NovelToon NovelToon

Mr. D

Prolog

Hujan turun dengan deras, membasahi jendela ruang kerja yang remang. Di balik meja kayu besar, terlihat seorang pria duduk tegap, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme yang tidak beraturan. Matanya tajam menatap layar ponsel yang baru saja menunjukkan sebuah pesan singkat dari ibunya.

Kau harus menikah dengannya, Daniel. Ini bukan permintaan. Ini keinginan terakhirku sebagai ibumu.

Daniel Dartanto menarik napas dalam. Rahangnya mengeras. Ia membaca pesan itu berulang kali, kepalanya terasa berat memastikan bahwa ini bukan sekadar lelucon atau pesan yang bisa ia abaikan begitu saja. Beberapa hari terakhir ibunya berulang kali mengirimkan pesan yang sama. Bahkan terkadang ketika bertemu di rumah ataupun kantor ucapan yang sama selalu dilontarkan untuk anak laki-laki sematawayangnya itu. Ibu nya benar-benar tidak main-main dengan ucapannya.

Menikah? Dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui?

Sungguh gila. Dia hanya sekedar mengenal gadis itu, dan tau bagaimana cerita Ibu nya bisa mengenal gadis itu. Tapi dia benar-benar belum bertemu gadis itu sama sekali.

Daniel bukan pria yang suka terikat. Hidupnya telah diatur sejak kecil. Ia tumbuh dalam didikan keras, bertahan di dunia bisnis yang penuh intrik, dan kini ia berdiri di puncak kejayaan sebagai salah satu pengusaha muda paling berpengaruh di Asia. Tidak ada ruang untuk perasaan dalam hidupnya. Sama sekali tidak ada.

Tapi kali ini, ibunya—Gina Dartanto—memintanya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsipnya itu.

Semua ini terjadi karena sepuluh tahun lalu, seorang pria telah menyelamatkan nyawa Gina dari kobaran api di sebuah pusat perbelanjaan. Pria itu kini telah tiada, meninggalkan seorang putri yang hidup dalam kesulitan. Ceira Putri Anggraini. Gadis yang bahkan tak ia kenal, yang kini akan menjadi istrinya.

Daniel mengepalkan tangan. Jika ini adalah hutang budi yang harus ia bayar, maka ia akan melunasinya dengan cara tercepat dan paling sederhana—pernikahan kontrak.

Tanpa cinta. Tanpa ikatan emosional.

...****...

Ceira menatap gaun putih yang tergantung di depannya dengan tatapan kosong. Tangannya gemetar saat menyentuh kain halus itu.

“Jadi… gue beneran mau nikah?” bisiknya sendiri, mencoba mencerna kenyataan yang terasa seperti mimpi buruk.

Dua hari lalu, hidupnya masih sama seperti biasanya—bangun pagi, bekerja di kafe kecil dengan gaji pas-pasan, dan pulang ke kontrakan sempit dengan perasaan lelah. Kini, ia akan menikah dengan seorang pria yang bahkan belum pernah ia temui. Seorang pria kaya raya yang namanya hanya ia dengar dari berita bisnis.

Daniel Dartanto.

Usianya terpaut dua belas tahun lebih tua darinya. Sosoknya misterius, dikabarkan sebagai pria dingin dan tak berperasaan. Ceira menelan ludah. Bagaimana mungkin ia harus menghabiskan sisa hidupnya dengan pria seperti itu?

Namun, ia tidak punya pilihan.

Gina Dartanto, calon ibu mertuanya, telah menolongnya di saat ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidup. Bagaimana bisa ia menolak tawaran ini? Pernikahan ini adalah jalan keluar dari kemiskinan, dari penderitaan yang terus menghantuinya sejak ayahnya meninggal.

Tetapi tetap saja … menikah dengan seseorang yang tak ia kenal?

Ceira menghela napas panjang. Ia menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menenangkan detak jantung yang tak beraturan.

Hidupnya akan berubah. Entah untuk lebih baik … atau lebih buruk.

Dan satu hal yang pasti—pernikahan ini bukanlah dongeng indah seperti di cerita-cerita romantis drama Korea yang sering dia tonton.

Bab I Malam Pertama: Unboxing?

Ceira menatap bayangannya di cermin kamar mandi dengan wajah pucat. Tangan mungilnya mencengkeram wastafel, bibirnya bergetar pelan saat dia bergumam,

"Gilakkkk, masa gue harus di-unboxing sekarang?! Aaa Mamaaaaaa tolonggg, huaaaaa!!!"

Jantungnya berdetak tak karuan. Ini gila. Ini benar-benar di luar nalar. Seumur hidup, Ceira tak pernah membayangkan akan menikah dengan pria yang bahkan baru ia temui tadi siang di altar! Dan sekarang? Malam pertama? Astaga yang benar saja, dia masih 18 tahun!

Dia menggigit bibirnya dan berjalan mondar-mandir di kamar mandi. "Enggak, enggak! Gue harus pikirin strategi!"

Otaknya cerdiknya berputar. Haruskah dia pura-pura sakit? Atau … menangis meraung-raung sampai Daniel ilfeel? Atau lebih ekstrim, pura-pura kesurupan?

"Enggak, enggak! Itu konyol banget, Ceira! Ntar malah dikira gila trus dimasukin ke RSJ kan gak banget ieww!" gumamnya lagi.

Air hangat dari shower masih mengalir, mengisi kamar mandi dengan uap tipis yang membuat cermin berembun. Ceira akhirnya menghela napas berat dan menatap dirinya sendiri sekali lagi.

"Oke, Ceira yang cantik. Tarik napas. Keluar, ambil baju, masuk lagi, terus tidur cepet sebelum dia nanya-nanya yang aneh-aneh!"

Dengan mantap, Ceira melepas handuknya dan memakai kimono mandi berbahan satin. Bahannya yang lembut memang nyaman, tapi juga berbahaya! Kimono ini … tipis!

"Ya ampun, kenapa hidup gue jadi kayak drama Korea begini?!"

Tiba-tiba…

Tok! Tok! Tok!

"Ceira?" Suara bariton Daniel terdengar dari balik pintu. "Kamu baik-baik saja?"

Mampus."

Ceira buru-buru menutup mulutnya sendiri, takut pria itu mendengar gumamannya yang semakin ngawur. Dia melirik jam di dinding kamar mandi. "Sial! Udah hampir sejam gue ngumpet di sini?!"

"Ceira?"

Daniel mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras.

Ceira panik. "Aduh, gimana kalau dia ngira gue pingsan?!" gumamnya dalam hati. Dengan cepat, dia menyalakan keran air, pura-pura sibuk.

"A-aku baik-baik aja!" sahutnya cepat. "Lagi … hmm … nyuci muka! Iya! Nyuci muka biar fresh!"

Hening.

Daniel tak merespons. Ceira mengintip celah pintu, memastikan pria itu tidak mendobraknya karena kepanikan. Tapi kemudian terdengar suara helaan napas berat dari balik pintu.

"Jangan terlalu lama," ucap Daniel, terdengar datar seperti biasa.

Ceira mengangguk—lalu sadar kalau pria itu tak bisa melihatnya. "I-iya!"

Setelah merasa cukup tenang, dia akhirnya memutuskan untuk keluar. Tapi begitu membuka pintu dan melangkah keluar …

Bruk!

Ceira berhenti di tempatnya.

Daniel berdiri tak jauh dari pintu kamar mandi, dengan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku. Kancing atasnya terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dadanya yang bidang. Rambutnya sedikit berantakan, seolah baru saja ia usap dengan tangannya.

Dan tatapan mata pria itu—hitam, tajam, dan misterius—langsung menyorot ke arah Ceira.

Ceira menelan ludah.

Oke, napasnya mulai tidak teratur. Jantungnya … apakah baru saja melompat ke tenggorokan?!

Sial, kenapa Daniel harus seganteng itu?!

"Apa yang kau lakukan?" tanya Daniel pelan, tapi suara beratnya cukup membuat Ceira merinding.

Ceira langsung sadar kalau dia hanya memakai kimono. Dan lebih parahnya lagi—dia lupa bawa baju ganti!

Ya Tuhan, ini kenapa semakin buruk?!

"A-aku … a-aku lupa bawa baju…,"

Daniel mengerutkan keningnya. "Lalu kenapa diam di sana? Ambil bajumu."

Ceira menahan napas. Oh, kalau saja semudah itu! Koper bajunya ada di sisi lain kamar, melewati tempat Daniel berdiri sekarang. Itu artinya … dia harus berjalan mendekati pria itu.

Daniel masih menatapnya dengan ekspresi datar, tapi aura dinginnya begitu terasa. Pria ini bukan tipe yang bisa diajak bercanda.

"Oke. Fokus, Ceira! Anggap aja dia pohon, anggap aja dia patung!" ucap Ceira dalam hati.

Dengan langkah ragu, Ceira berjalan menuju koper yang ada di dekat ranjang. Tapi baru beberapa langkah…

Kreek…

Kain kimono di bahunya melorot sedikit.

DEG!

Ceira refleks berhenti dan membetulkannya. Sekilas, dia melirik Daniel.

Astaga. Pria itu melihatnya!

Tapi alih-alih berkata sesuatu, Daniel justru membuang muka dan memasukkan tangan ke saku celananya. Sekilas, ada sesuatu di wajahnya yang berubah—entah itu ekspresi terganggu, atau hanya imajinasi Ceira.

Ceira buru-buru mengambil bajunya, kemudian berlari kembali ke kamar mandi.

BRAK!

Pintu kamar mandi ditutupnya dengan heboh. Jantungnya masih berdetak kencang, dan pipinya panas seperti habis disulut api.

"Apa-apaan tadi?! Kenapa gue malah salting sendiri?! Ya ampun, Ceira! Lo kan harusnya mikir strategi biar nggak di-unboxing, bukan malah salting!"

Dia menjambak rambutnya frustasi, lalu buru-buru mengganti baju. Tapi sebelum sempat dia keluar…

Trrt… trrt…

Suara ponsel bergetar. Itu bukan ponselnya.

Daniel.

Ceira bisa mendengar suara pria itu menjawab telepon di kamar. Suaranya masih berat, tapi ada nada ketegangan di sana.

"Apa?" Suaranya terdengar tajam. "Kapan?"

Hening beberapa saat.

"Lakukan apa yang perlu dilakukan. Aku akan segera ke sana."

Kemudian, bruk! suara langkah kaki Daniel yang tergesa-gesa terdengar. Ceira buru-buru keluar dari kamar mandi, tapi yang ia temui hanyalah ruangan kosong.

Daniel … sudah pergi?

Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda pria itu.

Ceira menatap pintu kamar yang masih sedikit terbuka, sebelum akhirnya melepaskan napas lega.

"YES! Bebas!"

Dia langsung melompat ke ranjang, berguling ke sana kemari dengan senyum lebar. Malam pertama tanpa unboxing! Terima kasih, Tuhan!

Ceira menghela napas panjang, merasa seperti baru saja menang lotre. Setidaknya untuk malam ini, dia aman…

Atau … mungkin hanya untuk sementara?

Bersambung........

Bab 2 Desas-desus

Ceira menggeliat pelan di atas ranjang yang empuk. Matanya masih setengah tertutup saat ia meraba-raba selimutnya, mencari sedikit kehangatan. Namun, yang ia temukan justru ruang kosong di sebelahnya.

Daniel tidak ada.

Ceira langsung bangun dan menatap sisi ranjang yang dingin. Tidak ada jejak bahwa pria itu pernah tidur di sana semalaman. Entah kenapa, perasaan aneh merayapi hatinya. Lega karena bisa terbebas dari rasa canggung, tapi juga penasaran.

“Kemana dia?” gumamnya pelan, mengerutkan dahi. "Ah bukan urusan gue juga."

Ceira beranjak dari ranjang dan meregangkan tubuh. Ia berjalan menuju jendela besar di kamar itu, menarik tirai yang menutupi pemandangan luar. Sinar matahari pagi menyilaukan matanya sesaat, tapi kemudian ia tersenyum kecil.

"Yah, setidaknya pagi ini gue bisa bernapas tanpa perlu takut ditatap tajam sama pria dingin itu!" katanya dengan nada penuh kemenangan.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian santai, Ceira turun ke lantai bawah. Harumnya kopi dan roti panggang langsung menyambutnya, membuat perutnya yang sejak tadi belum terisi mulai protes.

Di dapur, ia mendapati seorang wanita anggun dengan apron sedang sibuk menyiapkan sarapan bersama beberapa asisten rumah tangga. Wanita itu adalah ibu mertuanya, Gina Dartanto.

Ceira menelan ludah menuruni tangga perlahan.

"Ah, Ceira. Kamu sudah bangun?" suara lembut Gina menyapa.

Ceira mengangguk kaku. "E-eh iya tan, Selamat pagi!"

Gina tersenyum kemudian menggeleng. "Panggil mama aja, kan sekarang kamu sudah jadi anak mama juga." Lalu Gina melirik meja makan yang hampir siap. "Kamu lapar? Duduklah, biar mama buatkan teh hangat."

Ceira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eh gak usah repot-repot ma ... harusnya aku bantu mama bukan malah merepotkan gini. Kan aku menantu di rumah ini ... bukannya malah ongkang-ongkang kaki nunggu sarapan heheh."

Gina terkekeh kecil. "Tenang saja, sayang. Mama sudah terbiasa. Kamu boleh duduk dan menikmati sarapan dulu."

Ceira merasa semakin tidak enak. Sejak kapan ada menantu yang santai di pagi hari sementara ibu mertuanya sibuk di dapur? Ini benar-benar kebalikan dari sinetron yang biasa ia tonton!

Tiba-tiba, tubuhnya bergerak sendiri. Ia mengambil celemek yang tergantung di dekat lemari dan mengikatnya di pinggang. "Baiklah! Aku akan membantu!"

Sebuah panci hampir jatuh saat ia mencoba mengangkatnya, membuat asisten rumah tangga yang lain menahan napas ngeri. Ceira juga hampir tersandung saat hendak mengambil piring.

"Aduh, kenapa aku sebodoh ini sih?!" bisiknya sendiri, sementara para asisten rumah tangga menatapnya dengan ekspresi antara kagum dan takut.

Gina hanya tersenyum melihat kekonyolan menantunya itu. "Baiklah, Ceira. Mungkin untuk hari ini cukup duduk dan nikmati sarapan, ya?"

Ceira meringis. "Baik, Ma...,"

...****************...

Di tempat lain, Daniel berdiri di sebuah kamar rumah sakit yang tenang. Matanya yang tajam menatap sosok yang terbaring lemah di atas ranjang, seseorang yang sudah empat tahun ini tidak sadarkan diri.

Tangan pria itu mengepal di saku celananya. Ia terjaga semalaman karena tadi malam nyawa orang ini hampir saja melayang. Detak monitor jantung yang melemah beberapa jam lalu sempat membuatnya takut kehilangan.

Daniel menarik napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang. Sorot matanya berubah. Tidak ada lagi kedinginan di sana, hanya ada ketenangan dan kerinduan.

"Aku masih di sini," bisiknya pelan. "Aku tidak akan berhenti mencari cara agar kamu sadar kembali...,"

Jari-jarinya terulur, hampir menyentuh tangan yang lemah itu, tapi ia menahannya. Sakit di dadanya semakin menguat.

"Kumohon ... bangunlah ...,"

Ruangan itu sunyi. Hanya suara mesin medis yang menemani.

Daniel mengembuskan napas berat, lalu berdiri. Ia menatap satu kali lagi sebelum akhirnya keluar dari ruangan, kembali ke dunianya yang penuh dengan urusan bisnis dan kewajiban.

Sementara itu, di kantor pusat perusahaan Daniel, suasana sedang ramai oleh bisik-bisik dan gosip.

"Jadi beneran Pak Daniel menikah?" seorang karyawan perempuan berbisik kepada rekannya.

"Iya! Tapi nggak ada satu media pun yang ngeliput. Rahasia banget, kan?"

Di sudut kantin, dua perempuan duduk sambil menikmati sarapan mereka—Lestari dan Maya.

Lestari, sekretaris pribadi Daniel, menghembuskan napas berat sambil memijat pelipisnya. "Hufttt sumpah ya, gila banget pagi ini! Masa dia marah-marah cuma karena gue telat satu menit kirim laporan proyek! Satu menit, Maya. Satu menit!"

Maya yang merupakan penggemar berat Daniel, langsung membela. "Ya ampun Tarii, itu bukan masalah satu menit, tapi masalah profesionalisme! Ingat profesionalisme!! Lo kan tau sendiri Pak Daniel itu orang nya perfeksionis banget!"

Lestari menatap sahabatnya itu dengan mata nyaris melotot. "Serius Maya! Dia nyaris bikin telinga gue budek pagi ini, tau nggak?!"

Maya terkikik. "Gue ini penggemarnya, jadi sorry banget gak bisa ada dipihak lo hahaha. Tapi serius deh, dia itu luar biasa. Berkarisma, tampan, kaya, tegas, dan berwibawa. Sempurna banget, kan?" ucap Maya dengan mata berbinar-binar.

Lestari mendengus. "Terserah lo. Gue sih udah muak! Tahun depan gue bakal resign kalau tabungan gue udah cukup. Nggak sanggup gue kerja di bawah tekanan kayak gini."

Maya tertawa. "Yaudah, deh. Tapi sebelum lo resign, coba kasih tahu gue siapa istri Pak Daniel! Gue kepo banget soalnya dari kemarin scroll sosmed gak nemu hufft!"

Lestari menggeleng. "Mana gue tahu? Bahkan di kantor ini nggak ada yang tahu siapa wanita beruntung itu. Pernikahan mereka tertutup rapat. Atau tanyain aja sana sama asisten kesayangan Pak Daniel."

"Zain? No no, lo kan tau gue musuhan banget sama dia."

Maya menopang dagunya. "Ck, misterius banget. Gue yakin dia pasti cantik dan berkelas. Tapi nggak akan lebih cocok dari gue buat Pak Daniel."

Lestari hanya mendelik. "Maya, lo delusional."

"Biarin, yang penting gue tetap fans nomor satu!"

Di luar kantin, seorang pria tinggi berjas hitam berjalan dengan langkah tegas menuju ruangannya.

Daniel Dartanto.

Tatapan tajamnya mengintimidasi siapa pun yang melihatnya. Tidak ada yang berani menyapa, apalagi mengusik. Tapi bisik-bisik tentang dirinya terus beredar di seluruh gedung.

Pernikahannya masih jadi misteri.

Dan semua orang bertanya-tanya...

Siapa sebenarnya wanita yang berhasil menikah dengan pria sekaku dan dingin seperti Daniel Dartanto?

Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!