NovelToon NovelToon

Ketika Aku Memilih Pergi, Dia Memilih Menyelamatkan

Bab 1

Malam itu dingin, ditemani angin kencang yang menusuk. Seorang gadis berdiri di atas atap sebuah gedung tinggi, tatapannya kosong, penuh keputusasaan.

Air matanya berlinang, membasahi wajahnya yang dipenuhi kekecewaan dan luka yang tak terlihat.

"Kalau ini yang kalian inginkan, aku akan melakukannya," suaranya bergetar, dipenuhi kepedihan. "Mungkin kematianku akan membuat kalian bahagia. Hidupku tak lagi berarti. Dunia ini tak punya tempat untukku!"

Dengan langkah mantap, ia maju. Tanpa ragu, ia melompat dari lantai tertinggi.

Tubuhnya melayang di udara, terjun bebas menuju kegelapan di bawah. Hingga akhirnya—

Brakk!

Ia menghantam sebuah mobil besar yang kebetulan melintas, membawa muatan berat di belakangnya.

Flower Florencia, 20 tahun. Seorang mahasiswi di salah satu universitas. Ia dikenal sebagai gadis pendiam dan menyendiri. Tak ada yang tahu apa yang terjadi padanya hingga ia nekat mengakhiri hidupnya.

Malam itu, tragedi memilukan tersebut menarik perhatian banyak orang yang kebetulan melintas di sekitar lokasi.

Gadis itu dilarikan ke rumah sakit terdekat dalam kondisi kritis. Kepalanya berlumuran darah, sementara cairan merah segar juga mengalir dari sudut bibirnya. Tubuhnya terkulai lemah, tak sadarkan diri. Saat ambulans tiba di depan rumah sakit, para petugas medis segera mengeluarkannya dengan hati-hati. Beberapa dokter dan perawat mendorong ranjang pasien dengan cepat melewati lorong rumah sakit, berusaha secepat mungkin untuk menyelamatkan nyawanya.

Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang dokter mengenakan masker mendekati pasien. Langkahnya sempat terhenti, matanya terpaku pada gadis muda yang kini terbaring dalam kondisi mengkhawatirkan. Napasnya tertahan sesaat, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang tersentak saat melihat wajah gadis itu.

"Dokter Kim, pasien bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 15. Kepalanya mengalami pendarahan hebat, dan mulutnya juga mengeluarkan darah," lapor seorang dokter muda dengan wajah cemas. Suaranya terdengar sedikit bergetar, menunjukkan kepanikan yang ia coba tahan.

Dokter Kim mengalihkan pandangannya dari gadis itu, menatap rekannya dengan ekspresi tegas, meski sorot matanya menyiratkan kegelisahan. "Cari identitasnya dan segera hubungi keluarganya! Bawa dia ke ruang darurat sekarang!" perintahnya dengan nada penuh otoritas.

Namun, di balik ketegasannya, hatinya terasa berdesir. Ada sesuatu tentang gadis itu yang mengusik pikirannya—seolah mereka pernah bertemu sebelumnya.

Sementara di dalam ruang gawat darurat para dokter berusaha keras menyelamatkan nyawa Flower, di luar, sepasang suami istri bersama dua pemuda dan seorang gadis tiba dengan ekspresi beragam. Tatapan mereka tidak menunjukkan kepanikan atau kesedihan, melainkan kelelahan dan kejengkelan.

Wanita paruh baya yang bernama Zoanna mendengus kesal sambil melipat tangan di depan dada. Wajahnya penuh dengan ketidakpedulian, seolah ini bukan pertama kalinya ia menghadapi situasi seperti ini.

"Apa lagi yang dia lakukan kali ini? Apakah dia tidak bisa berhenti membuat ulah dan membuat kita pusing?" ucapnya tajam, tak menyembunyikan kejengkelannya.

Di sampingnya, seorang gadis muda yang adalah kakak Flower, Cici, mencoba menenangkan ibunya. Ia menatap pintu ruang gawat darurat dengan sorot mata yang lebih lembut, meski terselip rasa lelah.

"Ma, jangan marah. Mungkin adik hanya ingin menarik perhatian kita. Mana mungkin dia benar-benar ingin bunuh diri? Dia hanya sengaja mencari perhatian," katanya dengan nada menenangkan.

Pria di samping Zoanna, Yohanes, hanya menghela napas panjang sebelum menepuk bahu Cici dengan lembut. .

"Andaikan Flower dewasa sepertimu, maka Papa dan Mama tidak perlu terus-menerus khawatir," ucapnya dengan nada yang lebih lembut dibandingkan istrinya.

Namun, Wilson, kakak laki-laki Flower, justru tampak acuh tak acuh. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya dingin dan penuh ketidakpedulian.

"Pa, Ma, adik selalu suka menimbulkan masalah. Jadi kalian tidak perlu cemas," ujarnya santai, bahkan disertai tawa kecil yang terdengar sinis. "Dia hanya berpura-pura supaya mendapatkan perhatian dari kita semua. Setelah dia sadar, aku sendiri yang akan menegurnya," tambahnya dengan nada meremehkan.

Tidak ada kepanikan, tidak ada air mata. Hanya kejengkelan dan ketidakpercayaan. Seolah nyawa Flower bukan sesuatu yang benar-benar mereka khawatirkan.

Di tengah ketegangan itu, seorang pria berkacamata yang terlihat lebih dewasa dan tenang akhirnya angkat bicara. Suaranya lembut, tetapi penuh ketegasan.

"Lebih baik kita menunggu Flower sadar. Setelah itu, kita bisa bertanya langsung padanya apa yang sebenarnya terjadi," ucap Alan, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.

Namun, Zoanna masih belum bisa menahan emosinya. Ia mendengus kesal dan melipat tangan di depan dada, matanya penuh amarah yang terselubung oleh rasa frustasi.

"Alan, adikmu selalu saja bersikap manja. Kita harus menegurnya setelah dia sadar! Tidak perlu dimanja sama sekali. Mama sudah bersusah payah melahirkannya, dan sekarang dia malah bermain-main dengan nyawanya. Sejak kapan dia bisa bersikap dewasa seperti Cici?" ujar Zoanna dengan nada tinggi, jelas menunjukkan kekecewaannya.

Alan menatap ibunya sejenak sebelum menghela napas panjang. Tidak seperti Wilson yang cenderung meremehkan, Alan memiliki cara pandang berbeda terhadap kejadian ini.

"Aku akan mencari tahu apa yang terjadi. Walaupun aku juga tidak setuju dengan perbuatannya, aku tetap ingin tahu sebabnya," jawab Alan, suaranya lebih tenang dibandingkan yang lain.

Tatapan matanya mengarah ke pintu ruang gawat darurat yang masih tertutup rapat. Di balik sana, adiknya tengah berjuang antara hidup dan mati, sementara di luar, keluarganya malah sibuk berdebat tentang kesalahan Flower tanpa sedikit pun menunjukkan rasa cemas akan kondisinya.

Dokter tersebut keluar dari ruangan dengan langkah tegas, matanya tajam meskipun sebagian wajahnya masih tertutup masker. Tatapan itu seolah menyoroti mereka satu per satu, mencari jawaban yang barangkali hanya mereka yang tahu.

Alan, yang sejak tadi terlihat paling tenang, maju selangkah. Suaranya sedikit bergetar, meski ia berusaha menyembunyikan kecemasannya.

"Bagaimana dengan Flower?" tanyanya dengan harapan mendengar kabar baik.

Dokter itu menatap Alan sejenak sebelum menghela napas pelan.

"Pasien mengalami depresi berat, dan sepertinya sudah cukup lama dia mengalaminya. Hingga akhirnya, dia tidak tahan lagi dan memilih untuk bunuh diri," jawabnya dengan nada yang tak bisa disangkal mengandung teguran.

Zoanna, yang sejak awal merasa kesal dengan tindakan Flower, mengernyit tak percaya.

"Hidupnya tidak ada kekurangan, kenapa dia bisa depresi?" tanyanya seolah menolak kenyataan.

Mata dokter itu semakin tajam. Ia menatap keluarga di hadapannya dengan pandangan menelisik.

"Kenapa bisa mengalami depresi? Seharusnya pihak keluarga lebih tahu daripada siapa pun. Apakah di antara kalian tidak ada yang menyadari apa yang terjadi pada pasien?" tanyanya, suaranya mengandung nada dingin yang menusuk.

Hening seketika. Tak ada yang langsung menjawab. Udara di antara mereka terasa semakin berat. Apakah mereka benar-benar tidak menyadarinya, atau justru selama ini mereka memilih untuk tidak peduli?

Bab 2

"Dokter, adik saya selalu ceria selama ini. Dia yang paling suka menimbulkan masalah dan pura-pura di depan kami. Mana mungkin dia bisa depresi?" kata Cici, suaranya penuh keraguan. Ia menatap Dokter Kim dengan ekspresi tidak percaya, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar.

Dokter Kim menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. Tatapan tajamnya menembus mata Cici, membuat suasana ruangan menjadi tegang. "Apakah Anda meragukan saya?" tanyanya dengan suara datar namun penuh tekanan. "Seseorang yang mengalami depresi tidak selalu menunjukkan tanda-tanda yang jelas. Mereka bisa tertawa di depan orang lain, tapi menangis sendirian. Pasien hidup dalam tekanan berat. Apakah kalian benar-benar keluarganya? Jika iya, gunakan hati untuk memperhatikan, bukan hanya mata. Kalau ada perhatian tulus, seharusnya kalian menyadari ada yang tidak beres."

Suasana menjadi hening sejenak. Yohanes, sang ayah, akhirnya angkat bicara, mencoba meredakan ketegangan. "Dokter, lalu... apakah Flower akan sembuh?" tanyanya, suara parau penuh kekhawatiran.

Dokter Kim menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Sembuh butuh waktu. Pasien membutuhkan perhatian penuh, bukan tekanan. Jika lingkungan sekitarnya masih seperti ini, kemungkinan besar pasien bisa mengalami gangguan jiwa lebih parah. Tapi jika diberi ruang, kasih sayang, dan pemahaman, dia bisa perlahan pulih."

Wilson menggeram pelan dan menggelengkan kepala, jelas tidak setuju. "Dia punya segalanya! Tidak kekurangan apapun! Tapi malah depresi? Aneh sekali," cetusnya sinis.

Tatapan Dokter Kim langsung mengeras. Ia menatap Wilson tajam. "Memiliki segalanya bukan berarti seseorang bisa bahagia. Uang dan harta tidak bisa membeli ketenangan batin. Lingkungan hidup, tekanan emosional, dan kurangnya dukungan bisa menghancurkan seseorang. Dan dari sikap kalian saat ini, saya bisa melihat kenapa pasien merasa terabaikan," sindirnya tegas.

Wajah Wilson memerah karena emosi. Ia menunjuk Dokter Kim dengan nada tinggi. "Apa maksudmu berkata seperti itu? Kamu cuma dokter! Tidak layak ikut campur dalam urusan keluarga kami!"

Namun, Dokter Kim tetap tenang. Ia menatap Wilson seolah tidak terpengaruh oleh emosinya. "Memang, saya hanya dokter. Tapi saya bertanggung jawab atas nyawa pasien saya. Saya berhak berbicara soal apa yang membahayakan kesehatannya. Pasien adalah mahasiswi, kan? Kalau keluarganya saja tidak tahu apa yang dia alami, coba cari tahu lewat teman-teman kampusnya. Mungkin mereka lebih mengenal Flower daripada kalian," ucapnya dingin sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan keluarga yang terdiam dalam rasa bersalah dan amarah.

"Alan, apakah selama ini di kampus terjadi sesuatu?" tanya Yohanes.

Alan menunduk, wajahnya tampak lelah dan penuh kebimbangan. "Flower tidak pernah beritahu, Pa," jawabnya.

Tak lama kemudian, Cici maju mendekat dengan langkah pelan, matanya memancarkan simpati dan kesedihan. "Pa, selama di kampus tidak terjadi apa-apa, hanya dia yang menjauh dari temannya. Mungkin saja pelajaran yang membuatnya depresi," ujarnya lirih.

Suasana semakin tegang ketika Wilson, dengan nada sinis yang menusuk, menyela di antara mereka. "Dia paling tidak suka belajar, bagaimana kalau hentikan saja pelajarannya? Cukup Cici saja yang lanjutkan pelajarannya. Lagi pula Flower begitu bodoh dan nilainya juga tidak bagus. Kalau diteruskan hanya membuang waktu dan uang," ujarnya, kata-katanya menusuk bagaikan pisau yang memotong harapan kecil yang tersisa.

Di balik percakapan yang semakin memanas itu, Dokter Kim berdiri tegak di balik pilar, menyaksikan semuanya dengan tatapan dingin dan penuh keprihatinan. Wajahnya yang serius mencerminkan ketidaksenangan terhadap rencana keluarga Florencia yang tampak tanpa belas kasihan.

Saat malam mulai menyelimuti rumah sakit, kesunyian merayap di setiap sudut. Di ruang rawat inap yang remang, Dokter Kim melangkah masuk dengan langkah mantap ke dalam kamar pasien. Lampu redup menerangi bayangan Flower, gadis itu terbaring dalam keadaan koma, kepalanya terbungkus perban yang menyembunyikan luka-luka tak hanya fisik, tetapi juga batin.

Seorang suster yang tengah memeriksa kondisi pasien mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara serak, "Dokter, keluarga Pasien tidak ada satu pun yang menjaganya." Suara itu menggema di antara detak mesin medis yang monoton, menambah kesan sepi dan getir di ruangan itu.

"Awasi terus kondisinya, kalau ada apa-apa segera beritahu!" perintah Dokter Kim dengan tegas, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

"Baik, Dokter!" jawab suster itu, lalu beranjak dari sana.

Dengan hati yang berat, Dokter Kim mendekati ranjang Flower. Setiap langkahnya seakan menapak di atas kenangan pahit yang tak terungkap. dan dengan suara yang hampir tersedu, bertanya, "Flower Florencia, Apa yang terjadi padamu, sehingga memilih untuk mengakhiri hidupmu?"

"Aku akan mencari tahu sendiri, sepertinya keluargamu tidak pernah menganggapmu."

Tanpa ragu, Dokter Kim melangkah meninggalkan kamar pasien yang masih dipenuhi keheningan duka. Di ujung koridor yang remang, ia mengeluarkan telepon genggam dari saku jas putihnya dan segera menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, suara akrab terdengar di ujung saluran, "Hallo, Dokter!" sambut seseorang dengan semangat yang terjaga.

"Mike, lakukan sesuatu untukku!" perintah Dokter Kim dengan nada tegas dan penuh otoritas, Tanpa banyak basa-basi, panggilan itu segera ditutup, dan ia kembali melangkah menuju ruang kerjanya.

Sesampainya di ruang kerjanya yang sepi, Dokter Kim berhenti sejenak di depan cermin. Di sana, dalam keheningan yang hanya dipecahkan oleh detak jarum jam, ia perlahan melepaskan masker yang selama ini menjadi perisai. Tatapan matanya yang tajam mengungkapkan sosok seorang profesional yang tak hanya piawai di dunia medis, tetapi juga menyimpan beban misteri dan tekad yang kuat. Raut wajah tampan, dengan hidung mancung yang selalu menonjol, kini menyiratkan pesona seorang dokter yang penuh dedikasi.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apa alasannya seorang dokter profesional berniat melindungi gadis itu?

Bab 3

Satu bulan kemudian.

Flower perlahan membuka matanya. Cahaya putih dari langit-langit kamar rumah sakit menyilaukan pandangannya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya tersebut. Aroma antiseptik yang tajam menusuk hidungnya, membangkitkan kesadaran yang sempat menghilang selama sebulan terakhir.

Dia menoleh perlahan, menatap jendela yang memperlihatkan langit biru di luar. Ada ketenangan di sana, tapi hatinya terasa kosong.

"Akhirnya sudah sadar," terdengar suara hangat namun tegas dari samping ranjang. Dokter Kim berdiri di sana, mengenakan jas putihnya dengan stetoskop menggantung di leher.

Flower berusaha membuka mulutnya, tapi suara yang keluar nyaris tak terdengar. "Aku... ada di mana?" tanyanya pelan, matanya masih sayu.

Dokter Kim tersenyum kecil, lalu menarik kursi dan duduk di sampingnya. "Rumah sakit. Kau cukup beruntung, Terjun dari lantai lima belas dan masih hidup? Itu keajaiban," ujarnya sambil menggeleng pelan, masih tak percaya dengan keberuntungan gadis itu.

Ucapan itu membuat Flower terdiam. Pikirannya langsung berkelana ke ingatan terakhir sebelum semuanya gelap. Dia mengingat angin kencang yang menerpa wajahnya, desakan emosi yang begitu kuat hingga membuatnya melompat... dan kini dia masih hidup. Kenapa? Untuk apa?

Matanya berkaca-kaca. "Siapa yang membawaku ke rumah sakit?" tanyanya dengan suara gemetar.

Dokter Kim menarik napas sebelum menjawab. "Pemilik truk pengangkut barang. Tubuhmu jatuh tepat ke muatannya, makanya kau selamat. Tidak ada tulang yang retak, bahkan otakmu baik-baik saja. " jelasnya dengan nada serius.

"Apakah... keluargaku datang melihatku?" Suaranya terdengar penuh harap meski samar.

Dokter Kim menundukkan kepala sejenak sebelum menatapnya lurus. "Iya, mereka datang... tapi tidak tinggal lama. Mereka tidak menunggumu sadar," ucapnya pelan namun jujur. "Nona, kamu harus tetap hidup untuk dirimu sendiri. Dunia ini kejam, dan terkadang saat kita terjatuh, tak ada seorang pun yang akan benar-benar ada di sisi kita. Jangan bergantung pada mereka yang tak peduli. Hidupmu berharga, setidaknya untukmu sendiri."

Flower menunduk. Setetes air mata jatuh ke selimut putih bersih di pangkuannya. Kata-kata Dokter Kim menusuk hatinya, namun ada kebenaran di dalamnya.

Tidak lama kemudian, Zoanna dan Yohanes memasuki kamar pasien itu. Mereka menghampiri Flower dan berkata, "Akhirnya kamu sudah sadar," ucap Zoanna

"Pa, Ma," sapa Flower pelan.

"Flower, baguslah kalau kamu sudah sadar. Sudah sebulan kamu terbaring di sini. Walau lukamu sudah sembuh, tapi kamu masih belum bangun juga. Ketiga kakakmu yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing tetap meluangkan waktu untuk menjengukmu. Setelah ini, kamu harus lebih dewasa. Jangan membuat mereka kewalahan keluar-masuk rumah sakit!" kata Yohanes dengan nada tegas.

Ucapan pria itu membuat Flower tidak nyaman. Bukannya mencemaskan kondisinya, pasangan itu justru menyalahkannya.

"Pa, Ma, aku sedang tidak main-main. Ini bukan keinginanku untuk membuat mereka semakin sibuk," ucap Flower dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca, menahan kekecewaan yang membuncah di dadanya.

Zoanna menghela napas berat, lalu menatap Flower dengan sorot mata tegas. "Kakak pertamamu harus mengurus perusahaan, sementara kakak keduamu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dan kakak ketigamu harus fokus belajar agar bisa lulus. Apakah kau ingin mengganggu aktivitas mereka sehari-hari?" Suaranya terdengar seperti sebuah tuntutan, meninggalkan tekanan di dada Flower.

Suasana ruang keluarga menjadi sunyi sejenak, sebelum suara pintu dibuka keras-keras. Alan masuk dengan wajah cemas. "Pa, Ma!" serunya, berjalan cepat mendekati mereka. "Flower, baguslah kalau kamu sudah sadar. Aku mendapat informasi bahwa kau dan teman sekelas sempat berkelahi karena masalah kecil. Teman kelasmu juga terluka karena ulahmu. Apa hal sepele seperti itu yang membuatmu berpikir untuk bunuh diri?" Nada khawatir dan marahnya bercampur menjadi satu.

Flower menunduk, air matanya mulai jatuh satu per satu. "Kakak, aku berkelahi dengan mereka karena mereka menghinaku dan menindasku. Aku hanya membela diri!" serunya, suaranya pecah oleh isakan.

Yohanes, yang sejak tadi diam memperhatikan, kini angkat bicara. "Membela diri sehingga temanmu terluka? Flower, kamu belajar di sana bukan untuk menjadi preman. Kenapa kau melakukan itu?" Nada suaranya dingin, tapi matanya mengandung kekecewaan yang mendalam.

Flower menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang semakin deras. "Selain membela diri, apa yang bisa aku lakukan? Mereka berlima dan aku hanya sendiri! Aku sudah melaporkan ke dosen, tapi dia mengabaikan laporanku. Karena mereka dibela oleh keluarganya, sedangkan aku... aku cuma sendiri," suaranya melemah, seperti kehabisan tenaga.

Ruangan kembali hening. Zoanna menunduk, menyadari bahwa mungkin selama ini mereka terlalu sibuk hingga lupa melihat luka yang tersembunyi dalam diri anak bungsunya. Alan mengepalkan tangan, merasa bersalah karena tidak hadir lebih awal, sementara Yohanes menatap Flower dalam diam, bergulat dengan pikirannya sendiri.

"Flower, kamu bukan anak kecil lagi, sudah dewasa dan harus mandiri. Kami juga ada kesibukan. Kamu harus belajar mengalah dan jangan selalu ingin menang. Kalau mereka terluka atau koma, siapa yang susah," ujar Alan dengan nada tegas, menatap Flower penuh ketegasan.

Flower menunduk sejenak, Ia menarik napas dalam, menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. "Aku akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Kalian tenang saja," jawabnya mantap, matanya kini menatap langsung ke arah Alan.

Suasana menjadi hening sejenak, sebelum ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan namun penuh tekad. "Selama ini aku tidak pernah menyebut nama orang tuaku atau semua saudaraku. Jadi mereka juga tidak tahu kalau Cici adalah kakakku. Kalau terjadi sesuatu, aku yang akan menebusnya. Tidak usah takut!"

"Andaikan kamu mirip dengan Cici, kami akan lebih tenang," ujar Zoanna dengan nada kecewa, matanya menatap Flower seolah membandingkan gadis itu dengan Cici dalam segala hal.

Flower mengangkat kepalanya perlahan, sorot matanya penuh luka dan amarah yang selama ini dipendam. "Ma, apakah Mama tahu, orang yang menindasku adalah teman sekelas Cici? Cici juga salah satu dari mereka. Semuanya adalah rencana darinya. Aku hanyalah korban," ungkap Flower, suaranya bergetar menahan emosi.

Ruangan langsung dipenuhi ketegangan. Yohanes yang sejak tadi berdiam diri kini meledak, suaranya menggelegar. "Flower, jangan sembarangan menuduh kakakmu! Walau dia bukan kakak kandungmu, kau juga tidak boleh iri dengannya. Nilai dan penampilannya jauh lebih baik darimu!" bentaknya, wajahnya memerah karena amarah.

Alan yang berdiri di sudut ruangan pun ikut angkat bicara, nadanya dingin namun penuh tekanan. "Seharusnya kamu membanggakan keluarga, bukan mempermalukannya. Selain iri dengan Cici, apa lagi yang kau bisa?" katanya tajam, membuat hati Flower semakin remuk.

Flower menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. Nafasnya memburu saat amarah dan sakit hati memuncak. "Iri? Apa yang aku beritahu kalian selama ini tidak ada satu pun yang percaya! Lebih baik aku anak angkat kalian daripada anak kandung!" suaranya meninggi, penuh kepedihan. "Keluarga yang kaya memiliki segalanya, tapi tidak ada ruang untukku. Saat aku koma, apakah ada di antara kalian yang peduli? Setiap aku bertengkar dengan Cici, kalian selalu menyalahkanku. Dia tidak boleh menangis, tidak boleh sakit, tidak boleh sedih. Sementara aku yang hampir mati saja tidak ada yang peduli! Kalau kalian membenciku, kenapa tidak membuangku saja?" serunya, suaranya pecah di akhir kalimat.

Zoanna yang tak mampu lagi menahan emosi melayangkan tangannya, hendak menampar Flower yang duduk lemah di ranjang pasien. Namun, sebelum tangannya menyentuh wajah Flower, Dokter Kim dengan sigap menangkap pergelangan tangan wanita itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!