Cangcang segetih utange segetih
Dolane ora matuk wonge kudu mati!
Suara anak kecil berteriak, berlarian dengan riang membentuk lingkaran. Satu persatu dari mereka bersembunyi setelah salah satu pemain menjaga lingkaran. Raka tersenyum melihat keceriaan mereka.
“Bagus, yuuk ekspresinya keluarin lagi ya dek!” Serunya lantang sambil kembali membidik kamera.
Cangcang segetih utange segetih
Dolane ora matuk wonge kudu mati!
Seorang gadis kecil berjongkok menyembunyikan wajahnya sambil terus berbicara memperingatkan temannya untuk bersembunyi dan menghitung mundur. Raka mengarahkan kameranya dan fokus pada si gadis kecil itu.
"Siap nggak siap aku cari yaa ... Satu ... Dua ... Ti ...,"
BLAAP!!
Hari seketika berubah saat gadis kecil itu mendongakkan kepalanya. Langit gelap sekelam malam menyergap, mengepung dalam sunyi dan sepi, tak ada lagi suara teman-temannya ataupun desau angin yang berbisik menggerakkan rumpun bambu.
Raka pun terkejut, ia menjauhkan kamera dan melihat situasi sekitar. “Ada apa ini? Kok jadi senja begini?”
Seperti halnya Raka, gadis kecil itu juga kebingungan, ia menoleh ke kanan dan kiri. Wajahnya memucat. Ia perlahan berdiri dan memutar tubuhnya mencari keberadaan teman mainnya. Hari yang mendadak berubah senja membuatnya gemetaran. Ia bingung dan panik, mencari teman-teman nya yang pergi bersembunyi.
“Ayu … Siti … Tole? Iki do ndelik neng endi to?! Kalian sembunyi dimana?!”
Dengan ragu dan gemetar gadis kecil itu berjalan perlahan keluar lingkaran. Ia menangis ketakutan dan kembali memanggil dengan suara bergetar.
“Dek, sini dek. Tenang, ada om kok.” Raka berinisiatif menggandeng tangan kecil yang gemetar itu.
“Ayu … Tole … Agus?! Kowe di neng endi, aku takut. Om, kita dimana ini? Yang lain kemana om, aku takut,” ucapnya sambil menangis.
Raka berjongkok agar setara dengan gadis kecil itu. “Jangan nangis, yuk … om antar kamu pulang. Mungkin temanmu sudah pada pulang ke rumahnya.”
Gadis kecil itu mengangguk, Raka menggenggam erat tangan mungil itu meski jantungnya berdebar tak karuan. Sungguh ini hal aneh yang baru kali pertama ia alami. Sejujurnya, ia juga takut.
Kelebatan bayangan hitam mulai datang mendekat, silih berganti memutari Raka dan gadis kecil itu. Bersembunyi dan menyelinap dari rumpun bambu satu ke rumpun yang lain.
“Bapak, ibu … tolong pak, aku takut!" Genggaman tangan gadis kecil itu semakin erat, ia bersembunyi dibalik tubuh Raka.
“Ssstt, tenang … ada om disini. Om bakal melindungi kamu yaa?”
Tangan gadis kecil itu meremas kuat tepi pakaiannya yang kotor karena tanah. Ia sangat ketakutan ketika suara-suara aneh, serak dan parau memanggil manggil namanya. “Ooom … Gendhis takut,”
Tak hanya gadis bernama Gendhis, Raka pun mengalami hal yang sama. Bisikan halus memanggil namanya mulai mengusik nyali Raka.
“Raka … kemarilah, cah bagus ..,”
“Siapa disana?!” Teriak Raka dengan jantung berdebar.
Gadis itu memutar tubuhnya ke kanan dan kekiri sambil menangis, “Ojo ganggu Mbah! Ampun, kulo njaluk ngapuro!” ucapnya gemetar disela isakan kecilnya
Bisikan-bisikan halus tak jelas mulai terdengar silih berganti. Memanggil dan mengusik nyali dua anak manusia beda generasi. Nafas Raka mulai memburu ketakutan sementara Gendhis semakin mengeratkan genggaman tangan.
“Om ..,”
Raka … kami menunggumu, temani kami bermain ..,
Suara panggilan itu memantik emosi Raka, “Diam!”
Suara aneh yang semula terus menerus memanggilnya seketika berhenti. Sunyi dan gelap kembali menyergap. Gadis kecil itu hanya bisa mendengar suara tangisnya sendiri dan Raka mendengar hembusan nafas kasar dari arah belakang.
“Oom …,”
Dada Gendhis naik turun dengan cepat. Suhu udara seketika berubah dingin. Raka menoleh perlahan ke arah Gendhis yang membenamkan wajah dibalik lengannya. Raka terkejut bukan main saat tangan hitam dengan kulit berkerut dan kuku panjang nan tajam menyentuh bahu Gendhis. Wajah Gendhis seketika menatap Raka, tapi ada yang aneh.
Wajah Gendhis pucat, datar dan dingin. Tatapan matanya begitu kosong dan mengerikan. “Ka-kamu … kenapa?”
Gadis kecil itu mematung, matanya yang basah melirik ke arah jemari yang semakin lama semakin mencengkram tubuh mungil Gendhis. Nafasnya memburu tak beraturan. Tidak hanya satu tangan tapi … beberapa. Seraut wajah seram menyeringai dengan gigi hitam runcing mengerikan.
“Kancani aku dolan, nduk!”
“Aaaarrrgh!”
“Pagiii pak guru! Kita duluan yaa ..,” sapaan sekaligus godaan terdengar renyah di siang itu.
“Udah siang, masih semangat pagi aja kalian!” Balas Arif yang tersenyum menghadapi kecentilan anak didiknya.
“Siangnya tetep adem pak, soalnya liat wajah bapak yang adem kek salju,” sahut siswa putri yang memainkan rambut panjangnya.
“Lah, dingin dong saya?”
“Nggak apa pak dingin, nanti bagian saya yang angetin bapak pake cinta,” yang lain menimpali disambut cekikikan yang lain.
“Heem, mulai deh … sabar, sabar. Ngadepin kalian kayak ngadepin anak kucing, harus sabar luar biasa.” Arif menggelengkan kepala tak menghilangkan senyuman di wajahnya.
“Kalo bapak yang jadi majikannya, mau dong jadi anak kucing …,” sahut mereka kompak sambil berlari menjauh, meninggalkan Arif.
“Astaghfirullah al adziim, anak jaman sekarang beraninya udah naik level.” Gumam pelan Arif, menggelengkan kepala.
Arif melirik jam tangannya, “aduh telat ini aku!”
Ia segera memacu motor kesayangannya menuju lokasi pemotretan dimana Raka memulai proyek perdananya. Semalam, sepupu jauhnya itu mengabarkan kedatangannya dan berniat menginap di rumah sederhana Arif sekitar satu sampai dua Minggu.
“Dul, otewe ke lokasi yo … kita ketemu disana, aku dah telat ini!” ujar Arif meninggalkan voice note untuk Dulmatin.
Lokasi pemotretan Raka terletak beberapa kilometer dari sekolah tempat Arif mengajar. Sekitar lima belas menit kemudian ia tiba di lokasi. Areal persawahan dengan jalanan desa yang masih natural belum beraspal menjadi lokasi pertama Raka.
Suara keributan terdengar saat Arif membuka helm-nya. Beberapa pria berlarian membawa ember kecil berisi air. Salah satunya nyaris menabrak Arif yang berjalan keheranan.
“Mas, ada apa ini? Kok rame?”
“Nganu mas, mesin pembuat asap konslet!” Jawabnya dengan nafas terengah-engah.
Lelaki itu kembali lari menuju sumber air, sementara Arif bergegas mencari Raka. Ia celingukan kesana kemari, mencari sosok pria tinggi besar putih dengan kacamata. Tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya asap tebal yang menyesakkan dada.
Semua panik, dan berlarian tanpa arah menghindar dari asap yang mulai berwarna kelabu.
“Mas, liat Raka nggak?” Tanya Arif menghentikan langkah lelaki berbaju hitam.
Ia menggeleng lalu pergi. Arif kembali menghentikan satu wanita dengan clipboard di tangannya.
“Mbak, liat Raka?”
Wanita itu kebingungan, “mas Raka tadi disana lagi motret sama anak-anak tapi begitu mesin itu konslet semua kacau.”
Arif langsung paham dan segera berjalan lurus ke depan. Intuisinya mengatakan jika Raka pasti pingsan karena terlalu banyak asap disana.
“Raka … Raka!” Teriaknya mencari, ia mengibaskan tangan menghalau asap tebal dan menajamkan pandangan.
Meski perih dan panas saat asap mengenai matanya tapi Arif tak menyurutkan semangat mencari sepupunya itu. “Raka, Ra … astaghfirullah!” ia terkejut.
Tepat di depan matanya, di tengah asap yang mengepung. Raka tengah berjongkok dalam posisi memotret. “Raka?!”
Sepupunya itu tak menjawab, tetap pada posisinya. Hawa aneh menyapa Arif, dingin menusuk diikuti bisikan aneh yang tak biasa. Arif seolah memasuki wilayah asing yang pendengarannya tuli sesaat. Telinganya mendengung, dan hanya mendengar sapaan lembut tak jelas yang mengerikan. Arif menguatkan nyali dan mendekati Raka.
“Raka!”
Ia berusaha menyadarkan Raka yang membeku, diam dalam posisinya. Berkali-kali ia memanggil nama sepupunya itu tapi tak kunjung direspon. Arif terkejut mendapati lima anak yang tengah bermain juga pada posisi yang sama–diam, membeku.
“Astaghfirullah, ada apa ini sebenarnya?”
Asap buatan itu terlihat mengelilingi lokasi dimana Raka dan kelima anak kecil itu bermain, seolah membentuk tembok asap yang menjebak siapa pun yang ada di dalamnya.
“Ini nggak beres, mereka harus disadarkan!”
Arif menarik nafas panjang, mengucapkan beberapa doa yang ia pahami lalu menepuk bahu Raka dengan keras. “Raka?!”
Keajaiban terjadi, asap kelabu yang mengelilingi Raka dan kelima anak itu perlahan memudar dan menghilang. Arif menepuk sekali lagi pundak Raka.
“Ka, bangun! Sadar!”
Raka merespon, ia menurunkan kamera, ekspresi bingung bercampur kaget terlihat dari tatapan matanya. “Arif? Lho kamu ngapain disini?”
Matanya menyapu sekeliling, Raka bingung dengan banyaknya asap dan hiruk pikuk kepanikan timnya. “Lho, ini ada apa ya?”
“Alhamdulillah, syukurlah Ka!” Arif menarik nafas lega melihat Raka baik-baik saja. “Sebaiknya kita menjauh dulu dari lokasi ini, Ka.”
“Nduuk, Le … ayo pindah mainannya!” Seru Arif pada lima anak yang posisinya nyaris seperti Raka–bingung dan juga sedikit takut dengan banyaknya asap.
Kelimanya mengangguk dan segera berlari menjauh tanpa meninggalkan keceriaan khas anak-anak. Raka mengikuti langkah Arif, pikirannya masih melayang pada hal aneh yang ia alami. Gendhis, gadis kecil yang bersamanya tadi tidak dilihatnya.
“Mas Raka! Ya Allah, aku dari tadi nyari mas Raka. Aku kira mas Raka ..,”
“Mati?!” Raka balik bertanya datar pada wanita berhijab yang membawa papan clipboard.
“Ehm, bukan. Aku pikir mas Raka dah lari.” Jawab gadis manis itu dengan kepala menunduk.
“Ini ada apa sih Rin? Kenapa rame sama banyak asap kek gini?” Tanya Raka yang masih belum memahami yang terjadi.
“Mesin pembuat asap konslet mas. Tuh, masih ditangani tukang.” Rini–asisten Raka–mengedikkan kepala ke arah kerumunan orang.
Raka menghembuskan nafas berat, kepalanya mendadak pusing. Ia memijat pelipisnya, lalu menoleh ke arah sekelompok anak kecil yang kembali bermain tak jauh darinya.
“Ehm, Rin … anak kecil yang pake baju kuning kemana ya? Yang rambutnya di iket ekor kuda?”
Rini memperhatikan ke arah anak-anak yang memang telah dikontrak sebagai objek foto. “Baju kuning? Perasaan nggak ada deh mas yang baju kuning. Dari tadi kan mereka aja berlima dan semuanya laki-laki?”
“Ah, masa sih? Anak kecil itu yang ada di tengah lingkaran. Dia yang jaga terus yang lainnya …,’
“Mas, kan mereka mainan gundu? Kok jadi main petak umpet?” Rini menyanggah dengan heran.
Arif ikut bingung mendengarnya, ia menatap Rini dan Raka bergantian. Raka yang tak percaya segera mengecek beberapa gambar yang sempat diambilnya.
“Serius kamu Rin? Di kamera aku mereka main … gundu?” sebelah alis Raka naik, ia bingung dan tak mengerti.
“Mas Raka suka ngeyel sih kalo dibilangin. Yang kita kontrak buat foto itu lima anak laki-laki buat mainan ala-ala anak desa. Nggak ada ceweknya mas.” Rini yang ikut menatap hasil jepretan Raka mengerutkan kening. “Kayaknya mas Raka kebanyakan hirup asap buatan deh.”
Tangan Raka sedikit gemetar, dalam hati ia bertanya-tanya. Siapa gadis kecil itu? Siapa yang ditemuinya tadi?
Ia menoleh perlahan ke arah lokasi dimana permainan tadi dilakukan. Samar terlihat, sosok gadis kecil berbaju kuning, berdiri menatapnya dengan senyuman tipis. Asap buatan yang tersisa membuat keberadaan gadis kecil itu antara ada dan tiada.
Petir menyambar berkali-kali seolah mengamuk malam yang sunyi di desa tempat tinggal Arif. Air mulai menggenangi jalanan desa yang masih terbuat dari susunan batuan alami. Tak ada yang berniat keluar dari rumahnya. Kebanyakan warga memilih diam dalam selimut masing-masing di tengah kehangatan keluarga.
Raka duduk di teras asri ditemani secangkir kopi dan singkong rebus yang masih mengepulkan asap tipis.
“Kamu kenapa nggak nginep bareng tim-mu di homestay to? Disini kan sempit dan kekecilan buat kita bertiga.” Tanya Arif setelah menyesap sedikit kopinya.
“Aku pengen nostalgia bareng kamu dan juga bang Dul,” jawab Raka melirik ke arah Dulmatin yang asik memetik gitarnya. Bersenandung lirih mengiringi hujan yang tak kunjung reda.
“Heem, bahasa singkatnya … kangen! Ya to?” Dulmatin menimpali diikuti tawa kecil Arif.
Raka hanya berdecak datar, menyesap kembali kopinya yang mulai terasa dingin. “Rif, kamu ngerasa aneh nggak sih sama kejadian tadi?” Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa saat menimbang kegelisahannya dalam hati.
“Aneh gimana nih?”
“Ya aneh aja, aku tadi merasa seperti … masuk ke dunia lain?” Jawab Raka ragu, keningnya berkerut menandakan rasa penasaran yang menggunung.
Dulmatin menghentikan petikan gitarnya. Ia saling pandang dengan Arif. “Maksudmu piye, Ka? Aku nggak paham. Memangnya tadi kamu ngalamin apa to?”
Raka menarik nafas panjang. “Nggak tau juga, pas aku mau foto tiba-tiba semua gelap dan hari berubah senja. Yang paling menakutkan nyanyian bocah-bocah kecil itu.”
“Bocah yang kamu tanya ke Rini, asistenmu?” Tanya balik Arif.
“Iya, aku liat dia lagi sebelum kita pulang.” mata Raka menatap kosong ke arah gelas kopinya yang kosong. “Aku penasaran … apa ada yang liat dia juga selain aku?”
“Coba besok kamu tanyakan ke yang lain, yah siapa tahu emang bocah kecil itu beneran ada kan?” Dulmatin mencoba tetap berpikiran positif meskipun ia telah mengetahui situasi Raka saat itu–dari Arif.
Petir menggelegar begitu kerasnya membuat ketiga lelaki muda itu memutuskan masuk ke dalam rumah dan beristirahat. Cuaca yang dingin dan gemericik air hujan mengantarkan ketiganya lelap dalam tidur. Semua? Tidak!
Raka masih tak bisa memejamkan mata. Ia gelisah mengingat peristiwa aneh yang dialaminya siang tadi. Gadis kecil itu rasanya tidak asing, ia merasa mengenal bocah cantik itu tapi kapan dan dimana … Raka tidak mengingatnya.
DUARR!!
Suara petir kembali menggelegar mengejutkan Raka. Jantungnya berdebar kencang karena pada saat yang bersamaan, jendela kayu di kamar Arif terbuka begitu saja–mengejutkan Raka. Percikan air hujan mengenai wajahnya memaksa Raka melangkahkan kaki untuk turun dari ranjang.
“Duh, mereka ini tidur apa pingsan sih?! Mosok nggak denger ada suara keras begini!” Sungutnya melirik kearah Arif dan Dulmatin yang terlihat estetik dengan pose tidur masing-masing.
Raka menarik jendela kayu yang terbuka dan segera mengaitkan grendelnya. “Aneh, apa tadi nggak terkunci dengan benar?”
DUARR!
“Duh, Gusti! Jantungku bisa copot kalau begini terus,” Raka menggerutu dan tak lama, lampu berkedip-kedip sebelum akhirnya mati.
“Walah, mati lampu kan? Pasti ada yang kena samber gledek ini.”
Arif berjalan perlahan, menajamkan pandangan. Membiasakan diri dalam gelap. “Rif, bang Dul … bangun, ini lho lampune mati!” Ucapnya sedikit keras sambil berjalan perlahan.
Kilatan cahaya petir menerobos masuk ke dalam kamar. Mata Raka menangkap bayangan asing yang berdiri menghadapnya di sudut ruangan. Raka yang penasaran menghentikan langkah untuk memastikan tangkapan matanya itu benar.
“Siapa disana?”
Kilat cahaya kembali menerangi kamar, telat di sudut ruangan sosok itu terlihat jelas. Seketika jantung Raka berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya.
“Kamu ..,”
Dimata Raka, gadis kecil berbaju kuning itu tengah menyeringai padanya.
Temani aku …,
Lutut Raka gemetar tak karuan mendengar suara bisikan yang begitu jelas terdengar menyapa. Ia mundur perlahan, selangkah … dua langkah dan … berhenti.
Raka membeku, di belakangnya hembusan nafas berat dan panas begitu terasa menyentuh tengkuk. Suara nafas yang kasar terdengar lebih mirip Geraman binatang. Suara Raka mendadak hilang saat ia ingin berteriak.
“Aaaaiiii tttoo …,”
Didepannya, gadis kecil itu melangkah maju dengan perlahan. Wangi bunga tercium samar setiap kali bocah itu bergerak. Raka semakin ketakutan kala bahunya terasa semakin berat. Ia bisa merasakan sentuhan tak biasa di punggungnya. Jemari dengan kuku tajam berjalan menyusuri punggung.
Hihihihi, cah bagus … awakmu wangi,
Dada Raka naik turun dengan cepat, lehernya memutar perlahan ke belakang. Pelan tapi pasti, sudut matanya menangkap sosok yang dilihatnya saat pemotretan.
Kancani aku dolanan, le …,
Aaaarrgh!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!