“Cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang mendoakan dalam diam.”
Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang bersinar terang. Arpani Zahra Ramadhani duduk di balkon rumahnya, menatap langit dengan senyum tipis. Di tangannya ada sebuah buku catatan kecil, tempat ia biasa menulis puisi-puisi sederhana.
"MasyaAllah... bintangnya indah banget malam ini." gumamnya pelan.
Namun, ada satu bintang yang paling mencuri perhatian. Tidak karena sinarnya paling terang, tapi karena mengingatkannya pada seseorang.
Fathir Alfarizi Mahendra.
Nama itu kini sering muncul di pikirannya. Awalnya hanya teman biasa, tapi percakapan sederhana mereka perlahan mengisi ruang kosong di hatinya.
Namun, ia sadar. Perasaan ini tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa arah. Arpa tahu, cinta sebelum halal hanyalah ujian. Ia takut melangkah terlalu jauh dan melukai hatinya sendiri.
"Kalau memang kamu takdirku, semoga Allah menjaga hatimu. Tapi kalau bukan, semoga Allah menghapus perasaan ini tanpa menyakitiku."
Angin malam meniup lembut rambutnya, seolah menjadi saksi bisu pergolakan hati yang sedang dialaminya.
...........................................
"Cinta yang benar adalah yang membawa semakin dekat pada Sang Pencipta, bukan yang menjerumuskan dalam kelalaian."
Matahari pagi perlahan menembus celah jendela kamar Arpani Zahra Ramadhani. Ia duduk bersimpuh di sajadah, mengusap wajahnya setelah menyelesaikan shalat Dhuha. Aroma teh manis yang baru diseduh ibunya mulai memenuhi ruangan.
"Ya Allah, mudahkanlah langkahku hari ini," gumam Arpa lirih, sebelum melipat sajadah dan merapikannya.
Arpa adalah gadis sederhana yang penuh semangat. Meski kadang hatinya penuh gelisah tentang masa depan, ia selalu berusaha menguatkan diri dengan mendekatkan diri kepada Allah. Hari ini, pikirannya kembali melayang ke masa depan yang masih terasa abu-abu. Ia masih belum yakin dengan pilihan kuliahnya setelah gagal masuk universitas impian tahun lalu.
Ponselnya bergetar di meja belajar. Ia menoleh dan melihat notifikasi dari WhatsApp. Nama pengirimnya membuat sudut bibirnya terangkat.
Fathir Alfarizi Mahendra.
"Assalamualaikum, Arpa."
Arpa tersenyum kecil. Ia mengenal Fathir dari masa sekolah dulu. Fathir adalah teman sekali Arpa yang pindahan dari pesantren Mereka tidak terlalu dekat, tapi cukup akrab untuk saling menyapa.
"Waalaikumsalam. Ada apa, Fath?" balasnya sambil menyesap teh hangat.
Tak butuh waktu lama, balasan masuk.
"Mau tanya, kamu jadi kuliah di UIN Malang ?"
Arpa menghela napas. Pertanyaan yang tampak sederhana, tapi menyimpan kepedihan di baliknya. Tahun lalu, ia hampir mendaftar di UIN Malang, namun tiba-tiba batal karena alasan keluarga.
"Ndak jadi… ada masalah tiba-tiba. Tahun depan insyaAllah," balasnya jujur.
Ada jeda beberapa menit sebelum Fathir kembali membalas.
"Oh, semangat ya. InsyaAllah ada hikmah di balik semua ini."
Arpa mengangguk sendiri membaca pesannya. Ia merasa nyaman dengan cara Fathir berbicara. Tidak banyak basa-basi, tapi selalu ada ketulusan dan nilai Islami dalam setiap kalimatnya.
"Aamiin. Kamu gimana? lanjut nyantri ya ?"
"Iya, alhamdulillah. Tapi sekarang lagi bingung soal metode pembelajarannya, ya masih proses penyesuaian diri ."
Arpa terkejut membaca balasan itu. Ia tidak menyangka Fathir menjalani kuliah dan pesantren sekaligus.
"MasyaAllah, keren banget. Pasti berat ya, kuliah sambil nyantri?"
Fathir membalas dengan cepat, "Iya, kadang berat. Tapi justru itu yang membuat aku merasa lebih dekat sama Allah. Capeknya jadi berkah insyaAllah."
Jawaban itu membuat hati Arpa hangat. Ia mengagumi keteguhan Fathir yang bisa menjalani pendidikan akademik sekaligus memperdalam ilmu agama.
"Semoga Allah mudahkan semua urusanmu, Fath."
"Aamiin. Makasih, Arpa. Semoga kamu juga dimudahkan kuliahnya nanti."
Arpa duduk di teras rumahnya, membaca Al-Qur’an sambil menunggu adzan Ashar. Ia merasa tenang di sore hari seperti ini. Setelah selesai membaca beberapa halaman, ia menutup mushaf dan mengusap wajahnya.
Ponselnya kembali bergetar.
Fathir: "Udah tanya sepupumu soal kuliah di Malang?"
Arpa: "Iya. Katanya sistem di kampus Islam seperti itu memang ketat. Tapi bagus buat ngasah ilmu agama."
Fathir: "Betul banget. Di ma’had aku, selain kuliah biasa, ada jadwal wajib hafalan Qur’an. Berat tapi berkah."
Arpa: "MasyaAllah. Aku jadi pengen juga kuliah di tempat kayak gitu."
Fathir: "Kalau niatnya karena Allah, insyaAllah selalu ada jalan."
Adzan Ashar berkumandang dari masjid dekat rumah Arpa.
"Ashar dulu ya, jangan lupa shalat," tulis Arpa.
"Siap. Jazakillah khair sudah ingatkan."
Arpa tersenyum. Ia tahu percakapan ini sederhana, tapi memiliki makna lebih. Ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh, tapi ia berusaha menjaga hatinya agar tidak larut dalam perasaan yang belum halal.
Malam Hari
Fathir duduk di kamarnya di pondok, membuka Al-Qur’an sebelum tidur. Ia membaca beberapa ayat, lalu menutup mushaf sambil menatap langit dari jendela kamarnya.
Pikirannya melayang pada percakapannya dengan Arpa. Ia sadar ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya. Tapi sebagai seorang santri, ia tahu harus menjaga hati.
"Ya Allah, jangan biarkan aku jatuh pada perasaan yang salah. Jika ini hanya ujian, kuatkan aku."
Ponselnya berbunyi. Pesan dari Arpa.
Arpa: "Malam ini bintangnya terang banget. MasyaAllah."
Fathir melirik ke luar jendela. Ia tersenyum kecil.
Fathir: "Iya, aku juga lihat. Rasulullah pernah bersabda, ‘Orang yang berdzikir seperti orang hidup, dan yang tidak seperti orang mati.’ Kadang bintang itu kayak hati kita. Ada yang terang karena dzikir, ada yang redup karena lalai."
Arpa: "MasyaAllah, terima kasih udah ingetin. Aku kadang masih sering lalai."
Fathir: "Aku juga. Makanya penting saling mengingatkan. Semoga kita terus jadi bintang yang bersinar di hati kita masing-masing."
Arpa terdiam sejenak membaca pesan itu. Ia merasa ada pesan tersembunyi di balik kata-kata Fathir.
Arpa: "Fath, menurutmu gimana caranya menjaga hati biar nggak larut sama perasaan?"
Balasan Fathir agak lama.
Fathir: "Guru di pondok pernah bilang, kalau suka sama seseorang, doakan dia. Jangan terlalu dekat, supaya nggak membuat hati jadi lemah. Kalau memang jodoh, Allah yang mendekatkan. Kalau bukan, Allah yang menjauhkan tanpa menyakitkan."
Arpa membaca pesan itu berulang kali. Ia merasa tersentuh.
Ara: "InsyaAllah. Aku bakal coba menjaga hati. Makasih udah ngingetin."
Fathir: "Sama-sama. Semoga Allah menjaga hati kita."
Malam itu, dua hati saling terhubung lewat kata-kata yang sederhana namun bermakna. Tidak ada janji manis, tidak ada ungkapan cinta. Hanya doa dan harapan agar semuanya tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Percakapan malam itu berakhir dengan sederhana, tapi membekas.
Sebelum tidur, Ara menutup matanya dan berdoa.
"Ya Allah, jika dia baik untukku, dekatkanlah. Tapi jika tidak, jauhkanlah perasaan ini tanpa menyakitiku."
Fathir’s POV
Di kamarnya yang sederhana di asrama , Fathir duduk termenung menatap layar ponselnya. Percakapan dengan Arpa malam ini membuat hatinya bergejolak.
"Kenapa aku malah jadi begini? Bukankah seharusnya aku fokus belajar?"
Namun, ia sadar. Perasaan yang muncul itu bukan hal yang salah, tapi harus dijaga. Ia teringat ucapan gurunya di pesantren.
"Cinta sebelum halal itu ujian. Kalau mampu menjaganya, Allah akan memuliakanmu. Tapi jika gagal, bisa jadi itu sumber penyesalan."
Fathir mengambil mushaf Al-Qur’an di meja kecilnya dan mulai membaca beberapa ayat sebelum tidur.
"Ya Allah, kuatkan aku menjaga hati ini. Jangan biarkan aku terlarut dalam perasaan yang belum halal."
Malam itu, dua hati yang terhubung dalam doa masing-masing memulai kisah mereka. Tidak ada janji, tidak ada kata cinta. Hanya harapan dalam diam dan upaya menjaga hati di jalan yang diridhai-Nya.
“Bukankah cinta yang paling indah adalah yang diperjuangkan dengan doa?”
Di balik percakapan ringan dan canda sederhana, ada dua hati yang perlahan saling mengenal. Tapi lebih dari itu, mereka berusaha menjaga batas agar perasaan yang tumbuh tetap berada dalam koridor syariat. Karena cinta sejati bukan tentang seberapa dekat jarak, tapi seberapa kuat doa yang dipanjatkan dalam diam.
“Bukankah cinta yang paling indah adalah yang diperjuangkan dengan doa?”
"Hati yang bersih adalah hati yang terjaga dari cinta yang belum halal. Ia hanya akan ditempati oleh cinta yang diberkahi oleh-Nya."
Pagi yang Baru
Mentari pagi perlahan muncul di ufuk timur, menyinari halaman pondok pesantren Al-Furqan. Suasana pagi di pesantren selalu membawa kedamaian bagi Fathir Alfarizi Mahendra. Burung-burung bernyanyi, angin sejuk menyapa wajah, dan gemericik air dari kolam kecil di sudut taman pondok menambah ketenangan.
Setelah menyelesaikan shalat Dhuha, Fathir duduk di bawah pohon mangga di halaman pondok, membuka kitab tafsir yang menjadi tugas kuliahnya minggu ini. Sambil mencatat beberapa poin penting, pikirannya tak sepenuhnya fokus. Ia menyadari hatinya sedang tidak tenang.
"Kenapa aku jadi begini?" gumamnya lirih.
Sejak percakapan semalam dengan Arpani Zahra Ramadhani, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata gadis itu. Meskipun tak pernah ada kata cinta yang terucap, Fathir merasakan ada ikatan halus yang mulai terjalin di antara mereka.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Hati ini ujian," batinnya.
Guru-guru di pondok sering mengingatkan pentingnya menjaga hati. Cinta sebelum halal bisa menjadi fitnah jika tidak dijaga dengan baik. Fathir tahu ini ujian bagi dirinya. Ia harus kuat, tidak boleh larut dalam perasaan yang bisa menjerumuskannya dalam dosa.
"Kalau suka sama seseorang, doakan dia dalam diam. Jangan biarkan setan masuk melalui celah-celah hati yang rapuh."
Itulah pesan yang selalu diingatnya dari Ustadz Abdul Muhaimin, guru pembimbing di pondok.
Sementara itu, di Rumah Arpa
Di rumah yang tenang di pinggiran kota, Arpa sedang sibuk mengajar anak-anak mengaji di ruang tamu. Setiap sore, ia meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak tetangga mengaji Al-Qur’an. Meski belum kuliah, ia merasa senang bisa bermanfaat untuk orang lain.
“Huruf ini namanya apa, Dinda?” tanya Arpa sambil menunjuk huruf hijaiyah di buku.
“Fa!” jawab anak kecil berumur lima tahun itu dengan semangat.
“Bagus! Sekarang coba dibaca,” ujar Arpa sambil tersenyum.
Setelah selesai mengajar, Arpa duduk di teras rumah sambil menikmati segelas teh hangat. Pikirannya kembali melayang ke percakapan semalam dengan Fathir. Ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan.
Namun, di balik kehangatan itu, ada kecemasan yang ia rasakan.
"Aku takut terlalu larut dalam perasaan ini," batinnya.
Arpa tahu betul bahwa dalam Islam, menjaga hati adalah sebuah kewajiban. Ia tidak ingin membiarkan dirinya terlalu dekat dengan Fathir tanpa ada kejelasan hubungan yang halal. Tapi di sisi lain, ia juga merasa nyaman berbicara dengannya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Nayla, sahabat dekatnya.
Nayla: "Arpa! Aku punya kabar bahagia! Aku diterima di UIN Jakarta! 😆"
Arpa: "MasyaAllah! Selamat yaa, Nay! Aku ikut senang banget!"
Nayla: "Makanya kamu juga harus semangat buat kuliah tahun depan. Jangan sampai ketinggalan!"
Arpa: "Iyaaa, insyaAllah. Doain ya."
Membaca pesan itu membuat Arpa semakin termotivasi untuk melanjutkan kuliah tahun depan. Ia ingin memperbaiki diri, bukan hanya dalam pendidikan tapi juga dalam menjaga hati.
Sore di Pondok Pesantren
Di pondok, Fathir sedang berkumpul bersama teman-teman sekamarnya di asrama. Mereka duduk melingkar sambil membahas tugas kuliah yang cukup rumit minggu ini.
Irwansyah Pratama, teman sekamar sekaligus sahabat Fathir, menepuk pundaknya.
“Bro, kamu kenapa? Dari tadi diem aja. Lagi mikirin tugas apa mikirin yang lain?” godanya sambil tertawa.
Fathir tersenyum kecil.
“Enggak, aku cuma mikirin tugas tafsir ini. Susah banget bahasanya,” jawabnya setengah berbohong.
Irwansyah mengerutkan kening, lalu mendekat.
“Fath, gue tahu lo bukan tipe orang yang gampang kepikiran soal tugas. Ada yang lo pikirin, kan?”
Fathir terdiam sejenak, lalu menghela napas.
“Aku cuma lagi mikirin soal hati,” jawabnya pelan.
Irwansyah tersenyum lebar. “Wih, ini baru seru. Jangan-jangan ada cewek yang masuk ke hati lo ya?”
Fathir tersenyum canggung. Ia tak suka membicarakan hal seperti ini terlalu terbuka, tapi Irwansyah adalah orang yang paling dekat dengannya di pondok.
“Ada... tapi aku bingung. Aku takut kalau ini cuma ujian yang bikin aku lalai,” ucapnya jujur.
Irwansyah menepuk pundaknya.
“Bro, perasaan itu fitrah. Yang penting gimana cara kita mengelolanya. Kalau memang lo ngerasa ini bisa bikin lalai, lo harus tegas. Tapi kalau lo bisa menjaga perasaan itu dengan baik, kenapa harus takut?”
Fathir merenung mendengar ucapan Irwansyah. Ia sadar bahwa perasaan cinta bukanlah hal yang salah, tapi bagaimana ia mengelolanya adalah kuncinya.
“Aku takut terlalu dekat sama dia. Aku takut melukai dia atau malah melukai diriku sendiri,” jawab Fathir pelan.
Irwansyah tersenyum bijak. “Kalau gitu, doakan dia. Kadang, doa adalah cara terbaik buat mencintai seseorang tanpa melanggar batas.”
Malam Hari: Pesan yang Menggetarkan Hati
Setelah selesai shalat Isya dan mengaji di pondok, Fathir kembali ke kamarnya. Ia membuka ponselnya dan melihat notifikasi pesan dari Arpa.
Arpa: "Fath, kamu pernah ngerasa bingung soal perasaan nggak?"
Fathir terkejut membaca pesan itu. Ia tidak menyangka Arpa akan mengirimkan pesan seperti ini.
Fathir: "Iya, kadang aku juga bingung. Kenapa nanya gitu?"
Arpa: "Aku cuma lagi mikir. Kadang perasaan itu kayak benang kusut. Semakin dicari ujungnya, malah makin kusut."
Fathir terdiam sejenak sebelum membalas.
Fathir: "Aku ngerti maksudmu. Aku juga pernah ngerasain itu. Tapi guru di pondok pernah bilang, kalau kita bingung soal perasaan, coba serahin sama Allah. Doain orang yang kita pikirin, tapi jangan terlalu berharap. Karena kadang Allah kasih perasaan itu cuma buat nguji kita."
Pesan itu membuat Arpa termenung. Ia merasa Fathir selalu punya jawaban bijak untuk kegelisahannya.
Arpa: "Aku takut kalau aku terlalu larut. Aku takut melukai diriku sendiri."
Fathir: "Aku juga. Tapi aku percaya kalau kita sama-sama berusaha menjaga hati, insyaAllah nggak ada yang tersakiti. Doa adalah cara terbaik untuk merawat rasa ini."
Ada jeda panjang setelah pesan itu.
Lalu Arpa mengirim pesan lagi.
Arpa: "Fath, kamu pernah mendoakan aku?"
Pertanyaan itu membuat Fathir terdiam lama. Ia menatap layar ponselnya sambil berpikir keras.
Akhirnya ia mengetik,
Fathir: "Iya, aku pernah. Aku mendoakan kamu dalam diam. Aku nggak tahu apakah ini benar atau salah, tapi aku cuma minta sama Allah supaya hati ini tetap bersih."
Di seberang sana, Arpa membaca pesan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasakan ketulusan dalam kata-kata Fathir.
Arpa: "Makasih ya, Fath. Aku juga sering mendoakan kamu. Semoga kita sama-sama bisa menjaga hati ini sampai waktunya tiba."
Refleksi Malam Itu
Malam itu, di dua tempat berbeda, dua hati saling terhubung melalui doa-doa yang dilantunkan dalam keheningan.
Fathir mengambil air wudhu dan menunaikan shalat Tahajjud. Dalam sujudnya, ia berdoa dengan tulus,
"Ya Allah, jika dia memang takdirku, dekatkanlah hatinya padaku dengan cara yang Engkau ridhoi. Tapi jika dia bukan untukku, tolong jauhkan rasa ini tanpa menyakitiku ataupun dirinya."
Di waktu yang hampir bersamaan, Arpa juga melantunkan doa serupa.
"Ya Allah, bimbing aku untuk menjaga hati ini. Jangan biarkan aku mencintai sesuatu melebihi cinta-Mu."
Mereka sama-sama sadar, cinta yang sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang menjaga dan merawatnya dalam doa.
Malam itu mengajarkan mereka satu hal penting: terkadang, jarak bukan musuh dari cinta. Justru jarak adalah penjaga terbaik agar hati tetap bersih dan suci.
Karena cinta yang baik adalah cinta yang dipelihara oleh Allah, bukan oleh nafsu manusia.
“Doa dalam diam adalah bukti cinta yang paling tulus.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!