Kaesang dan Tyas kini sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Setelah pesta resepsi selesai, semua anggota keluarga inti termasuk pasangan pengantin baru menaiki mobil yang telah disiapkan menuju hotel yang telah ditetapkan untuk kumpul-kumpul dan makan malam.
Di dalam mobil mereka, Kaesang dan Tyas masih saling bergandengan tangan. Keduanya sudah berganti pakaian yang lebih santai, meskipun tidak mengurangi aura mereka sebagai pengantin baru.
Tyas menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu Kaesang.
"Dear, aku masih nggak nyangka loh kalo kita sekarang sudah menikah. Aku... bahagia banget. Rasanya seperti mimpi. Makasih ya sudah hadir di hidupku," ucap Kaesang tiba-tiba.
Bibir Tyas mengembang membentuk senyuman ceria, matanya terangkat menatap Kaesang yang tengah menatap lurus ke depan.
"Aku juga nggak nyangka. Rasanya secepat ini. Ehm, Yang, nanti...kita tidurnya di mana? Di hotel yang kita tuju ini juga?" tanya Tyas. Entahlah tiba-tiba ia merasa gugup.
Mengingat ia dan Kaesang yang sudah menikah dan tengah menuju hotel pikiran Tyas langsung tertuju ke berbagai kemungkinan. Ia malu sendiri, tapi juga bahagia.
"Kenapa? Kamu mau kita langsung unb0xing, Dear?" tanya Kaesang, terkesan frontal.
Tentu Tyas tersipu mendengar ucapan frontal Kaesang. Ia tidak bisa menutupi wajahnya yang memerah seperti tomat.
"Kamu ah. Malu tau, jangan di bahas di sini!" seru Tyas. Ia malu luar biasa karena di depan masih ada supir yang bisa saja mendengar percakapan mereka. Tidak ada pembatas di dalam mobil ini.
Kaesang tertawa. "Iya Dear. Ehm, kamu laper nggak? Tadi di resepsi kamu nggak makan apapun loh, cuma makan jajanan aja," kata Kaesang.
Saat di resepsi tadi, Kaesang sudah makan banyak mengingat ia sudah sangat lapar. Tapi Tyas hanya makan jajanan saja, di minta makan makanan berat Tyas malah menolak.
"Aku nggak laper Yang. Aku masih kenyang, nanti aja."
Masih ingat betul Kaesang jawaban Tyas itu.
"Aku nggak laper Yang. Masih kenyang, rasanya pernikahan ini buat aku nggak laper, semua rasa laperku udah di pending buat besok," ucap Tyas bercanda. Lalu tertawa setelahnya.
Kaesang geleng-geleng kepala mendengar ucapan Tyas. "Kamu ada-ada aja deh. Tapi nanti di hotel kamu makan ya, aku nggak mau kamu sakit. Nanti di sana itu kata papa kita bakal kumpul-kumpul keluarga dan makan. Papa dah siapin semuanya," ujar Kaesang.
Ia ingat di mana papanya sempat mengatakan padanya soal agenda setelah pernikahan.
Ia lupa sebagian dari agenda itu, tapi sebagian lagi dia ingat. Terlebih soal...
Tak lama tibalah mereka di sebuah hotel mewah dan berkelas bernama Heaven Moon Hotel. Mobil yang mereka naiki berhenti di depan pintu masuk hotel.
Kaesang dan Tyas turun, bersamaan dengan keluarga mereka yang lain yang juga turun lalu masuk secara beriringan ke dalam hotel itu.
Di dalam mereka di sambut oleh banyaknya karyawan hotel yang berdiri berjajar di depan pintu masuk. Mereka tersenyum ramah lalu merentangkan tangan menuntun Kaesang dan rombongannya menuju ruangan khusus yang sudah disiapkan.
Di dalam private room itu, Kaesang dan keluarga besarnya berkumpul di sekitar meja panjang berbalut taplak putih.
"Ini... benar-benar mewah!" batin Tyas, menatap sekeliling tempatnya berada.
Tak lama, beberapa karyawan hotel berdatangan, masing-masing membawa nampan berisi hidangan. Dengan cekatan, mereka meletakkan piring-piring itu di atas meja, lalu membuka dan menata dengan rapi.
Setelah tugas mereka selesai, para karyawan itu beranjak pergi, meninggalkan keluarga Kaesang untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan.
"Kae, Tyas, semuanya, di makan yuk. Mumpung masih anget," kata Indra memulai.
Ia membuka piringnya, mengambil satu centong nasi dan beberapa lauk lalu meletakkannya di atas piringnya.
Kaesang dan yang lainnya pun melakukan hal yang sama, termasuk Tyas. Mereka masing-masing mengambil makanan dan mulai menyantapnya dengan lahap.
Kaesang menoleh ke Tyas, senyumnya mengembang saat melihat butiran nasi menempel di sudut bibir Tyas. Dengan lembut, ia mengulurkan tangannya, membersihkan butiran nasi itu dengan ibu jari.
"Lucu banget sih istri aku, makan aja belepotan," ucap Kaesang.
Pipi Tyas langsung merona merah melihat perlakuan Kaesang. Meskipun hanya sederhana, tapi kesederhanaan itulah yang membuat semuanya menjadi manis.
"Makasih Yang," kata Tyas, malu-malu.
Semua mata tertuju kepada mereka. Senyum-senyum sendiri, merasa lucu melihat Kaesang dan Tyas yang malu-malu.
"Kak Kae, nanti kakak sama kakak ipar tidurnya sekamar ya?" tanya Lingga tiba-tiba.
Tyas sedikit terkejut mendengar Lingga memanggilnya kakak ipar. Sedikit malu, tapi senang juga.
"Iya lah, udah sah kok. Kalo tidur sendiri-sendiri ntar dikiranya marahan lagi. Ya nggak Dear?" tanya Kaesang, menoleh ke Tyas.
Tyas hanya mengangguk, tanpa berucap.
"Kamu kenapa malu-malu sih, Yas? Santai aja, ini hari kamu dan Kaesang. Spesial buat kalian berdua," ucap Zora, setelah di lihatnya Tyas hanya diam karena merasa malu.
Tyas mengangguk, meskipun masih merasa malu. "I-iya Ma," jawabnya.
Dengan sedikit grogi ia memanggil Zora mama. Ya, panggilan yang seharusnya setelah ia dan Kaesang menikah.
"Kae, untuk malam ini kamu dan Tyas tidur di hotel ini ya. Tadi papa dan mama dah siapin sesuatu khusus buat kalian," kata papa Kaesang.
Kaesang mengerutkan keningnya. Menaruh sendok yang di pegangnya di atas piring. "Apa? Kalian jangan macam-macam ya! Nanti diem-diem kalian masang camera lagi buat ngintipin kami," tuduh Kaesang.
Ia merasa sedikit curiga.
"Heh, kamu ya! Mulai berani sekarang! Papa sama mama nggak mungkin lah sampe ngelakuin hal kayak gitu. Ngintipin anak sendiri, kayak nggak punya kerjaan aja!" ujar Indra, nada bicaranya sedikit ketus. Ia kembali melanjutkan makannya, tampak sedikit tergesa.
Tyas menyadari raut wajah kesal dari papa mertuanya. Ia lalu menyentuh lengan Kaesang. "Jangan gitu Yang, nggak baik," tegur Tyas.
Kaesang menoleh. "Cuma bercanda Dear," ucapnya.
"Ehm, Yas, ibu dan ayahmu mana? Kok nggak ikut makan juga? Mereka udah pulang?" tanya Zora, setelah selesai menelan makanannya.
Tyas meletakkan sendok yang di pegangnya di atas piring, menoleh ke mama mertuanya. "Udah Ma. Tadi katanya capek, mau langsung istirahat," jawabnya.
Zora hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya suasana hening kembali. Mereka masing-masing menikmati makanan mereka, tanpa ada yang saling bicara.
Sampai akhirnya Zora yang menyadari keheningan itu segera berucap, "Ehm, Kae...kamu dan Tyas kan udah menikah ya. Kamu masih ingat kan soal janji kamu sebulan yang lalu?" tanyanya.
Sebenarnya ia merasa ragu harus menanyakannya langsung kepada Kaesang. Tapi untuk segera tahu jawaban Kaesang, maka ia segera menanyakannya.
Kaesang menelan makanannya, menoleh ke mamanya. "Masih kok. Mama mau tau jawaban aku kan?" tanya Kaesang.
Zora mengangguk cepat. Kaesang kembali bicara, "Karena Tyas dan demi Tyas aku akan maafin mama dan akan tinggal lagi di rumah untuk sementara waktu," ucapnya.
Tyas menoleh ke Kaesang. Mengerutkan keningnya. "Kok demi aku Yang? Harusnya kamu memaafkan mama kamu dari hati dong. Karena kamu sudah ikhlas memaafkan dan melupakan kesalahan mama kamu. Kalo karena aku kan berarti kamu belum sepenuh hati memaafkan," katanya.
Benar apa yang Tyas katakan. Jika Kaesang melakukannya demi Tyas berarti belum sepenuh hati kan memaafkannya? Pikir Zora.
Kaesang mengerti apa yang Tyas katakan. Ia mengangguk, lalu meraih tangan Tyas yang tergeletak di atas meja dan menggenggamnya erat.
"Aku ngerti apa yang kamu maksud Dear. Tapi kamu salah kalo kamu ngira aku belum ikhlas. Aku udah memaafkan dan melupakan kesalahan Mama dengan sepenuh hati, kok. Nggak mau terus tersiksa dengan semua ini, Dear, aku mau melepaskannya perlahan-lahan," ucap Kaesang jujur.
"Terus kenapa tadi kamu bilang karena aku dan demi aku?" tanya Tyas, alisnya bertaut.
"Itu karena aku mau membuka hatiku lagi dan memaafkan mama karena kamu, Dear. Aku ingat kata-kata kamu beberapa tahun lalu waktu aku jujur soal masalahku. Kamu bikin aku sadar Dear kalo semua masalah itu perlu di lupakan dan di maafkan. Aku perlahan mengerti dan berusaha melupakannya," jawab Kaesang.
Senyum manis mengembang di bibirnya, tertuju pada Tyas yang membalas dengan senyum serupa. Lega rasanya jika karena dirinya Kaesang mau memaafkan mamanya. Walau ia sendiri sudah lupa apa yang Kaesang maksud tadi, saking lamanya.
"Kalian lagi ngomongin apa sih? Kesalahan apa, kok aku nggak di kasih tau?" tanya Lingga bingung.
Sedari tadi ia hanya diam, tidak paham dengan arah pembicaraan mereka. Ia hanya duduk dan menyimak, sampai ketika ia tidak sabar lagi ia segera bertanya.
"Ini urusan orang yang udah menikah. Kamu yang masih sekolah nggak usah ikut campur. Diem aja!" seru Kaesang, suaranya meninggi.
Lingga mendengus kesal. "Halah, mentang-mentang dah nikah jadi makin ngelunjak kakak! Au ah gelap!" Ia melanjutkan makannya, tak menghiraukan tawa keluarganya yang mulai menggema mendengar kekesalannya.
"Jadi kamu udah maafin Mama kan Kae?" tanya Zora lagi.
Kaesang mengangguk, senyum tipisnya merekah. "Iya mamaku sayang, aku udah maafin mama," jawabnya, suaranya lembut.
Zora tersenyum lebar, hatinya berbunga-bunga. Seolah-olah sebuah beban berat terangkat dari dadanya. Itu tandanya, Kaesang benar-benar memaafkannya.
"Akhirnya, makasih ya Kae, Yas! Kalian benar-benar membuat mama lega sekarang. Mama nggak sabar nunggu kalian pulang ke rumah dan nemenin mama. Mama sendirian loh di rumah," ucap Zora, matanya berbinar-binar. Bahagianya nggak ketulungan!
Tyas ikut tersenyum. "Besok kita temenin ya Ma," kata Tyas.
Zora mengangguk senang. "Iya, sayang. Mama tunggu kalian di rumah ya," jawabnya.
Suasana makan malam semakin hangat dan penuh canda tawa. Kaesang dan Tyas terlihat sangat bahagia sebagai pasangan suami istri baru. Keluarga mereka pun ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Setelah makan malam selesai, Kaesang dan Tyas di antarkan beberapa karyawan hotel menuju kamar yang sudah disiapkan oleh orang tua Kaesang.
"Aku mau mandi dulu, Dear. Kamu mau ikut?" tanya Kaesang sambil tersenyum nakal.
Tyas langsung tersipu mendengar pertanyaan Kaesang. "Ish, kamu ini! Jangan ngelantur," jawabnya sambil memukul pelan lengan Kaesang.
Kaesang tertawa. "Bercanda, Dear. Aku serius mau mandi, kamu mau ikut?" tanyanya lagi.
Tyas menggeleng. "Enggak, males aku, mau langsung istirahat aja. Toh juga badanku masih bersih, kamu aja yang mandi," jawabnya.
Kaesang mengangguk. "Oke, aku mandi dulu ya. Nanti aku samperin kamu kalau sudah selesai," ucapnya.
Tyas mengangguk. Kaesang pun beranjak menuju kamar mandi. Tyas sendiri memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Ia memejamkan matanya sejenak, menikmati kelelahan yang menyergapnya.
Tak lama kemudian, Kaesang keluar dari kamar mandi. Ia sudah berganti pakaian dengan piyama yang nyaman. Ia menghampiri Tyas yang masih rebahan di atas kasur.
"Kamu capek, Dear? Udah tidur aja, aku juga mau istirahat," kata Kaesang sambil mendekat ke Tyas. Ia membaringkan tubuhnya di samping Tyas, lalu menarik selimut menutupi tubuh keduanya.
"Aku masih nggak percaya kalo kita udah menikah, Yang," ucap Tyas, suaranya sedikit berbisik. Ia masih merasa seperti mimpi.
"Iya, aku juga. Rasanya baru kemarin kita pacaran," jawab Kaesang.
"Aku senang bisa jadi istri kamu, Yang," kata Tyas dengan lembut.
"Aku juga senang bisa jadi suami kamu, Dear. Aku janji akan selalu menjagamu dan membuatmu bahagia," jawab Kaesang.
Senyum merekah di wajah Tyas, memancarkan kebahagiaan yang teramat dalam. "Thank you my husband. I love you," ucap Tyas, memeluk erat tubuh Kaesang.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya detak jantung mereka yang terdengar saling berirama. Tyas merasakan tangan Kaesang merayap ke pinggangnya, sentvhan lembut yang membuatnya merinding.
"Kamu cantik, Dear," bisik Kaesang, suaranya serak dan mengg0da.
Tyas tersipu, matanya terpejam erat. Ia merasakan napas hangat Kaesang membelai pipinya, membuat tubuhnya terasa panas.
"Aku... aku masih gugup, Yang," lirih Tyas, suaranya nyaris tak terdengar.
"Gugup kenapa, Dear?" tanya Kaesang, senyum nakalnya terukir di bibir.
"Aku... aku belum pernah..." Tyas terdiam, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Wajahnya memerah seperti tomat, membuat Kaesang tertawa pelan.
"Nggak apa-apa, Dear. Kita bisa pelan-pelan. Aku akan sabar menunggu sampai kamu siap," ucap Kaesang, men-ci-um kening Tyas dengan lembut.
Tyas mengangguk, matanya masih terpejam. Ia merasakan tangan Kaesang melepaskan ikatan bajunya, sentuhan lembut yang membuatnya gemetar.
"Kamu cantik, Dear. Sangat cantik," bisik Kaesang, suaranya serak dan penuh gai-rah.
Tyas membuka matanya, menatap wajah Kaesang yang tampak penuh keinginan. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, tubuhnya bergetar menahan rasa gugup dan sedikit takut.
"Aku... aku siap, Yang," lirih Tyas, suaranya nyaris tak terdengar.
Senyum lebar terukir di wajah Kaesang. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Tyas, matanya menatap dalam ke mata Tyas.
"This is our day, Dear. Our day," bisik Kaesang, sebelum bibirnya menyentvh bibir Tyas dengan lembut.
Sentuhan lembut itu memicu aliran listrik yang mengalir di seluruh tubuh Tyas. Ia merasakan tubuhnya melemah, terhanyut dalam kehangatan ciu-man Kaesang.
"Yang... huufftt..." Tyas terengah-engah, napasnya terengah-engah saat Kaesang melepaskan civmannya.
"Aku apa, Dear?" tanya Kaesang, matanya berkilauan penuh gai-rah.
"Yang... Aku..." Tyas terdiam, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Wajahnya memerah, menandakan perasaannya yang campur aduk.
Kaesang terkekeh pelan. "Kamu gugup, Dear?" tanyanya, jari-jarinya menelusuri pipi Tyas
dengan lembut.
Tyas mengangguk, matanya menatap dalam ke mata Kaesang. Ia merasa takut, tapi juga tertarik. Ia ingin mengetahui lebih jauh tentang dunia baru yang telah mereka masuki bersama.
Bersambung ...
Di kamar hotel yang remang-remang, Kaesang dan Tyas sudah melakukan pembukaan bersama.
Kaesang sudah mengambil benda berharga milik Tyas dan keduanya terus bermain hingga kini. Keduanya sudah melakukan pele-pasan bersama.
Untuk pertama kalinya Tyas merasakan kenikmatan yang tiada tara. Awalnya memang sakit, tapi lama kelamaan semakin nikmat hingga tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
"Huhhh...Dear, kamu capek? Kita istirahat dulu ya kalo kamu capek," kata Kaesang. Ia turun dari atas tvbuh Tyas, merebahkan dirinya di sampingnya.
Tyas menarik selimut hingga menutupi mereka berdua. Ia menyamping, memandang Kaesang yang juga menatapnya. Senyumnya merekah. Dengan lembut, ia membelai pipi Kaesang.
"Ini enak banget Yang. Kamu ngerasain...gimana gitu waktu kita bermain tadi?" Tyas bertanya, matanya masih menyala-nyala. Ada semangat yang meluap-luap dalam dirinya, membuat tubuhnya terasa hangat.
Kaesang tersenyum manis, tapi ada kilauan nakal di matanya. Ia pun juga merasa hal yang sama. Ini adalah yang pertama kalinya baginya.
"Enak Dear. Enak banget. Ehm, kamu...masih capek nggak? Aku pengen lagi nih, kita main lagi yukk," ajak Kaesang. Tangannya yang ada di balik selimut perlahan merayap ke pinggang Tyas, terus naik dan mengusap-usap punggung Tyas.
Sentvhan Kaesang di punggungnya membuat Tyas geli. Secepat kilat, ia menyambar bibir Kaesang. Kaesang terkejut sebentar, tapi langsung membalasnya. Ciu-man mereka semakin dalam dan penuh gai-rah.
Tyas tidak lagi berbaring di samping Kaesang, tapi mena-iki tubuhnya.
"Eugh," Kaesang men-de-sah pelan, tangannya masih di kepala Tyas, memperdalam ciu-man mereka.
Srekk...
A-hh...
Setelah beberapa saat bercivman, Tyas dan Kaesang melepaskan bi-bir mereka. Tyas menatap Kaesang lekat-lekat, tanpa sepatah kata pun.
Dengan perlahan, ia menegakkan tubuh, sedikit menjauh dari Kaesang. Tatapannya kemudian turun ke arah milik Kaesang yang terpampang di hadapannya.
Besar dan pan-jang. Ia tak pernah menduga jika mil-ik Kaesang akan sejumbo itu.
Tyas kembali menatap Kaesang, lalu Kaesang mengangguk perlahan. Membiarkan Tyas yang memimpin permainan kali ini.
"Aku mulai ya Yang? Aku udah nggak tahan. Panas banget badanku. Langsung aku masukin ya," ucap Tyas. Di mata Kaesang Tyas sangatlah lucu, dia meminta izin dulu. Padahal langsung di masukkan juga Kaesang tidak akan marah.
Kaesang mengangguk lagi, senyumnya merekah. "langsung aja Dear. Kamu yang mimpin permainan kali ini," katanya.
Tatapan Tyas lalu turun tertuju pada mil-ik Kaesang yang kini sudah berdiri tegak. Dengan sedikit ragu ia meraih benda itu, memegangnya. Rasanya panas, lalu ia mengarahkan benda itu ke miliknya sendiri.
Dengan perlahan ia masukkan benda itu ke lvbang miliknya yang kini sudah sangat licin. Tidak lagi mampet seperti tadi.
"A-hh," de-sah Tyas. Setelah milik Kaesang sudah terbenam sepenuhnya di dalam lubang miliknya, ia pun segera menaik luncurkan tubuhnya.
Perlahan lahan, lalu semakin cepat.
Desa-han keduanya beradu di dalam kamar hotel itu.
"Cepet Dear, a-hh," de-sah Kaesang. Tangannya yang satu melingkar di pinggang Tyas yang terus bergerak na-ik turun, sementara tangannya yang lain dengan lincah mere-mas gunvng Fuji milik Tyas.
"A-hh, Dear, gunung Fuji mu ini kenapa.. kenyal banget ya...bikin aku gemesss," Kaesang semakin brutal mere-mas gvnung Fuji milik Tyas, membuat Tyas tidak hentinya men-de-sah.
"A-hh, Yangg. Akuu.. mau keluarrr," Tyas merasakan cairan hangat miliknya akan keluar untuk yang kedua kalinya dan itu selalu dirinya yang duluan. Kaesang selalu lama, baru setelah beberapa saat permainan Kaesang mengeluarkan cairannya.
Tahan lama banget ya? Kuat banget? Heran Tyas.
"Keluarin Dearr, keluarin. Aku bentar lagii," de-sah Kaesang, matanya terpejam menikmati permainan Tyas yang semakin li-ar.
Cairan miliknya sudah kembali keluar, memenuhi lvbang miliknya dan meluber kelvar ke kasur.
Tyas merasa lelah setelah cairan miliknya keluar. Ia merebahkan tubuhnya di atas dada bidang Kaesang, tanpa melepas milik Kaesang dari lubangnya.
Kedua benda basah itu masih menancap, erat dan...
"Kamu capek Dear? Tadi kamu semangat banget mainnya, sampe kamu udah keluar dua kali aku belum. Kamu yang di ba-wah ya sekarang. Biar aku yang mimpin permainan," bisik Kaesang, jari-jarinya menyentuh rambut Tyas dengan lembut, senyum nakalnya tak pernah hilang.
Tyas lalu menegakkan tubuhnya, ia lepaskan mil-ik Kaesang yang menancap di lvbangnya, lalu berbaring di sampingnya. Kaesang segera bangkit, mendekati Tyas.
Ia na-iki tubuh Tyas, tanpa menunggu lama segera ia jebloskan saja mili-knya ke gawang Tyas yang sudah memanggil-manggil di bawah sana.
Bless!!
Dalam sekali hentakan miliknya sudah terbenam sepenuhnya ke gawang Tyas, sampai ke titik yang terdalam.
"A-hhhh Yanggg," de-sah Tyas. Ia merasakan miliknya penuh, sangat hangat.
Lalu Kaesang mulai menaik luncurkan tubuhnya dengan cepat. Ia ingin segera mengeluarkan cairannya dan istirahat.
Sekarang sudah lebih dari jam sepuluh malam dan keduanya masih semangat untuk bermain. Sebenarnya dari tadi Tyas sudah merasa lelah dan ingin istirahat, tapi Kaesang yang kecanduan terus memaksa.
A-hh
A-hh
Setelah beberapa menit menaik luncurkan tubuhnya, Kaesang mengeluarkan cairan miliknya di dalam gawang Tyas. Ia tarik keluar mili-knya yang basah, lalu sedikit mencodongkan tubuhnya ke nakas, mengambil satu gepok tisu yang tergeletak di atasnya.
Ia membersihkan mil-iknya dan Tyas, lalu menaruh tisu kotor itu di bawah ranjang.
"Dear, kamu mau langsung tidur atau mandi dulu? Badan kamu lengket nggak?" tanya Kaesang.
Tyas awalnya memejamkan mata rapat-rapat, napasnya memburu. Lalu, ia membuka mata, menatap Kaesang.
"Lengket sih, tapi aku males mandi Yang. Gimana kalo kita langsung tidur aja, mandinya besok. Lagian ini udah malem banget, pasti dingin udaranya," kata Tyas menolak.
Ya, udara sekarang memang cukup dingin, meskipun mereka tidak menyalakan AC di kamar hotel mereka.
Kaesang mengangguk, lalu membaringkan diri di samping Tyas. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka berdua, kehangatan langsung terasa. Dengan lembut, ia memiringkan tubuhnya, menatap Tyas yang juga sedang menatapnya. Dekat dan hangat, tangan mereka bertautan, saling memeluk erat sebelum akhirnya tertidur lelap.
**********
Keesokan harinya, Tyas bangun lebih dulu. Tubuhnya terasa berat karena Kaesang masih memeluknya erat. Ia pelan-pelan melepaskan tangan Kaesang, menyingkap selimut, dan turun dari ranjang. Niatnya mau ke kamar mandi, tapi kakinya terasa lemas. Ada rasa ngilu di bagian baw-ah tubuhnya.
"Auuu, ssshhh!" Tyas meringis menahan sakit, lalu berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Air hangat shower membasuh tubuhnya, sedikit meredakan perih.
Kaesang membuka mata, mendapati tempat tidur kosong di sampingnya. Tyas sudah pergi.
"Dear, kamu di mana?" tanya Kaesang, sedikit panik.
Dari balik pintu kamar mandi, Tyas menjawab, "Lagi mandi, Yang!" tanpa membuka pintu.
Seulas senyum jahil mengembang di bibir Kaesang. Dengan langkah santai, ia turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah sampai di depan pintu, ia mengetuknya dengan lembut.
"Dear, buka dong. Ma-ndi bareng, yuk? Gerah banget nih," ajaknya dengan nada manja.
Di dalam, Tyas tersentak. Ajakan Kaesang membuatnya sedikit terkejut. Pipinya bersemu merah, senyum tipis mengembang di bibirnya. Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Kaesang yang tersenyum hangat. Tanpa ragu, Kaesang masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Kaesang menoleh. Tyas masih berdiri di sana, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Senyum Kaesang melebar dan…
Tok...X3
"Kae, Yas, kalian nggak mau sarapan bareng? Papa sama mama mau sarapan nih di luar. Yuk kita sarapan bareng. Tyas, Kaesang." Dari luar kamar hotel Tyas dan Kaesang, Zora terus mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama mereka.
Niatnya ia ingin mengajak mereka sarapan bersama, tapi dari tadi ia mengetuk dan memanggil tidak ada satupun sahutan dari dalam.
Zora mendengus, lalu menggeleng. "Haduh, dasar pengantin baru. Ini mereka pasti lagi tidur nih. Semalam mereka pasti udah buka-bukaan dan bermain sampai pagi. Hmm, sarapan dulu aja lah. Nanti biar mereka nyusul."
Zora lalu pergi dari sana, menyusul suaminya dan adik Kaesang, Lingga yang sekarang ada di lantai bawah hotel, menunggunya.
*********
Kaesang merangkul Tyas, tangannya hangat di pinggangnya. Air hangat membasahi tvbuh mereka berdua, membilas sisa-sisa gai-rah semalam. "Aku cinta banget sama kamu, Dear," bisik Kaesang di telinga Tyas, membuat Tyas merinding.
"Aku juga cinta sama kamu, Yang," jawab Tyas, suaranya sedikit bergetar. Ia balas memeluk Kaesang erat-erat. Ciu-man mereka kembali terjadi, kali ini lebih lembut, lebih penuh kasih sayang. Aroma sabun dan aroma tvbuh mereka bercampur, menciptakan aroma yang hanya mereka berdua yang tahu.
Selesai mandi dan berganti baju, Tyas dan Kaesang keluar dari kamar mandi. Tyas menyempatkan diri berias wajah tipis-tipis, menggunakan makeup yang sudah disiapkan Mama Zora.
Sementara itu, Kaesang membuka ponselnya dan mendapati pesan dari mamanya yang berisi alamat restoran dan ajakan untuk segera menyusul. Ia membalas pesan tersebut. Mereka kemudian turun ke lobi hotel dan menemukan mobil yang sudah disiapkan.
"Yuk," ajak Kaesang, membuka pintu mobil untuk Tyas. Tyas masuk, lalu Kaesang menyusul dan duduk di sampingnya. Perjalanan menuju restoran berlangsung lancar.
Mereka mengobrol ringan, membahas rencana honeymoon mereka selanjutnya, dan hal-hal sepele lainnya. Suasana di dalam mobil terasa nyaman dan tenang.
Sesampainya di restoran, keluarga mereka sudah menunggu. Zora tersenyum jahil melihat mereka datang.
"Lama banget sih kalian," kata Zora, "Kita udah nungguin dari tadi. Ayo sarapan!"
Kaesang dan Tyas tertawa, saling berpandangan. Mereka bergandengan tangan, bergabung dengan keluarga yang lain untuk sarapan.
Bersambung ...
Pesanan mereka tiba. Seorang pelayan dengan cekatan meletakkan pesanan di meja, lalu dengan sigap mendorong trolinya menjauh.
Zora menatap makanan di depannya antusias. Dia sudah sedikit lapar.
"Mas, aku ambil duluan ya. Aku udah mulai laper nih," kata Zora, menoleh ke Indra, suaminya.
Indra mengangguk. "Ambil aja, aku juga udah laper nih," ucapnya. "Kae, Yas, kalian pasti capek kan habis olahraga? Makan gih, yang banyak," tambahnya, menoleh ke Kaesang dan Tyas.
Seulas senyum miring bermain di bibirnya, diiringi gerakan satu alis yang naik turun, sengaja menggoda Tyas dan Kaesang.
Tyas yang menyadari itu segera tersenyum malu. Ia melirik Kaesang.
"Apaan sih Pa?! Jangan aneh-aneh deh!" kata Kaesang, suaranya sedikit lebih keras.
Indra dan Zora tertawa melihat ekspresi kesal Kaesang. "Bercanda Kae. Ish, kamu mah serius mulu. Nggak asik!" ujar Indra.
Zora masih tertawa. Lalu menggeleng. "Udah, kita langsung makan aja. Keburu dingin nanti makanannya," katanya.
Mata Zora tak sengaja jatuh pada Lingga yang duduk di dekat Indra. Lingga tampak fokus memakan makanannya tanpa ikut berbincang dengan yang lain. Seperti tidak peduli.
Zora yang ingat janjinya dulu untuk akan bersikap adil pada kedua anaknya segera berkata, "Ling, kamu udah makan aja sih? Gimana makanannya, enak?" tanyanya ramah, mata menyipit simpatik.
Lingga tidak menoleh dan tetap fokus memakan makanannya. Setelah ia menelan makanannya ia menjawab, "Aku laper Ma, tapi kalian malah asik ngobrol. Jadi ya aku makan duluan lah. Ehm, makanannya enak, seperti biasa. Nggak ada bedanya!"
Suara Lingga terdengar agak jengkel, dan wajahnya pun memperlihatkan hal yang sama; alisnya sedikit mengerut, bibirnya terkatup rapat.
Zora menghela napas pelan. "Maaf ya kalau kami kesannya cuekin kamu. Kami terlalu bahagia dengan pernikahan Kakak kamu dan Tyas, jadi lupa kalau ada kamu juga di sini. Maaf ya, nak." Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia merasa telah mengabaikan Lingga karena terlalu larut dalam kebahagiaan pernikahan Kaesang dan Tyas.
Ia hampir lupa dengan janjinya dulu untuk akan berubah dan bersikap adil kepada kedua anaknya.
Indra meletakkan sendoknya di piring. Menelan makanannya, lalu menoleh ke Zora dan Lingga bergantian. Tatapannya tertuju pada Lingga.
"Siapa yang cuekin Lingga? Papa nggak tuh. Lingga aja yang nggak mau nimbrung sama kita. Lain kali kamu ikut nimbrung lah sama kita, Ngga, biar keluarga kita semakin erat dan akrab. Apalagi sekarang sudah hadir Tyas di tengah-tengah kita. Kakak ipar kamu itu sangat baik loh, dia juga cantik. Masa kamu nggak mau sih kenal sama dia?" tanya Indra.
Pujian Papa mertuanya membuat Tyas tersipu malu. Rona merah merekah di pipinya, bak buah persik yang matang di bawah terik matahari.
Kaesang yang melihat Tyas malu-malu segera berucap, "Istri aku itu emang sangat cantik dan baik. Dia juga pintar dan..." Kaesang tidak melanjutkan ucapannya.
"Dan apa Kae?" tanya Indra, penasaran. Tyas dan yang lain pun ikut penasaran, semua mata tertuju pada Kaesang, menunggu kelanjutan ceritanya.
Seulas senyum tipis mengembang di bibir Kaesang—senyum yang belum pernah dilihat Papanya, Mamanya, maupun Lingga sebelumnya. Tapi kali ini, mereka melihatnya.
Senyum itu manis sekali, walau hanya tipis dan singkat. Dan semua itu, berkat Tyas.
Kaesang menoleh ke Tyas, senyum lebar terkembang di wajahnya. Seulas rencana nakal tampak mengintip dari balik sorot matanya.
"Dan s3ksi. Kalian nggak tau aja gimana Tyas waktu di ranjang," kata Kaesang terkesan frontal.
Wajah Tyas memerah. Malunya bukan main mendengar itu. Cepat-cepat ia mencubit pinggang Kaesang, tatapannya tajam menvsuk.
"Aduhh, sakit Dear!" seru Kaesang, memegang pinggangnya yang baru saja dicubit Tyas.
"Rasain tuh! Makanya jadi orang itu jangan frontal banget kalau ngomong!" kesal Tyas.
Ia tak pernah menyangka jika Kaesang akan sejujur ini sekarang. Lucu, tapi kata-katanya membuatnya sangat malu.
Zora dan yang lain saling berpandangan. Mereka tersenyum manis, lalu mengangguk dan kembali menoleh ke Tyas dan Kaesang.
"Mama senang deh lihat kalian seromantis ini. Tyas, terima kasih ya," ucap Zora, senyumnya merekah, memancarkan rasa syukur dan terima kasih yang tulus untuk Tyas.
Tyas tersentak, lalu mengangguk malu-malu. "Sama-sama Ma. Ehm, aku nggak ngelakuin apapun kok. Kita cuma berhubungan biasa aja sampai akhirnya Tuhan membawa kita berjodoh dan menikah," ujarnya lembut, kata-katanya tulus dan manis sekali.
Rasa bahagia langsung membuncah di hati Zora. Ia merasa sangat gembira.
"Ini emang karena kamu Tyas. Karena kehadiran kamu di hidup Kaesang, Kaesang bisa berubah dan mau memaafkan kita. Terima kasih ya sudah hadir di hidup anak saya." Ucapan terima kasih kali ini datang dari Indra.
Tyas semakin salah tingkah mendengarnya. Ia merasa tak melakukan apa pun yang pantas dihargai. Tapi, jika Kaesang bisa berubah dan memaafkan keluarganya karena dirinya, tentu ia merasa senang.
Dengan masih malu-malu Tyas mengangguk. "kalau emang begitu ya udah sama-sama," katanya singkat.
Tak lama setelah itu ada seorang perempuan muda yang datang ke meja mereka.
"Kaesang!" seru perempuan itu, matanya berbinar melihat Kaesang dan keluarganya.
Kaesang menoleh, matanya melebar tak percaya. Ia segera berdiri, memeluk hangat perempuan itu, lalu bercipika-cipiki dengannya.
"Gimana kabar kamu? Kok baru datang sih? Kita semua kangen tau sama kamu," ujar Kaesang.
Tyas terkesiap. Melihat Kaesang berpelukan dan bercipika-cipiki dengan wanita itu, dadanya terasa sesak. Tatapannya tajam, dingin, mencurahkan ketidaksukaannya. Tangannya yang menggenggam sendok tampak menegang, jari-jari membentuk kepalan.
"Kaesang memeluk wanita itu? Siapa? Kenapa dia memeluknya?" batin Tyas cemburu setengah ma-ti. Melihat suaminya berpelukan dan bercipika-cipiki dengan wanita lain—masih muda, mungkin seumuran Kaesang, dan cantik sekali—membuat hatinya bergemuruh.
Wanita itu bahkan jauh lebih cantik daripada Reina, perempuan yang dulu hampir dijodohkan dengan Kaesang.
Senyum merekah di wajah Zora saat perempuan itu muncul. Ia menoleh ke Tyas, mendapati tatapan tajam Tyas tertuju pada Kaesang dan perempuan tersebut. Zora menyikut pelan lengan Indra, berbisik, "Mas, lihat deh Tyas. Dia kayaknya nggak suka gitu ya lihat Abigail datang."
Ya, perempuan yang datang itu bernama Abigail.
Indra menoleh ke Tyas, lalu kembali ke Zora. Ia pun berbisik, "Mungkin dia cemburu lihat Abigail dan Kaesang pelukan. Hmm, kamu panggil Kaesang gih, suruh dia kenalin Abigail ke Tyas biar dia nggak salah paham lagi," usulnya.
Zora mengangguk, lalu menoleh ke Kaesang dan Abigail yang masih asyik berbincang.
"Kae, kamu kenalin Abigail ke Tyas gih," pinta Zora.
Kaesang tersentak, lalu sedikit mundur ke belakang. Ia menoleh ke Tyas. Dilihatnya Tyas menatap tajam ke arahnya. Tatapan tajam yang jarang sekali, bahkan tidak pernah ia lihat dari Tyas sebelumnya.
Hmm?
Kaesang menjadi ragu. Tapi akhirnya ia tersenyum dan membuka suaranya, "Dear, ehm, kenalin ini Abigail. Sepupu aku. Dulu waktu SD dia pernah hampir tiga bulanan tinggal di rumah aku dan pindah sekolah ke sekolah aku. Kita sering main bareng dan jadi akrab dari sana. Ehm, Bi, ini Tyas, istri aku," kata Kaesang mengenalkan Abigail ke Tyas begitupun sebaliknya.
Abigail mengangguk, senyum mengembang di wajahnya saat ia menoleh pada Tyas. "Aku Abigail, salam kenal ya!" sapa Abigail dengan semangat.
Tyas menoleh, senyumnya agak kaku. "Aku Tyas, salam kenal," jawabnya singkat, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ia meneguk minumannya dengan tergesa.
Zora berdiri, menghampiri Kaesang, lalu berbisik lirih di telinganya.
Kaesang mengangguk, lalu menghela napas pelan. "Duduk Bi," ujarnya, menunjuk kursi kosong di samping mama Zora.
Kaesang kembali duduk di kursinya, lalu menoleh ke Tyas. Ekspresi kesal masih terpancar jelas dari wajah Tyas, yang sama sekali tak menatapnya. Dengan lembut, Kaesang meraih tangan Tyas. Tyas menoleh, namun kesalnya belum hilang. Tatapan matanya masih tajam.
"Ikut aku yuk. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ajak Kaesang lirih.
Tyas mengerutkan kening. "Kenapa nggak di sini aja?" tanyanya.
"Nggak enak Dear ngomong di sini. Terlalu rame. Yuk, ikut aku," kata Kaesang. Ia berdiri, lalu menarik lembut tangan Tyas hingga wanita itu ikut berdiri.
"Semuanya, ehm kita tinggal dulu ya. Aku mau ada sesuatu sama Tyas. Yuk, Dear," kata Kaesang, lalu pergi bersama Tyas setelah berpamitan pada keluarganya yang lain.
Setelah Kaesang dan Tyas pergi...
"Kamu apa kabar Bi, kok nggak pernah kelihatan? Tante kira kamu udah lupa sama kami," ujar Zora.
Abigail tersenyum sedikit kikuk. "Ah, maaf Tante, om. Aku...di sibukkan sama kuliah dan kerja di kantor papa di Sidney," jawab Abigail lirih, sorot matanya agak sayu.
"Oh iya kabar papa dan mama kamu gimana sekarang? Lama nggak dengar kabar mereka," tanya Indra menginterupsi.
"Mereka baik Om. Ehm, katanya papa dan mama mau kesini bulan depan. Mau silaturahmi sama kalian," jawab Abigail ramah.
Indra terkesiap, matanya membulat. "Wah beneran? Syukur deh kalo mau datang!" serunya, lalu meneguk minumannya.
Abigail menoleh ke Zora. "Tante Zora," panggilnya. Zora yang tengah asyik mengobrol dengan Lingga, langsung menoleh. "Iya Bi," jawabnya.
"Ehm," Abigail tampak ragu. "Mas Daniel...gimana kabarnya ya Tante? Lama aku nggak denger kabar dia," lanjutnya.
Jujur Abigail rindu dengan adik dari papa Kaesang itu, Daniel.
Dulu ia dan Daniel sangat akrab, layaknya sepasang kekasih. Mengingat mereka sama-sama tinggal di Australia dan sering bertemu di kala senggang.
Daniel lama lost contact, membuat Abigail sedikit khawatir.
Zora diam sebentar, lalu menatap Indra, suaminya. Indra hanya mengangguk, tak bicara apa pun. Zora kembali menatap Abigail, menarik napas panjang. Tatapannya begitu intens.
"Ehm, Daniel..."
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!