"Ah, Ray, apa kamu tidak takut kita akan ketahuan jika melakukannya di kantor mu, ah... Pelan-pelan, sayang," lirih seorang wanita.
Di sebuah perusahaan besar, tepatnya di ruang manajer, ada dua orang pasangan yang sedang melakukan hubungan kotor diam-diam. Di balik itu, ada seorang wanita yang sangat gembira karena ia sudah menyelesaikan pekerjaannya di luar kota dan berencana untuk kembali untuk mengejutkan pacarnya yang sekarang sedang bekerja di perusahaan yang sama dengannya.
Tepat saat ia sampai di depan pintu ruangan kerja milik pacarnya, ia mendengar dari balik pintu suara pacarnya dan suara sahabatnya yang sedang melakukan sesuatu yang ia curigai. Dengan hati yang curiga, ia mencoba menenangkan hatinya dan sekali helaan nafas, ia membuka pintu ruangan kerja milik pacarnya yang tidak terkunci itu dengan kuat.
Terlihat pacarnya dan sahabatnya sedang berciuman dengan pakaian yang sudah berantakan. Mereka yang mendengar ada yang membuka pintu kerja miliknya. Pria itu langsung berteriak marah tanpa mengetahui siapa yang masuk.
"Lancang sekali masuk tanpa izin ku!" teriaknya sambil membalikan tubuhnya dan melihat ke arah pintu masuk. Tubuh kedua orang yang berselingkuh itu langsung menegang dan membatu sejenak; mereka buru-buru merapikan baju dan rambut mereka berdua.
"Sayang, kenapa kamu bisa pulang? Kenapa tidak menghubungi aku?" ucap pria itu gugup; ia pelan-pelan mendekat Tiffany. Tiffany yang baru pulang bertugas dinas dari luar berniat untuk mengejutkan pacarnya itu, tapi malah dia yang dikejutkan oleh perselingkuhan pacar dan sahabatnya sendiri.
"Tania! Ray! Apa yang sedang kalian lakukan?!" teriak Tiffany kepada mereka berdua yang masih salah tingkah karena ketahuan.
"Sayang, sayang, aku mohon jangan marah dulu, aku bisa menjelaskan, aku dan Tania hanya sedang—"
"Sedang apa, sialan! Sedang bermain di belakang ku? Brengsek!" PLAK! Satu tamparan melayang di pipi Ray. Usai dia menampar Ray, Tiffany langsung meninggalkan mereka berdua, menembus kerumunan orang-orang yang sudah berkumpul di depan pintu ruangannya Ray.
"Tiffany?!" teriak Tania merasa bersalah.
"Kalian apa yang kalian lihat, ha! Bubar! Pergi dari sini!" usir Ray kepada seluruh karyawan yang sedari tadi berdiri dan menonton mereka. Tidak banyak juga yang merekam kejadian tersebut. Karena malu, Tania berlari keluar dari ruangan, meninggalkan mereka yang masih merekam dan membicarakannya.
"Aku tidak menyangka, wanita yang berlagak baik di hadapan orang-orang bisa melakukan hal yang kotor, bahkan merebut pacar sahabatnya sendiri," sindir seorang wanita karyawan. Lalu dijawab lagi oleh mereka-mereka yang suka bergosip.
Berita buruk itu tidak berhenti-hentinya menyebar ke seluruh perusahaan. Ray dan Tania bahkan sudah berusaha memperbaiki nama baik mereka di tempat kerja, namun banyak karyawan yang sudah terlanjur jijik dengan perbuatan mereka, selalu menghindar atau menjauh saat mereka ingin mendekati. Tania yang dulunya punya banyak teman, kini tidak ada yang ingin berteman dengannya. Juga Ray, pekerjaannya mulai terancam. Ia dinasehati oleh atasannya atas perlakuannya beberapa hari yang lalu, dan atasan memintanya untuk bisa mengakhiri semua masalah tersebut. Jika masalah tersebut dan karyawan selalu protes untuk menurunkan jabatannya, maka mau tidak mau, Ray akan dipecat.
Dan sampai sekarang, Tiffany tidak masuk kerja, sehingga membuat orang-orang mulai menanyakan keberadaannya.
...----------------...
Di rumah Tiffany, tepatnya di kamarnya, Tiffany yang baru bangun, jam 10.24, dengan mata yang sembab seperti orang yang baru habis menangis, ia bangun dari kasur dan menuju ke kamar mandi dengan tubuh yang lemas. Seluruh kamarnya berantakan dengan banyak sekali robekan foto kenangan bersama Ray dan tisu bekas yang digunakan untuk menyeka air matanya.
Sesampainya di dalam kamar mandi, ia memiliki kaca kecil di atas wastafel tempat cuci muka miliknya. Ia menatap wajahnya dengan malas di depan cermin itu. "Tiffany bodoh! Kenapa kamu menangis hanya karena pria brengsek itu?"
"Tidak, kamu menangis karena kamu bodoh."
"Jika begini terus, aku tidak akan bisa melupakannya."
"Apakah aku harus mengundurkan diri? Jika tidak, aku akan selalu melihat kedua pasangan kotor itu setiap hari."
"Haaaah! Aku baru pulang dari dinas kerja, dan mendapatkan mantan pacar dan sahabatku sendiri berselingkuh. Luar biasa sekali hidupku ini!"
"Sepertinya aku butuh liburan!" "Yaah, benar, pekerjaan yang melelahkan dan hubungan yang berantakan ini harus ku jauhi. Dimana ponselku?" lirih Tiffany.
Setelah mencuci mukanya agar terlihat segar, ia keluar dari kamar mandinya dan mencari ponsel miliknya di atas kasur. Ponsel berwarna biru muda itu sudah ia dapatkan di atas kasurnya. Ia menghilangkan mode jangan ganggu. Pada saat mode hening tersebut dihilangkan, ribuan pesan masuk langsung menghantam ponselnya.
Kebanyakan pesan yang masuk dari Ray, sisanya dari teman-temannya, termasuk Tania. Namun, semua pesan yang banyak itu ia abaikan, ia fokus mencari tiket liburan ke luar negeri.
Saat ia kesulitan memilih tiket di ponselnya, ia beranjak mencari laptop mini miliknya. Sementara ponselnya digunakan untuk menelfon Alfaro, teman kerjanya. Teleponnya pun terhubung ke Alfaro.
Saat itu Alfaro sedang sibuk bekerja dan masih sempat mengangkat telepon dari Tiffany.
"Tiffany? Akhirnya ia menghubungiku," ucap Alfaro, dan langsung mengangkat panggilan dari Tiffany.
Tiffany yang belum menyadari bahwa Alfaro sudah mengangkat teleponnya, ia masih sibuk mencari minuman dingin di dapur dan buru-buru kembali ke kamarnya.
Ia langsung menghidupkan laptop mini di atas meja kerja di dalam kamarnya.
"Halo Tiffany?" panggil Alfaro berkali-kali.
Karena Tiffany tidak menjawabnya, ia khawatir Tiffany sedang melakukan hal yang akan melukai dirinya. Ia pun panik dan terus memanggil Tiffany.
Untung saja, Tiffany cepat menyadari bahwa Alfaro sudah menjawab panggilannya.
"Halo Fero? Maaf? Apa aku mengganggumu?" tanya Tiffany.
"Aaah, syukurlah kamu menjawabku, Tiffany! Kamu sangat membuatku takut! Sekarang kamu di mana? Kamu tidak ingin melakukan percobaan bunuh diri, kan, pada saat kamu tahu Ray selingkuh dengan Tania?"
"Apa! Gak lah gila! Aku tidak sebodoh itu!" ucap Tiffany, merasa kesal saat Alfaro membahas perselingkuhan mantan pacarnya dan sahabatnya kembali.
"Hah, baiklah, sekarang kamu di mana? Dan kapan kamu akan kembali bekerja? Bos sudah menanyakan keberadaan mu hari-hari ini," ujar Alfaro, merasa lega.
"Tidak."
"Apa maksudmu tidak!?"
"Aku tidak bisa bekerja dengan dua orang penghianat yang masih berada di perusahaan, aku akan mengundurkan diri. Aku menghubungimu untuk meminta bantuan, Alfero. Tolong buatkan surat pengunduran diriku dan berikan kepada bos. Selesai itu, aku akan pergi beberapa hari dari kota ini. Aku mohon, Alfero... Kamu adalah satu-satunya sahabat yang masih bisa kupercayai," pinta Tiffany kepada Alfero.
"Apa!? Tidak! Aku tidak ingin kamu keluar dari perusahaan ini hanya karena kesalahan Ray dan Tania! Tiffany, sadarlah, kamu tidak harus menghindar. Ada aku, ada teman-teman yang lain juga yang siap melindungimu," ucap Alfero, mencoba menasehati Tiffany.
"Terima kasih, Alfero, tapi keputusanku sudah bulat. Aku mohon, bantu aku untuk yang terakhir kalinya, aku mohon, Alfero..." bujuk Tiffany lagi.
Saat ini, Tiffany yang masih berbicara dengan Alfero, duduk di kursi kerja di dalam kamarnya, sambil mengutak-atik laptop mininya untuk melihat penjualan tiket pesawat. Alfero terdiam, mencoba berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab Tiffany lagi. Sampai Tiffany sendiri yang menyadari Alfero dari lamunannya.
"Alfero! Bagaimana? Kenapa kamu hanya diam? Aku mohon... Bantu aku untuk kali ini, Alfero..." ucap Tiffany lagi.
Dan usaha Tiffany tidak sia-sia, Alfero luluh dengan permohonan Tiffany. Ia akan memikirkan kelanjutannya nanti, yang terpenting sekarang, ia harus menenangkan hati Tiffany.
"Baiklah, Tiffany, aku akan membantumu. Kamu istirahat saja, jika kamu membutuhkan sesuatu, hubungi aku. Jangan pendam perasaanmu sendiri, aku selalu di sampingmu, Tiffany," ucap Alfero, meyakinkan Tiffany.
"Aaah, terima kasih, Alfero. Aku akan mematikan telepon ini sekarang. Sekali lagi, terima kasih, dah..." pungkas Tiffany, langsung mematikan panggilannya.
...----------------...
Dan di tempat kerja, Alfero sedang berpikir keras tentang keinginan Tiffany. Ia benar-benar tidak menginginkan Tiffany keluar, apalagi hanya karena alasan perselingkuhan pacar dan sahabatnya. Tapi Alfero tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menaruh ponselnya kembali di atas meja kerja dan menghela nafas panjang, sambil menyadarkan tubuhnya di sandaran kursi hitam.
...********BERSAMBUNG********...
Sementara itu, Tiffany masih di dalam kamarnya, sedang sibuk mencari negara-negara asing yang belum pernah ia datangi. Ia ingin merasakan tempat baru dan suasana baru. Karena negaranya merupakan negara Asia, ia merasa sudah bosan dengan cuaca yang tidak menentu. Ia memutuskan untuk berlibur ke negara Timur Tengah yang dominan dengan cuaca tropis, karena ia merasa itu akan cukup menantang baginya. Maka dari itu, ia mencari negara kecil di bagian Timur Tengah.
"Hmm... Wah! Tempat ini cukup unik, seperti tempatnya di film Aladin, film kesukaanku! Apa aku kesini saja. Yaah, cukup jauh, tapi lebih jauh lebih baik," gumamnya sendiri sambil berpikir panjang. Ia pun memutuskan untuk berlibur di sebuah ibu kota kecil di bagian Timur.
"Oke, mari kita lihat alat transportasinya yang akan digunakan untuk sampai ke sana..." ucapnya lagi, langsung membeli tiket ke ibu kota tersebut. Tiffany tidak menyebutkan nama asli ibu kota tersebut, tapi ia memanggilnya dengan sebutan "kota Aladin."
"Yaah! Mari kita bereskan barang-barang dan pergi ke kota Aladin!!!" seru Tiffany, mulai merasa senang dan sedikit melupakan Ray. Namun kesenangannya tidak bertahan lama. Saat ia mendapatkan panggilan masuk dari Ray, ia melihat nama panggilan tersebut cukup lama. Dengan menunjukkan wajah datar, ia mulai mengangkatnya.
"Halo, sayang! Akhirnya kamu menjawabku. Apa kamu di rumahmu? Ibumu mengatakan bahwa kamu tidak di sana saat aku datang. Kamu di mana sekarang? Aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu, Tiffany?" ucap Ray tergesa-gesa.
"Kita sudah putus! Jangan hubungi aku lagi. Aku berharap kamu dan Tania bisa menjalin hubungan dengan baik setelah ini. Kamu sepertinya pantas dengan Tania, sama-sama tidak tahu malu, dan sama-sama penghianat! Jangan hubungi aku lagi, bajingan tua!" ucapnya tegas, langsung mematikan telepon tersebut. Dan tidak segan-segan, memblokir nomor Ray dari ponselnya.
"Cih! Pria sialan!" umpatnya lagi sambil menatap ponselnya dengan kesal. Wanita yang berusia 27 tahun itu pun memutuskan untuk melupakan Ray, mantan pacarnya yang sudah berusia 32 tahun. Nama panjangnya Tiffany Ryu Damon, gadis cantik dengan segudang prestasi. Ia yang terlalu fokus pada pekerjaan, membuatnya selalu susah mendapatkan pasangan hidup. Sekali mendapatkan pasangan pun, malah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Tiffany berasal dari keluarga yang sederhana. Ia merupakan anak tunggal dari keluarga kecil Damon. Ibunya seorang guru, dan ayahnya berprofesi sebagai seorang koki. Karena ia anak tunggal, tentu saja kedua orang tuanya selalu memaksakan Tiffany untuk segera menikah, agar mereka bisa menggendong cucu. Itu mimpi mereka sekarang kepada Tiffany. Dan Tiffany sulit mendapatkan pasangan karena wajahnya yang begitu cantik. Ia memiliki kulit putih dan mulus, tinggi badan 169 cm, wajah bulat, bibir kecil berwarna merah muda, bola mata berwarna biru tua, rambut hitam panjang, lembut, dan lurus.
Banyak yang segan untuk mendekatinya. Sekali di deketin pun, Tiffany akan melihat fisik pria tersebut. Karena ia juga termasuk orang yang memandang fisik dan materi. Ia tidak ingin hidup susah, karena ia merupakan wanita pekerja keras. Diajak untuk hidup dari nol atau susah membuat Tiffany berpikir dua kali. Walaupun juga banyak pria kaya yang mengejarnya, itu tidak bertahan lama. Ia tidak pernah beruntung untuk menemukan kriteria pria yang cocok atau pria idamannya
Walaupun banyak pria kaya yang mengejarnya, itu tidak bertahan lama. Ia tidak pernah beruntung untuk menemukan kriteria pria yang cocok atau pria idamannya. Dia tidak pernah puas, sampai sekarang. Ibu dan ayahnya cukup resah dengan sikap putrinya itu. Apalagi, Tiffany meminta izin kepada mereka berdua untuk berlibur pada saat malam hari, usai mereka bertiga makan malam di ruang keluarga.
...----------------...
Di ruang keluarga, mereka berkumpul di kursi sofa berwarna putih kecoklatan. Di hadapan mereka, ada TV besar, namun tidak dinyalakan.
"Apa! Kota Aladin? Apa maksudmu, putriku? Ayah tidak setuju untuk kali ini," ucap Damon, ayahnya Tiffany, dengan tegas menolak Tiffany untuk pergi ke kota Aladin.
"Yah, Ayah tahu kalah aku ini butuh waktu, yah! Ray selingkuh! Dan aku kelelahan bekerja. Ayah, Tiffany mohon, yah!" pinta Tiffany, sambil menunjukan wajah memelas kasihan.
"Sayang..." panggil Zarah, ibunya Tiffany, kepada Damon. Kedua wanita yang ia sayangi kini sedang memelas kepadanya. Damon tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengizinkan Tiffany. Namun, ia menyarankan agar Tiffany berlibur di tempat yang dekat saja, jangan sampai ke luar negeri.
Zahra setuju dengan apa yang dikatakan oleh Damon. Ia juga sebenarnya berat hati untuk mengizinkan putri satu-satunya berpergian jauh. Tentu saja, Tiffany tidak setuju. Namun, ia juga tidak bisa melawan orang tuanya. Jalan satu-satunya adalah ia hanya bisa mengiyakannya saja.
...********BERSAMBUNG********...
Singkatnya, di pagi hari, perjalanan Tiffany pun dimulai. Ia diantar oleh ibu dan ayahnya, serta temannya Alfero, ke bandara.
"Kamu yakin akan membohongi orang tuamu? Kamu bilang kamu akan pergi ke kota A, tapi nyatanya kamu akan keluar negeri, Tiffany? Aku rasa ini salah," bisik Alfero mencoba menasehati Tiffany, pada saat orang tuanya sedang sibuk membeli tiket ke kota A. Mereka ingin memastikan Tiffany berangkat ke kota tersebut, tanpa mengetahui Tiffany sudah menyimpan tiket yang lain.
"Diamlah! Aku meminta kamu datang untuk membantuku agar bisa bebas dari tahanan orang tua ku! Jangan membuat masalah," balas Tiffany yang berdiri di samping Alfero, menunggu ibu dan ayahnya mengurus semua transportasinya. Alfero yang diancam, tentu saja hanya bisa menghela nafas panjang dan mengikuti Tiffany, membohongi paman dan bibinya.
Hubungan Alfero dan Tiffany cukup dekat. Mereka adalah sepupu dari keluarga ibu. Karena keluarga ibu semua orang notabennya memiliki sifat yang lembut, Alfero juga seperti itu. Itulah sebabnya ia tidak bisa melawan sepupu perempuan yang ia sayangi itu.
Perselisihan mereka berubah menjadi harmonis saat mereka melihat Damon dan Zahra berjalan menuju mereka. "Ibu, apa sudah selesai?" tanya Tiffany sambil tersenyum.
"Iya, putriku. Ini, adalah paspor mu. Kamu harus berhati-hati di sana, selalu hubungi ibu, dan cepatlah kembali," ucap Zahra, memberikan kartu paspor milik Tiffany kepadanya, dan menahan air mata agar tidak terjatuh.
"Aaah, ibu... Aku janji akan selalu mengabari ibu dan ayah! Oh, iyah, sepertinya Alfero ingin pergi bekerja. Ayah dan ibu seharusnya membawa pulang Alfero sebelum dia terlambat. Jangan khawatirkan Tiffany, Tiffany bisa jaga diri di sini, karena Tiffany sudah terbiasa untuk bepergian," ucapnya cepat sambil memandang wajah Alfero dengan tatapan tajam.
"Iyakan, Alfero?" tanya Tiffany lagi dengan nada menekan.
"A-a, benar, bibi. Saya hampir terlambat. Tapi jika bibi dan paman masih ingin bersama Tiffany, saya bisa balik sendiri," ucapnya gugup.
"Alfero!" teriak Tiffany melebarkan matanya karena Alfero tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
"Ibu, kasihan Alfero. Ia sepertinya merasa tidak enak hati merepotkan ibu dan ayah. Bagaimana ini?" sambung Tiffany lagi.
"Tidak... aaakkkh!" Belum Alfero berkata lagi, Tiffany diam-diam mencubit perut Alfero dari samping.
"Haaah, baiklah. Ayah dan ibu akan pergi sekarang. Tidak enak jika membiarkan Alfero pergi sendiri. Kamu hati-hati, yah? Jangan membuat masalah, dan jangan mengingat pria brengsek itu lagi. Ayah menyayangimu, putri ayah," ucap lembut Damon, dan langsung memeluk tubuh putrinya, dan memberi kecupan hangat di kening Tiffany. Tidak lupa juga Damon memeluk istrinya, yaitu Zahra. Kebiasaan Damon, jika ia sudah memanjakan putrinya, Zahra juga harus merasakan kehangatan itu.
"Ibu juga menyayangimu, hati-hati, sayangku," ucap Zahra mencium lembut kedua pipi Tiffany.
Sementara ketiga keluarga yang sedang meluangkan kehangatan sesaat, Alfero diam-diam berteriak di hatinya menahan sakit di perutnya sehabis dicubit oleh Tiffany. Akhirnya, mereka berpisah. Tiffany memberikan lambaian tangan kepada mereka bertiga saat jarak mereka sudah jauh, sampai ketiga orang tersebut sudah tidak kelihatan.
Tiffany dengan cepat mengganti tujuan perjalanannya menuju kota Aladin yang dia impikan, secara sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Tiffany benar-benar anak yang nakal. Tiffany yang sering dimanja karena dia merupakan anak tunggal, tidak memiliki rasa takut dimarahi oleh orang tuanya. Ia dengan nekat keluar negeri sendirian tanpa izin dari Damon dan Zahra. Dan yang hanya mengetahui hal tersebut hanyalah Alfero, sepupu laki-laki yang suka ditindas oleh Tiffany.
Akhirnya, pada jam 08.30 pagi, ia berhasil lepas landas. Waktu yang dihabiskan di dalam pesawat hanya untuk makan, tidur, dan bermain game kesukaannya. Perjalanannya juga memakan waktu 7 jam lamanya. Ia berharap tidak akan terjadi apa-apa karena membohongi kedua orang tuanya. Tanpa ia ketahui, tindakan ini akan membawanya ke dalam sebuah kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan.
Sesampainya ia di bandara ibu kota negara tersebut, ia harus menempuh perjalanan lagi menggunakan sebuah angkutan yang memakan waktu sekitar 1 jam. Di dalam sana, banyak sekali orang-orang berkulit sawo matang dan eksotis, ibu-ibu, anak-anak, dan pria. Mereka berpenampilan sangat berbeda dengan orang-orang yang berada di kotanya. Ada yang menggunakan selendang menutup kepala bagi perempuan dan pria menggunakan kopiah bercorak terang di atas kepala mereka. Dan hanya dia di sana yang berkulit putih terang, dia yang terlihat berbeda karena hanya menggunakan baju polos dan celana jeans panjang.
Ia cukup merasa takut, tapi ada rasa menantang yang belum pernah dirasakan oleh Tiffany. Ia juga mencoba berbicara dengan orang-orang tersebut, dan mereka cukup ramah terhadap Tiffany. Mereka bisa menggunakan bahasa asing yang Tiffany juga bisa pakai, membuat Tiffany sedikit merasa tenang. Semua orang yang berada di dalam bis tersebut juga memiliki tujuan yang sama dengannya, pergi ke kota Aladin. Tujuan mereka adalah untuk berdagang karena di sana tempatnya cukup makmur dibandingkan di kota mereka tempati.
Semasa perjalanan, Tiffany hanya melihat gurun pasir dan pohon kaktus. Sering juga melihat kuda dan unta berkeliaran di kota tropis itu. Pemandangan yang baru pertama kali dilihat oleh Tiffany membuat Tiffany sedikit melupakan masalah hidupnya.
...----------------...
Sementara itu, di kantor tempat Tiffany bekerja, Alfero sedang dihadang oleh Ray dan Tania. Mereka menanyakan keberadaan Tiffany karena mereka ingin meminta maaf kepada Tiffany. Jika tidak, mereka akan dipecat karena tidak ada lagi yang suka kepada mereka di kantor, sehingga pekerjaan menjadi terhambat.
"Di mana Tiffany, Alfero?" tanya Tania di ruang kerja Alfero.
"Dia sudah pergi. Kalian tidak akan menemukan anak itu lagi," ucap Alfero acuh, sambil memainkan komputer kerjanya.
"Apa katamu? Apa dia sudah mati?" celetuk Ray, membuat Alfero yang tadinya biasa saja sekarang tanduknya mulai naik.
"Hey, brengsek! Yang ku katakan Tiffany sudah pergi, bukan pergi ke alam lain! Kamu sumpahin sepupuku mati, ha!" ketus Alfero, berdiri dari kursi kerjanya, memasang dada di hadapan Ray.
"Tidak. Bukankah kamu yang mengatakannya tadi? Maafkan aku, tenangkan dirimu dulu, Alfero. Kita berdua akan pergi dari sini. Beritahukan aku jika kamu sudah tenang," ucap Ray gugup, langsung kabur dari sana, sambil menarik tangan Tania. Dengan cepat, mereka berdua meninggalkan Alfero.
"Cih! Kamu sudah pergi, tapi kenapa masih menyusahkan aku, sih, Tiffany? Sungguh sial bersaudaraan denganmu," ketus Alfero, kembali duduk di kursi kerja miliknya.
...---------------...
"Huaacim!!!" bersin Tiffany, sambil menggosok hidungnya.
"Ya ampun? Apa kamu sakit, nak? Bertahanlah, kita hampir sampai," ucap seorang ibu, yang sedang menggendong seorang bayi perempuan.
"Haha, tidak apa-apa, bibi. Sepertinya, saya belum terbiasa dengan cuaca di sini," ucap Tiffany cepat.
Dan benar saja, kota Aladin mulai terlihat di pandangan mereka. Tiffany begitu antusias saat melihat kemegahan gerbang utama di kota tersebut. Pada saat sang supir berbicara dengan prajurit penjaga gerbang, Tiffany menyimak mereka menggunakan bahasa yang tidak dipahaminya sama sekali.
Dan setelah beberapa menit supir tersebut berbicara dengan penjaga gerbang, gerbang pun mulai terbuka lebar, dan kendaraan yang Tiffany naiki pun bisa masuk ke dalam kota Aladin.
...********BERSAMBUNG********...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!