Layaknya sebuah kebahagiaan yang tidak akan bertahan selamanya, maka penderitaan hidup pun pasti akan ada akhirnya.
***/***/***/***/***/***/***/***
Sekali lagi, Laras mematut diri pada cermin yang menempel di pintu lemari. Riasan sempurna, benar-benar mengubah wajahnya menjadi tidak dikenali. Cantik. Itulah yang akan semua orang katakan, kala melihatnya.
Tok tok tok
Senyuman lembut yang selalu ditampilkan oleh sang nenek, hampir membuat Laras tidak mampu menghentikan lelehan air mata. Teringat kalau setelah hari ini, dia akan tinggal jauh dari wanita tua yang telah berjasa membesarkannya.
“Nenek…,” Laras bergerak maju. Menyongsong uluran tangan dari tubuh yang kurus, tapi hangat.
“Laras cucuku,” Aisyah bergumam. Memeluk gadis yang selama ini dia jaga dengan baik. Menggantikan peran dari anak dan menantunya yang telah lebih dulu pergi. “Nenek bahagia karena bisa menemanimu sampai hari ini,” katanya.
“Laras juga bahagia, bisa melihat dan membuat nenek terus tersenyum seperti sekarang.”
“Dasar bodoh! Nenek mana yang tidak senang, saat bisa melihat cucunya sendiri berbalut baju pengantin secantik dirimu, hem? Nenek bahkan masih tidak percaya, kalau yang berdiri di depan nenek sekarang, adalah cucuku yang masih suka manjat pohon kelapa di belakang rumah.”
Ucapan Aisyah, sukses membuat keduanya terkikik. Tapi itu hanya sebentar saja. Karena di detik berikutnya, Laras sudah menundukkan kepala, bersamaan dengan luruhnya kristal bening tanpa bisa dicegah.
“Laras pasti akan selalu merindukan Nenek….”
Aisyah membiarkan sang cucu membasahi pundaknya. Mengerti dengan benar, seperti apa perasaan Laras saat ini. Dia bahkan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak ikut terisak.
“Sudahlah. Berhenti menangis, sebelum air matamu menghancurkan kerja keras orang lain. Mereka sudah bersusah payah, untuk membuatmu cantik. Apa kau tidak malu?” Aisyah mencoba menggoda Laras, agar sang cucu berhenti melow sebelum dia juga terseret dalam keharuan.
“Nenek…,” Laras mencembik. “Tanpa riasan pun, Laras sudah cantik sejak lahir. Jadi jangan mengejekku!”
“Hahaa baiklah, baiklah. Sebentar lagi calon suamimu akan datang, jangan sampai kau membuatnya membatalkan acara, saat melihat pengantinnya berubah jadi buruk rupa karena riasannya yang luntur.”
“Nenek…,” rengekan Laras bertepatan dengan masuknya seorang pemuda gagah, yang memberitahukan kedatangan rombongan pengantin pria.
“Nek, Pak Penghulu ada di depan. Katanya mau ketemu,” ucap Arya. Satu-satunya saudara kandung selain Nenek yang Laras miliki.
“Iya, sebentar.”
Nenek Aisyah kembali menatap Laras. “Kau sudah siap, kan?”
Anggukan mantap sebagai pengganti suara dari mulut. Nenek Aisyah pun keluar kamar, meninggalkan Laras bersama Arya. Sengaja memberi waktu khusus untuk kedua cucunya, sebelum mereka hidup terpisah.
-
Laras menginjakkan kakinya di halaman rumah mewah milik Tyo, pria yang baru seminggu lalu resmi menjadi suaminya. Bahagia? Tentu saja. Menikah dengan laki-laki yang dia cintai, serta mendapat perlakuan manis setiap saat, tidaklah terbayang sebelumnya.
“I-ini rumah kamu, Mas?” Tanya Laras dengan mata membola.
“Bukan lagi. Karena mulai sekarang, ini adalah rumahmu. Mas hanya numpang tinggal,” jawab Tyo.
“Sebesar ini?”
“Tidak sebesar rasa sayang mas buat kamu,” Tyo tersenyum melihat semburat malu di wajah istrinya. “Ayo masuk! Kau harus melihat kamar kita yang sudah mas siapkan.”
Tyo menggiring tubuh Laras, melewati pintu kayu yang terbuka lebar. Satu orang sopir, satu orang tukang kebun, dan juga dua orang wanita menyambut kedatangan Laras bersama Tyo.
“Selamat datang Tuan dan Nyonya,” ucap mereka bersamaan.
Tyo mengangguk ringan, sementara Laras hanya bisa tersenyum kikuk. Perlu waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Apalagi bagi seorang Ajeng Ayu Larasati. Gadis desa yang terbiasa hidup sederhana, tiba-tiba menjadi Nyonya di rumah yang terbilang besar dan cukup mewah.
-
Laras berjalan menuju dapur. Setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak, dia memutuskan untuk keluar kamar dan mencoba mendekatkan diri dengan para pengurus rumah.
“Apa anda perlu sesuatu, Nyonya?” Sapa wanita paruh baya yang kebetulan menyadari kehadiran Laras di sampingnya. Dia adalah Bi Mira, wanita yang sudah lama bekerja pada Tyo.
“Ah tidak ada, Bi. Laras cuma mau ikut memasak makan malam untuk Mas Tyo,” jawab Laras. “Oh iya, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Laras!”
“Apa itu tidak apa-apa?” Tanya Bi Mira, ragu. “Maksud bibi, apa nanti Tuan Bram tidak marah pada saya?”
“Nanti Laras yang akan membicarakan itu dengan mas Tyo,” kilah Laras.
“Mas Tyo?” ulang Bi Mira.
“Iya, suami saya. Memang kenapa, Bi?”
“Oh, tidak kenapa-napa. Bibi cuma baru tahu panggilan sayang Nyonya untuk Tuan. Karena Bibi dan semua yang bekerja di sini, biasa memanggil Tuan dengan sebutan ‘Tuan Bram’,” jelas Bi Mira.
“Seperti itu ya,” Laras mengangguk. “Pokoknya yang penting, Bibi mau membiasakan diri memanggil Laras dengan sebutan nama saja. Tanpa embel-embel Nyonya! Laras merasa tidak cocok dengan panggilan itu. Aneh!”
“Apanya yang aneh, Ajeng?”
Suara dan pertanyan yang tiba-tiba terdengar, sukses mengagetkan tiga orang yang ada di dapur.
Tentu Laras kenal dengan suara itu, suara milik suaminya. Ditambah lagi dengan sebutan ‘Ajeng’. Karena hanya laki-laki itulah yang memiliki panggilan berbeda untuknya.
“Se-sejak kapan, mas ada di situ?” Tanya Laras dengan tangan memegang dada.
“Sejak kamu ninggalin mas sendirian di kamar,” sindir Tyo dengan bibir mengerucut.
Laras mengulum senyum. Di matanya, Tyo terlihat lucu saat merajuk.
“Tadi kan mas masih tidur. Laras ngga tega banguninnya,” kilah Laras.
“Alasan!” potong Tyo, jutek. “Tadi apanya yang aneh?” Tanya Tyo sambil bersedekap.
Laras bertukar tatap dengan Bi Mira.
“Hmm sebenarnya, Laras kurang nyaman dengan panggilan ‘Nyonya’, Mas. Jadi..,” Laras menjeda sejenak, dan mempelajari perubahan mimik wajah Tyo. “Jadi.. bolehkan, kalau Laras minta Bi Mira dan semua penghuni rumah memanggil Laras dengan sebutan nama saja?”
Alis Tyo mengernyit. Kini dialah orang yang merasa aneh dengan sikap Laras. Di saat banyak wanita menjunjung tinggi status sebagai Nyonya, sang istri malah menolak dan meminta hanya dipanggil dengan nama saja.
“Mas…,” lirih Laras, takut.
Tyo bangkit dari kursi yang dia duduki, dan pergi begitu saja.
“Mas!” panggil Laras.
Langkah Tyo terhenti, dan akhirnya membalikkan badan. Sambil menyarungkan kedua tangan ke dalam saku celana, dia menatap Bi Mira. “Apapun keinginan istriku, lakukanlah! Karena dia adalah Nyonya di rumah ini. Jadi seaneh apapun keinginannya, kerjakan saja. Tapi jangan lupa untuk memberitahuku!” perintahnya kemudian.
Bi Mira tersenyum dan mengangguk. Sementara Laras yang tidak mengerti, masih terdiam.
Tatapan Tyo beralih pada wanitanya. Dengan langkah cepat, dia mendekat. “Kenapa masih diam? Tidak mau mengucapkan terima kasih, karena mas menuruti keinginanmu?”
“M-mas ngga marah?” cicit Laras.
“Marah? Kenapa?”
“.…”
“Mana bisa mas marah sama kamu,” Tyo mengusap lembut pipi sang istri, lalu menarik lengannya. “Ayo! Bantu mas mandi dan keramas,” ajak Tyo.
**
Selamat datang di karya terbaru Si_Ro.
Cerita ini dibuat untuk para pembaca yang penasaran dengan kisah Sekar. Bagaimana bisa dia akhirnya bertemu dengan Serena di rumah dukun langganannya? Atau kisah orang tua Sekar yang belum terperinci.
Jadi, ikuti terus ya.
Lagi dan lagi, Si_Ro mau ingatkan. Kalau semua cerita yang Si_Ro tulis, itu murni hasil dari khayalan Si_Ro sendiri. Jangan mencari-cari keterkaitannya dengan kehidupan nyata. Karena itu tidak akan ada, mungkin.
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kemiripan tokoh, jalan cerita, dan juga tempat, itu mungkin sebuah kebetulan semata.
Mohon maaf untuk typo dan kata-kata yang sekiranya menyinggung atau tidak sesuai dengan kenyataan, karena semua ini murni hanya karangan penulis.
Terima kasih untuk semua like, komen, dan vote poin maupun koin. Untuk yang sudah memberi bintang lima dan tanda love juga, terima kasih banyak.
Jangan meragukan kasih sayang Tuhan, saat impianmu tidak terwujud.
***/***/***/***/***/***/***/***
Tepat di bulan ketiga usia pernikahan mereka, dokter kandungan menyatakan kalau di dalam perut Laras, sudah tumbuh janin yang berusia 5 minggu. Tidak ada lagi kata, yang bisa menggambarkan betapa sempurnanya kehidupan Laras bersama Tyo saat itu.
Laras mengalami banyak kesulitan, di awal kehamilannya. Bahkan kebiasaan mual dan muntah di pagi hari, terus berlangsung sampai membuat Laras kepayahan. Obat dan vitamin yang telah direkomendasikan oleh seorang dokter ahli kandungan pun, terasa tak berarti.
Melihat siksaan yang harus dialami oleh sang istri, Tyo hanya bisa terus menemani dan mengawasi. Dia tidak pernah pergi meninggalkan Laras, dan memilih untuk mempercayakan semua pekerjaan pada orang kepercayaanya.
-
Kehidupan rumah tangga Laras berjalan sangat baik. Sepertinya, keputusan untuk menerima lamaran Tyo dan menjadikannya sebagai suami, adalah pilihan yang paling tepat.
Tyo selalu bersikap hangat dan juga perhatian, sejak pertama mereka kenal. Keduanya telah menjalin hubungan sejak Laras masih duduk di bangku SMA. Itu semua berkat bantuan Nuri, sahabat Laras yang merupakan adik kandung Tyo. Namun hubungan mereka sempat terputus, karena Tyo tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Akhirnya penantian Laras selama 2 tahun , tidaklah sia-sia. Sesuai janjinya, Tyo kembali datang dan mengajukan lamaran. Tanpa harus melalui banyak rintangan, pernikahan tergelar mewah untuk ukuran sebuah kampung. Tyo tidak segan-segan mengeluarkan budget besar untuk hari bahagianya bersama Laras.
Sejak menikah dan diboyong ke kota, Laras tidak pernah merasa kekurangan. Tyo berusaha menyediakan semua kebutuhan sang istri, bahkan sebelum diminta. Walaupun akhir-akhir ini Laras sering termenung, itu semua bukan karena Tyo. Melainkan karena dia sedang merindukan Nenek dan adiknya di kampung.
-
“Ada apa, hem?” Tanya Tyo lembut. Dia memeluk tubuh Laras, yang berdiri di pinggir pagar balkon kamar.
“Aku pengen ketemu sama Nenek dan Arya , Mas.”
Posisi Tyo yang berada di belakang, mempermudah laki-laki itu untuk menghirup aroma shampo dari rambut Laras. Tidak lupa, dia juga mengusap lembut kulit lengan wanitanya yang terasa dingin, akibat udara malam.
“Kamu kangen sama mereka?”
Laras hanya mampu menganggukkan kepala, saat dia merasakan tenggorokannya menjadi serak dengan mata yang mulai berkaca. Tidak ada satu pun suara yang berhasil lolos dari mulutnya.
“Dan memberitahukan kabar gembira tentang kehamilanmu?”
Lagi-lagi Laras hanya bisa mengangguk.
“Kalau begitu, besok kita berangkat ke rumah Nenek.”
Mendengar kabar gembira seperti itu, Laras langsung membalikkan badan. Hatinya dipenuhi rasa bahagia yang luar biasa. Sama sekali tidak menyangka, kalau sang suami tidak mengabaikan keinginannya. Jauh berbeda dari tebakan yang dia simpan dalam hati.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?” Tanya Laras, ragu.
“Perlu aku ingatkan! Aku adalah Bosnya, jadi aku bebas menentukan kapan mau berangkat kerja atau malah tiduran di rumah.”
Tyo jelas-jelas sedang menyombongkan diri, di hadapan Laras.
“Benarkah? Semudah itu? Bukankah seharusnya seorang Bos itu malah punya kewajiban dan tanggung jawab lebih, Mas?”
“Itu memang benar. Tapi bukan berarti suamimu ini tidak boleh libur, kan?” Tyo bertanya balik. Dan Laras kembali menganggukkan kepala, setelah berpikir sejenak.
“Iya juga ya….”
“Jadi?”
“Jadi?” Laras menautkan alis. “Jadi apa, Mas?” Laras tidak mengerti arah pertanyaan Tyo.
“Kau mau meneruskan, atau membatalkan rencana keberangkatan kita ke rumah Nenek, besok?”
Tanpa sadar, Laras mencekram lengan sang suami.
“Jadi! Jadi Mas!” ucap Laras, lantang. Tidak mau kehilangan kesempatan untuk bisa berkumpul bersama nenek dan juga adik tersayangnya.
Tyo tersenyum melihat binar dan semangat Laras melalui matanya. “Kalau begitu, sekarang kamu harus istirahat, ini sudah malam. Jaga diri baik-baik, karena sekarang di dalam dirimu ada calon anak kita.”
Tyo menggiring langkah Laras menuju ranjang. Merapatkan bantal, lalu menarik selimut dan kembali melingkarkan lengan di pinggang sang istri.
“Ada apa lagi, Ajeng?” Tanya Tyo. Laki-laki itu tahu, kalau Laras belum tertidur setelah beberapa waktu.
“Mas?”
“Hmm?”
“Jangan marah ya?” Laras terdengar begitu berhati-hati.
“Kenapa?”
Perlahan, Tyo membelai rambut Laras. Mencoba menyalurkan ketenangan dan memberikan suasana yang santai. Dia tidak ingin Laras merasa takut padanya, apalagi sampai membuat wanita itu menyembunyikan banyak hal, nantinya.
“Sebenarnya… Mas tuh kerjanya apa sih?”
Tyo kembali membuka mata, meski rasa kantuk sudah sangat menyiksa. Tubuhnya pun ikut menegang, bersamaan dengan warna pucat yang mulai menjalar.
“Kenapa tiba-tiba kamu tanya, begitu?”
Selama ini, Tyo memang tidak pernah cerita tentang pekerjaanya pada Laras. Dan sang istri pun tidak pernah bertanya. Entah karena terlalu percaya, atau malah karena rasa segan yang berlebihan.
“Soalnya tadi pagi, aku ketemu ibu-ibu yang lagi pada jagain anak-anaknya main prosotan, di taman deket rumah. Ibu-ibu itu cerita tentang kesibukan suami mereka masing-masing. Ada yang sibuk di kantor, sampai pulang larut malem. Terus ada juga yang kerjaanya sering pergi ke luar negeri,” terang Laras.
“Terus?”
“Terus Laras jadi kepikiran sama Mas,” jawab Laras.
“Kepikiran sama Mas?” Tyo menunjuk dirinya sendiri.
Laras mengangguk.
“Kenapa?”
“Laras kan ngga tahu apa pekerjaan Mas, jadi Laras jadi ngga ikutan cerita. Laras juga ngga bisa jawab, pas ibu-ibu menor tanya kesibukan Mas.”
“Ibu-ibu menor?” ulang Tyo.
“Iya. Kalau ngga salah, yang rumahnya ada di ujung jalan. Yang dandannya tebal, lipstiknya merah, terus pake emasnya banyak banget. Mas kenal?”
Tyo terlihat sedang berpikir.
“Emang, ibu-ibu itu tanya apa aja sama kamu?” Tyo jadi ikut penasaran.
Merasa sang suami merespon kegelisahannya, Laras berbalik dan menghadap Tyo.
“Dia nanya-nanya apa kerjaan Mas. Katanya dia ngga pernah liat Mas berangkat kerja, tapi kok bisa punya rumah besar dan mobil sebagus punya dia. Terus tanya, kenapa aku ngga pernah keliatan pake gelang atau kalung sebesar punya dia. Begitu,” Laras menarik nafas panjang, setelah menggakhiri ceritanya.
Tyo menahan senyuman licik, tanpa Laras sadari.
“Mulai besok kamu pakai semua emas yang sudah Mas belikan! Jangan sampai ada yang ketinggalan. Tunjukkin ke ibu-ibu menor itu, kalau kekayaan Mas lebih banyak daripada punya dia.”
“Kenapa begitu, Mas?” Tanya Laras, bingung.
“Mas ngga terima kalau sampai ada orang yang menghina kamu. Siapapun itu.”
Laras menunduk takut mendengar suara Tyo yang mulai meninggi. Pelukan laki-laki itu pun semakin mengerat dan terasa sakit. Laras mengerti kalau sudah saatnya untuk berhenti bicara.
“Tidurlah! Atau kita akan bangun kesiangan, dan tidak jadi ke rumah Nenek.”
Tyo memberikan perintah tegas. Tangannya masih mengepal, menahan emosi.
“Iya Mas,” lirih Laras.
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kemiripan tokoh, jalan cerita, dan juga tempat, itu mungkin sebuah kebetulan semata.
Mohon maaf untuk typo dan kata-kata yang sekiranya menyinggung atau tidak sesuai dengan kenyataan, karena semua ini murni hanya karangan penulis.
Terima kasih untuk semua like, komen, dan vote poin maupun koin. Untuk yang sudah memberi bintang lima dan tanda love juga, terima kasih banyak.
Kekurangan dan kelebihan, selalu berteman baik dalam setiap pengambilan keputusan.
***/***/***/***/***/***/***/***
Laras memoles pelembab bibir sebagai sentuhan terakhir, sebelum berangkat ke rumah neneknya yang ada di kampung. Dan Tyo yang baru keluar dari kamar mandi, dengan pakaian yang sudah lengkap, berjalan mendekati sang istri. “Sudah siap?” Tanyanya.
“Sudah,” ucap Laras seraya mengangguk. Bibirnya terus menyunggingkan senyum, sejak membuka mata pagi tadi.
“Ada apa, Mas?”Tanya Laras saat menyadari kerutan di kening Tyo.
“Apa kau lupa, perkataanku semalam?”
“Perkataan semalam?” Laras bingung. Kerutan yang tadinya menempel pada kening Tyo, kini berpindah tempat.
Tyo membuka satu persatu laci penyimpanan yang ada di meja rias. Tangannya pun langsung sibuk mengaduk semua isi laci.”Dimana kau simpan semua perhiasanmu?”
“Perhiasan? Untuk apa?”
Tyo dibuat greget bukan main, saat Laras lagi-lagi hanya mengulang pertanyaan tanpa menjawab.
Setelah menemukan kotak perhiasan yang dia cari, Tyo segera membantu untuk melepaskan semua perhiasan yang menempel pada tubuh Laras. Mulai dari kalung, gelang dan anting sederhana yang sudah lama dipakai sang istri. Satu-satunya yang tidak dilepas oleh Tyo, adalah cincin pernikahan mereka.
“Aku membelikan semua ini, bukan untuk dijadikan sebagai pajangan.”
Laras menunduk takut, dan membiarkan Tyo melakukan apa yang pria itu mau. “Mulai hari ini, kau harus memakai perhiasan yang besar dan mewah. Aku tidak mau mendengar berita, kalau Ibu Ambar menghinamu lagi. Berani sekali dia…”
“Jadi ibu menor itu, namanya Bu Ambar?” Laras mendongak tepat di depan mata Tyo, lalu memotong ocehan suaminya dengan pertanyaan.
“Ck! Apa sekarang itu penting?” Tyo menjawab, ketus.
Laras kembali menunduk, sembari menggigit bibir bawahnya. Dia tidak berani melihat wajah Tyo yang melempar tatapan tajam.
“Mas..,” cicit Laras, saat tangan Tyo hampir memasangkan kalung berlian di lehernya.
“Hmm?!”
“Bolehkah aku yang memilih perhiasannya?”
“...” Tyo memicingkan mata. Terlihat sangat tidak suka dengan apa yang akan diutarakan oleh sang istri, biarpun belum terucap.
“Kita hanya akan ke rumah nenek. Dan sepertinya, kalung berlian ini terlalu mencolok. Sangat berlebihan.”
Laras menelan ludah, mendapati mata Tyo yang semakin membulat.
“Tapi aku janji! Setelah pulang dari rumah nenek, aku akan memakai perhiasan yang Mas pilihkan. Hem?” tambah Laras. Dia mengakhiri permintaannya dengan nada merengek.
Tyo menghela nafas kasar. Dia benar-benar kehabisan akal untuk bisa mengubah kesederhanaan sang istri, walau hidupnya sudah berubah.
Tapi Tyo jelas harus mengalah, demi cinta dan kebahagiaan Laras. Apalagi kalau mengingat wanitanya juga sedang mengandung. Jadi sekecil apapun perubahan emosinya, itu pasti akan mempengaruhi perkembangan janin mereka.
“Boleh ya, Mas?” Laras mengguncang lengan Tyo.
“Apa kau berjanji?” Tanya Tyo dengan menangkup kedua pipi sang istri.
Mendengar suara Tyo yang sudah kembali biasa, Laras tidak bisa menyembunyikan senyum. Kepalanya mengangguk berulang, sebelum melemparkan diri ke dalam pelukan suaminya.
-
Nenek Aisyah menyambut kedatangan cucu dan cucu mantunya, dengan makanan enak yang memenuhi meja.
“Ada acara apa, Nek? Kenapa ada banyak sekali makanan?” Tanya Laras begitu berjalan menuju dapur untuk membuatkan kopi untuk Tyo.
“Hari ini Nenek memang sengaja masak banyak, untuk menyambut kedatanganmu bersama Tyo.”
“Benarkah?” Tanya Laras, sembari mencomot risoles. “Tapi darimana Nenek tahu, kalau hari ini Laras dan Mas Tyo akan pulang?”
Nenek Aisyah berdehem sebelum tersenyum kikuk. “Entahlah. Nenek hanya merasa yakin, kalau kau akan datang hari ini. Itu saja.”
Laras tertawa mendengar alasan yang diberikan oleh neneknya. “Kalau memang benar ada hal seperti itu, maka Nenek akan cocok jadi peramal. Hehee…”
“Ah sudahlah, sekarang cepat panggil adik dan suamimu. Kalian pasti lapar, setelah menempuh perjalanan jauh.”
“Iya, Nek.”
-
Laras menghampiri dua pria yang sedang duduk di teras rumah sambil terus asik mengobrol. Sengaja melangkah perlahan untuk mengagetkan keduanya, yang seolah tidak memperdulikan keadaan sekitar.
Laras mendengus pelan, saat menangkap lirikan Tyo. Namun ternyata, itu tidak menghentikan niatnya untuk berbuat usil. Toh masih ada Arya, sang adik yang belum melihat keberadaan dirinya.
“DOR!”teriak Laras, tepat di samping telinga Arya yang sedang serius memperhatikan ucapan sang kakak ipar, Tyo.
“AAAKH!” Arya menjerit kaget. “KAKAAAK!”
Melihat reaksi sang adik, Laras segera berlari masuk ke dalam rumah. Dia berlindung di belakang tubuh Nenek Aisyah.
“Ada apa ini?” Tanya Nenek.
“Kak Laras, Nek. Dia ngga pernah berubah,” Arya masih terus berusaha menggapai Laras yang kini berlari ke arah Tyo.
“Ajeng! Berhenti! Jangan lari-lari, ingat kandunganmu!” Tyo menegur Laras yang berlari menghindari tangkapan Arya.
Seketika tubuh Arya membeku, begitu mendengar ucapan Tyo dengan jelas. “Benarkah itu?”
Laras mengangguk, sambil mengusap perutnya yang masih rata.
“Benarkah aku akan punya keponakan?” Tanya Arya sekali lagi, untuk memastikan.
“Iya, bawel.”
Arya kembali berlari ke arah Laras. Bukan untuk memberi hukuman atas keusilan sang kakak, tapi untuk memeluknya dan memberi ucapan selamat.
“Selamat ya, kak. Sebentar lagi, kau akan menjadi seorang ibu.”
Laras membalas pelukan Arya, dengan linangan air mata. “Dan anakku akan memanggilmu dengan sebutan ‘paman’. Paman jelek!” ejek Laras.
“Ish! Dasar kakak jahat. Jangan turunkan sifat usilmu pada keponakanku ya?”
Tyo tidak tertarik mengganggu momen haru, antara Laras dan Arya. Dia akhirnya memilih mendekati Nenek Aisyah yang sudah merentangkan kedua tangan untuk memberinya pelukan.
“Selamat untuk kalian berdua, ya? Nenek turut bahagia mendengarnya.”
“Selamat juga untuk Nenek. Karena sebentar lagi, Nenek akan dipanggil ‘Nenek Buyut’,” ucap Tyo.
Aisyah dan Tyo melepas pelukan, dan berbagi tawa.
“Nenek tidak mau memberiku ucapan selamat dan memelukku?” Laras menyela percakapan suami dan neneknya.
“Dasar pencemburu, kemarilah!” Aisyah memberi perintah pada Laras, untuk mendekat.
“Berhati-hatilah dengan kandunganmu,” bisik Aisyah. Tangan tuanya mengelus rambut Laras dengan perasaan sayang.
Anggukan Laras diiringi tangis. Dia begitu merindukan sentuhan dan pelukan wanita yang telah menghabiskan waktu untuk mengurusnya sejak bayi. Laras hampir mengeluarkan pertanyaan, begitu menyadari keanehan dari ucapan sang nenek. Namun jari telunjuk Aisyah yang menempel di bibirnya, membungkam mulutnya kembali.
“Ayo kita makan dulu. Suamimu pasti sudah sangat lapar. Dan juga jangan lupakan calon jabang bayimu, yang perlu banyak nutrisi.”
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kemiripan tokoh, jalan cerita, dan juga tempat, itu mungkin sebuah kebetulan semata.
Mohon maaf untuk typo dan kata-kata yang sekiranya menyinggung atau tidak sesuai dengan kenyataan, karena semua ini murni hanya karangan penulis.
Terima kasih untuk semua like, komen, dan vote poin maupun koin. Untuk yang sudah memberi bintang lima dan tanda love juga, terima kasih banyak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!