Ingat Marisa Vyaris Santoso? Putri sulung pasangan Divya Veronika Ibrahim. Ialah dokter spesialis anak, berusia 29 tahun saat dia menikah. Pernikahannya dengan pria berusia 25 tahun bernama Fadlan Mahesa Yunus.
Fadlan yang mempunyai saudara kembar bernama Hazlan Mahesa Yunus.
Semula Marisa berpikir ia menyukai pemuda bernama Haz yang ia temui di pesantren milik kedua orangtuanya. Haz yang salih berbanding terbalik dengan kakak kembarnya, Fadlan cenderung lebih liar dan berandalan. Hazlan, dia lebih kalem dan pendiam.
Keputusan Haz yang pergi menempuh pendidikan ke Kairo, membuat Marisa harus merelakan pemuda itu berjauhan dengannya. Padahal keduanya baru saling mengenal kurang lebih 2 pekan saja. Kepergian Haz lah yang membuat hubungan keduanya merenggang. Seakan jarak yang memisahkan mereka telah mengikis rasa cinta yang semula sempat ada. Entahlah Marisa sendiri tidak yakin jika Haz adalah cintanya.
Dan Haz, ia tahu jika saudara kembarnya juga mencintai wanita itu, ia memilih mundur meski jujur, ia pun sangat mengagumi sosok Marisa yang baik hati. Marisa yang ceria dan konyol. Walaupun liar akan tetapi Marisa tidak pernah melanggar batas kewajaran.
Mengenalnya dalam dua minggu saja sudah membuatnya sulit untuk lupa. Ia terpaksa berbohong, jika ia tidak pernah memiliki perasaan untuk Marisa, semata-mata agar wanita itu bisa membuka hatinya untuk Fadlan.
***
Tanpa Marisa tahu, ia berpikir jika Haz justru tertambat kepada wanita lain. Wanita saliha, bernama Zahra. Empat tahun sudah penantiannya menunggu kepulangan Haz. Sia-sia karena saat itu dia justru datang bersama gadis lain.
Namun, kehadiran Fadlan selama empat tahun. Selalu ada untuk dirinya, menemani setiap kesunyian dan kesendirian Marisa. Membuatnya nyaman. Membuatnya merasa kehilangan saat beberapa saat saja jauh dengannya.
Marisa pun berubah anggapan jika rasa sukanya terhadap Hazlan hanya bermula dari kekagumannya semata. Bukan karena ia mencintainya.
Ia tidak menyadari jika cinta yang sebenarnya hanya untuk Fadlan. Pertemuan pertama Marisa dengan Fadlan yang terkesan kurang baik justru membuat keduanya lebih sering terlihat tidak akur satu sama lain. Meributkan hal kecil yang sepele. Tingkahnya seperti dua binatang pada serial kartun Tom and Jerry.
Di sinilah kisah cintanya di mulai, ketika perjodohannya dengan Reno gagal. Reno yang tahu jika Marisa tidak pernah sungguh-sungguh menerimanya. Keputusannya hanya berdasarkan rasa sakit hati terhadap Hazlan. Reno yang akhirnya tahu, jika Marisa sebenarnya mencintai Fadlan hanya saja gadis itu belum bisa menyadarinya.
Reno memilih mundur, ia tak ingin memaksanya. Walaupun Ren sangat-sangat mencintai Marisa sejak pertama kali mereka bertemu. Sejak duduk di bangku kuliah, bersama tiga sahabat mereka yang lain, Reno dan Marisa selalu melewati hari-hari penuh canda tawa.
Keikhlasan Reno melepas Marisa sepertinya patut di acungi jempol. Reno bukanlah laki-laki yang tidak baik. Sebenarnya ia pantas memiliki Marisa. Bahkan Haris Santoso sendirilah yang memilihnya untuk bersanding dengan putrinya. Namun, sekali lagi cinta tidak bisa dipaksakan. Reno tak ingin jika suatu hari nanti justru mereka mendapatkan penyesalan.
***
Hallo guys ... ketemu lagi nih sama author gaje yang cerinya suka rada-rada ngawur. Kalian masih ingat Marisa.
Sesuai janji dong ya, janji harus ditepati, bukan?
Author habis semedi dulu, menggali ilmu supaya nulisnya tambah bener. Eh, yang kemaren gak bener gituh?
Bener donk, buktinya masih banyak yang baca, iya toh?
Bagaimana kisah Marisa Vyaris Santoso? Penasaran, cuss kita simak nih. Semoga aku bisa konsisten menyelesaikan cerita ini nantinya ya.
Makanya dukung biar semangat.
Klik tuh tombol favorit.
Terus, like di setiap bab. Jangan lupa komen. Komennya yang positif ya, saling mendukung dan menyemangati tentunya.
Vote, jangan lupa vote juga.
Jangan pelit, sepuluh poin juga gak apa-apa. Hehe, author mah bersyukur aja.
Ok, cuap-cuap mulu. Kapan dimulainya Kakak author? Udah pada gak sabar ya.
Cuss mari...
Happy Reading
.
.
.
.
Manisnya cinta tak mengenal perbedaan usia.
Hallo, hallo. Yang sudah pada nunggu ceritanya mana nih. Jangan lupa isi absen ya, komen aja 'Hadir kakak author ' atau apa pun itu. Supaya Authornya tahu kalau kalian sudah ada di sini.
Oh iya sebelumnya, author mau kasih selingan tiga bab dari RDP 1(Rahasia di balik perjodohan) supaya ceritanya nanti nyambung ok. Jangan pada protes ya, tiga bab itu akan jadi flashback nantinya😀😀
.
.
.
Menanggapi keputusan Reno, Marisa merasa lega. Dia laki-laki yang baik dan pantas mendapatkan yang terbaik. Namun, Marisa sadar jika dirinya tak bisa menjadi yang terbaik untuk Reno. Entah perasaan ini benar ataukah salah. Bagi Marisa di hatinya hanya ada Fadlan saat ini.
Ia pun meraih ponsel saat Reno keluar dari kamarnya, mendial nomor seseorang yang baru beberapa jam lalu bercumbu dengannya di dalam mobil. Walaupun semua tak sempat terjadi lebih dari sekedar ciuman.
Entah apa yang Reno katakan kepada Haris dan Divya. Apa pula yang ia pikirkan tentangnya. Reno pasti menilai jika ia telah menyerahkan diri pada pemuda itu. Belum sempat Marisa menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi, Reno justru sudah memilih mundur.
Sekarang yang jelas kedua orang tuanya merestui untuk ia memilih jalan hidupnya sendiri. Memilih cinta yang ia miliki kepada siapapun itu. Yang terpenting bisa membuatnya bahagia. Bagi Haris kebahagiaan putrinya lah yang paling utama. Begitupun Divya sang ibunda.
"Kamu yakin sayang, Fadlan pilihanmu?"
Sekali lagi bunda Divya ingin memastikan keteguhan hati Marisa.
"Bukan karena dia saudara kembar Haz?"
"Ingat, Nak. Bunda punya cerita masa lalu Ayahmu. Kamu ingat Tante Marisa?"
tanya Divya pada Marisa 'Icha' yang merebahkan kepalanya dengan nyaman di pangkuannya.
"Hmm. Kakak kandung Bunda, kan?" Marisa mengangguk.
"Iya, dia mirip sekali dengan Bunda. Kamu juga tahu kalau sebelum pada Bunda, Ayahmu lebih dulu mencintainya. Dulu Bunda selalu takut jika Ayah menganggap Bunda itu Tante kamu. Bunda selalu takut jika harus hidup dengan bayang-bayang Tante kamu. Makanya Bunda pengen memastikan sekali lagi, apa benar kamu mencintai Fadlan? Atau semata-mata hanya karena dia satu wajah dengan Hazlan. Bunda tidak ingin jika nantinya Fadlan akan merasakan apa yang selama ini Bunda takutkan dari Ayahmu."
Panjang lebar Divya mengingatkan kembali putrinya itu. Jika ia tak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.
Marisa mendongak, menatap ibunya yang tengah membelai lembut rambutnya. Tertidur di pangkuan beliau adalah hal paling menenangkan. Setiap ia menghadapi masalah, belaian tangan bunda Divya lah yang paling ia butuhkan.
"Ayah memberimu pilihan antara Reno dan Fadlan bukan tanpa alasan. Ayah sudah banyak melihat perubahan pemuda itu. Ia memang cukup baik, bahkan adikmu Leo juga melihat dan menilai semua itu. Tapi, di sisi lain Reno juga sangat baik. Kamu tahu itu. Icha Sayang, Bunda dan Ayah dulu dijodohkan tapi kami hidup bahagia meski ada banyak liku dan sekelumit masalah di hidup kami. Sedangkan kamu, Ayah dan Bunda selalu takut jika kamu dan Reno tidak bisa seperti kami."
Jika perjodohan hanya akan membuat putrinya menderita maka Haris tidak akan melakukan kesalahan itu. Membiarkan Marisa mengambil keputusan dengan siapa dirinya akan bersama. Dan pada siapa pula hatinya akan berlabuh.
"Ingat juga perbedaan usia kalian," pungkas Divya mengakhiri perbincangannya dengan Marisa.
Aku yakin dengan perasaanku pada Fadlan. Bukan karena Haz, aku mencintainya, Bunda. Tentang Haz, entahlah Icha menganggap itu sebuah kesalahan. Selama ini Fadlan yang selalu ada bersamaku,sedangkan Reno aku tahu dia baik. Tapi ... aku hanya menganggap kebaikannya sebagai seorang sahabat, tidak lebih.
Batin Marisa berujar sangat yakin.
Namun begitu, meski kedua orang tuanya telah merestui dan memberinya kebebasan, Marisa tak serta merta menerima Fadlan. Pemuda itu masih belum siap menikah. Kuliahnya yang masih menggantung. Skripsinya yang masih belum rampung. Menjadi pertimbangan Marisa untuk menunda entah sampai kapan semuanya siap.
Usia yang tak lagi muda menuntutnya untuk segera berumah tangga, sedangkan Fadlan sendiri ia ingin sekali segera melamar Marisa. Namun, tuntutan dari sang calon mertua membuatnya mengurungkan niat. Menundanya hingga ia benar-benar pantas bersanding dengan Marisa.
"Buktikan saja jika dirimu pantas bagi putriku, setelah itu aku tidak akan meragukanmu."
Perkataan Haris malam itu membuat Fadlan merasa dirinya harus berjuang keras demi mendapatkan restu dari orangtua Marisa.
"Aku tidak ingin gegabah meski tahu jika dirimu anak dari ustaz Mahesa. Beliau memang teladan bagi keluarga kami, tapi bukan berarti kau bisa dengan mudah menjadi menantu ku."
Untuk kesekian kalinya Fadlan mengingat apa yang dikatakan tuan Haris. Ia paham betul bagaimana kerasnya sikap beliau. Tak mudah baginya meluluhkan atau bahkan memenangkan hatinya jika hanya mengandalkan sumpah dan janji. Berhadapan dengan pria seperti Haris tidaklah cukup hanya dengan bermodalkan dua hal itu. Butuh setidaknya perjuangan dan pembuktian. Karenanya Fadlan bertekad melakukan apa pun agar bisa meyakinkannya.
***
Tidak pernah terceritakan sebelumnya jurusan apa yang Fadlan ambil. Ia kuliah dan mati-matian menyelesaikannya lebih cepat hanya untuk mengejar seorang Marisa. Tiga bulan kemudian barulah ia resmi menyandang status sebagai dokter muda terbaik lulusan sebuah fakultas kedokteran di Jakarta. Fadlan terbilang cerdas meski kesan pertamanya ia pemuda yang urakan dan liar. Dengan hobinya balapan serta dulu sering sekali mabuk-mabukkan.
Barulah setelah Fadlan lulus dan mulai bekerja, Haris membuka peluangnya untuk meminang putri sulungnya. Fadlan datang bersama anggota keluarga termasuk Hazlan saudara kembarnya.
Malam itu, acara makan malam di rumah besar keluarga Haris dilaksanakan sebagai jalur silaturrahmi sekaligus acara lamaran yang semula direncanakan oleh kedua belah pihak.
Acara yang berjalan cukup lancar dengan diselingi canda tawa bahagia.
Reno, laki-laki itu juga ada di sana menyaksikan tawa bahagia Marisa. Ia turut tersenyum gembira.
Singkat cerita perjalanan cinta Marisa berlabuh pada titik tertinggi dari sebuah hubungan, yaitu jenjang pernikahan. Fadlan dan Marisa, nama itu yang tertera dalam kartu undangan. Tepat hari ini, undangan tersebut akan dibagikan. Satu pekan dari sekarang adalah hari bahagia keduanya.
***
Bahagia itu ketika kita bisa bersanding di pelaminan dengan pasangan yang kita cintai. Semua terlihat dari senyuman Marisa yang sedari tadi tidak memudar. Rona wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan. Benar, jika ada istilah dunia bagai milik kita berdua disaat kita sedang jatuh cinta. Melirik laki-laki di sampingnya dengan menarik lebar kedua sudut bibirnya. Marisa melihat Fadlan yang sama bahagianya. Laki-laki yang baru beberapa jam lalu mengucapkan ikrar janji suci di hadapan sang penghulu. Di saksikan seluruh anggota keluarga, kerabat dan sahabat. Kini dialah yang menyandang status sebagai suaminya.
Kali ini keduanya tengah menyalami satu persatu tamu undangan yang hadir. Dengan sesekali tertawa kecil oleh candaan beberapa rekan kerja yang lebih dulu menikah. Ada Anita dan suaminya yang berkebangsaan Malaysia. Ada juga pasangan Shintia dan Hendri beserta putra mereka. Silih berganti menggoda Marisa juga Fadlan.
"Uh dokter vs dokter nih, nanti kalau punya anak bakal jadi apa ya." Kali ini giliran Rinaya, teman sesama dokter di rumah sakit di mana Marisa dan Fadlan bertugas. Rinaya atau biasa dipanggil dokter Naya itu seorang dokter SpOG. Ia terkekeh saat berhasil menggoda pasangan pengantin itu.
"Dokter kalau vs dokter malam pertamanya nanti main suntik-suntikkan, lho, Nay," imbuh laki-laki bernama Satrio yang tak lain ialah kekasih Rinaya. Sontak candaannya membuat orang-orang yang berada di sekitar mereka tak kuasa menahan tawa. Bahkan ada yang sampai terbahak-bahak kegelian.
Marisa pun terkekeh geli sembari memukul lengan Satrio. Di sampingnya ada Reno yang juga terlihat menahan tawa. Marisa terhenti dari kekehannya kala tatapannya tak sengaja bertemu dengan manik mata tajam Reno. Ia pun tersenyum kikuk.
"Udah ah, ngeledekin mulu. Kalian tuh kapan nyusul? Awas lho, Naya tuh ganas tahu gak? Nanti kamu kena suntik. Bohong dikit kena bius," balas Marisa kepada Satrio.
"Ya, lebih parah lagi kalau kamu diinstruksi suruh ngeden nih sama bu dokter." Tak ingin kalah, Fadlan pun ikut menimpali candaan Marisa yang ditunjukkan kepada pasangan kekasih, dokter Naya vs Satrio yang berprofesi sebagai polisi.
"Dan ya, Dokter. Kamu juga musti hati-hati. Berani nolak Satrio semalam aja, ntar kena tembak. Dorr!" Tangan Fadlan terangkat meniru bentuk sebuah pistol.
Sesaat setelah mereka puas bercanda, Reno sedikit menjauh dari pelaminan. Ia mencoba mengalihkan kecanggungan dengan mendekati meja minuman. Mengambil segelas jus dan menenggak hingga tinggal separuhnya. Marisa yang melihat Reno hengkang pun menatapnya dengan iba, ia mengukutinya setelah pamit pada Fadlan dan rekan-rekannya yang lain.
Dari tempat Fadlan terduduk, ia bisa melihat Marisa yang menghampiri Reno. Entah apa yang mereka bicarakan namun dengan jelas Fadlan menangkap basah ketika Marisa menyeka sudut matanya. Tanpa ragu Reno juga mengusap pipinya.
Bulir bening airmata itu bahkan masih menggenang di pelupuk matanya, saat Marisa kembali.
Fadlan tak ingin merusak suasana, ia memilih diam meski sebenarnya ia begitu penasaran. Apa yang membuat Marisa menangis di hadapan laki-laki itu?
Di saat bersamaan Haz, ia baru datang, melangkah menuju pelaminan. Bersama Zahra di sampingnya. Kedatangan keduanya membuyarkan segala spekulasi yang muncul begitu saja di memori otaknya. Namun, semakin mereka mendekat, ia melihat dengan jelas senyum kikuk di bibir Marisa. Fadlan meraih jemarinya, menautkan tangannya pada tangan Marisa. Dia pun menoleh lalu perlahan senyumnya berubah sedikit lebih bersahabat. Senyum yang selalu ingin Fadlan lihat.
Masihkah Marisa menyimpan amarah kepada saudara kembarnya? Jika itu memang benar lalu apakah Marisa masih belum bisa melupakan cintanya?
Belum rasa penasarannya terhadap Reno, musnah, ia kembali berspekulasi yang bukan-bukan mengenai perasaan Marisa kepada Hazlan. Namun, segera ia menepis segala bentuk anggapan buruk itu.
Selanjutnya, Haz menyalami serta memeluknya erat. Haz mengucapkan selamat serta sederet untaian doa. Tak lupa Hazlan menyerahkan bingkisan kado kepadanya. Entah apa isinya namun ukurannya lumayan besar.
Setelah puas memberi selamat, Haz mengalihkan pandangannya pada Marisa, ia yang tengah berbincang dengan Zahra. Meski baru bertemu lagi setelah kejadian di bandara hari itu, Marisa nampak berusaha untuk nyaman menanggapi apa pun yang gadis itu katakan. Hazlan kembali mengucapkan selamat kali ini untuk kakak iparnya. Hanya saja tak ada jabat tangan apalagi cium pipi layaknya para sahabat Marisa.
***
Saat Hazlan hendak pergi, Fadlan menahannya. Ia kembali memeluknya. Marisa melihat keduanya tersenyum sangat mirip. Seperti itukah hubungan persaudaraan satu wajah? Sungguh bagai pinang di belah dua. 'Tos' adu tinju yang mereka lakukan, mengingatkan Marisa saat pertama kali ia melepas Hazlan menuju Kairo. Di tempat itu ia pun melakukan hal kecil yang lucu, 'tos' tinju ia dan Hazlan dihalangi sebuah buku agar tangan keduanya tak saling bersentuhan. Marisa tersenyum lagi melihat dua kepalan tangan mereka beradu.
"Apa aku boleh ikutan?" celetuk Marisa yang tiba-tiba berubah antusias. Sementara Haz hanya terpaku melihat kepalan tangan putih itu mengudara.
"Hmm." Marisa meletakkan sebuah kertas sebagai pembatas agar Haz tak ragu melakukannya. Dia yang mengerti itu akhirnya menuruti Marisa.
***
Seluruh anggota keluarga termasuk keluarga Fadlan juga masih ada di sini.
Mereka tidur di rumah Haris untuk malam ini. Keadaan yang sudah larut membuat ustaz Mahesa dan ustazah Nara beserta keluarga lainnya mau tak mau harus menerima tawaran tuan Haris untuk menginap di kediamannya. Kecuali Haz, yang sudah lebih dulu pulang, sore tadi. Mengingat keadaan pesantren yang lengah tanpa pengawasan. Hazlan terpaksa pulang lebih dulu bersama Zahra dan beberapa perwakilan santri juga santriwati.
Dimas yang merupakan adik ipar Haris juga ada di sana, dia yang menjadi penghubung dua keluarga tersebut lantaran istrinya merupakan adik kandung Umi atau ustazah Nara. Dimas Ibrahim yang merupakan adik dari Divya atau lebih tepatnya Om dari Marisa. Dia merasa sangat bahagia ketika tahu dua keponakannya akan menikah. Dimas yang sudah menetap di Bali bersama istri dan anak semata wayangnya pun segera menuju Jakarta begitu mendegar kabar tersebut. Tak henti-hentinya tadi, ia mengucapkan selamat.
***
Marisa sudah berada di dalam kamarnya. Sudah mandi dan berganti pakaian. Ia tengah menatap wajahnya di depan cermin. Memperlihatkan deretan giginya di sana. Apa yang 'Icha' lakukan? Tersenyum sendiri menatap gambar diri.
Rasa tak percaya mungkin yang ada di benak dan di kepalanya saat ini. Tak percaya jika kini ia telah menikah. Sudah menyandang status istri dan menantu.
Setelah melewati acara resepsi yang begitu menguras tenaga. Banyaknya tamu undangan yang datang ke kediaman Haris Santoso membuat pasangan pengantin harus berlama-lama menyalami satu persatu dari mereka. Duduk lalu berdiri kembali, begitu saja seterusnya sampai tamu habis. Rumahnya yang besar bak istana raja tak mengharuskannya jauh-jauh menyewa tempat untuk menggelar acara. Pelataran depan saja sudah cukup untuk menerima banyak tamu, halaman parkir yang luas serta bagian dalam rumahnya yang tak kalah besar dari sebuah gedung pertemuan.
Saat Marisa tengah sibuk menyisir rambut dengan segala pemikirannya, Fadlan yang baru saja kembali setelah berbincang dengan ayah serta ibu mertuanya, perlahan masuk. Pintu kamar yang sedikit terbuka ia dorong tanpa mengeluarkan suara. Sejenak, ia terdiam. Menatap punggung wanita yang telah sah menjadi istrinya. Diq tengah berdiri menghadap cernin dengan rambut panjangnya yang sedikit basah, tergerai begitu indah.
Ia melangkah mendekati Marisa setelah mengunci pintu itu perlahan. Niatnya semula ingin mengejutkan wanita cantik itu. Namun, pantulan tubuh Fadlan sudah lebih dulu tertangkap oleh cermin di hadapan Marisa. Tatapan mata elang Fadlan dari belakang sana seakan membuat Marisa bergeming. Tangannya tiba-tiba kaku, aktivitasnya menyisir rambut pun terhenti. Dengan masih memegangi rambutnya yang sengaja ia letakkan ke samping, di pundak sebelah kiri, sedikit memiringkan kepala agar air yang masih menempel di rambutnya bisa turun ke lantai tanpa membasahi bajunya. Helai tipis yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya. Baju terusan berbahan licin, berwarna merah muda dengan tali tipis serta renda melingkar di bagian dada dan bagian bawahnya, panjangnya sedikit di atas lutut. Tatapan mata Fadlan seakan mengulitinya hingga ia hanya mampu tersenyum tipis.
"Lagi apa, Sayang?"
Tangan kekarnya sudah melingkar di perut Marisa, membuatnya perlahan menurunkan sisir yang masih menggantung di rambutnya. Desir suara Fadlan nyaris membuat jantungnya melompat. Tak pernah ia merasa segugup ini sebelumnya.
"Kenapa diem? Sudah bisa panggil Sayang, kan sekarang?" Suaranya kembali membuat Marisa merimding.
Meski sebelumnya mereka dekat namun entah mengapa seperti ada hal yang berbeda kali ini. Mungkinkah karena kini keduanya telah resmi menikah?
"Eum, kamu—"
"Hmm?" Dagu Fadlan sudah bergelayut manja di pundak sebelah kanan istrinya.
"—tiba-tiba udah di belakang aja, kapan masuknya?" Marisa menunduk malu, ia yakin saat ini kedua pipinya pasti sudah memerah.
"Barusan, kamu gak tutup pintu jadinya aku masuk tanpa permisi. Gak apa-apa dong?" Ia sedikit terkekeh.
"Hmm." Sebuah deheman kecil saja yang Marisa keluarkan tanpa mengatakan apa pun lagi.
"Sayang. Sudah boleh begini kan?"
Lagi-lagi suara Fadlan lebih mendominasi. Pelukan di perut rata Marisa juga semakin erat. Tingkah Fadlan benar-benar berbeda, ia bahkan menggesekkan pipinya ke ceruk leher Marisa. Sumpah demi apa pun itu membuatnya merinding kegelian.
"Hmm." Dan hanya suara itu juga yang menjadi jawabannya. Marisa mungkin terlalu malu untuk menjawab. Fadlan bisa melihat semburat merah muda di pipinya melalui cermin.
"Hmm, apa? Jawab yang benar!" pinta Fadlan manja.
"Atau kau mau aku memanggilmu Teteh, iya?" Sebutan yang biasa Hazlan pakai saat memanggil Marisa.
"Ish," dengus Marisa tidak suka. Fadlan baru saja mengingatkannya pada hal yang tidak ingin ia ingat.
"Hei, maaf. Jangan marah." Fadlan yang tahu Marisa kesal pun meminta maaf, tanpa menunggu jawabannya ia sudah mendaratkan satu kecupan di pipi wanitanya.
Sudah pantaskah ia menyebut Marisa itu wanitanya?
Gadis itu terpaku, matanya sukses membulat mendapati perlakuan manis dari Fadlan. Ia tersenyum malu lantas mengusap sisi wajah Fadlan, berlama-lama menatap pantulan wajahnya lalu ia pun berbalik. Kini keduanya saling berhadapan. Saling memandang penuh cinta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!