"Selama aku tidak ada di samping mu, kalung ini yang akan menemanimu. Dan jika kau merindukanku, cukup pejamkan matamu, bayangkan aku ada di sampingmu."
Suara itu terdengar begitu nyata di dalam mimpinya, begitu hangat dan menenangkan.
Axeline perlahan membuka matanya, membiarkan dirinya kembali ke dunia nyata. Cahaya pagi yang lembut menyelinap melalui celah tirai, menyinari wajahnya yang dihiasi senyuman tipis.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, dia selalu terbangun karena mimpi yang sama. Tangannya terangkat, menyentuh liontin berbentuk setengah hati yang selalu melingkar di lehernya. Ia mengusapnya pelan, seolah merasakan kehadiran seseorang yang sangat ia rindukan.
Axeline tersenyum. Ia bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, bersiap menjalani hari yang baru, dengan janji yang masih ia genggam erat di dalam hatinya.
Setelah beberapa saat, Axeline menenteng tasnya dan keluar dari kamar dengan langkah penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai anak magang di perusahaan keluarganya sendiri, yang merupakan bagian dari tugas akhirnya di kampus.
"Selamat pagi, Mom! Dad!" sapanya, sebelum mencium pipi Keyra dan Alexio bergantian, lalu duduk di kursinya.
"Selamat pagi, Sayang," balas Keyra lembut.
Alexio memperhatikan putrinya, lalu bertanya, "Jadi, kau benar-benar akan magang di perusahaan Uncle Keyvan?"
Axeline mengangguk mantap. "Iya, Dad. Tapi Daddy tenang saja. Aku sudah meminta Uncle untuk tidak memperlakukanku dengan istimewa. Aku ingin belajar dan berusaha dengan kemampuanku sendiri."
Keyra tersenyum bangga mendengar tekad putrinya. Ia mengambilkan makanan untuknya sebelum berkata, "Kami tidak khawatir, Sayang. Justru kami senang karena kau magang di perusahaan Uncle Keyvan. Tapi, kenapa kau tidak memilih perusahaan Daddy, hm?"
Axeline mendesah pelan. "Aku tidak mau, Mom. Yang ada, Kakak pasti akan terus mengejek dan mengerjai ku."
Axel yang dari tadi sibuk menikmati sarapannya, terlihat tersenyum simpul. "Itu karena kau bodoh," celetuknya santai tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.
Axeline membelalak kesal. "Lihat! Kakak sudah mulai, kan?" Dengan wajah cemberut, ia memalingkan wajahnya, enggan melihat Axel. Namun, alih-alih menanggapinya dengan serius, Axel justru mengusap kepala Axeline dengan santai, seolah tidak terganggu oleh kemarahan adiknya.
"Jangan membuat onar di perusahaan Uncle, ya," ucapnya sebelum bangkit dan melenggang pergi.
"Kakak!" pekik Axeline kesal karena Axel sudah membuat rambutnya berantakan.
Sementara itu, Alexio dan Keyra hanya bisa saling melirik sebelum menggeleng pelan.
Di rumah ini, tiada hari tanpa pertengkaran kecil antara kedua anak mereka. Tapi mereka tahu, meskipun Axel terlihat suka mengejek Axeline, sebenarnya ia sangat menyayangi adiknya.
Axeline mendengus kesal. "Huh, dasar menyebalkan," gerutunya. "Dia selalu mengejekku bodoh hanya karena dia pintar dan mengikuti kelas akselerasi saat sekolah. Aku jadi ragu, apakah aku benar-benar adiknya atau bukan. Kenapa dia begitu padaku?"
Sejenak, suasana di meja makan menjadi hening. Keyra merasakan sesuatu mencubit hatinya, tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Alexio menggenggam tangannya erat dan menggeleng pelan, seolah memberi isyarat untuk tenang.
Keyra menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Sudahlah, Sayang. Kakakmu memang seperti itu. Tapi kau tahu, kan? Dia hanya ingin menjagamu dengan caranya sendiri."
Axeline hanya mendengus pelan, masih merajuk. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu jika Axel menyayanginya.
"Oh iya, Sayang. Daddy sudah meminta Uncle agar kau bisa pulang lebih awal," ucap Alexio tiba-tiba.
Axeline mengerutkan kening, merasa penasaran. "Kenapa begitu?"
Alexio hanya tersenyum misterius. "Nanti kau juga akan tahu. Pokoknya, jangan keluyuran setelah jam pulang, oke?"
Axeline mendesah pelan. Jika ayahnya sudah berkata seperti itu, berarti tak ada ruang untuk berdebat. “Baiklah,” jawabnya dengan enggan.
Selesai sarapan, ia bergegas keluar, menaiki taksi yang telah dipesannya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Hari pertama magang bukan sekadar formalitas, melainkan langkah awal untuk membuktikan diri, berkembang, dan membangun masa depan.
Ia menarik napas dalam. “Aku pasti bisa,” gumamnya lirih, menatap jalanan yang mengantarnya menuju awal perjalanan baru.
Taksi berhenti di depan gedung pencakar langit. Axeline turun, mendongak menatap logo besar NA Company yang terpampang megah di atasnya. Ia menelan ludah, mencoba meredakan kegugupan yang menggelayuti dadanya.
“Hari pertama. Aku pasti bisa.”
Dengan senyum tipis, ia melangkah masuk, bergabung dengan mahasiswa lain.
Hari pertama dimulai dengan orientasi dan pengenalan perusahaan. Mereka berdiri rapi, menyimak dengan serius, hingga suara langkah tegas menarik perhatian.
Sosok pria tinggi berjalan melewati mereka, auranya mendominasi ruangan. Wajahnya datar, tatapan matanya dingin.
Keyvan.
Jauh berbeda dari pria yang biasanya tersenyum hangat saat di rumah.
Axeline bergidik, menatap punggungnya yang menjauh. "Uncle di tempat kerja terasa seperti orang lain," batinnya. Jemarinya tanpa sadar menyentuh liontin berbentuk setengah hati di lehernya, mencari sedikit ketenangan.
...****************...
Waktu berlalu cepat. Hari pertama magang berjalan lancar, meski melelahkan.
Begitu tiba di rumah, Axeline masuk dengan langkah lunglai.
“Kau sudah pulang, Sayang?” suara lembut Keyra menyambutnya.
Axeline menjatuhkan diri ke sofa, menghela napas panjang. “Iya, Mom. Lelah sekali. Dari tadi mondar-mandir membantu karyawan.”
Keyra tersenyum, mengusap kepala putrinya. “Kalau begitu, istirahatlah dulu. Mommy bisa bicara dengan Uncle Keyvan dan Aunty Nayya nanti.”
Axeline menegakkan tubuh, rasa penasaran memenuhi benaknya. “Memangnya ada apa, Mom?”
Keyra menatapnya sejenak sebelum tersenyum. “Kau tidak tahu? Hari ini Keynan akan pulang.”
Tubuh Axeline menegang. Jantungnya berdegup kencang hanya mendengar namanya. Apalagi, sebentar lagi mereka akan bertemu.
“Aku akan bersiap, Mom!” Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas ke kamar, membersihkan diri, dan memilih gaun terbaiknya.
Dan, di sinilah sekarang Axeline berada, di tengah-tengah keluarga Dirgantara. Dia duduk di ruang tamu rumah utama, matanya terpaku ke arah pintu, jantungnya berdegup begitu kencang hingga terasa menggema di dadanya.
Lima tahun sejak Keynan pergi. Dan kini, ia kembali.
Pintu berderit pelan, seolah waktu ikut melambat bersama napasnya yang tertahan.
Sosok yang selama ini ada dalam ingatannya kini berdiri di sana.
Keynan.
Lebih tinggi dari yang ia ingat, rahangnya lebih tegas, sorot matanya lebih tajam. Dia masih pria yang sama, namun juga terasa asing.
Axeline menelan ludah, matanya mencari secercah kehangatan di balik tatapan itu. Senyum kecil yang dulu selalu menyambutnya kini tak terlihat.
Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan.
Pria itu hanya melewatinya begitu saja, seolah ia hanyalah orang asing.
Axeline tetap berdiri, tubuhnya membeku. Hatinya yang tadi penuh harapan kini terasa kosong. Begitukah cara Keynan menyambutnya setelah lima tahun? Dengan tatapan dingin dan sikap acuh?
Seketika, dadanya terasa sesak. Jemarinya meremas liontin di lehernya, seakan mencari kehangatan yang dulu selalu ia rasakan.
Namun, yang tersisa hanyalah keheningan yang menyakitkan.
Axeline duduk di meja makan, mencoba menikmati kebersamaan dua keluarga besar yang berkumpul malam ini. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Keynan menjaga jarak, seolah mereka tidak pernah saling mengenal. Bahkan selama makan malam, pria itu hampir tidak berbicara dengannya.
Axeline menggenggam sendok erat. Gelisah dan kecewa bercampur menjadi satu. Apakah ia melakukan kesalahan?
"Kau kenapa?" suara Axel membuyarkan lamunannya.
Axeline tersentak, mendapati perhatian semua orang kini tertuju padanya. Ia tersenyum canggung. "A-aku baik-baik saja," ucapnya pelan, menunduk, mengaduk makanannya tanpa niat menyantapnya.
Sekilas, ia melirik Keynan, berharap ada reaksi. Namun, pria itu tetap tenang, fokus pada makanannya seakan tak terjadi apa-apa.
"Daddy senang akhirnya kau pulang, Keynan. Dengan begitu, kau bisa membantu Daddy mengurus perusahaan," ucap ayahnya penuh harapan.
Keynan hanya mengangguk tanpa ekspresi. Berbeda dengan Axeline. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat. Jika Keynan mengurus perusahaan, mereka akan lebih sering bertemu, bukan?
Makan malam berlalu dalam kecanggungan. Satu per satu orang meninggalkan meja, termasuk Keynan yang bangkit tanpa sepatah kata, meninggalkan Axeline yang masih terpaku di tempatnya.
Ia menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. Kenapa Keynan berubah?
Axeline ingin mengejarnya dan bertanya langsung. Tapi langkahnya terasa berat. Bagaimana jika jawabannya lebih menyakitkan dari diamnya saat ini?
"Kau tidak ingin bicara dengannya?" suara Axel menyadarkannya.
Axeline menoleh, mendapati kakaknya menatapnya penuh arti. "Apa?" gumamnya, pura-pura tak mengerti.
Axel mendengus. "Jangan pura-pura bodoh. Jelas sekali kau ingin bicara dengannya."
Axeline terdiam, menggenggam liontin setengah hati di lehernya. "Kak, aku mau pulang," lirihnya.
Axel mengernyit. "Pulang? Kau yakin?"
Axeline mengangguk tanpa banyak bicara, lalu bangkit dan keluar tanpa berpamitan.
"Ck, dasar anak itu," gerutu Axel, lalu berpamitan pada keluarga sebelum menyusul adiknya yang sudah duduk di dalam mobil.
Begitu masuk, Axel melirik Axeline. "Kau baik-baik saja?"
"Iya. Aku hanya lelah," jawabnya pelan.
Axel tidak bertanya lagi. Ia menyalakan mesin dan melajukan mobil.
Dari balik jendela, sepasang mata mengawasi mereka dalam diam.
Keesokan harinya, Axeline bangun lebih awal. Hari kedua magang seharusnya membuatnya bersemangat, tapi kali ini tidak.
Bukan karena pekerjaannya berat, melainkan karena ia akan lebih sering bertemu Keynan di perusahaan. Bukankah seharusnya ia senang?
Ya, jika saja Keynan tidak bersikap dingin padanya. Lima tahun berpisah, apakah itu cukup untuk menghapus segalanya?
Mungkin Keynan mengalami banyak hal di sana. Mungkin ada alasan di balik sikapnya.
"Aku tidak boleh begini. Aku harus meminta penjelasan darinya," gumamnya.
Setelah bersiap, ia turun ke ruang makan. Dengan cepat, ia menggigit roti tawar dan meneguk susu.
"Sayang, kenapa kau tergesa-gesa?" tanya Keyra heran.
"Aku takut terlambat, Mom." Axeline mencium pipi ayah dan ibunya. "Aku berangkat dulu!" Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas keluar dan menaiki taksi.
Tidak butuh waktu lama, ia tiba di NA Company. Hari ini, ia harus menemui Keynan. Tidak peduli apa pun yang terjadi.
Begitu turun dari taksi, matanya menangkap sosok pria itu bersama asistennya. Tanpa berpikir panjang, Axeline buru-buru mengikuti mereka.
Saat Keynan dan asistennya hendak masuk ke lift khusus, Axeline menerobos masuk, berdiri di belakangnya dengan napas terengah. Ia hanya bisa berharap tidak ada karyawan yang melihatnya.
Keynan tetap diam, tidak menunjukkan reaksi. Wajahnya datar, seolah kehadiran Axeline sama sekali tidak berarti.
Namun, Andrian, asistennya, memilih keluar tanpa sepatah kata. Ia tahu siapa Axeline dan lebih memilih untuk tidak terlibat.
Lift mulai bergerak.
Keynan sibuk dengan ponselnya, sementara Axeline menatapnya nanar, mencari jawaban yang tidak kunjung datang.
Hingga akhirnya, ia tak bisa menahan diri. "Ada apa? Kenapa kau mendiamkan ku? Apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Keynan tidak langsung menjawab. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku tepat saat pintu lift terbuka. Dan sebelum melangkah keluar, ia akhirnya berkata, "Perhatikan sikapmu, Nona Axeline. Ingat! Ini di perusahaan." Tanpa menoleh, ia berjalan pergi, meninggalkan Axeline yang masih terpaku di tempatnya.
Sakit. Itu yang Axeline rasakan. Namun, ia tidak ingin menyerah. Ia akan menunggu sampai jam pulang tiba, berharap saat itu bisa berbicara lebih leluasa dengan Keynan.
...****************...
Waktu yang dinantikan pun datang. Setelah seharian bekerja membantu para seniornya, semua bersiap untuk pulang, mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah.
Namun, berbeda dengan Axeline yang justru merasa jantungnya berdebar semakin kencang.
Axeline menatap keluar jendela, di mana hari mulai gelap. Satu per satu lampu di kantor mulai dimatikan, menandakan bahwa hampir semua orang sudah pergi. Tapi, dia masih berdiri di sana, menunggu Keynan.
Namun, satu jam berlalu dan pria itu masih juga belum terlihat. "Apa dia lembur?" gumamnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat jam di layar sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Axeline segera mengirim pesan kepada kakaknya, memberi tahu bahwa ia akan pulang terlambat. Setelah itu, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
"Lebih baik aku ke ruangannya saja." Axeline melangkah perlahan di lorong yang mulai gelap. Hampir semua ruangan telah dimatikan, meninggalkan suasana sunyi yang semakin membuatnya gugup. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi langkahnya terhenti saat melihat ruangan Keynan yang masih terang.
"Kali ini bukan jam kerja. Aku harap kau mau berbicara denganku dan menjelaskan semuanya, Kak," gumamnya.
Axeline mengangkat tangannya, meraih kenop pintu, lalu mendorongnya perlahan. Namun, begitu pintu terbuka, pemandangan di depannya membuatnya terkejut.
Di atas meja, terdapat sebotol minuman beralkohol yang hampir habis. Ruangan terasa sunyi, hanya ada cahaya lampu yang menerangi sudut-sudutnya.
Axeline melangkah masuk dengan ragu, mencari sosok Keynan. "Kenapa dia minum di kantor?"
Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah tangan tiba-tiba menariknya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas sofa.
"Apa yang kau lakukan?" Axeline menegang saat mendapati Keynan berdiri di hadapannya. Mata pria itu sedikit redup, napasnya tercium samar aroma alkohol.
"K-Kak Keynan? Ada apa denganmu? Kenapa kau seperti ini?" tanyanya, sedikit cemas.
"Bukankah sudah kukatakan untuk menjaga sikap, Axeline?"
Axeline mencoba duduk tegak, tapi Keynan masih berdiri di dekatnya, menatap dengan pandangan yang sulit ditebak.
"Kak, kau harus pulang. Aku akan mengantarmu," ucapnya lembut, mencoba meredakan situasi.Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Keynan mendorongnya hingga terlentang dan menindihnya. Tangan kekarnya mencekal tangan Axeline kesamping dan mencium bibirnya dengan rakus.
Axeline melebarkan kedua matanya. Dia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Keynan sangat kuat. "APA YANG KAU LAKUKAN, KAK?" teriak Axeline setelah ciuman mereka terlepas. Nafasnya memburu dengan mata yang menatap tajam Keynan.
Tapi, Keynan seolah kehilangan kendali. Dia mencekal kedua tangannya Axeline diatas kepala menggunakan satu tangan dan mengusap bibir gadis itu. "Kenapa kau berteriak, hm? Aku yakin kau juga menginginkan ini." Tanpa peringatan, Keynan kembali mencium Axeline. Kali ini lebih dalam dan menuntun, tanpa memberi celah untuk Axeline melawan, sehingga terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
Keynan mengerjapkan matanya perlahan, merasakan pusing yang menusuk di kepalanya. Ia mengerang pelan, memijat pelipisnya untuk meredakan rasa sakit yang mengganggu. Tarikan napasnya dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, saat pandangannya mulai fokus, sesuatu yang lain membuatnya tersentak.
Napasnya terasa berat, saat mengetahui dirinya yang berantakan dan yang paling mengejutkan, ia bertelanjang dada.
Refleks, Keynan langsung bangkit dari sofa, tempat ia tidur. Tapi begitu ia bergerak, sensasi perih menyengat di punggungnya. Rasa sakit itu bukan hanya fisik, melainkan juga meninggalkan jejak samar di pikirannya.
"Apa yang terjadi?" gumamnya pelan, mencoba merangkai ingatan yang terasa kabur.
Samar-samar, bayangan seorang wanita muncul dalam benaknya. Mata itu … mata yang basah oleh air mata. "Axeline?" lirihnya.
Seperti tersambar petir, Keynan terperanjat.
"Shit!"
Tanpa berpikir panjang, ia bergegas keluar dari ruangan dengan langkah yang terburu-buru. Namun, di depan pintu, Andrian segera menghalanginya dengan ekspresi terkejut.
"Tuan, Anda mau ke mana dengan penampilan seperti ini?"
Keynan terhenti. Ia baru menyadari betapa berantakan dirinya saat ini. Ia mengumpat dan menatap Andrian dengan tatapan tajam.
"Siapkan bajuku."
Tanpa menunggu jawaban, Keynan kembali masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Andrian yang hanya bisa menghela napas dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada tuannya?
Keynan berdiri di bawah pancuran, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya yang masih terasa lelah dan nyeri. Ia berharap sensasi dingin itu bisa meredakan kekacauan di kepalanya.
Namun, saat perih menyengat punggungnya, ingatan itu kembali. Potongan kejadian tadi malam berkelebat, tatapan matanya, tangisannya, suaranya yang memohon, membuat darah Keynan berdesir. Rahangnya mengatup rapat dan napasnya memburu.
Tiba-tiba, amarah yang ditujukan pada dirinya sendiri meledak. Tanpa berpikir, ia menghantam dinding kamar mandi. Sekali. Dua kali. Hingga buku-buku jarinya memerah.
Tapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan apa yang berkecamuk dalam dadanya. Dia benci pada dirinya sendiri.
"BRENGSEK!! KAU BENAR-BENAR BRENGSEK, KEYNAN!"
Suara teriakannya menggema di kamar mandi, tenggelam dalam derasnya air yang terus mengalir. Napasnya berat, dadanya naik turun, dipenuhi amarah dan penyesalan yang menghimpit.
Ia menunduk, membiarkan air dingin membasuh tubuhnya, seolah bisa meredakan bara yang menyala di kepalanya. Tapi sia-sia. Sesakit apa pun ia menghantam dinding, tak ada yang bisa menghapus kenyataan bahwa ia telah melangkah terlalu jauh.
Setelah beberapa saat, ia mendongak perlahan, wajahnya yang basah kini penuh dengan tekad.
"Aku harus bicara dengan Axeline."
Tanpa membuang waktu, Keynan mematikan shower dan keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Andrian, lalu berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangannya sendiri yang kini ia benci.
Setelah menarik napas panjang, ia melangkah keluar dari ruang pribadinya dan duduk di kursi kebesarannya. Tangannya bertaut di depan meja, rahangnya mengatup rapat sebelum mengeluarkan perintah dengan suara dingin.
"Minta manajemen departemen untuk mengumpulkan anak magang di aula sekarang!"
Andrian, yang berdiri tegap di hadapannya, segera mengangguk. "Baik, Tuan." Tanpa banyak bertanya, ia menunduk hormat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah.
Begitu pintu tertutup, Keynan menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, menutup matanya sejenak.
Niatnya sejak awal adalah menghindar. Pergi ke luar negeri bukan hanya untuk melanjutkan pendidikan, tapi juga untuk menjauh, untuk membunuh perasaan yang seharusnya tidak ada.
Ia percaya, dengan jarak, ia bisa melupakan segalanya. Bisa menghapus debaran yang seharusnya tidak pantas ada di hatinya. Namun ternyata, semuanya sia-sia. Begitu ia kembali, hanya perlu satu tatapan dari Axeline untuk meruntuhkan semua pertahanan yang susah payah ia bangun.
Ia berusaha sekuat mungkin mengabaikan Axeline, berharap wanita itu akan mundur dengan sendirinya. Namun kenyataannya, justru sebaliknya.
Kini, ia telah melakukan sesuatu yang membuat segalanya hancur. Bukan hanya hubungan mereka, tapi juga dirinya sendiri.
Dan Keynan tahu, setelah ini, tidak akan ada jalan kembali.
Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu membuat Keynan tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas, menekan kembali emosi yang sempat memenuhi pikirannya.
"Masuk!"
Pintu terbuka perlahan, dan Andrian melangkah masuk dengan sikap hormat. Setelah menundukkan kepala sedikit, ia menyampaikan laporannya.
"Mereka sudah berkumpul di aula, Tuan."
Keynan hanya mengangguk pelan. Lalu tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursinya dan melangkah keluar. Sementara Andrian, seperti biasa, berjalan di belakangnya.
Saat tiba di aula, suara obrolan para anak magang yang semula memenuhi ruangan langsung mereda. Semua orang terdiam, berdiri tegak dengan wajah tegang begitu melihat sosok Keynan memasuki ruangan.
Matanya tajam menyapu mereka satu per satu, mencari sosok yang sejak tadi ada di pikirannya. Tapi, ia tidak menemukannya.
"Apa hanya ini?" tanyanya, dengan suara yang terdengar dingin dan berat.
Andrian melirik daftar absensi sebelum menjawab, "Ada dua orang yang tidak bisa hadir, Tuan."
Keynan mengalihkan pandangannya ke arah Andrian. "Siapa? Dan apa alasannya?"
Sejenak, Andrian tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, "Stefany dan … Axeline. Mereka izin karena sakit, Tuan."
Jantung Keynan berdebar tak nyaman. Tangannya mengepal tanpa sadar.
Sakit? Apakah karena kejadian semalam? Apa yang sebenarnya terjadi padanya sekarang?
Tatapan Keynan menggelap. Ia menarik napas dalam, mencoba menekan emosi yang tiba-tiba meluap. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Keynan berbalik dan pergi dari aula.
Andrian hanya bisa menggeleng pelan, merasa bingung dengan sikap atasannya.
"Untuk apa tadi dia menyuruhku mengumpulkan anak magang?" pikirnya. Ia mengira Keynan akan memberikan arahan atau setidaknya berbicara sesuatu. Tapi ternyata, pria itu justru pergi begitu saja tanpa penjelasan apa pun.
Sementara itu, Keynan kembali ke ruangannya. Pintu tertutup dengan sedikit keras.
Pikirannya kacau. Ia berjalan mondar-mandir dengan tangan yang sesekali mengepal, berusaha mengendalikan diri. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan semuanya, semakin jelas bayangan semalam memenuhi benaknya.
Hingga akhirnya, pandangannya jatuh pada sofa di sudut ruangan. Sofa itu menjadi saksi bisu dari perbuatannya.
Ia menatapnya lekat, dan seketika tubuhnya menegang saat melihat noda merah samar yang tertinggal di sana.
Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa sadar, emosi kembali menguasainya.
"BRENGSEK!"
Keynan menggeram marah, tinjunya menghantam meja dengan keras.
Napasnya memburu. Ia menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri. Butuh beberapa detik baginya untuk kembali berpikir dengan jernih.
"Bagaimanapun juga, aku harus bicara dengannya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!