"Menikahlah denganku!" pinta Andrew penuh dengan keyakinan pada kekasih kecilnya, Anna, saat mereka makan malam bersama di sebuah restoran mewah.
Dengan membawa seikat bunga mawar dan cincin indah, ia berlutut berharap Anna menerima lamarannya.
Pria ini adalah Andrew Williams, pengusaha muda tampan di kota C yang berusia 26 tahun.
Hari ini dia melamar Anna Davis, gadis manis berusia 18 tahun yang telah mengisi hari-harinya dalam beberapa bulan ini.
"Tetapi, Kak Andrew, aku ...." Anna terkejut dan ragu dengan lamaran Andrew yang tiba-tiba ini.
Andrew tahu Anna sedang ragu padanya. Karena selain usia mereka yang terpaut cukup jauh juga karena Anna masih kuliah.
Namun, Andrew tak mau menyerah, walaupun mereka belum lama saling mengenal, tetapi dia benar-benar menginginkan gadis kecil ini untuk menjadi istrinya.
Dia sangat mencintai Anna. Apalagi setiap hari dia melihat banyak pria yang mengejar dan mendambakan cinta Anna.
"Anna, aku tahu kamu ragu padaku, tetapi aku sungguh mencintaimu dan ingin menjadikanmu milikku selamanya. Walaupun kita menikah nanti, tetapi kau bisa tetap kuliah dan melakukan kegiatanmu seperti biasa.
Aku tak akan membatasimu selama itu baik untukmu dan kau menyukainya. Lagi pula banyak gadis yang menikah muda dan tetap kuliah atau bekerja."
Andrew menjelaskan panjang lebar untuk meyakinkan Anna agar mau menerima lamarannya.
"Baiklah. Kak Andrew, aku mau menikah denganmu." Anna akhirnya menyetujui lamaran Andrew.
Dia juga sangat mencintai pria ini. Andrew adalah cinta pertamanya. Dia sangat menyayangi dan menghormati Anna.
Selama mereka bersama Andrew tak pernah bertindak berlebihan dalam menunjukkan kasih sayangnya pada Anna.
Mereka hanya mengobrol dan bergandengan tangan saat berkencan. Bahkan dia tak pernah mencium Anna walaupun hanya di pipinya.
Padahal Andrew ingin sekali mencium bibir ranum gadis manisnya itu. Namun, dia menahannya dan bersabar. Dia tahu Anna masih gadis kecil dan belum siap.
Bahkan jika mereka menikah nanti, Andrew akan menghormati Anna jika dia belum mau melakukan hubungan yang lebih jauh. Andrew hanya ingin Anna di sisinya dan menjadi miliknya seorang.
"Benarkah, Anna?! Kau menerima lamaranku?!"
Andrew menggenggam tangan gadis itu, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tadi, bahwa Anna menerima lamarannya.
"Iya, Kak Andrew. Ayo, kita menikah." Anna tersenyum mengulang apa yang tadi diucapkannya.
"Sayang, aku senang sekali mendengarnya." Andrew pun bangkit lalu menggendong Anna dan berputar-putar.
"Ah! Kak Andrew, turunkan aku!"
Anna terkejut karena Andrew tiba-tiba saja menggendongnya dan malu karena begitu banyak orang di restoran itu yang sedang menikmati makan malam dan memperhatikan mereka.
"Aku tidak peduli, Anna! Aku sangat bahagia!" Andrew tertawa dengan gembira.
"Baiklah, semuanya, mohon perhatiannya sebentar. Sebelumnya aku meminta maaf bukan maksud untuk menyinggung anda semua, tetapi aku sangat bahagia hari ini, akhirnya kekasihku mau menikah denganku.
Maka ijinkan untuk makan malam anda semua hari ini agar aku yang membayarnya!" teriak Andrew pada para pengunjung restoran sambil mencium tangan gadis itu dan memakaikan cincin berlian yang sudah dipersiapkannya.
Seketika restoran yang tenang itu pun berubah menjadi ramai dan mereka lalu bertepuk tangan dan berterima kasih pada pria tampan itu. Ucapan selamat berbahagia pun menggema dari seluruh area restoran.
"Kak Andrew, ini terlalu berlebihan!" Anna terkejut karena Andrew mau membayar tagihan mereka semua malam ini.
"Tidak, Anna. Aku akan melakukan apapun untukmu. Ini sepadan dengan rasa bahagiaku, Sayang."
Andrew awalnya mau menyewa seluruh area restoran untuk mereka berdua saja, tetapi dia takut Anna akan menolak lamarannya dan mereka akan menjadi canggung setelahnya.
Namun, karena Anna telah menerimanya, dia pun tidak masalah jika harus mentraktir mereka semua malam ini.
Dia adalah Tuan Muda Kedua Williams, Wakil Direktur perusahaan One Sky Group salah satu perusahaan elit terbesar di kota C.
"Baiklah, Sayang, karena kamu telah menyetujuinya maka aku akan membawamu ke rumahku besok," ujar Andrew setelah mereka melanjutkan lagi makan malam yang tertunda tadi.
"Uhuk ... uhuk ...." Anna tersedak mendengar bahwa besok Andrew akan membawanya menemui orang tuanya.
"Kenapa, Sayang?" Andrew panik dan dengan cepat memberikan segelas air pada Anna dan menepuk lembut punggung gadis itu.
"Tetapi, Kak Andrew, apa tidak terlalu cepat? Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku?"
Anna khawatir orang tua kekasihnya itu tidak menerimanya. Karena Anna tahu mereka tidak sederajat. Anna hanyalah putri seorang pengusaha restoran kecil di kota itu.
"Tidak, Anna. Mereka semua orang baik. Terutama ayah dan ibuku, mereka pasti senang mendengar kabar ini." Andrew meyakinkan Anna kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Baiklah, Kak Andrew. Jika Kakak berkata demikian, aku akan ikut denganmu besok untuk menemui mereka," jawab Anna sambil menggenggam tangan pria itu.
"Terima kasih, Sayang. Besok aku akan menjemputmu untuk makan malam dengan mereka," ujar Andrew dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya sejak tadi.
Setelah makan malam Andrew pun mengantar Anna pulang.
"Malam, Tante Maria," ujar Andrew begitu melihat ibu Anna yaitu Maria Davis membukakan pintu untuk mereka.
"Malam, Andrew. Mari masuk." Maria pun mempersilahkan mereka berdua masuk dan duduk di ruang tamu.
"Baik, Tante, terima kasih." Andrew pun duduk dan menyapa ayah Anna yang sedang duduk di sofa seraya menikmati kopinya.
"Malam, Om Henry," sapa Andrew yang diikuti senyuman oleh Henry Davis.
"Malam, Andrew. Apa kabar?"
"Saya baik, Om. Oh iya, Om, saya mau memberitahu Om dan Tante bahwa saya sudah melamar Anna dan Anna pun menerimanya. Rencananya besok saya akan membawa Anna pulang untuk bertemu dengan orang tua saya, Om," ujar Andrew menjelaskan.
"Anna, buatkan minuman untuk Andrew." Maria meminta Anna agar gadis itu membuat minuman.
"Mau minum apa, Kak?" tanya Anna.
"Kopi saja, Sayang."
"Baik. Tunggu sebentar yah." Anna pun bergegas ke dapur.
"Terima kasih, Sayang."
Andrew tersenyum melihat kepergian gadis itu menuju dapur. Andrew tahu Maria sengaja mengusir Anna agar suaminya itu dapat berbicara secara pribadi dengannya.
"Nak Andrew, Om tahu kamu mencintai Anna, tetapi Anna masih kecil dan masih kuliah. Lagi pula keluarga kami hanya pengusaha restoran kecil tidak sebanding denganmu."
Henry pun melontarkan kegelisahannya pada pemuda itu.
"Saya tahu apa yang Om dan Tante khawatirkan. Namun, saya jamin jika saya tidak akan membatasi kegiatan Anna.
Dan mengenai orang tua saya, saya yakin kalau mereka pasti akan bahagia mendengar kabar ini dan menerima Anna," terang Andrew menjawab kekhawatiran calon mertuanya itu.
"Sayang, Andrew pemuda yang baik dan mereka saling mencintai. Tidak baik jika kita menghalangi niat baik mereka, berikan mereka kesempatan untuk membuktikannya," ucap Maria ikut meyakinkan suaminya.
"Baiklah jika memang demikian maka kami setuju kamu menikah dengan Anna."
Henry pun merestui putri semata wayangnya dengan pemuda ini.
"Terima kasih, Om. Saya tidak akan mengecewakan Anna dan akan menyayanginya sepanjang hidup saya."
Janji Andrew pada kedua orang tua kekasihnya itu.
.
.
.
"Kak, bagaimana kalau kita tidak usah pergi saja malam ini," ucap Anna gemetar yang kini telah berdiri di depan pintu villa dan menatap kagum bangunan megah bak istana milik keluarga calon suaminya itu.
Andrew pun tersenyum melihat tingkah gadis kecilnya itu. Dia tahu jika Anna sedang gugup dengan pertemuan ini.
"Sayang, jangan takut. Ada aku di sini," bisik Andrew menenangkan Anna dan dengan langkah pasti memasuki kediamannya sambil menggenggam erat tangan gadis itu.
Anna pun hanya bisa pasrah mengikuti Andrew di sampingnya dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
"Tuan Besar, Nyonya Besar, Tuan Muda Kedua telah tiba," ucap kepala pelayan memberitahu ayah dan ibu Andrew.
"Suruh mereka masuk. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan calon menantuku."
Rose Williams pun memerintahkan mereka masuk.
"Baik, Nyonya Besar."
"Bersabarlah dan jangan menakuti mereka!" Daniel Williams pun mengingatkan istrinya.
"Benar, Bu. Sudah lama sejak terakhir kalinya si bodoh itu membawa seorang gadis ke rumah. Kau jangan sampai menakutinya dan membuat adikku melajang lagi." Alexander Williams menimpali perkataannya Ayahnya.
"Diam kamu! Bicara soal melajang, bukankah seharusnya kamu sebagai seorang kakak yang menikah lebih dulu?
Namun, jangankan menikah, bahkan aku sudah lama tidak pernah melihatmu bersama dengan seorang gadis."
Rose sangat sedih dengan keadaan putra sulungnya itu. Pria bertubuh tinggi besar itu sangat tampan.
Bahkan, bisa dikatakan dia lebih unggul dalam hal penampilan maupun kecerdasannya jika dibandingkan dengan adiknya, Andrew.
Akan tetapi, di usianya yang menginjak ke-28 tahun, pria bermata biru laut ini terlihat lebih nyaman sendiri.
Setiap hari hanya tahu bekerja dan meeting dengan kliennya saja. Bahkan ada gosip yang mengatakan jika Alex adalah seorang gay.
Karena yang bekerja bersamanya sebagian besar adalah seorang pria. Termasuk asisten pribadinya pun seorang pria.
"Hufh ...." Rose menghela nafasnya memikirkan Alex.
Alex tahu apa yang dipikirkan oleh ibunya ini. Dia juga tahu gosip tentang dirinya yang seorang penyuka sesama jenis. Namun, Alex tidak mau ambil pusing.
Dia yakin dirinya bukanlah seorang gay, hanya saja belum ada gadis yang dapat menggetarkan hatinya.
Dia lebih nyaman dengan keadaannya sekarang. Menurutnya bekerja bersama dengan para pria jauh lebih efisien dibanding bersama wanita yang suka menuntut banyak hal.
"Ayah, Ibu, Kakak, aku kembali." Andrew masuk dan menghampiri keluarganya yang telah lama menunggunya, lebih tepatnya menunggu calon anggota baru keluarga mereka.
"Ini, Anna Davis. Gadis yang kuceritakan kepada kalian kemarin. Yang akan aku nikahi secepatnya," terang Andrew memperkenalkan Anna kepada keluarganya.
"Anna, ini Ayahku, Daniel. Ibuku, Rose dan yang terakhir adalah Kakakku, Alexander."
"Selamat malam, Om, Tante, Kakak Alexander," ucap Anna gugup sambil mengencangkan genggaman tangannya pada Andrew.
"Ehm, masuklah, Nak. Mari sini duduk dengan Tante." Rose mempersilahkan mereka untuk duduk.
Ketika mereka melihat dengan jelas gadis kecil itu, mereka semua tampak terpana, tak terkecuali Alex.
Gadis ini sangat manis dan polos. Bibir merahnya, rambut hitam panjangnya dan wajah cantiknya seakan menyihir mereka semua untuk dengan mudahnya menerima kehadiran gadis itu.
Anna duduk di samping Rose yang didampingi oleh suaminya. Sedangkan Andrew duduk bersama dengan kakaknya.
"Sudah berapa lama kalian saling mengenal?" tanya Daniel memulai percakapan mereka.
"Kurang lebih lima bulan, Om," jawab Anna seraya menundukkan wajahnya. Ia gugup sekali.
Andrew tahu jika Anna sedang gugup. Maka ia pun membantu menjelaskannya pada Daniel.
"Ayah, kami memang belum lama saling kenal. Tetapi, aku yakin dengan perasaanku. Aku pasti tidak akan salah dalam memilih pendamping hidupku."
Daniel diam saja mendengar ucapan putranya. Ia pun bertanya lagi pada Anna.
"Berapa usiamu, Anna?" tanya Daniel yang melihat Anna sepertinya masih sangat muda.
"Tahun ini saya berusia delapan belas tahun, Om."
"Wah, kamu masih muda sekali, Sayang. Apa ayah dan ibumu mengijinkanmu untuk menikah dengan Andrew?" Rose pun mulai ikut mengobrol.
"Orang tua saya sudah mengijinkannya, Tante. Kemarin malam Kak Andrew sudah datang dan menemui mereka."
"Syukurlah kalau begitu. Tante juga dulu menikah dengan om di usia muda. Saat itu Tante baru berusia dua puluh tahun dan om sama seperti Andrew, dia juga tidak sabar menunggu Tante untuk lulus kuliah dan ingin menikahi Tante secepatnya," kenang Rose saat suaminya dulu itu melamarnya.
"Ayolah, Bu, ini bukan tentang kalian. Ini tentang kami sekarang. Apakah ayah dan ibu setuju dengan rencanaku untuk menikahi Anna?" tukas Andrew yang malas mendengar kisah romantis orang tuanya itu yang selalu diceritakan kepada mereka sedari kecil seperti dongeng pengantar tidur.
"Diam kamu, Bocah Bodoh!" Rose menatap tajam putra bungsunya itu.
"Anna, pada dasarnya Om dan Tante tidak keberatan soal pernikahan kalian karena memang Andrew sudah memasuki usia matang. Dan jika memang semuanya sudah setuju mari kita bahas tentang pernikahannya."
"Terima kasih, Ayah, Bu!" seru Andrew gembira mendengar jika ayahnya telah merestui mereka.
Andrew tahu bahwa keluarganya pasti menerima idenya untuk menikahi Anna. Karena ia sangat mengenal ayahnya. Daniel tidak pernah memandang seseorang dari status ekonominya.
Pria itu sudah kaya raya dan tidak memerlukan perjodohan bisnis untuk mempertahankan perusahaannya. Bahkan Rose pun adalah putri dari salah satu dosen di kampusnya dulu. Baginya kebahagiaan keluarganya lebih penting dari pada uang.
"Terima kasih, Om, Tante."
"Apanya yang Om dan Tante? Bukankah kami sudah merestui kalian? Ayo, panggil Ayah dan Ibu," jelas Rose.
Anna tercengang mendengar Rose yang menyuruhnya untuk memanggil mereka ayah dan ibu. Dia tidak menyangka kalau mereka akan merestuinya semudah ini.
"Terima kasih, Ayah, Ibu."
"Hahaha! Bagus ... bagus ..., Anak Baik! Kedepannya lahirkanlah seorang cucu untuk kami agar kami tidak kesepian jika kalian semua pergi," pinta Rose tanpa malu-malu.
"Ibu! Jangan buat calon menantumu takut. Anna masih kuliah dan aku tidak mau itu mengganggu kegiatannya, jadi kupikir kami akan menunda hal ini untuk sementara," jelas Andrew.
"Haish ... apanya yang mengganggu? Jika kalian sibuk, maka titipkan saja pada ayah dan ibu disini. Biar kami yang akan merawatnya. Kalian anak muda tidak tahu bagaimana kesepiannya Ibu di sini jika kalian semua sibuk."
Rose sangat mendambakan seorang cucu. Semua temannya selalu membicarakan tentang cucunya setiap kali mereka bertemu.
Sekarang salah satu putranya akan menikah dan semoga saja dia dapat menimang seorang cucu dengan cepat, tidak tahu bagaimana senangnya perasaannya saat ini.
"Tetapi, Bu, Anna kan masih ...."
"Sudah ... sudah. Anna baru saja datang dan kalian sudah bertengkar meributkan soal cucu!" ucapan Andrew langsung dipotong oleh ayahnya yang mengakhiri perdebatan istri dan putranya ini.
"Baiklah, kalian berbincang saja dulu. Ibu akan menyiapkan makan malam."
"Ibu, bolehkah aku ikut membantu?" Anna menghentikan calon ibu mertuanya itu yang akan beranjak ke dapur.
"Tidak usah, Sayang. Kamu kan baru saja datang hari ini. Berbincanglah dengan mereka. Ibu akan segera menyiapkan makan malam," ucap Rose lembut.
"Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah terbiasa membantu ibu di rumah dan di restoran."
Anna tetap ingin membantu Rose, karena dia akan canggung jika ditinggal bersama dengan calon ayah mertua dan kakak iparnya itu.
Alex memang tidak berbicara sedari tadi, tetapi mata pria itu tidak pernah lepas dari Anna. Tatapan lekat Alex membuat Anna salah tingkah.
"Iya, Bu, biarkan Anna membantumu. Anna pandai memasak, sudah lama aku tidak merasakan masakan buatan Anna. Kalian juga pasti suka," ucap Andrew bangga.
"Baiklah. Ibu juga ingin mencicipi masakan buatanmu."
"Ayo, Sayang, tunjukan kemampuanmu kepada mereka. Agar mereka dapat merasakan kelezatan masakanmu!"
Andrew masih terus membanggakan Anna dan membuat gadis itu tersipu malu.
'Kak Andrew bikin aku malu saja! Mana mungkin masakan buatanku lebih enak dari koki di rumah mereka ini? Tetapi, biarlah daripada aku ditinggal di sini. Lebih baik aku mengobrol dengan Ibu Rose.'
Rose pun mengajak Anna untuk ke dapur. Mereka berdua terlihat akrab. Andrew senang keluarganya menerima kehadiran Anna. Kedepannya akan lebih mudah bagi mereka menjalani kehidupan pernikahan.
.
.
.
Setelah Anna dan Rose pergi, kini hanya ada Andrew dan Alex di ruang tamu, karena ayahnya baru saja menerima panggilan telepon dan bergegas ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Andrew pun langsung menggoda Alex yang sedari tadi tidak bersuara.
"Hey, Kak! Ada apa denganmu? Dari tadi melamun saja?"
Alex memang lebih pendiam dibandingkan dengan Andrew yang ceria dan mudah bergaul. Sehari-hari Alex hanya sibuk dengan pekerjaannya saja. Jarang sekali dia keluar bersama teman-temannya menikmati kekayaannya seperti pemuda kaya lainnya.
"Tidak, aku hanya terkejut saja. Tidak disangka kau akan menikah secepat ini."
"Hahaha! Kak, usia kita memang seharusnya sudah menikah. Kau tidak ada rencana untuk menyusulku?"
"Tidak! Aku belum mau terikat dan lagi pula aku belum menemukan gadis yang sesuai denganku."
"Bagaimana dengan Anna? Dia cantik, 'kan?" tanya Andrew membanggakan gadisnya.
Alex tak menjawab pertanyaan adiknya itu. Dia tak tahu apa yang terjadi pada dirinya malam ini. Sebagai seorang pengusaha, Alex telah banyak mengenal wanita cantik, glamor dan pintar, tetapi ia sama sekali tidak tertarik dengan mereka.
Namun, entah mengapa saat dia melihat Anna hari ini, dia tak dapat mengendalikan dirinya. Matanya tak pernah lepas memandang gadis polos itu. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaanya saat ini. Ketika dia merasa telah bertemu dengan gadis yang menurutnya spesial, akan tetapi gadis itu adalah calon adik iparnya, wanita yang dicintai oleh Andrew.
"Kak, apa kau mendengarkanku?! Mengapa kau diam saja?" Andrew mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Alex dan membuyarkan lamunan pria itu.
"Tidak ada apa-apa. Hanya memikirkan tentang meeting besok. Aku harus ke Jepang selama beberapa minggu," terang Alex.
Ya, lebih baik Alex pergi, dia harus segera menjauhi gadis ini. Karena Alex dapat melihat bagaimana Andrew sangat mencintai Anna.
"Apa?! Ke Jepang?! Kapan kau akan kembali? Apa ada hal yang penting di sana? Mengapa tiba-tiba kau mau pergi?"
Plakk!
Alex memukul kepala adiknya itu, ia pusing dengan pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkannya.
"Dasar bodoh! Mengapa kau begitu panik?! Aku bilang, aku akan pergi ke Jepang, tetapi bukan mengajakmu ke sana. Jadwal ke Jepang memang sudah lama disiapkan karena sudah mendesak dan harus aku yang ke sana. Tenang saja, aku akan usahakan kembali sebelum hari pernikahanmu," terang Alex panjang lebar menjelaskan pada adiknya.
"Oh, ternyata begitu," ujar Andrew seraya menghela napasnya lega.
Alex tersenyum melihat tingkah bodoh adiknya ini.
"Tenang saja, aku juga tidak akan mengajakmu ke sana. Aku tahu kau tak ingin meninggalkan calon istrimu itu, 'kan?"
Andrew hanya bisa tersenyum canggung karena maksud hatinya diketahui Alex.
"Ya, kau benar, Kak. Apa kau tahu berapa banyak pria yang mengejar-ngejar Anna? Maka dari itu aku tidak ingin meninggalkannya sendiri dan akan menjadikannya milikku selamanya!"
Andrew tersenyum membayangkan bagaimana reaksi para pria itu saat mengetahui Anna yang telah menjadi miliknya.
'Milikku selamanya?! Ya, Alex kau harus segera menghentikan pikiranmu tentang gadis itu,' gumam Alex.
.
.
.
Setelah beberapa saat makan malam pun siap. Rose bergegas memanggil suami dan para putranya itu. Sedangkan, Anna menata makanan ke atas meja dibantu oleh para pelayan.
"Sayang, makan malam sudah siap! Mari makan!" teriak Rose dari ruang makan.
Tak lama kemudian meja makan panjang itu sudah dipenuhi oleh keluarga Williams. Daniel duduk di kursi kepala keluarga. Di sisi depan sebelah kanannya ada istri dan putra sulungnya.
Sedangkan Andrew berada di sisi seberang di depan ibunya dan Anna duduk di samping Andrew. Posisi ini membuat Anna tepat berhadapan dengan Alex. Anna pun kembali gugup karena harus berdekatan dengan pria itu.
"Mari makan," ujar Daniel. Mereka pun memulai makan malam itu.
"Sayang, ini cobalah. Ini buatan Anna." Rose memberikan masakan buatan Anna untuk dicicipi oleh suami dan putra sulungnya.
"Wah, ini lezat. Anna, kau memang pandai memasak," puji Daniel.
"Ya, ini lezat sekali," ujar Alex yang langsung diikuti oleh pandangan mata semua orang yang tertuju kepadanya. Jarang sekali Alex berbicara apalagi sampai memuji seseorang yang baru dikenalnya.
"Alex, apa kau suka, Sayang? Ini makanlah lebih banyak, lain kali Ibu akan meminta Anna agar memberitahu resep masakan ini agar Ibu bisa memasakkannya untuk kalian."
"Aih ..., Ibu. Rasanya tidak akan sama jika Ibu yang memasaknya. Anna memasakkan makanan ini dengan penuh cinta untukku. Anna Sayang, tolong ambilkan juga untuk calon suamimu ini," goda Andrew yang berhasil membuat wajah gadis itu merah padam.
Mereka semua pun tertawa mendengar celotehan Andrew. Anna bersyukur karena suasana di meja makan tidak secanggung yang dibayangkannya.
Mereka semua menyantap makanan itu dengan gembira diselingi pula obrolan tentang konsep pernikahan Andrew dan Anna. Hanya Alex yang terdiam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
.
.
.
Tak terasa sudah hampir hari H pernikahan mereka. Semua persiapan dilakukan oleh wedding organizer ternama disesuaikan dengan permintaan Rose dan Anna. Andrew sesekali mendampingi mereka, tetapi karena kesibukkannya di kantor membuatnya jarang bertemu dengan Anna.
Dia membebaskan agar ibu dan calon istrinya itu untuk memilih apa yang mereka sukai. Mulai dari konsep pernikahan, undangan, sajian pada saat jamuan hingga gaun pernikahan mereka. Ya, Alex sudah pergi ke Jepang hampir 3 minggu, membuat Andrew sibuk menangani perusahaan di dalam negeri bersama dengan ayahnya.
Namun, khusus hari ini dia libur karena mereka akan fitting baju pernikahan. Kini mereka sudah tiba di butik paling terkenal di kota C. Andrew sudah siap dengan jas pengantinnya yang akan dipakainya di hari bahagianya itu. Jas itu melekat sempurna di tubuhnya.
"Wow! Sayang, kamu tampan sekali!" seru Rose seraya mengangkat ibu jarinya melihat putra bungsunya itu. Sementara yang dipuji hanya tersenyum narsis mendengar celotehan ibunya.
Bukan hanya Rose yang mengagumi ketampanan Andrew, tetapi para pelayan toko yang memang sebagian besar adalah para wanita muda.
"Tuan Muda Andrew memang tampan, tetapi sayang sekali dia sudah akan menikah!"
"Namun, yang kudengar bahwa Tuan Muda Alex jauh lebih tampan dari adiknya ini dan lagi dia masih lajang."
"Aih! Hanya ada dua tipe pria sempurna yang masih melajang. Pertama, dia itu playboy yang dengan mudahnya berganti pasangan bak pakaiannya dan yang kedua, dia adalah seorang gay."
"Tak peduli dia gay atau bukan, pria tampan tidak baik untuk kesehatan jantung. Hanya dengan berdampingan dengannya saja bisa membuatku mati bahagia tanpa penyesalan."
"Hey, kalian ini! Berhentilah bergosip! Jika sampai mereka mendengar apa yang kalian bicarakan maka habislah kita."
"Iya, benar. Tidak ada yang berani memprovokasi keluarga Williams di kota C. Sebaiknya kita kembali bekerja."
"Nona, permisi. Bisakah anda membantu saya dengan gaun ini?"
Obrolan mereka pun terhenti saat Anna meminta tolong untuk memperbaiki gaunnya yang sedikit kebesaran di area pinggang dan ketat di area dada dan pinggul.
"Nona Anna, anda mempunyai bentuk tubuh yang indah. Tuan Muda Andrew pasti akan sangat menyukainya. Tunggu sebentar, saya akan memperbaiki gaun Anda."
"Terima kasih." Gadis itu tersenyum manis membuat mereka semua terpana.
'Pantas saja calon istri Tuan Muda Andrew, dia sungguh sangat menawan,' gumam mereka.
Setelah mereka memperbaiki gaun itu, kini gaun pengantin itu benar-benar pas dengan tubuh Anna.
"Keluarlah, Nona Anna, perlihatkan kepada Tuan Muda Andrew dan Nyonya Besar," pinta salah seorang pelayan toko.
Anna perlahan keluar dengan memakai gaun pengantin itu. Gaun itu sangat cocok dengan Anna dan membentuk lekuk tubuh sempurna gadis itu. Mereka pun terpana melihat gadis manis itu.
"Andrew, tutup mulutmu! Kau berliur, Sayang. Jangan membuat Ibu malu," canda Rose sambil menutup mulut Andrew yang memang sedari tadi ternganga melihat kecantikan Anna.
"Ibu, bisakah aku tidak menikah minggu depan?" tanya Andrew yang langsung membuat shock Anna dan ibunya.
"Apa maksudmu?! Kau ingin membatalkannya?!" tanya Rose terkejut.
"Iya, Bu. Aku ingin membatalkan pernikahan minggu depan karena aku akan menikahi Anna sekarang juga!" ujar Andrew dengan mata yang masih menatap lekat gadis itu yang terkejut karena ucapannya tadi.
Plakk!
Rose memukul kepala putra bodohnya ini. Dia terkejut sekali dengan ucapan Andrew tadi.
"Dasar, Anak bodoh! Benar-benar membuatku terkejut! Jaga ucapanmu! Kau harus bersabar, Sayang, hanya tinggal beberapa hari lagi.
Lagi pula kita sudah menyebarkan undangannya dan kakakmu juga akan pulang minggu depan. Kita tak bisa mengubah semuanya begitu saja.
Kau tahu, sesuatu akan terasa indah saat kau bersabar dan menunggu," terang Rose menenangkan putranya ini agar tidak bertindak yang aneh-aneh.
Andrew berjalan menghampiri Anna dan mencium punggung tangan gadis itu.
"Baiklah, aku akan bersabar denganmu, Sayang. Sampai saatnya tiba kau hanya akan menjadi milikku seorang."
Ucapan Andrew yang sangat terus terang itu di depan semua orang membuat Anna menundukkan kepalanya menahan malu. Sementara Rose hanya tersenyum melihat tingkah 2 sejoli yang sedang kasmaran itu.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!