Si Gendut Jadi Cantik
Awal Perubahan
Rina
Fi, gue nggak ngerti kenapa hidup gue kayak gini. Setiap kali gue ke sekolah, pasti ada aja orang yang ngomongin tubuh gue. Mereka bilang gue gendut, malas, dan nggak bisa berubah.
Fira
Rin, lo nggak boleh terus mikirin omongan orang yang kayak gitu. Orang-orang tuh emang suka ngejatuhin orang lain. Tapi itu bukan salah lo. Lo nggak harus ngebandingin diri lo sama mereka.
Rina
Iya sih, gue ngerti. Tapi kadang omongan mereka tuh kayak nempel di kepala gue, Fi. Gue sampai mikir, "Kenapa sih gue nggak bisa kayak mereka? Kenapa gue nggak bisa langsing?"
Fira
. Lo nggak bisa terus-menerus bandingin diri lo sama orang lain, Rin. Setiap orang punya prosesnya masing-masing. Lo harus mulai hargain diri lo, dan kalau lo mau berubah, itu karena lo mau, bukan buat orang lain.
Rina
Tapi Fi, itu susah banget. Kadang gue mikir, gue nggak akan pernah cukup. Gue nggak pernah bisa jadi langsing kayak teman-teman gue yang lain. Gue benar-benar merasa kalah.
Fira
Rin, lo nggak kalah. Lo cuma butuh waktu. Lo udah berusaha keras, kok. Jangan pernah ngerasa diri lo nggak cukup, karena semua orang punya tantangannya sendiri.
Rina
Tapi gue kadang merasa kesepian banget, Fi. Gue lihat orang lain, mereka bisa bebas. Mereka nggak dibuli karena badan mereka. Sedangkan gue? Gue cuma ngerasa terjebak.
Fira
Lo harus ngerti, Rin. Mereka yang ngejelek-jelekin lo itu bukan orang yang peduli sama lo. Mereka cuma cari perhatian. Tapi lo lebih dari itu. Lo punya potensi yang luar biasa, dan nggak ada yang bisa ngambil itu dari lo.
Beberapa minggu setelah itu, Rina masih berusaha menjalani hidup seperti biasa. Namun, rasa tidak percaya diri semakin menghantuinya. Di sekolah, tekanan sosial semakin besar.
Suatu pagi di kantin, saat Rina sedang duduk sendirian, sekelompok anak mendekatinya.
Indah
(mengejek) Wah, si gendut lagi makan banyak, ya? Pantas aja, nggak heran dia selalu segede ini. Nggak bakal bisa diet kayak gitu!
Rina
(mencoba tegas) Aku nggak butuh omongan kamu, Indah. Kamu nggak tahu apa yang aku rasakan, jadi lebih baik diam.
Indah
(tertawa) Hah? Lo ngomong apa sih? Gue cuma bilang kenyataan. Lo itu nggak bakal bisa berubah, Rin. Percuma lo diet atau olahraga. Lo nggak akan jadi kayak kita.
Rina menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, tiba-tiba terdengar suara lain.
Dimas
Sudah cukup, Indah. Jangan ganggu dia terus. Kamu nggak tahu apa yang dia alami.
Indah
Hah? Dimas? Kenapa lo belain dia?
Dimas
Karena gue nggak suka lihat orang lain dihina. Lo nggak punya hak buat merendahkan orang lain, apalagi cuma buat bikin lo merasa lebih baik.
Rina menatap Dimas dengan bingung. Selama ini, Dimas selalu terlihat dingin dan tak pernah terlibat dalam urusan orang lain. Namun, saat ini, Dimas berdiri di sampingnya, membelanya. Rina merasa ada sesuatu yang berbeda.
Rina
Terima kasih, Dimas. Lo nggak perlu repot-repot.
Dimas
Gue nggak repot, Rin. Kalau lo nggak bisa bela diri lo sendiri, gue yang bakal bantu. Ingat, lo nggak sendirian.
Setelah kejadian itu, Rina merasa sedikit lebih baik. Walaupun perundungan masih terjadi, dia mulai punya semangat baru untuk melawan dan tidak terus-terusan merasa rendah diri.
Saat pulang, Rina merasa bingung dengan perasaannya. Ia tidak hanya terkejut karena Dimas membelanya, tetapi juga karena kata-kata yang diucapkan Dimas membuatnya berpikir ulang tentang dirinya sendiri.
Rina
Ibu, tadi di sekolah ada seseorang yang membela aku saat aku dibuli. Tapi aku tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba peduli. Selama ini, aku pikir dia tidak pernah memperhatikan aku.
Ibu Rina
Rina, terkadang orang yang terlihat cuek justru memiliki hati yang baik. Namun, yang paling penting adalah bagaimana kamu melihat dirimu sendiri. Kamu tidak bisa terus membiarkan orang lain menentukan siapa dirimu.
Rina
Tapi, Bu… mereka selalu mengejek aku. Aku lelah. Aku ingin berubah, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Ibu Rina
Perubahan itu tidak harus langsung besar. Mulailah dengan hal-hal kecil. Yang penting, kamu harus yakin bahwa kamu bisa.
Rina
Tapi bagaimana jika aku gagal?
Ibu Rina
Tidak ada yang namanya gagal, Rina. Yang ada hanyalah proses belajar. Jika kamu benar-benar ingin berubah, lakukanlah untuk dirimu sendiri, bukan untuk membuktikan sesuatu kepada mereka.
Rina terdiam. Kata-kata ibunya seolah membuka pikirannya.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rina mengambil buku catatan kecilnya dan mulai menulis sesuatu.
Aku ingin berubah. Aku ingin menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Aku tidak ingin terus-terusan dihancurkan oleh omongan mereka. Aku ingin kuat. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa."
Dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya, Rina tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai.
Memulai perubahan
Setelah kejadian di kantin, Rina merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Meskipun perundungan masih ada, ia merasa sedikit lebih kuat. Dimas yang selama ini terkesan dingin dan tidak peduli, kini menjadi semacam penyemangat yang memberinya keyakinan. Namun, Rina tahu bahwa ini baru permulaan. Ia harus melangkah lebih jauh dan memulai perjalanan perubahan yang tidak mudah.
Rina
(Berbicara dengan Fira di sekolah)Fi, gue mulai merasa ada yang berbeda, sih. Setelah kejadian kemarin, gue ngerasa lebih kuat. Tapi gue masih bingung, harus mulai dari mana. Gue nggak bisa tiba-tiba berubah begitu aja, kan?
Fira
Lo udah mulai kok, Rin. Percaya deh, setiap langkah kecil itu berarti. Lo mulai berani berdiri dan ngomong ke mereka. Itu udah perubahan besar.
Rina
(menghela napas) Iya, tapi gue butuh lebih dari itu, Fi. Gue nggak cuma mau berubah fisik, tapi juga mental gue. Gue pengen bisa lebih tegar.
Fira
Kalau lo mau berubah, lo harus mulai dari diri lo sendiri, Rin. Setiap hari lo harus ingat alasan lo buat berubah. Jangan sampe lo kehilangan motivasi.
Rina mengangguk pelan. Ia tahu, perubahannya tidak hanya berhubungan dengan tubuhnya, tetapi juga dengan caranya memandang diri sendiri. Sambil berjalan menuju kelas, Rina berpikir tentang langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
Setelah itu, Rina mulai berfokus pada kesehatan tubuhnya. Ia memutuskan untuk mengikuti program diet sehat yang diajarkan oleh seorang guru olahraga di sekolah, Pak Arief. Selain itu, dia mulai rutin berolahraga di waktu senggang, meskipun itu terasa sangat sulit di awal.
Namun, pada hari pertama latihan di gym sekolah, Rina merasa malu. Semua orang tampak lebih percaya diri dan terlihat lebih berbadan ramping. Sementara dirinya, yang masih merasa jauh dari kata "ideal", merasa ragu.
Rina
(berbicara dengan dirinya sendiri)Apa gue bisa? Gue takut mereka lihat gue, terus ngetawain gue lagi.
Saat itulah, Dimas muncul di ruangan gym. Dia terlihat serius, seperti biasanya, tapi kali ini ada yang berbeda. Dimas datang menghampiri Rina yang sedang duduk di sudut ruangan.
Dimas
(Dengan nada tenang) Jangan terlalu keras sama diri lo, Rin. Semua butuh proses.
Rina
(Terkejut) Lo ngapain di sini?
Dimas
Gue cuma ngeliat lo, dan gue tau lo pasti ragu. Tapi lo nggak boleh menyerah begitu aja. Lo harus percaya kalau lo bisa.
Rina
Tapi, gue takut kalau gue nggak cukup kuat. Semua orang bisa lihat gue, dan gue... nggak tahu.
Dimas
Proses itu nggak instan. Gak ada yang bisa langsung jadi sempurna. Lo cuma perlu fokus ke diri lo sendiri, bukan ke orang lain. Kalau lo ngerasa malu atau takut, lo nggak bakal bisa maju.
Rina terdiam. Kata-kata Dimas seolah membangkitkan semangat baru dalam dirinya. Walaupun ia merasa cemas, untuk pertama kalinya, Rina merasa bahwa ia punya kesempatan untuk berubah.
Di rumah, Rina duduk di depan cermin. Ia menatap refleksinya, masih merasa tidak percaya diri. Namun, kata-kata Dimas dan Fira terus terngiang di telinganya.
(berbicara pada dirinya sendiri)Lo bisa, Rin. Lo cuma butuh waktu. Lo harus mulai dari sekarang.
Rina bangkit dan membuka lemari pakaian. Ia mencari pakaian olahraga yang sudah lama ia simpan, tidak pernah dipakai. Dengan hati-hati, ia mengenakan pakaian itu dan berdiri tegak di depan cermin. Meskipun merasa canggung, ia merasa lebih baik daripada sebelumnya.
Ibu Rina
(memasuki kamar dan melihat Rina) kamu lagi apa?
Rina
(Tersenyum kecil)Aku lagi coba latihan, Bu. Mulai hari ini, aku bakal coba lebih serius untuk berubah.
Ibu Rina
Kamu udah siap untuk itu, Rina? Kamu tahu, perubahan itu butuh waktu dan kesabaran. Jangan terburu-buru.
Rina
Aku tahu, Bu. Aku janji, aku nggak akan menyerah.
Ibu tersenyum dan mengelus kepala Rina.
Ibu Rina
Aku bangga sama kamu, Rin. Kamu mulai belajar untuk percaya sama diri kamu. Itu yang paling penting.
Keesokan Harinya di Sekolah
Perjalanan Rina menuju perubahan ternyata tidak mudah. Hari-hari pertama latihan di gym penuh dengan tantangan. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Setiap kali dia merasa lelah, dia selalu teringat kata-kata Dimas dan Fira, yang memberi semangat untuk terus melangkah maju.
Namun, masalah baru datang. Beberapa teman sekelasnya mulai mencibir lagi. Mereka melihat perubahan fisik Rina yang belum begitu signifikan dan mulai mengolok-oloknya.
Indah
Wah, si gendut udah mulai diet ya? Pasti nggak bakal lama, deh. Percuma.
Rina
Lo nggak ngerti apa yang aku coba capai, Indah. Aku nggak butuh persetujuan lo.
Indah
Lo bakal selalu gendut, Rin. Nggak ada yang bisa lo ubah.
Rina menahan rasa sakit yang mulai menggerogoti hatinya. Namun, kali ini, ia tidak jatuh dalam perasaan itu. Ia mengingat semua yang sudah dia lalui dan berusaha tetap tegar. Dengan kepala tegak, ia berjalan menjauh, meninggalkan Indah dan teman-temannya.
Luka Yang Membekas
Sejak mulai latihan di gym dan menjaga pola makan, Rina merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Meski belum terlalu terlihat secara fisik, ia mulai lebih percaya diri. Tapi perundungan tetap ada, dan luka lama yang membekas di hatinya masih sulit sembuh.
Pagi itu, saat ia berjalan di lorong sekolah, suara bisikan dan tawa kecil terdengar di belakangnya.
Siska
Liat deh, dia berusaha banget buat diet. Kasian sih, tapi… udah telat nggak, sih?
Melati
Iya, mau turun berapa kilo pun, tetap aja nggak akan bisa cantik.
Rina menggigit bibirnya. Hatinya sakit, tapi ia berusaha menahan diri. Jika ini dulu, ia pasti langsung kabur dan menangis di kamar mandi. Tapi sekarang, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mudah jatuh.
Namun, sekuat apapun ia mencoba, perasaan sedih tetap datang. Saat istirahat, ia duduk di bangku taman sekolah sendirian, menunduk dan menghela napas panjang.
Tanpa disadari, Dimas duduk di sampingnya.
Dimas
Lo masih mikirin omongan mereka?
Rina
(Terkejut, lalu menghela napas) Gue nggak bisa bohong, Dim. Masih sakit. Gue tahu gue nggak boleh peduli, tapi tetap aja...
Dimas
Sakit itu wajar. Tapi lo mau biarin mereka terus ngontrol hidup lo?
Rina
Nggak… gue nggak mau.
Dimas
Bagus. Lo udah mulai kuat, Rin. Jangan biarin omongan mereka ngehancurin progress lo.
Untuk pertama kalinya, Rina merasa ada seseorang yang benar-benar memahami apa yang ia rasakan.
Tapi di dalam hatinya, ia masih bertanya-tanya… kenapa Dimas peduli?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!