NovelToon NovelToon

Bos Jutek Itu Suamiku

GAGAL MENIKAH

Gadis bertunik cokelat dengan rok plisket itu melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Saat sudah berada di depan pintu ruangan yang ia tuju tiba-tiba langkahnya terhenti. Hawa sore yang mulai dingin tak mampu meredam debaran di dadanya. Hari ini seharusnya menjadi hari biasa bagi Almahyra Ghassani atau yang biasa disapa Ayra. Ia hanya ingin menjenguk Sarah, sepupunya yang dikabarkan jatuh sakit. Namun, begitu ia sampai di depan ruang rawat, langkahnya terhenti mendengar suara seseorang yang ia kenali.

“Om, saya mohon… maafkan saya. Saya dan Sarah khilaf…” Suara Bima bergetar.

Khilaf? Apa maksudnya? Mengapa pula suaranya terdengar begitu lirih.

Lalu, suara lelaki yang ia panggil Om Dhanu itu mengoyak keheningan dengan berseru keras, “Khilaf? Dimana otak kalian saat kalian melakukannya? Kalian mengkhianati Ayra!"

"Cukup, Yah. Semua sudah terjadi dan kita tidak bisa apa-apa selain menikahkan mereka berdua." Ayra bisa mendengar jelas suara Tante Mia, ibunya Sarah ikut bersuara.

Ayra terpaku. Tangannya mencengkeram tali tasnya begitu erat, nyaris merobek kulitnya sendiri. Apa maksudnya semua ini? Menikahkan Bima dan Sarah?

"Saya akan bertanggung jawab, Om. Tapi saya mohon, rahasiakan dulu ini pada Ayra dan keluarga yang lain."

Deg! Kaki Ayra rasanya begitu lemas. Apa yang Bima lakukan pada sepupunya itu?

"Tanggung jawab apa maksudmu? Lalu bagaimana dengan Ayra?!" Seru Dhanu.

Bima menunduk, tubuhnya gemetar. “Saya… Saya akan tetap menikahi Ayra. Tapi saya juga akan bertanggung jawab atas Sarah.”

"Brengsek! Saya tidak akan membiarkan kamu melakukan itu pada keponakan dan anak saya" Gertak Om Dhanu.

"Yah, Sarah itu hamil. Bima harus menikahinya." Kata Mia lirih.

Ayra seperti dihantam oleh benda berat. Tubuhnya terasa beku, otaknya mencoba menolak kenyataan. Sarah hamil? Dan Bima yang melakukan itu semua? Akhirnya Ayra mendorong pintu ruangan rawat inap tersebut.

 Hal pertama yang Ayra saksikan adalah penampilan Bima yang jauh dari biasanya. Wajah lelaki itu masih menyisakan darah di ujung bibirnya dan kemeja hitam yang biasanya rapi itu tampak begitu kusut. Omnya menatapnya dengan tatapan bersalah, begitu pula dengan tantenya yang kini memeluk Sarah yang masih menunduk.

"Maksud semua ini apa?" Tanya Ayra pelan.

 Hening. Hingga akhirnya suara Sarah yang lemah tapi jelas menghunus jantungnya menjawab pertanyaannya.

“Ayra…” Suara itu serak. Ayra menoleh ke arah Sarah, matanya berkaca-kaca. “Aku… Aku tidak tahu ini akan terjadi. Aku tidak pernah bermaksud menghancurkan rencana kalian. Semua ini... Semua ini terjadi begitu saja. Aku... hamil, anaknya Bima."

Lalu, tiba-tiba semua kepingan yang semula tak bisa Ayra pahami mulai tersambung. Malam-malam di mana Sarah tampak canggung saat berbicara dengannya, tatapan gelisahnya setiap kali Ayra membahas pernikahan dengan Bima, dan kini, kehamilannya.

Napas Ayra tercekat. Ia menatap Bima dengan mata yang mulai basah. “Benar yang dikatakan Sarah, Mas? Kalian... kalian benar-benar melakukan itu?"

Bima tak menjawab. Namun sorot matanya ketika menatap Ayra sudah menjadi jawaban untuk Ayra.

Ayra menghela napas panjang, mencoba menahan gemuruh di dadanya. Ia melangkah mendekat, menatap pria yang Ayra kira adalah imam yang tepat untuknya dengan dingin.

"Menikahlah dengan Sarah, Mas. Batalkan rencana pernikahan kita."

Bima menegakkan tubuhnya, matanya membelalak. Ia mendekati Ayra. “Ayra, tidak! Aku mencintaimu! Aku tidak bisa membatalkan pernikahan kita!”

Ayra tertawa getir. “Cinta?” Katanya sinis. “Cintakah yang membuatmu tidur dengan sepupuku? Cinta macam apa yang tega menghancurkan hidup dua orang perempuan sekaligus? Dimana akalmu saat kamu melakukan itu pada sepupuku sendiri?”

Bima mencoba meraih tangannya, tapi Ayra mundur. “Jangan sentuh aku. Apapun alasanmu, aku tidak akan bisa menikah denganmu." Katanya datar. Ayra sama sekali tidak menangis.

Omnya menatapnya dengan sedih. “Nak, kau yakin?”

Ayra menegakkan bahunya, meskipun jantungnya terasa seperti diremas. “Aku lebih baik membatalkan pernikahan ini sekarang daripada menyesal seumur hidup.”

"Maafkan Sarah, Ra. Tante sangat berterima kasih kepadamu karena kamu mengizinkan Bima menikah dengan Sarah."

"Tante nggak usah khawatir. Mas Bima akan menikah dengan Sarah." Jawab Ayra mantap. "Saya permisi dulu."

"Ay... Tunggu, Ay." Bima terus memanggil namanya namun Ayra enggan menoleh.

Langkahnya mantap meninggalkan pria itu—pria yang tak lagi pantas untuknya. Keputusannya sudah bulat. Setelah keluar dari ruangan Sarah, air mata yang sedari tadi Ayra tahan akhirnya tumpah juga.

...****************...

Dua minggu kemudian, hari itu akhirnya tiba. Bukan hari yang Ayra nantikan, tapi hari yang tetap harus ia hadapi dengan kepala tegak.

Gaun putih yang seharusnya ia kenakan kini dipakai oleh Sarah. Dekorasi pernikahan yang seharusnya untuknya dan Bima kini menjadi saksi bisu bersatunya pria yang pernah ia cintai dengan sepupunya sendiri.

Ayra berdiri di antara tamu undangan, tersenyum tipis saat beberapa orang menyapanya dengan ekspresi canggung. Ia tahu mereka membicarakannya di belakang, tentang betapa kuatnya ia datang ke pernikahan ini, seolah tak terjadi apa-apa. Beberapa orang bahkan tidak sungkan menunjukkan rasa kasihan pada dirinya.

"Selamat, Sarah. Selamat, Bima," Katanya pelan.

Sarah tampak menunduk, tak berani menatapnya terlalu lama. Bima, di sisi lain, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada penyesalan disana. Tapi Ayra tidak peduli lagi.

"Terima kasih, Ay." Kata Bima. "Maafkan aku."

Ayra enggan menjawab. Ia melewati Bima begitu saja. Hingga ketika berada di depan orang tua Bima, terutama ibunya Bima, perempuan itu langsung memeluknya.

"Maafkan Mama ya, Nak. Mama tidak bisa mendidik Bima. Seharusnya ini menjadi hari bahagiamu. Semoga kamu mendapat ganti yang lebih baik, ya."

Ayra membalas pelukan perempuan lembut itu. "Mama nggak salah. Semua sudah terjadi. Ayra ikhlas." Kata Ayra lembut.

Ayra lalu melepaskan pelukan itu. Ia tersenyum kepada perempuan yang hampir menjadi mertuanya itu seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Setelah itu, Ayra pergi. Ia tidak ingin terlalu lama berada di acara itu. Pikirannya hanya satu. Ia ingin segera pergi jauh dari Bima dan Sarah.

Setelah menghadiri acara pernikahan itu, ia pun mengurung diri di kamar. Kepalanya masih sibuk memikirkan bagaiman agar ia tidak sering bertemu dengan kedua manusia itu. Apalagi dengan rumahnya dan rumah Sarah yang berdekatan akan membuatnya sering bertemu dengan Sarah dan Bima.

Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di sendiri. Ia bisa menyewa kost dekat dengan kantornya. Keputusan itu sudah bulat dan nyatanya kedua orang tuanya menyetujui hal itu.

Waktu terus berjalan dan malam pun tiba. Tadi ia sudah meminta bantuan sahabatnya untuk mencarikan kost yang dekat kantornya.

"Ayra pergi ya, Ma, Bi." Ayra berpamitan pada kedua orang tuanya.

Laras menatap Ayra dengan lembut. Dibelainya kepala putrinya dengan pelan. "Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa, hubungi kami." Kata Laras.

"Siap, Umma. Ayra akan ingat selaly nasihat Umma dan Abi." Jawab Ayra.

Rizal mendekati putrinya. "Semoga Allah selalu melindungi kamu, ya. Jaga dirimu baik-baik."

Ayra mengangguk. "Siap, Abi. Jangan keseringan tugas luar, ya. Kasihan Umma sendirian." Kata Ayra mencoba mencairkan suasana.

"Bisa aja kamu. Ya udah, hati-hati. Kabari Abi kalau sudah sampai nanti."

Ayra mengacungkan jempol kanannya. Senyumnya selalu terbit untuk menenangkan hati kedua orang tuanya. Ayra menarik napas panjang, memandang koper kecil di tangannya. Malam ini, ia akan pergi. Keputusan itu sudah bulat.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati." Kata Laras mengingatkan kembali.

Ayra tersenyum lagi. Ia melangkahkan kakinya dengan mantap. Namun ketika ia melangkah keluar pagar, seseorang muncul dari rumah Omnya.

"Ayra, tunggu!"

Suara itu membuatnya berhenti sejenak. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memanggilnya.

Bima berlari mendekatinya. Lelaki itu sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai.

"Ada apa?" Tanyanya datar, berusaha mengendalikan emosinya.

Bima menatapnya, seperti seseorang yang tidak tahu harus berkata apa. "Aku... Aku hanya ingin bicara."

"Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Bim. Kamu sudah menikah dengan sepupuku. Bahkan sebentar lagi kamu akan menjadi ayah," Ayra berusaha terdengar tegar, meskipun hatinya terasa berat.

Bima melangkah mendekat, "Kamu mau kemana?"

"Bukan urusanmu."

"Ay, tetaplah disini. Kamu bahkan takut untuk tinggal sendirian. Jangan gegabah."

Ayra tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena tidak percaya. "Lucu sekali kau bisa berkata seperti itu setelah semua yang terjadi. Aku sudah memutuskan, Bima. Aku akan pergi."

"Ayra, aku menyesal..."

"Tapi penyesalanmu tidak mengubah apa pun. Aku tidak akan tinggal di sini dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Orang tuaku sudah mengizinkan, itu cukup bagiku," Ayra berkata dengan mantap.

Bima tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Ayra tidak memberinya kesempatan.

Tanpa menoleh, ia menarik kopernya dan melangkah menuju taksi yang sudah menunggunya. Harapannya satu, ia bisa dengan cepat melupakan Bima dan memulai fokus dengan karirnya.

DIREKTUR BARU

Pagi itu, suasana Cerita House Publishing terasa lebih sibuk dari biasanya. Para karyawan sudah berkumpul di aula kantor, berbincang dengan suara berbisik tentang satu hal yang sama: direktur baru mereka. Beberapa orang sibuk mengatur kursi untuk duduk, sementara yang lain berdiri dalam kelompok kecil, membahas rumor tentang pemimpin baru yang akan menggantikan ayahnya dalam mengelola perusahaan.

Namun bagi Ayra, semuanya terdengar seperti dengungan samar yang tidak terlalu ia pedulikan. Ia berdiri di antara rekan-rekannya dengan ekspresi datar, pikirannya masih penuh dengan luka yang belum sembuh. Sudah sebulan sejak kejadian memalukan itu, tetapi bayang-bayang pengkhianatan mantan tunangannya masih menari-nari di pikirannya.

Ia seharusnya sedang menikmati bulan madu sekarang, bukan berdiri di ruangan ini, menyaksikan perkenalan pemimpin baru perusahaan tempatnya bekerja. Namun, hidupnya telah berubah dalam sekejap. Pernikahan yang batal, harga diri yang tercoreng, dan tatapan kasihan dari orang-orang di sekelilingnya membuatnya ingin menutup diri dari dunia. Tapi ia tidak bisa. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah bekerja dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Ayra lalu duduk di barisan belakang, menyesap kopi yang mulai dingin. Matanya sedikit sayu, sisa-sisa kelelahan masih terasa setelah berminggu-minggu mencoba mengabaikan patah hati yang baru saja menimpanya. Ia tidak tertarik dengan acara ini. Baginya, siapapun bos barunya, itu bukan urusannya, selama orang itu tidak merepotkan tim ilustrator.

Rania, sahabat sekaligus rekannya di tim kreatif ikut berbisik padanya.

"Kamu tahu, Ra, bos baru ini katanya duda. Masih muda, Ra. Ganteng loh." Bisik Rania.

"Ganteng-ganteng nanti tukang selingkuh." Sahut Ayra ketus.

Rania yang paham dengan keadaan sahabatnya itu hanya bisa menepuk pelan bahu sahabatnya.

"Biar nggak kebayang terus, mending fokus ke direktur baru kita. Ganteng gitu masa lo anggurin."

Ayra menoleh malas. Ia tidak peduli pada rumor yang beredar, sampai suara tepukan tangan terdengar dari depan.

MC acara berdiri di podium, membuka perkenalan dengan kata-kata resmi sebelum akhirnya mempersilakan HRD mereka berbicara memberikan kata sambutan hingga akhirnya memperkenalkan direktur baru mereka.

Suara langkah kaki terdengar di atas panggung, diikuti oleh suara HRD yang memperkenalkan seseorang. "Perkenalkan, ini Arsalan Malik, direktur baru kita. Beliau akan menggantikan posisi Pak Rahmat yang sudah memasuki masa pensiun."

Detik itu juga, Ayra membeku. Nama itu sangat tidak asing di telinga Ayra. Gadis itu akhirnya menatap lurus ke depan.

Sosok yang berdiri di atas panggung itu adalah seseorang yang sangat ia kenali. Walaupun sudah lima tahun lebih tidak berjumpa, Ayra tentu tidak lupa dengan lelaki itu.

Masa lalu mereka terlalu rumit. Namun tidak bisa dikatakan baik juga. Karena akhir pertemuaan mereka saat itu kurang baik.

Arsal pernah mendadak melamarnya seminggu setelah mereka resmi jadi sarjana. Namun saat itu Ayra menolaknya. Setelah itu Ayra pun tidak pernah bertemu Arsal lagi. Lelaki itu kabarnya langsung melanjutkan S2 di luar negeri. Tapi itu cukup baik, Ayra tidak perlu menghindarinya.

Arsal tampak lebih dewasa sekarang. Setelan jasnya rapi, rambutnya ditata dengan sempurna, dan ekspresi wajahnya tetap tenang, tapi Ayra tahu betul bahwa di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Lelaki itu tampak begitu dingin.

Saat mata mereka bertemu, Arsal sempat terdiam. Sejenak saja, tapi cukup untuk membuat sesuatu bergetar di dada Ayra.

"Batal nikah, eh malah ketemu sama teman masa lalu. Apes banget sih, Ra." Keluhnya dalam hati.

...****************...

Siang itu, kantin kantor mulai sepi setelah sebagian besar karyawan berhamburan keluar untuk makan siang di luar. Arsal melangkah menuju lift dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Hari pertamanya sebagai Direktur di Cerita House Publishing seharusnya berjalan lancar, tetapi pikirannya justru terusik oleh satu hal atau lebih tepatnya, oleh satu orang.

Almahyra yang lebih sering dipanggil Ayra. Gadis yang pernah dengan nekat ia lamar namun dengan langsung pula di tolak. Gadis yang merupakan teman dekatnya namun juga sekaligus yang menyebabkan patah hatinya pertama kali.

Sama sekali tidak ada ekspresi terkejut dari gadis itu saat melihatnya tadi pagi. Tidak ada sapaan. Tidak ada sekadar anggukan singkat. Seolah mereka tidak pernah saling mengenal. Seolah Arsal hanyalah orang asing.

Arsal menekan tombol lift, pintu terbuka, dan ia melangkah masuk. Hanya ada satu orang di dalam lift. Lagi-lagi takdir mempertemukan mereka berdua.

Ayra berdiri dengan wajah datar, menatap angka di panel lift seakan benda itu adalah hal paling menarik di dunia. Ia bahkan tidak sedikit pun melirik ke arah Arsal. Bodohnya Arsal justru menunggu Ayra menyapanya. Ia berharap Ayra akan mengatakan sesuatu atau setidaknya memberi isyarat kecil bahwa ia menyadari kehadiran Arsal. Tapi tidak. Gadis itu tetap diam.

Lift mulai bergerak turun, dan tetap saja tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir gadis itu.

Arsal mengernyit. Beragam prasangka muncul di pikirannya.

Setelah bertahun-tahun, setelah perpisahan yang tidak baik, gadis itu bahkan tidak merasa perlu mengatakan apa pun? Tidak ada permintaan maaf, tidak ada kata "lama tak bertemu," bahkan tidak ada basa-basi kaku yang biasanya digunakan orang-orang dalam situasi canggung.

Arsal awalnya ingin berpura-pura tidak mengenal atau bahkan menyapa Ayra. Namun tidak bisa.

Arsal tidak mengerti kenapa Ayra masih bisa mengusik pikirannya seperti ini. Seharusnya ia sudah selesai dengan semua ini. Seharusnya perasaannya sudah mati bertahun-tahun lalu, terkubur bersama rasa sakit yang pernah Ayra tinggalkan.

"Kamu benar-benar ingin kita tidak saling kenal?" Suara Arsal akhirnya memecah keheningan.

Ayra tetap menatap ke depan, tanpa ekspresi. "Aku tidak tahu maksudmu."

Arsal mendengus pelan. "Kenapa kamu diam?"

Akhirnya, gadis itu menoleh. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga Arsal merasa dadanya mengencang.

Tatapan matanya masih sama.Masih setenang dulu, seolah apa yang terjadi di masa lalu tidak pernah benar-benar terjadi.

"Kalau aku berpura-pura tidak mengenalmu, aku pasti sudah keluar lift begitu melihatmu tadi," Kata Ayra, suaranya terdengar datar.

Arsal menyipitkan mata. "Tapi kamu tidak bicara apa-apa."

"Saya tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Rasanya terlalu aneh bertemu teman lama yang ternyata bos sendiri."

"Tidak ada yang perlu saya katakan." Kata Ayra. Saat terdengar bunyi pintu lift terbuka, Ayra baru berbicara lagi. "Selamat atas pelantikanmu, Pak." Ucapnya, lalu ia segera keluar lift.

Arsal menatap punggung gadis itu, dan entah kenapa, ada dorongan dalam dirinya untuk mengulurkan tangan dan menghentikannya.

Namun ia tidak melakukannya. Ia membiarkan Ayra pergi, sementara dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang selama ini ia kira sudah menghilang.

"Kalau di masa lalu saya tidak bisa mendapatkanmu, maka sekarang saya harus mendapatkanmu, Ay." Gumam Arsal dingin.

BERTEMU KALYA

Udara malam di luar terasa sejuk setelah hujan turun di sore hari. Lampu-lampu kota berpendar di balik kaca besar toko buku, menciptakan suasana yang nyaman dan tenang. Ayra menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma khas kertas dan tinta memenuhi indra penciumannya. Tempat ini selalu menjadi pelariannya ketika ingin menenangkan pikiran.

Sejak siang tadi, Riana dan Helen mengabarkan bahwa mereka tidak bisa menemaninya. Namun itu bukan masalah, karena ia memang lebih sering menyendiri akhir-akhir ini.

Langkahnya ringan menyusuri rak demi rak, jarinya menyentuh beberapa sampul buku dengan lembut. Matanya berbinar ketika menemukan satu buku yang menarik perhatiannya. Ia mengambil buku itu, membaliknya untuk membaca sinopsis di belakang.

"Bagus juga," Gumamnya pelan.

Ayra kemudian berjalan ke sudut yang lebih sepi, berniat mencari buku sketsa untuk keperluan illustrasinya. Suasana di toko buku ini cukup lenggang, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan pilihan mereka masing-masing.

Namun, ketika ia baru saja mengambil satu buku sketsa yang terpajang, sesuatu yang kecil dan tak terduga menarik perhatiannya.

Seorang anak perempuan berdiri di ujung rak, menatapnya dengan ekspresi yang... jutek.

Ayra mengerjapkan mata. Anak itu tampak berusia sekitar empat tahun, mengenakan gaun selutut berwarna krem dengan rambut hitam sebahunya yang dikepang kecil di satu sisi. Matanya bulat, bibirnya sedikit mengerucut, dan alisnya yang mungil tampak sedikit berkerut.

Anak itu berdiri dengan tangan bertolak pinggang, seolah baru saja menangkap seseorang sedang melakukan kesalahan besar.

Ayra melirik ke sekeliling. Tidak ada orang dewasa di dekat anak itu. Siapa yang membiarkan anak sekecil ini sendirian di toko buku?

Pelan-pelan, Ayra menurunkan bukunya dan mendekat beberapa langkah.

"Hei," Sapanya lembut. "Kamu sendirian?"

Alih-alih menjawab, si anak perempuan itu justru semakin menatapnya dengan tatapan penuh penilaian. Seolah Ayra adalah orang yang mencurigakan.

Alih-alih merasa tersinggung. Ayra justru tersenyum melihat anak itu.

"Aku Ayra. Siapa namamu?" Ayra mencoba lagi.

Masih tidak ada jawaban. Hanya tatapannya yang semakin menajam. Anehnya ia justru tersenyum.

Ia terkekeh kecil. "Kamu selalu setajam ini menatap orang asing?" Tanya Ayra dengan wajah tenang.

Anak itu mengangkat dagunya sedikit, tetap dalam mode waspada.

"Siapa yang ngajarin kamu tatapan sejudes ini, hm?" Goda Ayra.

Anak itu akhirnya membuka mulut, tapi bukan untuk menjawab pertanyaannya.

"Kamu siapa?" Tanyanya dengan suara mungilnya yang terdengar sok dewasa.

Ayra mengangkat alis, tersenyum. "Kan tadi aku sudah bilang, namaku Ayra."

Si bocah memiringkan kepala. "Namaku Kalya."

"Senang bertemu denganmu, Kalya," kata Ayra.

Kalya masih memandangnya dengan penuh kehati-hatian. "Kamu orang baik atau orang jahat?"

Ayra nyaris tertawa. "Menurut kamu?" Tanya Ayra dengan wajah pura-pura serius.

Kalya menyipitkan mata, lalu menggeleng pelan. "Belum tahu."

Ayra tidak bisa menahan tawa kali ini. Gadis kecil ini benar-benar unik. Ayra baru saja hendak mengajukan pertanyaan lain ketika suara panik terdengar dari ujung rak.

"Kalya!"

Tubuh mungil di depannya menoleh cepat, begitu pula Ayra. Begitu matanya menangkap sosok yang muncul dari balik rak, otaknya langsung bekerja dengan kecepatan tinggi. Itu Arsal.

Detiknya yang pertama, Ayra membeku. Detik berikutnya, ia sadar bahwa lelaki itu berdiri tidak jauh darinya, napasnya sedikit memburu, jelas-jelas habis berjalan cepat atau mungkin berlari kecil mencari si bocah yang masih berdiri dengan ekspresi datarnya.

Ayra menatap dua orang berbeda usia di depannya dengan penasaran. Namun otaknya menyusun potongan-potongan informasi dalam hitungan detik. Raut wajah dan tatapan anak itu sangat mirip Arsal versi yang sekarang.

Ayra menatap Kalya, lalu kembali ke Arsal. Kemudian ke Kalya lagi. Oh, dia ingin tertawa. Sekarang ia tidak hanya bertemu ayahnya, namun bisa jadi bertemu anaknya juga. Apalagi keduanya sama-sama punya tatapan yang tajam dan raut yang sangat judes.

Arsal berjalan cepat ke arah mereka, sorot matanya gelap dan tajam. Napasnya masih sedikit memburu, jelas habis mencari Kalya di seluruh toko buku. Begitu sampai, ia langsung berjongkok di depan anak itu.

"Kalya, kamu ke mana saja? Papa sudah bilang jangan jauh-jauh."

Kalya tetap bertolak pinggang, menatap ayahnya dengan ekspresi datar khasnya. "Aku tidak jauh. Aku cuma lihat-lihat."

Arsal mengembuskan napas panjang, jelas berusaha menahan kesal. "Kalau mau lihat-lihat, tetap harus bilang dulu. Kamu pikir Papa enggak panik cari kamu?"

Kalya mengerjap pelan, lalu menoleh ke Ayra. "Aku ketemu dia."

Kini perhatian Arsal beralih. Mata gelapnya bertemu dengan mata Ayra yang masih berusaha keras untuk tidak tertawa. Sekilas ia melihat Arsal terdiam, seolah tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini.

Ayra tersenyum tipis. "Hai, Bos. Ketemu lagi kita disini." Ucap Ayra sambil melambaikan tangan.

Arsal hanya menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Nada suaranya terdengar kaku, seperti seseorang yang tidak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap pertemuan tak terduga ini.

Ayra mengangkat bahu santai. "Nyari buku. Ngapain lagi coba?" Jawab Ayra.

Tatapan Arsal tidak berubah. Begitu pula Kalya yang kini melihat mereka berdua bergantian, seolah sedang menilai sesuatu.

"Lalu, kenapa kamu dengan Kalya?" tanya Arsal lagi, suaranya lebih pelan tapi tetap mengandung ketegasan khasnya.

Ayra melirik ke Kalya, lalu tersenyum kecil. "Dia yang mendekatiku duluan. Sepertinya dia tersesat, tapi dia malah sibuk menilaiku seperti seorang detektif."

Kalya langsung memasang wajah cemberut. "Aku bukan detektif."

Ayra tertawa kecil. "Tapi tatapanmu seolah sedang menyelidiki apakah aku ini orang baik atau orang jahat."

Kalya menyipitkan mata, seolah tidak suka dengan pernyataan itu. Tapi sebelum ia bisa bicara lagi, Arsal sudah berdeham kecil, menarik perhatian Ayra kembali padanya.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."

Ayra menautkan alis. "Sama. Tapi aku lebih tidak menyangka kalau kamu ternyata punya anak."

Tatapan Arsal berubah sedikit. Ada sesuatu yang melintas di matanya, entah itu kejengkelan atau sesuatu yang lebih dalam. Tapi ia hanya menjawab singkat, "Instingmu kuat ternyata."

"Tunggu," Kalya tiba-tiba menyela. "Kalian saling kenal?"

Ayra tersenyum tipis. "Tentu saja. Papamu bosku di kantor."

Kalya menatap Ayra, lalu kembali ke Arsal. Kemudian ia berbisik pelan, tapi cukup terdengar di telinga Ayra, "Benar, Pa? Kakak itu berarti orang baik, ya?"

Ayra harus menahan tawanya lagi. Kali ini lebih kuat. Sementara itu, Arsal hanya menghela napas panjang, jelas-jelas tidak ingin memperpanjang percakapan. "Ayo, kita pulang, Kalya."

Kalya masih sempat melirik Ayra sebelum akhirnya mengangguk dan menggenggam tangan ayahnya. Saat Arsal berbalik, Ayra mendengar Kalya berkata pelan, "Aku masih belum yakin dia orang baik atau bukan."

Melihat ekspresi anak itu, Ayra akhirnya tertawa pelan.

"Nggak bapaknya, nggak anaknya, jutek banget." Gumam Ayra.

Ayra benar-benar tertawa kali ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!