"Eh, coba lihat siapa yang lewat? Si 'gatel'. Ibu-ibu semua, ingat jangan lalai! Jangan sampai suami-suami kita menjadi korban berikutnya! Kemarin, Pak Kades hampir saja termakan rayuan," ucap seorang ibu bernama Marlina kepada pembeli yang lain, saat sedang berbelanja di pasar. Ia mendengar kabar dari istri Kepala Desa bahwa seorang perempuan yang bernama Yuri baru saja menggoda Kepala Desa mereka.
"Jadi, berita itu benar? Saya awalnya tidak yakin. Ternyata itu benar ya?" Ibu Kirana menanggapi ucapan ibu Marlina.
"Baru saja dua hari yang lalu, saya dengar, katanya si 'gatel' menggoda juragan minyak, yang rumahnya empat lantai di muka jalan raya itu. Untung si juragan minyak itu kuat iman. Kalau tidak, kasihan istrinya yang lagi hamil muda. Bisa tekanan batin terus. Belum puas menggoda juragan minyak, eh sekarang sasarannya berubah menjadi Kepala Desa," imbuh Marlina kembali.
Pembicaraan buruk itu diucapkan cukup keras, hingga sampai ke telinga Yuri. Gadis itu pun menoleh ke arah sumber suara.
"Heh, 'Gatel'. Kenapa kamu lihat-lihat ke sini? Belum pernah mendapat ini ya?" Seorang wanita yang lain menantang Yuri dengan menunjukkan tangannya yang mengepal, saat melihat perempuan itu menatap mereka.
Yuri tidak menjawab. Ia segera mengalihkan pandangannya. Ia juga tidak lagi memedulikan ucapan wanita itu. Hinaan dan cacian sudah menjadi bagian hidupnya, sejak kematian sang ayah.
Paras yang cantik serta perawakan yang sempurna menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Yuri yang hidup sebatang kara dan tak memiliki siapapun untuk melindunginya, harus terbiasa dengan fitnah dan pergunjingan yang terus menerus muncul, setelah ia menolak rayuan laki-laki hidung belang, yang sudah beristri.
----------
"Bagaimana kalau besok siang kita arak saja perempuan itu. Bila perlu buat dia tak berbusana supaya jera. Perempuan seperti itu akan merusak ketentraman tempat tinggal kita," kata kepala desa dengan berapi-api di dalam sebuah balai desa.
"Saya setuju pak. Saya rasa perempuan itu harus diberi pelajaran agar tidak meresahkan warga. Korbannya sudah banyak pak. Untung saja, rata-rata mereka bisa menahan diri. Tapi, sekuat-kuatnya seseorang membangun benteng, pasti suatu saat bisa roboh juga kan?" Pratama, seorang pemuda mendukung ide kepala desa.
"Tapi, apa itu tidak melanggar hukum?" Laki-laki bernama Awan mencoba memberi pertimbangan lain.
"Saya adalah hukum di sini. Saya yang berhak menentukan ini dibenarkan atau tidak," ucap Kepala Desa dengan arogan.
"Saya setuju. Besok siang kita arak dia," ucap laki-laki lain yang duduk di belakang.
"Arak! Arak! Arak!" Semua orang di dalam ruangan itu telah sepakat untuk mengarak Yuri tanpa busana besok siang. Mereka semua nampak bersemangat kecuali satu orang.
---------
Tok!! Tok!!
"Yuri! Buka pintunya! Yuri, ini aku Awan." Laki-laki itu terus mengetuk pintu dan tidak berhenti sampai orang yang berada di dalam rumah menampakkan diri.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Yuri sebenarnya sudah terlelap. Suara ketukan itu membangunkannya. Awalnya, ia berpikir bahwa itu adalah suara ketukan dari laki-laki hidung belang yang sering mengganggunya. Setelah mengetahui bahwa itu adalah suara Awan, Yuri bergegas membuka pintu.
"Awan?" Perempuan itu terkejut melihat mantan teman SMA-nya berdiri di depan pintu rumahnya.
"Kamu harus pergi malam ini. Kemasi barangmu!" Laki-laki itu memerintah Yuri untuk segera pergi meninggalkan rumah.
"Hah? k-kenapa?" Yuri bingung dengan ucapan laki-laki itu.
"Pergilah kalau kamu tidak ingin malu. Mereka merencanakan niat busuk untukmu," ucap Awan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia takut seseorang melihatnya.
"Aku masih belum paham. Apa maksudmu?" Yuri semakin penasaran.
"Besok siang mereka akan mengarakmu keliling desa. Mereka akan mengarakmu tanpa busana. Tadi, seluruh kaum pria diundang rapat untuk membicarakan hal ini. Semua setuju. Pak Kades berhasil menghasut semua orang. Mereka mengira bahwa kamu adalah perempuan j*l*ng. Pergilah! Entah kemana, yang jelas tinggalkan desa ini sekarang," tutur Awan dengan setengah emosi, karena Yuri terlalu banyak bertanya.
"Aku harus kemana Wan? Aku tidak punya siapa-siapa. Oh Tuhan, apa salahku pada mereka?" Yuri menangis. Ia benar-benar merasa takut.
"Hanya ini yang bisa aku sampaikan. Aku tidak bisa membantumu lebih. Pikirkan sendiri jalan keluarnya, selamatkan dirimu!" Awan segera melangkah meninggalkan rumah Yuri. Ia tidak bisa berlama-lama di sana. Hal itu membahayakan keselamatannya.
"Awan! Aku harus bagaimana?Awan, tolong aku!" Yuri bersuara dengan setengah berbisik. Perempuan itu sungguh tidak tahu harus berbuat apa.
Perempuan itu pun kembali masuk ke dalam rumah. Ia menutup pintunya rapat-rapat, sebelum menuju ke kamar dan mengemasi beberapa pakaiannya. Ia membawa juga beberapa bahan makanan yang tersedia, peralatan memasak seadanya, dan korek api.
"Pantai!" Hanya tempat itu yang terlintas di dalam benaknya.
Dulu semasa kecil, ayahnya sering mengajak gadis itu bermalam di dalam sebuah gua yang tersembunyi di antara karang, yang ada di tepi pantai. Hanya tempat itu yang ia yakini aman. Ada sumber air tawar juga di sana, sehingga ia tidak mungkin kehausan.
--------
*Dua hari kemudian*
"Mayday. Mayday. Terjadi kebocoran pada tangki bahan bakar. Pesawat akan jatuh. Beberapa mil lagi bahan bakar akan segera habis. Minta ijin untuk melakukan pendaratan darurat di atas permukaan laut. Mayday. Mayday," ucap seorang pilot pesawat Angkatan Laut dengan sedikit panik.
Laksamana pertama Abraham Adiputera, atau yang biasa di sapa dengan sebutan Bram, seorang pilot pesawat tempur Angkatan Laut yang berusia tiga puluh tahun, tampan, lajang, bertubuh atletis, serta memiliki segudang prestasi harus mengalami sebuah kejadian nahas bersama dengan co-pilotnya Laksamana Pertama Hendrayan Sudrajat. Pesawat C-130 Hercules yang ia kemudikan mengalami kebocoran tangki bahan bakar secara tiba-tiba.
Tiga hari lagi, Bram akan mendapat kenaikan pangkat dari Laksamana Pertama ke Laksamana muda. Sepertinya ada orang yang iri dengannya, sehingga dengan sengaja ingin mencelakai laki-laki itu.
Penerbangan ini adalah penerbangan terakhir sebelum ia mendapatkan pangkat baru. Tidak ada seorang pun di dalam pesawat itu selain Bram dan Hendra, co-pilotnya. Mereka berdua mendapatkan tugas untuk mengangkut senjata api dari gudang senjata TNI AL yang ada di Surabaya dan membawanya kembali ke pangkalan TNI AL yang ada di Bandung. Oleh karena mereka melakukan lepas landas dari Bandar udara yang ada di kota Bandung, maka pesawat itu masih dalam kondisi kosong ketika berangkat.
Sebenarnya itu adalah tugas Alex, kawan seperjuangan Bram ketika ia masih mengenyam pendidikan militer dulu. Bram seharusnya bukan pilot yang dikhususkan untuk membawa pesawat pengangkut barang. Namun, Alex mendadak sakit sehingga Bram secara sukarela diminta untuk menggantikan tugas kawan lamanya itu.
Baru saja dua puluh menit yang lalu, pesawat yang diterbangkannya itu lepas landas, tiba-tiba Alarm pesawat berbunyi karena tangki bahan bakar mengalami kebocoran. Bram dan Hendra terus menghubungi kantor pusat navigasi untuk memberi tahu keadaan mereka.
"Mayday. Mayday. Situasi memburuk. Minta ijin melakukan pendaratan darurat di atas permukaan laut." Bram berusaha menghubungi kantor pusat navigasi melalui alat komunikasinya, namun alat itu pun ikut rusak setelah monitor mendeteksi kebocoran di bagian tangki pesawat.
"Sial! Bagaimana bisa semuanya rusak dengan tiba-tiba." Bram mengumpat tiada henti.
"Pergilah! Aku akan membuka pintu bagian belakang, gunakan parasut untuk terjun! Selamatkan dirimu dan segera hubungi bala bantuan," ucap Bram kepada Hendra.
"Kita pergi bersama, kita pulang bersama. Saya tidak mungkin meninggalkan anda." Hendra menolak perintah.
"Jangan bodoh! Jika kau masih hidup, setidaknya aku akan memiliki harapan untuk tertolong," tutur Bram dengan nada tinggi.
"Tapi pak?" Hendra masih menyanggah.
"Pergi! Ini perintah! Jika kau terjun sekarang, masih ada harapan untuk menemukan daratan." Bram memaksa Hendra meninggalkannya.
Dengan berat hati Hendra meninggalkan Bram. Ia terjun dalam jarak ketinggian yang masih aman, serta masih memiliki kemungkinan untuk menemukan sebuah daratan.
--------
Beberapa menit berlalu, namun kantor pusat navigasi masih belum bisa dihubungi. Laki-laki itu semakin putus asa. Ia tidak ingin hidupnya berakhir sekarang. Beberapa hari lagi ia akan mendapat kenaikan pangkat dan satu bulan setelahnya ia akan menikahi Rosalie, tunangannya. Hidupnya terlalu berharga untuk ditinggalkan sekarang.
Bram mengeluarkan foto Rosalie dari dalam saku celananya. Ia memang selalu membawa foto kekasihnya itu kemana pun ia pergi. Foto itu terlaminating dengan baik sehingga tidak mudah rusak. Meski banyak tekukan di beberapa sudut foto, namun wajah Rosalie yang cantik masih terlihat dengan jelas di sana.
"Apakah ini saatnya? Apakah Tuhan tidak bisa membiarkan kita bersatu lebih dulu?" Bram berucap kepada dirinya sendiri sambil memegang foto Rosalie.
Ia begitu mencintai tunangannya. Ia berharap Tuhan masih memberikan dia waktu agar bisa berbahagia dengan perempuan itu.
Bram semakin panik, saat melihat monitor menunjukkan bahwa tidak ada lagi bahan bakar yang tersedia, sementara pesawat itu masih cukup tinggi berada di atas permukaan laut. Laki-laki itu kini hanya bisa bergantung kepada Tuhan sambil mengerahkan seluruh kemampuannya untuk bertahan hidup.
Bahan bakar yang hampir habis membuat mesin pesawat tersendat-sendat sebelum akhirnya benar-benar mati seketika. Pesawat itu pun nampak seperti terjun bebas.
"Aku harus hidup. Aku pasti akan tetap hidup. A-aku.. Aaaaaaarrggggghhhhh!!!!" Pendaratan darurat itu pun ia lakukan. Badan pesawat itu cukup keras menghantam permukaan laut.
------------
Selamat datang di novel ke tiga saya. Semoga kisah ini masuk dalam list favorit anda ya.
Yuanri Agatha, atau yang biasa disapa dengan Yuri adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Parasnya sangat cantik begitu pula dengan bentuk tubuhnya, sangat sempurna. Selama lima tahun ini, ia hidup sebatang kara. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih berusia 5 tahun, sementara ayahnya meninggal saat ia berusia 18 tahun.
Sejak kepergian ayahnya, Yuri menghidupi dirinya dengan melukis. Setiap satu minggu sekali, ia akan pergi ke kota untuk menjual hasil lukisannya pada sebuah galeri. Gadis itu bahkan sudah memiliki pembeli tetap dan ia melukis sesuai permintaan mereka. Itu sebabnya, meski sebatang kara, ia bisa menghidupi dirinya sendiri, walau semuanya serba berkecukupan.
--------------
Pagi-pagi sekali, Yuri sudah membuka mata. Ini adalah hari ke tiga sejak ia pergi meninggalkan desa. Persediaan makanan sudah habis. Tidak ada apapun yang bisa ia makan, kecuali jika ia pergi melaut.
Tinggal sendiri di dalam goa membuat gadis itu banyak berpikir. Ia tidak mungkin selamanya hidup seperti ini. Ada suatu waktu, ia harus kembali ke desanya, tetapi begitu ia kembali, maka masalah yang sama akan terus menerus berulang.
Ia akan kembali dipergunjingkan, akan kembali difitnah, dan akan kembali dilecehkan. Mungkin saat ini, ia bisa menghindar dari rencana buruk para warga, karena ada Awan yang menolongnya, tetapi ia tidak menjamin bahwa ke depan ia akan terus selamat. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu.
Hidup sebatang kara, tanpa perlindungan dan keamanan, membuatnya semakin putus asa. Andai ayahnya masih hidup, ia pasti tidak akan mengalami nasib seperti ini.
Gadis itu memang selalu nampak kuat dan tegar di luar. Ia selalu menunjukkan sikap cuek terhadap kata-kata yang tidak baik tentangnya. Kenyataannya adalah Yuri hanya seorang gadis biasa yang mudah terluka. Ia sangat lemah dan menyimpan banyak kepahitan di dalam hatinya.
Saat Awan mengatakan bahwa para warga berniat mengaraknya tanpa busana, saat itulah ia merasa dirinya sangat tidak berharga. Ia mempertanyakan hati nurani manusia-manusia itu? Mereka yang merencanakan untuk mempermalukannya di muka umum adalah orang-orang yang tahu bahwa selama ini ia menjaga kehormatannya.
Yuri tidak pernah menggoda suami orang seperti apa yang sering diberitakan. Ia tidak pernah mengemis uang pada laki-laki untuk menghidupi dirinya. Ia bahkan selalu menolak, setiap kali laki-laki yang tidak baik itu datang dan mendekatinya. Jujur, mengingat semua hal itu, Yuri merasa lelah dengan hidupnya.
Yuri yang putus asa, telah mengambil sebuah keputusan. Ia ingin mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di tengah laut pagi ini. Gadis itu telah memantapkan hati.
Yuri memutuskan untuk mengenakan sebuah dress berwarna putih dengan panjang selutut, pemberian ayahnya di hari kematiannya. Ia juga mengenakan sedikit lipstik pada bibirnya yang mungil dan sedikit berisi itu. Yuri berdandan seolah ia ingin menyambut kematiannya dengan hati yang lapang.
"Ayah, ibu, tunggu aku!" Gadis itu berucap di dalam hati.
-------------------
Saat ini, Yuri sudah berdiri di tepi pantai. Berkali-kali ia mencoba untuk menemukan sebuah alasan untuk hidup, namun ia tidak berhasil mendapatkannya. Semakin ia berusaha mencari alasan untuk hidup, justru berbagai alasan untuk matilah yang muncul.
Air matanya mulai mengalir ketika air laut menyentuh kakinya. Akankah memang hidupnya harus berakhir seperti ini?
Kenangan demi kenangan hilir mudik dalam benaknya. Kenangan bersama ibunya yang hanya sesaat, kenangan bersama ayahnya, saat ia bermain di pantai itu juga muncul. Yuri tersenyum mengingat semuanya.
"Sebentar lagi kita akan bersama-sama lagi," tutur Yuri sambil menghapus air matanya sambil melangkah tanpa ragu.
Ia terus berjalan meninggalkan bibir pantai. Ia merasakan tinggi air laut semakin menutup hampir seluruh tubuhnya. Matanya melihat ke sekeliling. Ia ingin menikmati dunia untuk terakhir kalinya.
Perempuan itu terus mengedarkan matanya hingga sesuatu membuat matanya menjadi silau. Ia melihat ada yang aneh di atas karang.
"Apa itu?" Yuri menajamkan pandangannya.
Ia hampir mengakhiri hidupnya dan secara tiba-tiba sesuatu mengalihkan fokusnya. Rasa sedih berubah menjadi rasa penasaran. Ia pun melupakan niatnya untuk bunuh diri dan memutuskan berenang ke arah karang itu.
----------------
Saat ini Yuri sudah berhasil menjangkau karang itu. Tangannya menyentuh karang guna menahan agar tubuhnya tidak tenggelam. Gadis itu cukup kelelahan karena harus berenang cukup jauh.
Betapa kagetnya ia saat mengetahui bahwa cahaya yang menyilaukan matanya itu adalah pantulan dari kaca jam tangan, yang dikenakan oleh seorang laki-laki, yang sedang berbaring tak sadarkan diri di atas karang. Banyak pertanyaan muncul dalam benak gadis manis itu. Yuri hanya berharap laki-laki itu belum mati.
Perempuan itu pun memutuskan untuk memanjat karang demi mengecek kondisi laki-laki itu. Beruntung, karang yang ada di hadapannya itu tidak terlalu tinggi.
"Sepertinya dia seorang Perwira Angkatan Laut," ucap Yuri saat melihat model pakaian yang dikenakan oleh laki-laki itu.
"Abraham Adiputera. Hmm... Nama yang bagus. Cocok dengan wajah orangnya yang..... tampan," imbuh Yuri sambil terus menatap laki-laki itu.
Beberapa menit kemudian, Yuri menyadari bahwa laki-laki itu mulai siuman. Gadis itu kemudian mendekatkan tubuhnya, karena laki-laki itu berbicara dengan suara yang lemah.
"Apa aku masih hidup?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh laki-laki itu, yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Aarghhh..." Laki-laki itu merasa sakit pada sekujur tubuhnya, saat ia hendak mendudukkan diri.
"Pelan-pelan! Anda sudah selamat. Anda masih hidup." Yuri mencoba membantu laki-laki itu duduk.
"Bagaimana anda bisa berada di sini?" Yuri melanjutkan kembali percakapan mereka, namun laki-laki itu seperti tidak ingin berbicara.
"Anda pasti masih syok! Istirahatlah sebentar, setelah itu saya akan membantu anda berenang kembali ke pantai. Terlalu banyak luka. Anda harus diobati dengan segera," kata Yuri sambil memperhatikan tubuh laki-laki itu.
"Apakah sekarang sudah malam?" Laki-laki itu mulai mengeluarkan suaranya. Beberapa kali sejak ia tersadar, laki-laki itu terus mengusap matanya. Ia merasakan ada yang aneh dengan mata itu.
Yuri mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin hari yang cerah dan terang benderang ini disebut malam.
"Ini sudah pagi, tuan. Saya bahkan sudah mulai merasakan panasnya," jawab Yuri dengan heran.
"Pagi?" Laki-laki itu melanjutkan lagi ucapannya. Ia mengusap kembali matanya.
"Benar tuan," jawab Yuri dengan singkat.
"Aku, kenapa dengan mataku? Aku tidak bisa melihat apapun," laki-laki itu menjulurkan tangannya ke arah Yuri. Ia mencoba menyentuh gadis yang ada di hadapannya.
"Hei, hati-hati dengan tangan anda tuan! Anda tidak bisa melihat, tapi anda bisa sampai di sini. Aneh!" Yuri merasa kesal. Ia mengira laki-laki itu hanya bersandiwara.
"Aku masih bisa melihat kemarin meskipun samar. Tetapi sekarang, apa yang terjadi dengan mataku?" Laki-laki itu berbicara dengan panik.
Yuri melambaikan tangannya di depan wajah laki-laki itu. Tidak ada respons yang diberikan.
"Aku khawatir anda kehilangan kemampuan melihat. Anda harus memeriksakan mata anda," ucap Yuri dengan rasa iba. Laki-laki yang gagah di hadapannya harus mengalami kebutaan. Sungguh sangat disayangkan.
"Tolong aku! Tolong bawa aku! Aku akan memberikan apapun yang kamu mau asal kamu mau menolongku memulihkan penglihatan ku," balas laki-laki itu.
"Aku akan menolong anda. Aku mana tega membiarkan Anda seperti ini. Anda juga harus makan dan mengganti pakaian. Sekarang aku akan menuntun anda berenang ke tepi. Ayo, berpeganglah ke pundak ku," jawab Yuri sambil mengarahkan tangan laki-laki itu untuk menyentuh pundaknya.
-------------
Setelah beristirahat sejenak di dalam goa, tempatnya berteduh. Yuri pun memutuskan untuk membawa laki-laki itu kembali ke desanya.
Ia tahu hanya itu satu-satunya jalan agar laki-laki itu bisa tertolong. Ia hanya berharap warga desa sudah melupakan niat jahat mereka terhadap gadis itu.
Saat ini Yuri sudah membawa laki-laki itu berjalan ke rumahnya. Seperti biasa, banyak orang melihat Yuri dengan tatapan penuh kebencian. Apalagi saat mereka melihat bahwa Yuri kembali bersama dengan seorang laki-laki tampan yang memeluk pundaknya sepanjang perjalanan. Mereka mencibir Yuri sebagai wanita penggoda tanpa henti.
"Duduklah! Aku akan membuatkan sesuatu untuk anda," ucap Yuri kepada laki-laki itu ketika sudah berada di dalam rumah.
"Terima kasih. Siapa namamu? Saya Laksamana Pertama Abraham Adiputera. Panggil saja dengan sebutan Bram," ucap Bram dengan suara baritonnya.
"Saya....." Yuri menjeda ucapannya saat mendengar suara keributan di luar rumahnya. Seseorang mengetuk pintu dengan sangat keras sambil menyerukan namanya.
Tok!! Tok!! Tok!!
"Yuri!! Keluar kamu. Dasar perempuan j*l*ng!! Kau aib bagi desa ini. Keluar kamu!!!" Teriak seseorang dari luar.
Tok!! Tok!! Tok!!
Tubuh Yuri bergetar. Ia sangat ketakutan. Ia tahu bahwa tindakannya membawa laki-laki itu akan berdampak buruk baginya. Tetapi, ia hanya singgah di rumah sebentar untuk makan dan membersihkan diri, lalu ia akan langsung membawa laki-laki itu ke kota untuk berobat.
"Tunggu sebentar Tuan. Duduklah di sini! Saya akan menemui mereka," tutur Yuri dengan suara bergetar.
"Yuri!! Keluar kamu perempuan sialan!" Suara itu terhenti ketika Yuri membuka pintunya.
"Saya bisa menjelaskan. Saya... Aahhh!!" Seseorang menampar gadis itu hingga sudut bibirnya pecah dan berdarah.
Plakkk!!!!
"Siapa yang kau bawa dalam rumahmu? Siapa laki-laki itu. Perempuan L*kn*t!!" Orang itu berteriak lagi. Sementara Yuri hanya menangis sambil menyentuh wajahnya yang meradang.
"Saya suaminya. Apa hak anda melarang saya tinggal di rumah ini?" Seorang laki-laki dengan suara bariton berdiri di hadapan kerumunan masa. Semua orang terkejut mendengar ucapan laki-laki itu.
------------
Selamat membaca!!!
Plakkk!!!!
"Siapa yang kau bawa dalam rumahmu? Siapa laki-laki itu. Perempuan L*kn*t!!" Orang itu berteriak lagi. Sementara Yuri hanya menangis sambil menyentuh wajahnya yang meradang.
"Saya suaminya. Apa hak anda melarang saya tinggal di rumah ini?" Seorang laki-laki dengan suara bariton berdiri di hadapan kerumunan masa. Semua orang terkejut mendengar ucapan laki-laki itu.
"Apa yang anda katakan, Tuan? Anda justru akan membuat aku mati karena diamuk masa. Bagaimana jika mereka meminta bukti," Yuri berkata dalam hati sambil menatap laki-laki yang bernama Bram itu dengan keheranan.
Ia tidak habis pikir, mengapa laki-laki itu tidak mengatakan yang sebenarnya saja? Mengapa laki-laki itu harus berbohong?
"Yuri, kemarilah!" Bram menyuruh Yuri mendekat padanya.
Yuri berdiri dan melangkah mendekati Bram. Ia kemudian menyentuh lengan laki-laki itu. Bram segera membawa Yuri ke belakang tubuhnya, seolah ingin melindunginya.
"Apapun yang terjadi jangan pernah menjauh dariku. Pegang tanganku, mengerti!" Bram berbicara dengan sedikit berbisik. Ia masih menggenggam tangan Yuri dan tidak melepaskannya.
Deg!!
Sikap Bram yang melindungi Yuri membuat gadis itu merasakan sesuatu yang berbeda. Ini adalah pengalaman pertamanya menerima perhatian dari seseorang. Perasaan tenang seketika melingkupi hatinya.
"Yuri?" Bram menyebut nama gadis itu sekali lagi karena tidak mendapat jawaban.
"I-iya," jawab Yuri dengan sedikit gugup.
"Bohong! Apa buktinya bahwa kalian telah menikah? Dimana kalian menikah? Pasti kamu adalah laki-laki hidung belang yang menggunakan jasanya selama ini dan mengaku sebagai suaminya di depan kami, supaya kami tidak menghakimi kalian," ucap Kepala Desa yang tiba-tiba muncul dari belakang.
"Oh Tuhan. Benar kan? Mereka meminta buktinya," gumam perempuan itu kembali di dalam hati.
"Saya dan Yuri benar-benar sudah menikah. Kami menikah di kota dan kami sudah menjadi suami-istri selama...." Perkataan Bram terhenti saat Yuri tiba-tiba memotong ucapannya.
"Tiga hari. Ya, kami baru menikah tiga hari yang lalu," Yuri memindahkan posisi tubuhnya yang semula berada di belakang menjadi sejajar dengan Bram. Mereka masih berpegangan tangan.
"Kalian pasti tidak melihat saya di sini sejak tiga hari yang lalu kan?" Yuri terpaksa ikut ambil bagian dalam sandiwara Bram dan berusaha meyakinkan warga dengan alasan yang logis supaya mereka percaya. Bagaimanapun juga nasi sudah menjadi bubur. Mereka berdua tidak mungkin mundur lagi.
"Mana buktinya bahwa kalian sudah menikah? Semua orang bisa saja mengatakan bahwa mereka sudah menikah," kata Kepala Desa dengan penuh curiga. Ia masih tidak percaya dengan ucapan Yuri.
"Tiga hari yang lalu saya dan suami saya telah menikah secara agama. Sebenarnya hari ini kami berencana akan mencatatkan pernikahan kami ke Dinas Pencatatan Sipil. Namun, suami saya mengalami kecelakaan kemarin. Saat itu semua dokumen sedang ia bawa. Entah di mana dokumen tersebut berada," jawab Yuri kembali.
"Saya kehilangan penglihatan saya akibat benturan keras saat kecelakaan itu. Saya bahkan belum mengganti pakaian saya sejak keluar dari klinik. Yuri membawa saya pulang ke sini, karena ingin mengambil beberapa pakaian dan kemudian membawa saya berobat kembali ke kota," tutur Bram menambahkan apa yang Yuri katakan.
"Tetap saja kalian tidak bisa membuktikannya. Alasan apapun bisa dibuat untuk menutupi dosa," jawab Kepala Desa yang masih terus ingin memojokkan mereka.
Yuri kembali merasa gugup. Ia menggenggam tangan Bram dengan kuat. Gadis itu tahu persis siapa Kepala Desa itu dan apa yang bisa dilakukannya. Tentu tidak mudah berdebat melawannya.
Bram membaca bahasa tubuh Yuri. Ia melepaskan tangannya dan mendekap pundak gadis itu, seolah ingin menyalurkan kekuatan dan ketenangan yang lebih besar.
"Saya adalah seorang Perwira Angkatan Laut, Laksamana Pertama Abraham Adiputera. Anda kira anda siapa bisa menilai ucapan saya benar atau tidak? Jika anda terus memojokkan kami, maka saya bisa meneruskan masalah ini ke pihak yang berwajib dengan dalil perbuatan yang tidak menyenangkan. Saya juga bisa menuntut Anda dengan pasal pencemaran nama baik, karena anda telah menuduh istri saya sebagai perempuan j*l*ng," tutur Bram dengan suara lantang. Ia menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang Perwira.
"Perlu anda ketahui, untuk menjadi istri seorang perwira, Yuri telah menjalani serangkaian tes, termasuk tes keperawanan. Istri saya adalah seorang perempuan baik-baik, sementara kalian menuduhnya tanpa bukti. Mari kita ke pengadilan dan kita lihat nanti siapa yang benar setelah itu," tegas Bram tanpa ragu-ragu. Laki-laki itu pasang badan untuk melindungi perempuan yang baru beberapa jam dikenalnya.
Mata Yuri berkaca-kaca. Ia tidak percaya dengan apa yang diucapkan Bram. Laki-laki itu membelanya bahkan percaya bahwa ia adalah seorang perempuan terhormat.
"Sudah pak, sebaiknya kita pergi saja. Laki-laki itu seorang Perwira, tentu tidak mudah melawannya," seorang pemuda berbisik di telinga Kepala Desa.
"Baiklah! Sementara ini saya percaya dengan ucapan anda. Setelah kondisi anda membaik, segera urus surat-surat itu. Saya masih akan menagihnya untuk kelengkapan administrasi desa," ucap Kepala Desa itu untuk menutupi malunya karena tidak bisa menemukan alasan lain untuk memojokkan Bram dan Yuri.
Semua orang meninggalkan pelataran rumah Yuri satu per satu. Mereka berdua pun masuk kembali ke dalam rumah.
----------
"Terima kasih karena tuan sudah menolong saya," ucap Yuri mengawali pembicaraan mereka ketika sudah berada di dalam rumah.
"Saya hanya membalas kebaikanmu." Bram menjawab Yuri dengan ekspresi datar.
"Oh, ya. Tuan, saya punya beberapa pakaian pria yang berukuran cukup besar. Anda bisa menggunakannya jika anda mau," kata Yuri kembali sambil mengingat pakaian-pakaian mendiang ayahnya yang masih tersimpan rapi. Untung saja ia tidak membuangnya.
"Terima kasih," balas laki-laki itu dengan singkat.
Yuri kembali menatap wajah penyelamatnya itu dengan tatapan yang lembut. Ia juga memperhatikan tangan laki-laki yang tadi menggenggamnya dengan erat. Ada perasaan nyaman ketika laki-laki itu memegang tangannya, hingga sesuatu menarik perhatian gadis itu dan memecah lamunannya.
"Maaf tuan, cincin itu?" Yuri tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Oh, ini cincin pertunangan saya. Calon istri saya bernama Rosalie. Satu bulan lagi saya akan menikahinya. Itu sebabnya saya harus segera sembuh. Tolong bantu saya!" Bram berbicara dengan suara yang lirih. Tersirat kekhawatiran dan kesedihan dalam kalimatnya.
Yuri terkejut. Ia tidak menyangka bahwa laki-laki yang ada di hadapannya sudah memiliki kekasih. Entah mengapa hatinya merasa begitu sakit mendengar ia menyebutkan nama perempuan lain.
"Saya pasti akan membantu anda, Tuan. Anda telah menyelamatkan saya di hadapan orang-orang jahat itu. Saya mungkin sudah mati sekarang, jika anda tidak ada," balas Yuri sambil mengingat bagaimana laki-laki itu membelanya beberapa saat yang lalu.
"Setiap orang layak mendapat kesempatan ke dua," jawab Bram sambil tersenyum simpul.
"M-maksud anda?" Yuri mengerutkan keningnya.
"Saya sebenarnya tidak tahu apa yang kamu lakukan selama ini, tapi tidak mungkin ada asap tanpa api. Saya berpikir pasti ada kebiasaan burukmu yang menarik perhatian mereka. Saya harap kamu akan berhenti melakukan kebiasaan buruk itu. Tadi saya beruntung karena mereka tidak memiliki bukti yang kuat," jawab Bram dengan tenang. Laki-laki itu menyimpulkan secara sepihak dan semakin yakin dengan kesimpulannya saat mengetahui bahwa Yuri menyimpan banyak pakaian laki-laki.
Yuri menutup mulutnya dengan tangan rapat-rapat. Ia tidak menyangka bahwa Bram tidak jauh berbeda dengan semua orang yang ada di desanya. Semua pembelaan yang diberikan olehnya ternyata hanya sandiwara.
Gadis itu kembali terluka. Dan ia merasa bahwa luka yang diberikan oleh laki-laki ini jauh lebih besar dari yang pernah ada. Mungkin seperti ini rasanya ketika seseorang mengangkat diri kita tinggi-tinggi sebelum akhirnya menghempaskan diri itu kembali ke tanah.
Yuri tidak membela dirinya lagi. Ia tahu semua itu tidaklah berguna. Selama ini ia berusaha menjelaskan dan tidak ada seorang pun yang percaya padanya.
"Lalu apakah anda tidak malu mendapat pertolongan dari perempuan seperti saya? Anda bahkan mengakui saya sebagai istri anda di depan banyak orang." Yuri berbicara dengan suara bergetar.
"Ada dua alasan mengapa saya melakukan itu. Pertama, saya tadi hanya memikirkan bagaimana caranya agar kita selamat dari amukan masa. Saya seperti sangat yakin bahwa mereka juga tidak memiliki bukti apapun tentangmu. Kedua, saya percaya bahwa kamu sebenarnya baik dan kamu akan menolong saya dengan tulus," ucap laki-laki itu dengan sungguh-sungguh.
"Jika begitu ijinkan perempuan ini melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikan anda," jawab Yuri sambil menahan Isak tangis yang hampir saja lolos di bibirnya.
--------
Selamat membaca!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!