NovelToon NovelToon

Takdir Di Balik Duka

Bab 1. Permintaan Mertua

“Mbak Chaca, diminta Nyonya Besar ke ruang keluarga,” ujar Tiwi, salah satu maid yang bekerja di mansion keluarga Brawijaya.

Chaca yang masih merapikan barang-barangnya ke dalam koper menolehkan wajahnya. “Iya Mbak Tiwi, tapi boleh titip Aqila dulu ... aku takutnya nanti dia tiba-tiba bangun dan tidak ada orang,” pinta Chaca dengan wajahnya yang masih terlihat sedih.

Tiwi mengangguk. “Ya, bisa Mbak Chaca,” jawabnya sembari mendekat ke tepi ranjang dan menatap balita cantik yang masih tertidur pulas.

Di balik wajahnya yang penuh kesedihan Chaca mencoba tersenyum, lalu bergegas ke luar dari kamar mewah yang selama dua tahun terakhir ini ia menempatinya.

Langkah kakinya terlihat lambat saat menuruni anak tangga, seakan ada beban berat dalam tiap langkahnya, hanya saja wanita yang baru berusia 21 tahun itu memaksakan dirinya ke ruang keluarga.

Hingga, tibalah ia di ruang keluarga yang terasa hening meski sudah ada beberapa orang yang berada di sana. Kening Chaca mengernyit melihat anggota keluarga inti Brawijaya berkumpul di sana.

“Chaca, duduklah di sini,” pinta Mama Maryam saat melihat wanita itu datang.

Dengan rasa hormatnya wanita muda itu membungkukkan tubuhnya, lalu duduk di sofa yang kosong dengan merapikan rok plisketnya. Ia tampak bingung menatap satu persatu keluarga dari pihak suaminya.

“Maaf Mah, ada apa ya memanggil aku ke sini?” tanya Chaca dalam sikap sopannya.

Mama Maryam sebelum menjawab menatap Papa Brawijaya, lalu beralih ke putra pertamanya Wira Hadinata Brawijaya, kemudian menatap istri Wira—Adelia Anggun.

Usai itu, dengan menarik napas panjang Mama Maryam berkata, “Begini Chaca, masa iddahmu telah selesai setelah meninggalnya anak Mama, suami kamu. Dan ... sekarang Mama dan Papa meminta kamu untuk menikah dengan Wira menjadi istri keduanya.”

Bagaikan petir di siang hari, tanpa disertai hujan mendengar permintaan mama mertuanya.

“A-Apa, Mah?!” Chaca tampak terkejut, kedua matanya melebar. Perlahan-lahan ia menatap sosok kakak iparnya yang begitu dingin, wajahnya penuh ketegasan, tak ada senyuman yang ia lihat.

Hanya sepatah dua patah jika bicara dengannya, seperlunya. Dan sekarang Mama Maryam minta ia untuk menikah dengan kakak iparnya yang sudah memiliki istri. Ini permintaan yang gila!

Empat bulan yang lalu Ezzar—suami Chaca mengalami kecelakaan beruntun di jalur Cipularang menuju Bandung bersama selingkuhannya, yang berakhir nyawa Ezzar tak bisa terselamatkan. Ezzar, adik Wira yang hanya beda dua tahun usianya, meninggalkan istri dan anaknya yang baru mau menginjak usia dua tahun.

“Me-Menikah, Mah, dengan Pak Wira ... rasanya tak mungkin,” ujar Chaca menggeleng tak setuju. Ia memastikan tidak akan pernah mau melakukannya.

Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu menatap serius menantunya. “Mengapa kamu bilang tidak mungkin? Bukankah dengan menikah dengan Wira hidupmu dengan anakmu akan terjamin kembali. Memangnya kamu bisa menafkahi diri kamu dan anakmu sepeninggalnya Ezzar? Apa kamu tidak ingat saat pertama kali datang ke sini sebagai apa?” cecar Mama Maryam tenang tapi ada kesan angkuhnya.

Kedua tangan Chaca meremat ujung kaosnya, pandangan pun tertunduk. Ingatannya pun kembali ke masa lalu.

Tiga tahun yang lalu, Chaca yang baru saja lulus sekolah dan kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kecelakaan mobil, memilih ikut dengan bibinya yang bekerja di Jakarta, lebih tepatnya menjadi maid di mansion keluarga Brawijaya. Pikir Chaca biarlah jadi maid sebagai batu loncatan sebelum mengapai cita-citanya yang cukup tinggi.

 

Namun, baru dua bulan menjadi maid nasib naas menimpanya. Ketika pada malam hari ia terpaksa merapikan kamar Ezzar, anak majikannya atas perintah nyonya-nya, tapi pada malam itu tiba-tiba saja listrik padam karena ada yang konslet di saat keadaan di luar mansion hujan deras. Ia yang mau bergegas keluar dari kamar justru terjebak. Pintu kamar terkunci, dan hilanglah mahkota yang selama ini ia jaga untuk suaminya jika kelak ia menikah, meski ia sudah berusaha memberontak untuk melarikan diri. Sayangnya tenaga pria itu begitu kuat dan sangat beringas, Chaca dibuat tidak berdaya.

Chaca yang tidak terima diperkosa oleh anak majikannya lantas melaporkan ke kantor polisi, membawa kasus tersebut meski dalam keadaan ketakutan dan trauma. Pada saat itu Ezzar tidak mengakui perbuatannya tersebut, pria itu tidak merasa melakukannya, tapi Chaca mengatakan kalau kejadiannya itu di kamarnya Ezzar, dan mana mungkin ada pria lain yang masuk ke dalam kamar Ezzar selain sang pemilik kamar. Lantas kedua orang tua Ezzar memutuskan untuk diselesaikan secara damai dengan memberikan sejumlah uang sebagai ganti rugi. Chaca menolak uang tersebut, ia minta dinikahi karena sudah ternodai. Dan, permintaan Chaca terkabulkan, apalagi hasil malam yang mencekam itu Chaca hamil, lalu lahirlah putri yang amat cantik bernama Aqila Qalaya Brawijaya.

Ya, pernikahan Chaca dan Ezzar tanpa cinta, semua terjadi karena malam gelap gulita itu.

“Baiklah kalau kamu tidak ingin menikah dengan Wira, berarti anak kamu Mama ambil hak asuhnya secara hukum. Mama tidak mau cucu Mama hidup susah di luar sana. Lagian Adelia istri Wira sudah menyetujui dan ikhlas jika suaminya menikahi kamu demi cucu Mama,” jelas Mama Maryam tegas.

Sontak saja Chaca menegakkan kembali wajahnya dengan tatapan nanarnya. “Mah, tapi Aqila itu anakku, mana mungkin aku bisa pisah dengan anakku.”

“Kalau begitu kamu harus menuruti permintaan Mama jika kamu tidak mau pisah dengan anakmu. Menikahlah dengan Wira, acara akad nikahnya minggu depan. Tapi kalau kamu tetap pada pendirianmu ... silakan kamu keluar dari mansion ini tapi jangan bawa cucu Mama,” putus Mama Maryam.

Mata Chaca mulai berkaca-kaca. Bagaimana mungkin ia harus menjalankan pernikahan tanpa cinta lagi. Saat menikah dengan Ezzar saja ia selalu disakiti, suaminya begitu membencinya, karena gara-gara menikahi dirinya pria itu tidak jadi menikah dengan kekasihnya. Namun, secara terang-terangan Ezzar pun masih melakukan hubungan dengan kekasihnya.

“Bolehkah aku pergi dari sini. Aku sudah lelah. Kali ini aku ingin hidup bahagia dengan anakku. Masalah uang, aku punya tabungan,” batin Chaca memelas.

“Mah, sebaiknya kasih Chaca untuk berpikir hari ini. Tapi suruh dia memberikan jawabannya besok pagi. Jika dia tidak mau menikah denganku juga tidak pa-pa, tapi yang terpenting Aqila tidak boleh dibawa pergi dari sini,” saran Wira membuka suaranya seraya menatap sinis pada adik iparnya.

Chaca memiringkan wajahnya dan tak sengaja beradu padang dalam per-sekian detik dengan pria yang selama ini selalu menatap penuh kebencian padanya.

“Silakan kamu kembali ke kamar, dan ingat pesan Mama barusan. Kami tidak mau keturunan Brawijaya kelaparan dan hidup susah di luar sana, apalagi papanya telah tiada,” ujar Wira dengan tegasnya.

Jatuhlah air mata dari ujung mata Chaca, hanya saja ia berusaha tampak tegar saat pria itu merendahkannya secara tidak langsung.

Bersambung ... ✍️

 

Halo kakak Readers semuanya, ada cerita baru dari Mommy Ghina. Mohon dukungannya dan ramaikan yuk. Jangan skip bab ya, biar retensinya aman. Terima kasih sebelumnya. Lope-lope sekebon jeruk 🍊🍊🍊.

Like, komentar, votenya jangan lupa ya 🤗

 

Bab 2. Ingin Pergi

Usai pertemuan tersebut, Chaca kembali ke kamarnya dengan langkahnya yang tergontai, seakan tidak ada semangat untuk menjalani hidupnya. Ia merasa hidupnya tergadai dalam keluarga Brawijaya.

“Andaikan saja dulu aku tidak menuntut untuk tidak dinikahi. Mungkin aku tidak akan tersiksa seperti ini,” batin Chaca amat menyesalinya.

Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin bubur kembali menjadi nasi atau padi. Pilihan hidup yang sudah ia pilih harusnya siap menerima resikonya. “Begitu rendahkah harga diriku? Karena aku dulu hanya seorang pembantu di sini. Sehingga orang kaya bisa mengatur hidupku dan ingin mengambil anakku.” Lagi-lagi Chaca hanya bisa membatin sampai langkahnya tiba di depan kamarnya.

Begitu tiba di kamar, tampak Bik Rahma—bibinya yang juga bekerja di mansion sebagai maid sejak beberapa tahun yang lalu.

“Bik.” Chaca memanggil dengan suaranya yang begitu lemah.

Bik Rahma yang baru saja menepuk lembut bokong Aqila karena sempat terbangun menolehkan wajahnya. Ada banyak sirat pertanyaan saat ia menatap keponakannya setelah tadi diberitahukan oleh Tiwi jika Chaca sedang menemui nyonya besar.

“Kamu habis bertemu dengan nyonya, Cha?” tanya Bik Rahma.

Chaca mengangguk sembari duduk di tepi ranjang, lalu dengan tatapan sendunya ia menatap putri kecilnya, dan lagi-lagi ia menitikkan air mata.

“Apa yang dikatakan nyonya sama kamu, Cha?” tanya Bik Rahma dengan lembutnya.

Wanita muda itu menggigit bibir bawahnya, menekan dirinya untuk tidak menangis.

“Bibi tahu'kan kalau sudah waktunya aku keluar dari mansion ini? Bibi tahu'kan jika aku sudah mengontrak rumah untuk aku tempati dengan anakku?” tanya Chaca dengan suaranya agak tercekat.

“Ya, Bibi tahu. Dan kamu sekarang sedang mengemasi baju kamu, ‘kan."

Chaca lantas menatap pakaian ia dan anaknya yang belum tersusun rapi di dalam koper. Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap bibinya.

“Mereka ingin mengambil hak asuh Aqila dariku, Bik,” ujar Chaca sembari mengusap pipinya yang terasa basah.

Bik Rahma terdiam dengan tatapan iba pada keponakannya. Ia sudah tahu jika pernikahannya dengan anak majikannya tidak bahagia, hanya saja Aqila mendapatkan kebahagiaan di mansion opa dan omanya. Chaca bertahan tinggal di sana pun karena anaknya, sedangkan hubungannya dengan suaminya tidak pernah rukun. Chaca memilih mengalah dan membiarkan suaminya berselingkuh.

“Bik, aku ingin hidup bahagia. Aku ingin keluar dari mansion ini. Tapi mama mengancamku, Bik? Apakah ini karma buatku, Bik? Aku tidak akan menuntut apa pun lagi pada mereka. Sudah cukup dulu aku memaksa. Dan, aku masih sanggup menafkahi anakku dengan endorse dari FB dan IG-ku, walau tidak bisa semewah yang mereka berikan untuk anakku. Aku masih sanggup,” ujar Chaca dengan menepuk dadanya berulang kali, berharap rasa sesaknya berkurang, tapi ternyata tidak, terasa semakin menghimpitnya.

Tanpa sepengetahuan keluarga Brawijaya, Chaca setelah melahirkan putri yang amat cantik, ia sering membuat vlog secara diam-diam mengenai kesehariannya dengan Aqila, demi menghibur dirinya sendiri, lalu diupload ke sosial medianya. Alhasil akunnya berkembang, pengikutnya bertambah hingga ratusan ribu, dan dari sanalah sedikit demi sedikit ia merasakan penghasilan dollar, serta banyak menerima endorse. Maka dari itu ia amat yakin bisa hidup mandiri setelah kepergian suami yang tak pernah mencintainya.

Bik Rahma mengusap lembut punggung keponakannya. “Bibi memahaminya, Chaca. Tapi Aqila cucu pertama dari keluarga Brawijaya, dan salah penerus perusahaan yang akan menerima warisan dari oma dan opanya. Mungkin ini sebabnya mereka mau ambil hak asuh dari kamu Cha,” ujar Bik Rahma sedikit menjelaskan.

Chaca menggeleng pelan, tidak setuju dengan asumsi bibinya, karena mertuanya tidak membicarakan warisan atau wasiat. Bahkan harta suaminya saja tidak pernah dibicarakan padanya, tapi Chaca memang tidak akan meminta sedikit pun.

“Lalu, apa yang mereka inginkan?” tanya Bik Rahma penasaran, jika apa yang ia utarakan itu salah.

“M-Mereka meminta aku menikah dengan Pak Wira, Bik, jadi istri keduanya,” ungkap Chaca agak terbata-bata.

Melebarlah mata Bik Rahma. “A-Apa! Mereka meminta kamu menikah dengan Tuan Wira?” Bik Rahma terkesiap.

“Iya Bik, mereka tidak membicarakan wasiat atau harta apa pun. Mereka minta aku menikah dengan Pak Wira, kalau aku tidak setuju ... mereka tidak mengizinkan aku membawa anakku sendiri, jika aku mau pergi dari sini,” balas Chaca dengan kembali menatap sendu putri kecilnya.

“Hartaku yang paling berharga hanya Aqila, Bik. Aku tidak akan sanggup kehilangannya. Aku nggak mau menikah lagi, apalagi menjadi istri kedua Pak Wira. Sudah cukup hatiku lelah, Bik.” Akhirnya dengan kerapuhan hatinya, tangisan Chaca pecah, lantas Bik Rahma memeluk keponakannya.

Entah takdir apa yang telah Allah rancang untuk keponakannya, andai waktu bisa diputar mundur mungkin Bik Rahma tidak akan memboyong keponakannya dari kampung ke kota.

“Bantu aku, Bik. Aku ingin pergi dari sini dengan anakku,” pinta Chaca dalam dekapan bibinya.

“Bibi akan pikirkan bagaimana kamu bisa keluar dari sini,” balas Bik Rahma.

“Hari ini Bik, harus hari ini. Karena besok mereka meminta jawaban dariku. Dan yang jelas jawabanku tidak akan mau kehilangan anakku, dan aku tidak ingin menikah dengan Pak Wira,” ujar Chaca.

Di balik pintu kamar Chaca yang tidak tertutup rapat, Wira berdiri dengan rahangnya yang mengetat. Kedua tangannya terkepal dengan kuatnya, sudut bibirnya menyeringai tipis, seolah-olah kedatangan ia ke sana tidak sia-sia.

“Kita lihat saja Chaca, apakah kamu bisa keluar dari mansion dengan membawa Aqila!” gumam Wira sinis, lalu ia melangkah mundur meninggalkan kamar wanita itu.

 

Bersambung ... ✍️

Bab 3. Jadilah Maduku

Chaca kembali merapikan barang-barang ke dalam koper, dan ada beberapa barang penting ia masukkan ke dalam tas bayi sesuai saran Bik Rahma, usai ia mencurahkan isi hatinya ada bibinya.

Keputusannya sudah bulat jika ia akan pergi hari ini juga dari mansion keluarga almarhum suaminya, entah di sore atau malam hari sesuai pantauan keadaan bibinya.

Aqila sudah bangun dari tidur siangnya, dan kini sedang menikmati susu botolnya. Koper yang tidak terlalu besar Chaca taruh di sudut kamarnya agar tidak terlalu mencolok jika ada yang masuk ke kamarnya.

“Aqila, maafin Mama ya kalau kita harus pergi dari sini. InsyaAllah Mama akan merawat dan membesarkanmu, kita akan hidup bahagia, Nak,” ujar Chaca mengajak anaknya berbicara seraya mengusap kening putri kecilnya. Balita itu hanya bisa mendelikkan bola mata mungilnya, tanpa memahami apa yang dibicarakan mamanya.

“Chaca!” Pintu kamarnya terketuk bersamaan dengan namanya dipanggil.

“Ya, tunggu sebentar,” sahut Chaca bergegas beranjak dari atas ranjang, lalu menuju pintu.

“Bu Adelia.” Chacha terkesiap dengan sosok wanita yang begitu anggun dan cantik penampilan, berbeda dengannya yang sangat sederhana walau suaminya anak orang kaya.

“Aku ingin bicara denganmu, Cha. Bisa, ‘kan?” Ini sebenarnya bukan pertanyaan tapi perintah yang terlontar dari Adelia.

“Bisa Bu, silakan masuk,” jawab Chaca dengan sikap formalnya, ia menepi dan memberi ruang untuk Adelia masuk ke dalam.

Ya, Chaca amat tahu diri dengan kakak iparnya yang merupakan anak dari salah satu pengusaha kaya. Sementara ia dulu hanya seorang maid yang terangkat derajatnya karena menikah dengan keluarga yang memiliki rumah sakit terbesar di Jakarta dan Bandung, meski tetap saja ia dipandang sebelah mata oleh keluarga suaminya. Aqila'lah keberuntungan bagi Chaca sehingga mereka terpaksa menerima wanita dengan status sosial yang rendah.

Dengan anggunnya Adelia duduk di sofa single, dan dari kejauhan melirik ke arah ranjang di mana Aqila berada. Chaca sebelum menyusul duduk bersama-sama, ia memastikan anaknya terlebih dahulu, kalau keadaannya aman di atas ranjang.

“Chaca, aku tidak mau berbasa basi lagi. Kedatangan aku ke sini pasti kamu sudah tahu, kan maksudnya?” Adelia langsung to the point saat mereka sudah berhadapan.

Chaca mengangguk paham.

“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu jadi maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia dengan tenangnya, seakan benar-benar sudah siap.

“Aku sudah putus asa melakukan inseminasi dan bayi tabung berulang-ulang, tapi selalu gagal. Sedangkan kamu hanya sekali bikin langsung bisa kasih cucu untuk keluarga Brawijaya. Tolong bantu aku, Chaca. Selain aku menerimamu sebagai madu, aku akan memberikan sejumlah uang jika kamu bisa memberikan anak keturunan Mas Wira, berapa pun yang kamu pinta,” lanjut kata Adelia tampak memohon.

Hati Chaca semakin mencelos mendengar permintaan Adelia dibalik mertuanya meminta menikah dengan Wira, seakan-akan ia adalah mesin pencetak anak, dan tidak memikirkan bagaimana perasaannya.

“Apa inikah alasan yang sesungguhnya agar aku menikah dengan Pak Wira?” batin Chaca menebak.

“Boleh aku bertanya, Bu Adel?” tanya Chaca sangat berhati-hati.

“Tanyalah, apa yang ingin kamu tanyakan padaku.”

“Apa Bu Adel siap berbagi suami denganku? Apa Bu Adel siap jika suatu hari Pak Wira tiba-tiba sikapnya berubah pada Bu Adel? Berpaling dari Bu Adel? Punya madu butuh kekuatan mental yang kuat Bu, bukan hanya sekedar ikhlas,” tanya Chaca pelan.

Sejenak Adelia terdiam, pandangannya terpaku menatap adik iparnya.

“Jika Bu Adel tidak siap dengan segala kemungkinannya, jangan pernah meminta suami menikah dengan wanita lain, hanya karena ingin memiliki anak. Coba lebih sabar menunggu, dan kembali berikhtiar. Siapa tahu doa Bu Adel dan Pak Wira terkabulkan,” lanjut kata Chaca dengan seulas senyum getirnya.

“Aku siap karena madunya itu adalah kamu. Wanita yang tidak mungkin membuat suamiku berpaling dariku. Karena aku sangat tahu jika suamiku sangat mencintaiku, dan aku amat yakin dia tidak akan mencintaimu. Pernikahan kamu dengan suamiku juga ada batas waktunya, Chaca. Di saat kamu berhasil mengandung dan melahirkan anak Mas Wira, maka pernikahan kamu telah usai. Kamu dapat uang dariku dan suamiku, dan anak itu menjadi anakku dan anak Mas Wira,” jawab Adelia dengan lembut tapi ada tarikan tegasnya.

Chaca menggigit bibir bawahnya, lagi-lagi ia tertampar dengan kenyataan baru yang ada di depan matanya. Hati tersayat, amat sakit bagaikan diiris oleh sebilah belati. Pelan tapi membuat goresan luka yang amat perih.

“Bu Adelia, bagaimana kalau aku tidak akan pernah mau menikah dengan Pak Wira? Bagiku cukup sekali aku merasakan apa itu menikah, dan berumah tangga.”

Wanita itu mengangkat dagunya dengan angkuh, lirikan matanya agak menyipit. “Chaca, jangan jadi wanita yang bodoh. Uang yang ditawarkan oleh suamiku cukup fantastis jika kamu mau menikah dengannya, satu milyar. Kamu bisa memperolehnya dan bisa menjadi modal setelah kamu bercerai dengan Mas Wira. Hidup ini apa-apa itu butuh uang, jadi jangan munafik kamu. Kalau kamu pun mau cari kerja jadi pembantu lagi mana mungkin dapat uang sebanyak satu milyar dalam waktu cepat,” seloroh Adelia, secara tidak langsung mencemoohkan Chaca.

Chaca menyunggingkan senyum tipisnya. “Ya, memang segala sesuatu di dunia itu pakai uang. Tapi sebaiknya Bu Adelia pikirkan kembali. Uang satu milyar tidak akan ada artinya jika hati sakit setiap hari melihat suami berdekatan dengan wanita lain, meski wanita itu adalah istrinya juga. Amat sakit Bu, dan tidak ada obatnya, walau kita mencoba menyibukkan diri,” ungkap Chaca yang sudah terlebih dahulu merasakannya.

Wanita itu berdecih pelan, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Chaca, aku tidak butuh nasehatmu. Aku sudah rela merendahkan diri di sini meminta kamu menikah dengan suamiku. Itu saja! Kalau kamu tidak setuju dan bersikukuh karena harga diri. Berarti—“ Jeda sejenak.

Adelia bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju ranjang, kemudian mengendong Aqila.

Sontak saja Chaca langsung berdiri dengan debaran jantung tak menentu.

“Putrimu ini memiliki wajah yang mirip dengan Mas Azzer dan Mas Wira, karena mereka kakak beradik. Jadi jangan salahkan aku, kalau pada akhirnya anak ini akan kami ambil darimu, dan diasuh oleh keluarga Brawijaya!” ancam Adelia dengan senyum sinisnya.

 

Bersambung ... ✍️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!