitu ingat terakhir kali makan mie instan ia sakit perut hebat. Gustav tersenyum mengejek karena bisa menebak isi pikiran gadisnya. Ia berdiri dengan wajah pongah.

“Aku membeli makanan sebelum ke sini, makanlah itu dan berterima kasihlah padaku.”

Wajah Gladys seketika menjadi cerah. Ia menuju dapur untuk melihat makanan yang dimaksud Gustav dan benar saja ada beberapa jenis lauk di atas meja.

Gladys menghangatkan semuanya termasuk nasi setelah itu makan dengan lahap. Perutnya lapar sekali karena belum makan apapun sejak siang tadi.

“Terima kasih,” ucap Gladys begitu Gustav menghampirinya ke meja makan. Gustav mendengus, ikut duduk tapi tidak makan.

“Kamu tidak lapar? Mau ku suapi?” tanya Gladys menawarkan diri.

“Kau mau aku menjadi gemuk makan jam segini?” hardik Gustav menaikkan alisnya kesal.

Seketika perempuan itu terdiam menarik sendoknya dari hadapan Gustav.

“Maaf, aku hanya berpikir mungkin kamu lapar.”

 

Gustav mendengus lagi. “Makanan itu untukmu, makanlah yang banyak dan jadilah babi.”

 Gladys menyuap kembali makanannya tanpa memedulikan ucapan-ucapan kasar Gustav, tidak sakit hati karena sudah terbiasa dia mendengar maki-makian itu.

Selesai makan, ia cuci piring dan gelasnya bersih.

Begitu berbalik ia melihat Gustav yang sudah rapi mengenakan bajunya kembali dan tangannya menyerahkan beberapa butir pil.

“Obat dan vitamin, agar kau cepat pulih.” Gladys tersenyum.

“Terima kasih,” ucapnya menenggak semua obat itu.

 

“Kau libur sementara, setelah pendarahan mu selesai kabari aku, ingat siapa pemilik tubuh ini!” perintahnya menekan bahu Gladys dengan telunjuk. Menegaskan kepemilikan.

Wajah Gladys meredup. “Baik.”

 Gustav memakai jasnya dan keluar dari apartemen Gladys tanpa kata setelahnya.

 

 

Bagian 03

Setelah kepergian Gustav, Gladys tidak bisa tidur lagi. Ia terus kepikiran dengan omongan terakhir pria itu alhasil dia memilih untuk membuka macbook dan belajar hingga pagi.

Menjelang siang, Gladys menutup macbook-nya dan beranjak mandi. Hari ini tidak ada kegiatan apapun di kampus, waktu ia manfaatkan untuk beristirahat seharian penuh memulihkan tenaga.

Saat tengah mengeringkan rambut dengan handuk fokus Gladys teralih pada denting notifikasi di ponselnya.

Ternyata dari grup matkul Pemasaran Strategis, Bu Rina mengirim file berisi nilai presentasi kemarin.

Gladys meng-klik file itu dan seketika senyumnya mengembang menemukan namanya ada di urutan teratas.

Gladys Anastasya  |   A+

Syukurlah usahanya tidak sia-sia meski harus di bayar dengan harga yang mahal sekali.

Notifikasi datang lagi, kali ini dari Mita teman akrab Gladys yang mengajaknya pergi ke pameran seni lukis di museum.

 

 

*** 

 

“Hai, Beb, sini-sini!” seru seorang gadis muda berperawakan kecil melambaikan tangannya pada Gladys dengan wajah cerah. Mata monolit nya melengkung ke bawah saat tersenyum, manis sekali. 

“Mit, udah lama?” tanya Gladys begitu sampai di depan Mita.

“Belum lima menit, yuk masuk pamerannya sudah di mulai dari tadi,” ajak Mita  dengan wajah antusias, ia gandeng tangan Gladys riang.

“Eh, eh, pelan-pelan,” ucap Gladys memegang perutnya yang agak nyeri.

Sesampainya di dalam, gedung museum terlihat sudah ramai oleh pengunjung dari berbagai kota.

Lukisan-lukisan karya seniman baru dan seniman lama di pajang pada dinding museum dengan pembatas setinggi lutut pada setiap karya seni.

Salah satu dari lukisan menarik perhatian Gladys, lukisan itu menggambarkan potret seseorang dengan dua sisi yang berbeda, sisi kanan terlihat indah dengan background langit cerah dan wajah tersenyum sementara sisi kiri sangat mengerikan, wajahnya pucat dengan luka menganga di pipi, mata yang mengeluarkan darah serta bayangan orang-orang berbentuk seperti zombie yang menariknya ke belakang,

“The Double,” gumam Gladys ketika matanya turun ke bawah membaca nama lukisan yang tertulis di papan tag.

“Lukisannya seram,” celetuk Mita.

Gladys mengangguk setuju. “Penggambaran dua sisi manusia, satu sisi terang yang ditunjukkan pada dunia dan satu lagi sisi gelap, trauma, luka, dan pilu yang ia simpan sendiri,” ucap Gladys.

Matanya kembali memandang lukisan tersebut, meresapi makna-makna di sana dan seketika dadanya sesak. Sesak karena entah mengapa Gladys rasa penggambaran makna lukisan ini mirip sekali dengan hidupnya saat ini.

 Seorang pria bertubuh tinggi mengenakan kemeja biru lengan pendek juga celana tailored slim fit warna hitam mendekati kedua gadis itu.

 “Lukisan ini menggambarkan manusia yang mengalami trauma dan ketakutan besar tapi luka-luka itu ia pilih untuk disimpan sendiri karena tidak ada yang benar-benar mengerti penderitaannya selain dirinya sendiri di dunia ini,” ujar pria itu panjang lebar ikut memandang lukisan di dinding.

Gladys dan Mita menoleh secara bersamaan pada pria itu. Mita seketika melongo dengan side profil si pria tampan yang bak keluar dari lukisan, rambutnya berwarna pirang dengan mata biru cerah dan garis jawline yang tegas.

Pria itu menoleh pada mereka, tersenyum kecil lalu mengulurkan tangannya yang berkulit putih kemerahan dengan urat-urat lengan yang tampak seksi.

“Halo, saya George Dawson, pelukis dari lukisan yang baru saja kalian lihat,” ucapnya memperkenalkan diri meski wajahnya bule sekali tapi dia sangat fasih bahasa Indonesia.

Mita menerima uluran tangan George dengan gerakan cepat. Kapan lagi ada pria tampan bak pangeran yang mengajak kenalan bukan? Ini keberuntungan bagi mereka.

“Hai, gue Sasmita, panggil saja Mita,” jawab gadis berperawakan mungil itu.

George tertawa kecil menyambut antusiasme Mita, ia menoleh pada gadis yang sedikit lebih tinggi dari temannya mengulurkan tangannya juga.

“Kalau yang ini?” tanya George.

“Gladys,” jawab perempuan itu menerima uluran tangan George ramah.

“Gladys, nama yang bagus,” puji George.

“Terima kasih.”

"Btw, lo bule kan? Bahasa Indonesia lo bagus,” puji Mita, sejak tadi matanya tidak beralih dari wajah tampan George.

“Saya mix, ibu saya orang Inggris.” Kedua gadis itu mengangguk-ngangguk.

“Kalian datang melihat pameran juga?” Kedua gadis itu mengangguk lagi.

“Mau saya temani keliling? Nanti saya bantu jelaskan juga seni-seni yang di pajang di sini.”

Gladys dan Mita saling pandang, Mita tersenyum antusias sementara Gladys juga tampak setuju dengan ajakan itu, kapan lagi ada seniman yang menawarkan diri menjadi tour guide seni secara cuma-cuma terlebih pada orang biasa seperti mereka.

“Boleh,” jawab Gladys.

Pergilah mereka keliling museum, George mengenalkan lukisan-lukisan keren yang ada di sana juga menjelaskan makna-makna yang dilukis serta teknik-teknik melukisnya.

Kedua teman itu menyimak dengan saksama, tetapi mata George lebih fokus pada Gladys, sesekali dia juga kepergok memandangi wajah Gladys sambil senyum-senyum.

“Boleh saya meminta nomor ponselmu?” tanya George pada Gladys setelah mereka selesai keliling.

Gladys diam, wajahnya tampak menimbang-nimbang pinta George tiba-tiba saja wajah marah Gustav dengan urat leher yang tampak ke permukaan dan rahang mengeras serta wajah merah terlintas di pikiran Gladys, perempuan itu menelan ludah kasar.

“Em, maaf aku tidak membagi nomorku dengan orang asing yang baru pertama kali bertemu,” ucapnya mencari aman, pria terakhir yang mencoba mendekatinya babak belur di tangan Gustav.

George terlihat kecewa tapi tetap berusaha tersenyum. “Oke, tapi berjanjilah kamu akan memberi nomormu jika kita bertemu lain kali.”

Gladys mengangguk setuju. “Kami harus pulang,” pamitnya.

“Hati-hati di jalan,” ucap George memandang punggung Gladys yang semakin menjauh.

 

 

***

 

Pagi berikutnya, Gladys sudah harus kembali ke kampus, sudah cukup bersedihnya kemarin karena hidup harus terus berjalan.

Aliran air dingin dari shower membasahi badan telanjang Gladys yang berdiri di bawahnya, Gladys memejamkan matanya menikmati sensasi dingin menusuk dari air yang mengaliri tubuh.

Gladys selalu mandi dengan air dingin mau se sejuk apapun udara pagi, baginya air ini bukan hanya membawa rasa dingin yang membuatnya mengigil tapi juga penenang yang membuatnya tetap waras di tengah gempuran masalah. Air dingin selalu menjadi pelarian Gladys di saat ia sedih.

Gladys terlonjak kecil ketika merasakan sepasang tangan besar tiba-tiba memeluknya dari belakang, mendongak dan ia menemukan wajah Gustav di belakang. Wajah pria itu terlihat lelah dan frustrasi.

Napas Gladys memberat ketika Gustav mengelus leher perempuan itu dengan tangan besarnya yang terlihat seperti sedang mencekik karena tangan Gustav langsung menutupi batang leher Gladys semua.

“Aku mau kamu,” ucap Gustav dengan napas berat.

“Bukankah kamu bilang aku boleh libur sementara waktu?” tolak Gladys halus.

Gustav tidak menjawab melainkan tangannya naik ke atas mengusap bibir bawah Gladys, merasakan sisa kehangatan dari sana di tengah dinginnya guyuran air shower.

“Yang ini tidak sakit kan?”

Gladys meremas tangannya kesal, mau marah tapi tidak punya hak, sial! Pria ini benar-benar tidak membiarkannya istirahat sedikit pun!

“Lakukan!” titah Gustav menyuruh Gladys berlutut.

 

***

 

Siangnya Gladys kembali ke kampus padahal baru dua hari lewat ia mengalami keguguran tapi seolah kejadian itu tidak berarti apa-apa Gladys dengan wajah tenang dan pakaian rapi kembali menjalani aktivitas seperti semula.

Rasa sedih itu tentu masih membekas tapi hidup harus terus berjalan, tidak ada gunanya ia berlarut-larut dalam kesedihan tidak akan ada yang mau mengerti dan peduli.

Gladys memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mahasiswa, begitu turun dari mobil ia mengernyit heran melihat para mahasiswa berlarian dengan wajah tergesa-gesa.

Gladys memanggil seorang mahasiswa yang merupakan teman sekelasnya. “Beni tunggu, apa yang terjadi ini kenapa semua orang kayak gelisah?”

 “Itu, Dys. Ada mahasiswa yang nemuin janin yang sudah membusuk di toilet perempuan.”

Jantung Gladys berdetak kencang, tanpa pikir panjang ia ikut berlari menuju ke arah toilet dan benar saja para mahasiswa sudah mengerumuni tempat itu.

“Permisi, permisi,” ucap Gladys menerobos kerumunan hingga ia bisa sampai di depan.

Wajahnya memucat begitu melihat seorang petugas keamanan keluar dari dalam bilik toilet dengan mengenakan sarung tangan dan masker menenteng sebuah kresek hitam di tangan.

Kaki Gladys melemas, itu adalah toilet yang Gladys masuki dua hari yang lalu, toilet tempat dia membuang janinnya.

Ya Tuhan ... bagaimana ini? Bagaimana jika ketahuan aku yang membuang janin di sana?

Gladys panik.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!