NovelToon NovelToon

Trapped In Forbidden Desire

Bab 1

"Selama aku tidak ada di samping mu, kalung ini yang akan menemanimu. Dan jika kau merindukanku, cukup pejamkan matamu, bayangkan aku ada di sampingmu."

Suara itu terdengar begitu nyata di dalam mimpinya, begitu hangat dan menenangkan.

Axeline perlahan membuka matanya, membiarkan dirinya kembali ke dunia nyata. Cahaya pagi yang lembut menyelinap melalui celah tirai, menyinari wajahnya yang dihiasi senyuman tipis.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, dia selalu terbangun karena mimpi yang sama. Tangannya terangkat, menyentuh liontin berbentuk setengah hati yang selalu melingkar di lehernya. Ia mengusapnya pelan, seolah merasakan kehadiran seseorang yang sangat ia rindukan.

Axeline tersenyum. Ia bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, bersiap menjalani hari yang baru, dengan janji yang masih ia genggam erat di dalam hatinya.

Setelah beberapa saat, Axeline menenteng tasnya dan keluar dari kamar dengan langkah penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai anak magang di perusahaan keluarganya sendiri, yang merupakan bagian dari tugas akhirnya di kampus.

"Selamat pagi, Mom! Dad!" sapanya, sebelum mencium pipi Keyra dan Alexio bergantian, lalu duduk di kursinya.

"Selamat pagi, Sayang," balas Keyra lembut.

Alexio memperhatikan putrinya, lalu bertanya, "Jadi, kau benar-benar akan magang di perusahaan Uncle Keyvan?"

Axeline mengangguk mantap. "Iya, Dad. Tapi Daddy tenang saja. Aku sudah meminta Uncle untuk tidak memperlakukanku dengan istimewa. Aku ingin belajar dan berusaha dengan kemampuanku sendiri."

Keyra tersenyum bangga mendengar tekad putrinya. Ia mengambilkan makanan untuknya sebelum berkata, "Kami tidak khawatir, Sayang. Justru kami senang karena kau magang di perusahaan Uncle Keyvan. Tapi, kenapa kau tidak memilih perusahaan Daddy, hm?"

Axeline mendesah pelan. "Aku tidak mau, Mom. Yang ada, Kakak pasti akan terus mengejek dan mengerjai ku."

Axel yang dari tadi sibuk menikmati sarapannya, terlihat tersenyum simpul. "Itu karena kau bodoh," celetuknya santai tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.

Axeline membelalak kesal. "Lihat! Kakak sudah mulai, kan?" Dengan wajah cemberut, ia memalingkan wajahnya, enggan melihat Axel. Namun, alih-alih menanggapinya dengan serius, Axel justru mengusap kepala Axeline dengan santai, seolah tidak terganggu oleh kemarahan adiknya.

"Jangan membuat onar di perusahaan Uncle, ya," ucapnya sebelum bangkit dan melenggang pergi.

"Kakak!" pekik Axeline kesal karena Axel sudah membuat rambutnya berantakan.

Sementara itu, Alexio dan Keyra hanya bisa saling melirik sebelum menggeleng pelan.

Di rumah ini, tiada hari tanpa pertengkaran kecil antara kedua anak mereka. Tapi mereka tahu, meskipun Axel terlihat suka mengejek Axeline, sebenarnya ia sangat menyayangi adiknya.

Axeline mendengus kesal. "Huh, dasar menyebalkan," gerutunya. "Dia selalu mengejekku bodoh hanya karena dia pintar dan mengikuti kelas akselerasi saat sekolah. Aku jadi ragu, apakah aku benar-benar adiknya atau bukan. Kenapa dia begitu padaku?"

Sejenak, suasana di meja makan menjadi hening. Keyra merasakan sesuatu mencubit hatinya, tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Alexio menggenggam tangannya erat dan menggeleng pelan, seolah memberi isyarat untuk tenang.

Keyra menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Sudahlah, Sayang. Kakakmu memang seperti itu. Tapi kau tahu, kan? Dia hanya ingin menjagamu dengan caranya sendiri."

Axeline hanya mendengus pelan, masih merajuk. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu jika Axel menyayanginya.

"Oh iya, Sayang. Daddy sudah meminta Uncle agar kau bisa pulang lebih awal," ucap Alexio tiba-tiba.

Axeline mengerutkan kening, merasa penasaran. "Kenapa begitu?"

Alexio hanya tersenyum misterius. "Nanti kau juga akan tahu. Pokoknya, jangan keluyuran setelah jam pulang, oke?"

Axeline mendesah pelan. Ia tahu, jika ayahnya sudah berkata seperti itu, artinya tidak ada ruang untuk berdebat. "Baiklah," jawabnya dengan sedikit enggan.

Selesai sarapan, Axeline bergegas berangkat dengan taksi yang sudah ia pesan sebelumya. Ia terlihat tegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Hari pertama magang bukan sekadar formalitas baginya, ini adalah langkah awal untuk membuktikan diri, untuk berkembang, dan juga untuk membangun kariernya di masa depan.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku pasti bisa," gumamnya lirih, sebelum menatap ke luar jendela, menyaksikan jalanan yang perlahan membawa dirinya menuju awal perjalanan barunya.

Tidak membutuhkan waktu lama, taksi yang ia tumpangi mulai menepi. Axeline turun dari taksi, mendongak menatap gedung pencakar langit yang menjulang megah di depannya. Logo besar NA Company terpampang jelas di bagian atas, memancarkan aura kesuksesan.

Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan rasa gugup yang samar terasa di dadanya. "Hari pertama, aku pasti bisa."

Dengan senyum tipis, ia melangkah mantap memasuki gedung, bergabung dengan para mahasiswa lain yang juga magang di sana.

Hari pertama dimulai dengan orientasi dan pengenalan perusahaan. Mereka berdiri rapi, mendengarkan pemaparan dengan serius. Namun, di tengah sesi, langkah tegas seseorang menarik perhatian mereka.

Keyvan melewati mereka dengan aura dominasi yang begitu kuat. Wajahnya datar, tatapan matanya tajam dan dingin, jauh berbeda dari pria yang biasanya tersenyum hangat saat di rumah.

Axeline bergidik pelan. Ia menelan ludah, menatap sosok Keyvan yang tampak begitu berbeda.

"Uncle di tempat kerja terasa seperti orang lain. Jauh berbeda dengan seseorang," batinnya. Senyumnya terbit saat tangannya tanpa sadar mengusap liontin berbentuk setengah hati yang tergantung di lehernya.

...****************...

Waktu berlalu begitu cepat. Hari pertama magang berjalan lancar, meskipun cukup melelahkan.

Axeline yang baru saja sampai di rumah, terlihat masuk dengan langkah lunglai, dan wajah yang lelah.

"Kau sudah pulang, Sayang?" suara lembut Keyra menyambutnya.

Axeline menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri ke sofa. "Iya, Mom. Aku lelah sekali. Dari tadi aku harus mondar-mandir membantu karyawan di sana mengerjakan pekerjaan mereka," keluhnya.

Keyra tersenyum lembut, lalu mengusap kepala putrinya. "Jika kau lelah, istirahatlah dulu. Mommy bisa bicara dengan Uncle Keyvan dan Aunty Nayya nanti," ucapnya.

Mendengar itu, Axeline langsung menegakkan tubuhnya dengan rasa penasaran yang memenuhi benaknya. "Memangnya ada apa, Mom?"

Keyra menatap putrinya sejenak, sebelum akhirnya tersenyum lembut. "Kau tidak tahu?" tanya Keyra yang dijawab gelengan oleh Axeline. "Hari ini, Keynan akan pulang, Sayang."

Tubuh Axeline menegang. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang hanya mendengar namanya saja. Apalagi, hari ini ia akan segera bertemu dengan pria yang selama ini ia rindukan.

"Aku akan segera bersiap, mom!" tanpa peringatan, Axeline bergegas ke kamarnya untuk membersihkan diri dan memakai gaun terbaiknya.

Dan, di sinilah Axeline sekarang berada, di rumah utama keluarga Dirgantara. Dia duduk terdiam dengan mata yang terus terpaku ke arah pintu rumah besar itu. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga terasa menggema di dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menahan getaran yang merayap ke seluruh tubuhnya.

Sudah lima tahun sejak Keynan pergi. Dan kini, ia kembali.

Dia mendongak saat pintu berderit perlahan, seolah waktu ikut melambat bersama napasnya yang tertahan.

Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam ingatannya.

Keynan, dia lebih tinggi dari yang ia ingat, rahangnya lebih tegas, sorot matanya lebih tajam. Dia masih pria yang sama, namun sekaligus terasa begitu asing baginya.

Axeline menelan ludah, matanya mencari-cari cahaya di balik tatapan itu. Seulas senyum kecil yang dulu selalu menyambutnya, tidak terlihat.

Tidak ada kehangatan, tidak ada pelukan, tidak ada sapaan hangat seperti yang Axeline harapkan. Pria itu hanya melewatinya begitu saja, seolah ia hanyalah orang asing yang kebetulan berada di sana.

Axeline tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa membeku. Hatinya yang sejak tadi berdebar penuh harapan kini terasa kosong. Begitukah caranya Keynan menyambutnya setelah lima tahun? Bukan dengan senyum, bukan dengan sapaan hangat, melainkan dengan tatapan dingin dan sikap acuh?

Seketika, sesuatu di dadanya terasa sesak. Jemarinya meremas liontin di lehernya, seakan mencari kehangatan yang dulu selalu ia rasakan dari pria itu. Tapi yang tersisa kini hanyalah keheningan yang menyakitkan.

Bab 2

Axeline duduk di meja makan, mencoba menikmati kebersamaan dua keluarga besar yang saat ini tengah berkumpul. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini.

Keynan.

Pria itu terus menjaga jarak darinya, seolah mereka bukan lagi orang yang pernah begitu dekat. Bahkan selama makan malam, Keynan hampir tidak berbicara dengannya.

Axeline menggenggam sendoknya erat. Perasaan gelisah dan kecewa berbaur menjadi satu. Bahkan, ia sempat berfikir, apa dia melakukan kesalahan?

“Kau kenapa?” suara Axel tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Axeline tersentak. Seketika, perhatian semua orang tertuju padanya, seolah menuntut jawaban. Namun, ia hanya tersenyum canggung, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “A-aku baik-baik saja,” ucapnya pelan, lalu menunduk, mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat untuk memakannya.

Ia melirik sekilas ke arah Keynan, berharap setidaknya ada sedikit reaksi dari pria itu. Namun, Keynan tetap tenang, fokus pada makanannya seakan tidak ada yang terjadi.

"Daddy senang akhirnya kau pulang, Keynan. Dengan begitu, kau bisa membantu Daddy mengurus perusahaan,” ucapnya dengan nada penuh harapan.

Keynan tidak bereaksi banyak. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa ekspresi di wajahnya.

Namun, berbeda dengan Axeline. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat. Jika Keynan mengurus perusahaan, itu artinya, mereka akan lebih sering bertemu, bukan?

Setelah makan malam yang terasa begitu canggung, semua orang mulai meninggalkan meja makan satu per satu dan berkumpul di ruang keluarga. Keynan juga bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Axeline yang masih terpaku di tempatnya.

Axeline menatap punggungnya yang semakin menjauh, rasa sesak di dadanya semakin kuat. Kenapa Keynan berubah?

Ia ingin mengejarnya dan bertanya langsung, tapi langkahnya terasa berat. Ada ketakutan bahwa jawabannya mungkin lebih menyakitkan daripada diam yang Keynan lakukan saat ini.

“Kau tidak ingin bicara dengannya?” suara Axel menyadarkannya.

Axeline menoleh dan mendapati kakaknya yang menatapnya dengan tatapan penuh arti.

“Apa?” gumam Axeline, pura-pura tidak mengerti.

Axel mendengus pelan. “Jangan pura-pura bodoh. Jelas sekali kau ingin berbicara dengannya.”

Axeline terdiam. Kepalanya menunduk, jarinya menggenggam erat liontin setengah hati di lehernya.

"Kak, aku mau pulang," lirih Axeline.

Axel mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh tanya. "Pulang? Kau yakin?" tanya Axel memastikan, tapi Axeline hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Lalu, ia beranjak dari duduknya dan keluar begitu saja tanpa berpamitan dengan yang lainnya.

"Ck, dasar anak itu!" Axel menghela napas, lalu berpamitan pada keluarganya yang masih asyik berbincang di ruang keluarga. Setelahnya, ia segera menyusul Axeline yang sudah duduk diam di dalam mobil.

Axel melirik ke arah adiknya begitu masuk ke dalam mobil. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Iya. Aku hanya lelah saja," ucapnya pelan.

Axel tidak bertanya lagi. Ia hanya menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobilnya, membawa mereka menjauh dari sana. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengintai dari balik jendela, memperhatikan kepergian mereka dalam diam.

Keesokan harinya, sudah menjadi rutinitas baru untuk Axeline untuk bangun lebih awal. Ini adalah hari kedua ia menjadi anak magang. Tapi, berbeda dari sebelumnya, ia sama sekali tidak bersemangat kali ini.

Bukan karena pekerjaannya yang berat. Tapi, karena ia akan lebih sering bertemu dengan Keynan di perusahaan. Bukankah, harusnya ia merasa senang?

Ya, itu jika Keynan tidak bersikap dingin padanya. Dia seolah tidak mengenal pria itu saat ini. Apakah kebersamaan mereka selama bertahun-tahun benar-benar tidak berarti? Apakah perpisahan lima tahun bisa menghapus segalanya?

Ya, itu bisa saja terjadi. Mungkin, Keynan mengalami banyak hal di sana. Dan yang jelas, pasti ada alasan di balik sikapnya yang berubah.

"Aku tidak boleh begini. Aku harus meminta penjelasan darinya," gumam Axeline pada dirinya sendiri.

Setelah selesai bersiap, ia buru-buru menuju ruang makan, tempat keluarganya sudah berkumpul. Dengan cepat, ia menggigit roti tawar dan meneguk susu buatan ibunya.

"Sayang, kenapa kau tergesa-gesa, hah?" tanya Keyra, memandang putrinya dengan heran.

"Aku takut terlambat, Mom." Axeline menaruh gelasnya di meja, lalu mencium pipi ayah dan ibunya bergantian.

"Aku berangkat dulu, ya!" ucapnya sebelum bergegas pergi, meninggalkan keluarganya yang masih duduk di meja makan.

Seperti biasa, Axeline berangkat menggunakan taksi. Dan tidak butuh waktu lama, Axeline sampai di NA Company.

Hari ini juga, ia harus menemui Keynan, tidak peduli apa pun yang terjadi. Saat ia turun dari taksi, matanya menangkap sosok yang baru saja tiba bersama asistennya. Tanpa berpikir panjang, Axeline buru-buru mengikuti mereka.

Tepat saat Keynan dan asistennya hendak masuk ke dalam lift khusus, Axeline menerobos masuk, berdiri di belakang pria itu dengan napas terengah-engah. Ia hanya bisa berharap tidak ada karyawan yang melihatnya.

Keynan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap datar, seolah kehadiran Axeline sama sekali tidak berarti. Namun, Andrian, asistennya, justru memilih keluar dari lift tanpa berkata apa-apa. Ia tahu siapa Axeline, dan dia lebih memilih untuk tidak terlibat.

Lift mulai bergerak.

Keynan tetap sibuk dengan ponselnya, sementara Axeline menatapnya nanar, seolah mencari jawaban yang tidak kunjung datang.

Hingga akhirnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. "Ada apa? Kenapa kau mendiamkan ku? Apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Keynan tidak langsung menjawab. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku tepat saat pintu lift terbuka. Sebelum melangkah keluar, ia akhirnya berkata, "perhatikan sikapmu, Nona Axeline. Ingat! Ini di perusahaan." Tanpa menoleh sedikit pun, Keynan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Axeline yang masih terpaku di tempatnya.

Sakit.

Itu yang Axeline rasakan. Namun, Axeline tidak ingin menyerah. Ia bertekad akan menunggu sampai jam pulang tiba, dan berharap saat itu ia bisa berbicara lebih leluasa dengan Keynan.

...****************...

Waktu yang dinantikan pun datang. Setelah seharian bekerja membantu para seniornya, semua bersiap untuk pulang, mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah.

Namun, berbeda dengan Axeline yang justru merasa jantungnya berdebar semakin kencang.

Axeline menatap keluar jendela, di mana hari mulai gelap. Satu per satu lampu di kantor mulai dimatikan, menandakan bahwa hampir semua orang sudah pergi. Tapi, dia masih berdiri di sana, menunggu Keynan.

Namun, satu jam berlalu dan pria itu masih juga belum terlihat. "Apa dia lembur?" gumamnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat jam di layar sudah menunjukkan pukul 8 malam.

Axeline segera mengirim pesan kepada kakaknya, memberi tahu bahwa ia akan pulang terlambat. Setelah itu, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.

"Lebih baik aku ke ruangannya saja." Axeline melangkah perlahan di lorong yang mulai gelap. Hampir semua ruangan telah dimatikan, meninggalkan suasana sunyi yang semakin membuatnya gugup. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi langkahnya terhenti saat melihat ruangan Keynan yang masih terang.

"Kali ini bukan jam kerja. Aku harap kau mau berbicara denganku dan menjelaskan semuanya, Kak," gumamnya.

Axeline mengangkat tangannya, meraih kenop pintu, lalu mendorongnya perlahan. Namun, begitu pintu terbuka, pemandangan di depannya membuatnya terkejut.

Di atas meja, terdapat sebotol minuman beralkohol yang hampir habis. Ruangan terasa sunyi, hanya ada cahaya lampu yang menerangi sudut-sudutnya.

Axeline melangkah masuk dengan ragu, mencari sosok Keynan. "Kenapa dia minum di kantor?"

Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah tangan tiba-tiba menariknya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas sofa.

"Apa yang kau lakukan?" Axeline menegang saat mendapati Keynan berdiri di hadapannya. Mata pria itu sedikit redup, napasnya tercium samar aroma alkohol.

"K-Kak Keynan? Ada apa denganmu? Kenapa kau seperti ini?" tanyanya, sedikit cemas.

"Bukankah sudah kukatakan untuk menjaga sikap, Axeline?"

Axeline mencoba duduk tegak, tapi Keynan masih berdiri di dekatnya, menatap dengan pandangan yang sulit ditebak.

"Kak, kau harus pulang. Aku akan mengantarmu," ucapnya lembut, mencoba meredakan situasi.Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Keynan mendorongnya hingga terlentang dan menindihnya. Tangan kekarnya mencekal tangan Axeline kesamping dan mencium bibirnya dengan rakus.

Axeline melebarkan kedua matanya. Dia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Keynan sangat kuat. "APA YANG KAU LAKUKAN, KAK?" teriak Axeline setelah ciuman mereka terlepas. Nafasnya memburu dengan mata yang menatap tajam Keynan.

Tapi, Keynan seolah kehilangan kendali. Dia mencekal kedua tangannya Axeline diatas kepala menggunakan satu tangan dan mengusap bibir gadis itu. "Kenapa kau berteriak, hm? Aku yakin kau juga menginginkan ini." Tanpa peringatan, Keynan kembali mencium Axeline. Kali ini lebih dalam dan menuntun, tanpa memberi celah untuk Axeline melawan, sehingga terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.

Bab 3

Keynan mengerjapkan matanya perlahan, merasakan pusing yang menusuk di kepalanya. Ia mengerang pelan, memijat pelipisnya untuk meredakan rasa sakit yang mengganggu. Tarikan napasnya dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, saat pandangannya mulai fokus, sesuatu yang lain membuatnya tersentak.

Napasnya terasa berat, saat mengetahui dirinya yang berantakan dan yang paling mengejutkan, ia bertelanjang dada.

Refleks, Keynan langsung bangkit dari sofa, tempat ia tidur. Tapi begitu ia bergerak, sensasi perih menyengat di punggungnya. Rasa sakit itu bukan hanya fisik, melainkan juga meninggalkan jejak samar di pikirannya.

"Apa yang terjadi?" gumamnya pelan, mencoba merangkai ingatan yang terasa kabur.

Samar-samar, bayangan seorang wanita muncul dalam benaknya. Mata itu … mata yang basah oleh air mata. "Axeline?" lirihnya.

Seperti tersambar petir, Keynan terperanjat.

"Shit!"

Tanpa berpikir panjang, ia bergegas keluar dari ruangan dengan langkah yang terburu-buru. Namun, di depan pintu, Andrian sudah menunggunya, segera menghalanginya dengan ekspresi terkejut.

"Tuan, Anda mau ke mana dengan penampilan seperti ini?"

Keynan terhenti. Napasnya memburu, kepalanya masih terasa berat, dan ia baru menyadari betapa berantakannya dirinya saat ini. Ia mengumpat pelan sebelum berbalik menatap Andrian dengan tatapan tajam.

"Cepat siapkan bajuku."

Tanpa menunggu jawaban, Keynan kembali masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Andrian yang hanya bisa menghela napas dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi semalam?

Keynan memilih untuk membersihkan diri, berharap air dingin bisa meredakan kekacauan di kepalanya. Ia berdiri di bawah shower, membiarkan air mengguyur tubuhnya yang masih terasa lelah dan nyeri. Namun, begitu rasa perih di punggungnya terasa, ingatannya perlahan kembali.

Potongan-potongan kejadian tadi malam berkelebat di pikirannya. Axeline, tangisannya dan cara ia memohon dan mencoba menghentikannya, membuat darah Keynan berdesir. Rahangnya mengatup rapat, lalu seketika ia menggeram marah.

Tanpa pikir panjang, ia menghantam dinding dengan kepalan tangannya. Sekali, dua kali. Sampai buku-buku jarinya memerah. Tapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa benci yang kini ia tujukan pada dirinya sendiri.

"BRENGSEK!! KAU BENAR-BENAR BRENGSEK, KEYNAN!"

Suara teriakannya menggema di dalam kamar mandi, tenggelam dalam derasnya air yang masih terus mengalir. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah dan penyesalan.

Ia menunduk, membiarkan air itu mengalir di tubuhnya. Ia mencoba mendinginkan kepalanya yang terasa panas oleh rasa bersalah. Namun, sesakit apa pun ia memukul dinding, tidak ada yang bisa menghapus kenyataan bahwa ia telah melakukan hal yang tidak seharusnya.

Setelah beberapa saat, ia mendongak perlahan, wajahnya yang basah kini penuh dengan tekad.

"Aku harus bicara dengan Axeline."

Tanpa membuang waktu, Keynan mematikan shower dan keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Andrian, lalu berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangannya sendiri yang kini ia benci.

Setelah menarik napas panjang, ia melangkah keluar dari ruang pribadinya dan duduk di kursi kebesarannya. Tangannya bertaut di depan meja, rahangnya mengatup rapat sebelum mengeluarkan perintah dengan suara dingin.

"Minta manajemen departemen untuk mengumpulkan anak magang di aula sekarang!"

Andrian, yang berdiri tegap di hadapannya, segera mengangguk. "Baik, Tuan." Tanpa banyak bertanya, ia menunduk hormat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah.

Begitu pintu tertutup, Keynan menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, menutup matanya sejenak.

Niatnya selama ini adalah menghindar. Pergi ke luar negeri bukan hanya untuk melanjutkan pendidikan, tapi juga untuk menjauh, untuk membunuh perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.

Ia pikir, jarak bisa membuatnya melupakan segalanya. Bisa menghapus debaran yang tidak pantas itu dari hatinya. Tapi ternyata, semua sia-sia karena begitu ia kembali, hanya butuh satu tatapan saja untuk menghancurkan semua pertahanan yang susah payah ia bangun selama ini.

Sebisa mungkin, ia berusaha mengabaikan Axeline, berharap wanita itu menjauh dengan sendirinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Sekarang, ia telah melakukan sesuatu yang membuat segalanya berantakan. Bukan hanya hubungan mereka, tapi juga dirinya sendiri.

Dan Keynan tahu, setelah ini, tidak akan ada lagi jalan untuk kembali.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu membuat Keynan tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas, menekan kembali emosi yang sempat memenuhi pikirannya.

"Masuk!"

Pintu terbuka perlahan, dan Andrian melangkah masuk dengan sikap hormat. Setelah menundukkan kepala sedikit, ia menyampaikan laporannya.

"Mereka sudah berkumpul di aula, Tuan."

Keynan hanya mengangguk pelan. Lalu tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursinya dan melangkah keluar. Sementara Andrian, seperti biasa, berjalan di belakangnya.

Saat tiba di aula, suara obrolan para anak magang yang semula memenuhi ruangan langsung mereda. Semua orang terdiam, berdiri tegak dengan wajah tegang begitu melihat sosok Keynan memasuki ruangan.

Matanya tajam menyapu mereka satu per satu, mencari sosok yang sejak tadi ada di pikirannya. Tapi, ia tidak menemukannya.

"Apa hanya ini?" tanyanya, dengan suara yang terdengar dingin dan berat.

Andrian melirik daftar absensi sebelum menjawab, "Ada dua orang yang tidak bisa hadir, Tuan."

Keynan mengalihkan pandangannya ke arah Andrian. "Siapa? Dan apa alasannya?"

Sejenak, Andrian tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, "Stefany dan … Axeline. Mereka izin karena sakit, Tuan."

Jantung Keynan berdebar tak nyaman. Tangannya mengepal tanpa sadar.

Sakit? Apakah karena kejadian semalam? Apa yang sebenarnya terjadi padanya sekarang?

Tatapan Keynan menggelap. Ia menarik napas dalam, mencoba menekan emosi yang tiba-tiba meluap. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Keynan berbalik dan pergi dari aula.

Andrian hanya bisa menghela napas panjang, merasa bingung dengan sikap atasannya.

"Untuk apa tadi dia menyuruhku mengumpulkan anak magang?" pikirnya. Ia mengira Keynan akan memberikan arahan atau setidaknya berbicara sesuatu. Tapi ternyata, pria itu justru pergi begitu saja tanpa penjelasan apa pun.

Sementara itu, Keynan kembali ke ruangannya. Pintu tertutup dengan sedikit keras.

Pikirannya kacau. Ia berjalan mondar-mandir dengan tangan yang sesekali mengepal, berusaha mengendalikan diri. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan semuanya, semakin jelas bayangan semalam memenuhi benaknya.

Hingga akhirnya, pandangannya jatuh pada sofa di sudut ruangan. Sofa itu menjadi saksi bisu dari perbuatannya.

Ia menatapnya lekat, dan seketika tubuhnya menegang saat melihat noda merah samar yang tertinggal di sana.

Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa sadar, emosi kembali menguasainya.

"BRENGSEK!"

Keynan menggeram marah, tinjunya menghantam meja dengan keras.

Ia membenci dirinya sendiri, membenci apa yang telah ia lakukan, membenci fakta bahwa sekarang, tidak ada jalan untuk mengubahnya.

Napasnya memburu. Ia menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri. Butuh beberapa detik baginya untuk kembali berpikir dengan jernih.

Tidak peduli seberapa besar rasa bersalahnya, tidak peduli seberapa besar ia ingin menghindari kenyataan. Dengan tekad yang mulai terbentuk, Keynan menarik napas dalam dan berbisik pada dirinya sendiri,

"Bagaimanapun juga, aku harus bicara dengannya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!