Mereka hanya bertanya, mengapa dan mengapa tanpa tahu aku mau apa.
Mentari menyambut hangat diriku, yang berdiri dekat jendela. Memang luasnya asrama santri pondok santri. Damai setiap mendengar suara mereka mengaji. Tepat satu tahun lalu aku menetap disini. Pondok pesantren Al-Irsyad, tempat kakek dan nenekku.
Hatiku resah. Namun, tidak ada tempat berbagi selain pada Robb-ku. Kedatangan Ayah kemarin membuat aku tidak bisa tidur.
"Kamu pulang ke rumah, atau mau Ayah nikahkan sekarang, Alisha?" tanya Ayah yang membuat aku bagai makan buah simalakama.
Iya.. Aku, Alisha Alfatunnisa Anak dari pemilik pondok pesantren populer di kota ini. Siapa yang tidak kenal dengan, Kyai Burhanudin? Yang sering mengisi ceramah sampai ke luar kota. Menjadi seorang, Neng merupakan beban tersendiri bagiku. Apalagi usia yang memasuki angka 29 tahun, masih melajang. Sedangkan kedua adikku telah menikah.
"Ayah, jangan begitu! Alisha masih betah disini. Nemenin kakek dan nenek,"jawabku malam itu.
Ayah tetap pada pendiriannya, mungkin kesal dengan aku yang tidak berkunjung ke rumah selama satu tahun ini. Ada beban yang tidak bisa aku bagi pada mereka. Ada hati yang harus aku jaga, juga rasa yang harus aku kubur dalam-dalam.
Pintu kamar diketuk dari luar, aku bergegas menuju pintu. Nampak Bu Yuli, yang bertugas mengurus dapur di sini.
"Ada apa, Bu?" tanyaku dahulu karena Bu Yuli tampak gugup.
"Neng, di panggil kakek! Ada tamu yang mau ketemu kamu!" ucap Bu Yuli.
"Jangan gugup, Bu! Aku nggak gigit kok. Iya udah saya temui nanti."
"Iya, neng."
Bu Yuli pamit dari hadapanku. Entah mengapa, aku berusaha untuk bersikap tidak ada jarak di antara aku juga para santriwati di sini. Tetapi, mereka bersikap seolah aku ini orang yang harus di hormati. Jika bisa memilih aku ingin jadi orang biasa tidak terlahir sebagai anak kyai.
Setelah merapikan jilbab aku segera bergegas menuju tempat biasa kakek menemui para tamunya. Kakek tampak sedang berbicara dengan laki-laki bersarung hijau. Di temani nenek yang terlihat segar di usia senja.
"Kang Herman, tumben ke sini?" tanyaku setelah tahu jika lelaki itu Kang Herman, sopir Ayah. Juga pengurus di pondok Darul Arkom, pesantren Ayah.
"Bapak, nyuruh saya jemput, Neng Alisha!" jawab Kang Herman. Aku mendengus lesu, Ayah benar-benar nekad nyuruh aku balik ke pesantren Darul Arkom.
"Geura uih neng geulis! (Cepat pulang neng cantik!) Ibu-mu pasti rindu. Apalagi anak didikmu di Darul Arkom," ujar Kakek Ansor
Aku tidak bisa menjawab iya atau tidak. Mudah untuk aku kembali ke Darul Arkom. Namun, aku belum siap. Aku khawatir diri ini kembali terpuruk. Dilema melanda hati. Atau aku setuju menikah saja agar tidak kembali ke Darul Arkom? Nyatanya aku tidak sanggup untuk menikah dalam waktu dekat. Hati yang pernah patah juga masih berantakan belum bisa kembali utuh.
"Pulang, nak! Bukan maksud Kakek ngusir kamu. Justru kakek senang kamu ada di sini. Tapi, ingat kamu punya orangtua yang harus kamu patuhi!" tambah kakek. Lelaki bijaksana yang sangat aku kagumi.
"Sampaikan pada ayah besok saya pulang! Kang Herman nggak usah jemput. Biar di antar Kang Andi besok saya,"ucapku pada akhirnya. Tidak mudah untuk aku kembali ke rumah sendiri. Ya Allah, luka ini belum kering meski sudah satu tahun lamanya.
"Muhun (Iya) Neng, nanti saya sampaikan pada bapak," jawab Kang Herman.
Malam telah menyambut. Aku termenung, menatap baju-baju yang akan aku masukan ke dalam koper. Dada ini tiba-tiba sesak. Siapakah aku kembali ke rumah? Ancaman Ayah juga berat. Ku usap dengan kasar wajah ini, seperti anak-anak rambutku berantakan.
"Ya Allah, tidak ada pilihan lain kah? Haruskah aku bersandiwara baik-baik saja? Sedangkan sebenarnya berbeda dengan kenyataan,"lirihku.
Suara ketukan pintu membuat aku terperanjat, lalu segera aku pakai jilbab instan warna dongker.
"Mba Sinta!" ucapku saat tahu siapa yang mengetuk pintu.
"Kakek, nyuruh saya membantu, Neng Alisha beres-beres,"jawab Mba Sinta. Apa ini pertanda aku di usir dari sini. Tidak, kakek tidak begitu. Pasti ayah yang menyuruh.
"Ayo masuk, mba!" aku menarik tangan Mba Sinta.
"Ini yang mau di masukkan koper neng?" tanya Mba Sinta saat melihat pakaianku yang belum aku masukkan satu pun.
Aku hanya mengangguk pelan. Lemas tubuh ini, darah seakan tidak mengaliri tubuh. Aku memijat pelan kening yang terasa berat, memejamkan mata untuk sekedar membuat hati sedikit tenang.
"Neng Alisha, sakit?" tanya Mba Sinta. Ternyata baju sudah di masukan ke dalam koper.
Aku tersenyum tipis, untuk menepis ke khawatirannya.
"Capek saja, Mba! Seharian kencan sama laptop,"ucapku. Di sini aku ikut andil sebagai pengajar. Hanya untuk selingan, selebihnya aku menulis. Untuk curhat secara tidak langsung. Itulah enaknya penulis, pembaca tidak tahu fiksi atau nyata.
"Neng Alisha, yang sabar ya Bapak pasti ingin yang terbaik buat putrinya."
Aku tahu itu, terlalu konyol memang aku tidak berani untuk berdamai dengan keadaan. Malah memilih menghindari.
"Iya, Mba. Ada-ada saja! Justru saya senang jika neng terus ada di sini. Saya jadi tidak kudet tentang pengetahuan!" balas Mba Sinta.
Sejenak aku berpikir, mengapa tidak aku ajak saja, Mba Sinta. Biar tidak merasa sepi di Darul Arkom.
Mba, mau ikut ke Darul Arkom?" tanyaku pada Mba Sinta. Mata Mba Sinta tampak berkaca-kaca. Dia mondok di sini sejak SMA dan sudah yatim piatu.
"Yang benar, Neng?" Mba Sinta tampak tidak percaya. Aku mengangguk pasti.
"Makasih Neng." Mba Sinta memelukku dengan erat.
"Iya, Mba! Sekarang beresin bajunya ya!" ucapku. Tanpa di suruh kedua kali Mba Sinta lekas keluar kamar.
"Nenek sama Kakek sehat-sehat ya! Alisha pasti rindu!" ucapku ketika berpamitan. Sebenarnya aku lebih dekat dengan mereka. Waktu masih kecil, sering aku tinggal di sini. Jarak antara aku dengan Aisha, hanya satu tahun.
Apalagi aku terlahir kembar, Aisha kembaranku.
"Kapan saja mau ke sini pintu selalu terbuka untukmu sayang!" ujar Nenek mengelus pipiku.
"Mari, Neng! Keburu siang nanti jalanan macet!" ucap Kang Andi yang akan mengantarkan aku pulang.
"Iya, kang. Tolong bawakan ini ke mobil!" aku menyerahkan satu dus bawaanku, yang berisi buku-buku pelajaran juga beberapa novel.
Mobil melaju dengan lancar, sepanjang jalan aku hanya diam menatap jalanan yang penuh kendaraan. Mba Sinta malah tertidur, mungkin karena kelelahan. Dari google maps sampai ke rumah memerlukan waktu sampai setengah jam lagi.
Aku memejamkan mata, menenangkan hati yang bergemuruh. Mata ini memanas. Aku pasti kuat, akan berapa lama aku menghindari. Sudah saatnya aku berdamai dengan takdir.
"Neng, sudah sampai!" ucap Kang Andi. Aku merapikan jilbab yang sedikit berantakan.
"Kang, minta tolong bawakan masuk barang-barangnya, ya!" perintahku yang langsung di sanggupi Kang Andi.
Aku membangunkan, Mba Sinta. Ketika turun dari mobil, hati ini berdesir. Tidak ada yang berubah dari Darul Arkom. Kakiku terus melaju. Kebetulan ini waktu zuhur, jadi semua santri sedang salat berjamaah. Memasuki area ruang staf, membuat aku semakin berdebar. Semoga bukan dia yang aku lihat pertama kali. Ucapku dalam hati.
"Mba, itu kamarku. Kalau mau istirahat duluan tidak apa! Aku mau ke dapur dulu ngambil minum." ucapku pada Mba Sinta, yang masih terlihat mengantuk.
Haus ini benar-benar aku rasa. Tadi lupa tidak membeli air di jalan. Sementara di ruangan staf masih terlihat sepi, karena semua masih shalat berjamaah. Dari speaker yang berasal dari masjid, Ayah sedang ceramah. Itulah kebiasaan Ayah setelah salat zuhur.
Tanganku meraih gelas untuk mengambil minum. Namun, tiba-tiba aroma maskulin yang tidak asing menguasai indra penciumanku. Tidak, ini pasti halusinasiku saja. Pasti masih di masjid, tidak mungkin dia sudah pulang. Suara Ayah masih terdengar ceramah.
"Alisha.."
Lembut suara itu menyebut namaku. Namun, mampu membuat hati ini bergetar, ya Allah aku belum siap. Gemuruh dalam dada kian menjadi. Aku memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi saja. Mata mulai memanas, ternyata hati belum sepenuhnya sanggup. Aroma maskulin itu kian dekat, ingin rasanya aku lari sekencang mungkin. Kalau perlu pindah ke planet Mars detik ini juga. Sia-sia kaki ini bagai terkena lem, tidak bisa bergerak sedikitpun.
"Mimpimu pasti akan terwujud, Alisha! Kagum aku padamu, bisa memiliki kecerdasan imajinasi yang tidak di miliki orang banyak. Meski aku nggak bisa menulis, aku tetap dukung kamu."
Ucapan yang tidak pernah aku lupakan. Darinya semangat itu bangkit, aku semakin mengembangkan bakat menulisku. Dan bisa menerbitkan dua novel solo. Waktu aki kuliah dulu, dan kini satu tahun aku vacum. Menulis hanya untuk membuang waktu sepi juga patah hati.
Mengingat itu hatiku semakin perih. Ingin aku berhenti menulis, agar bisa lupa segalanya. Namun, aku salah dia seperti hobiku. Semakin menjauh semakin membuat aku tersiksa. Sudah saatnya aku berdamai dengan hatiku sendiri.
"Maaf.. Neng Alisha, ambil minumnya sudah?"
Aku terperanjat, salah aku salah. Dia sudah jauh untuk aku gapai, dan ada dinding pemisah yang terbangun dengan megah. Juga marwah seorang suami juga gus yang di jaga. Tenggorokanku tercekat, tak ada satu kata yang mampu aku keluarkan. Bulir bening menetes, cepat-cepat aku menghapusnya.
"Sudah Gus, silahkan ambil minumnya! Saya ke kamar dulu belum salat," jawabku tanpa menoleh ke belakang. Tidak akan sanggup aku melihat wajahnya. Siang malam aku berusaha menghapus semia jejaknya selama satu tahun ini. Namun, hasilnya nol. Aku tetap kalah pada hatiku, siang malam aku berdoa agar nama Akbar Al-Ghani pergi dari ruang hatiku juga pikiranku. Dia telah jadi adik iparku.
"Maaf jika harus formal, Neng! Jika ada waktu ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,"ucapnya kembali. Suaranya terdengar samar bagai bisikan karena aku telah menjauh.
Aku semakin cepat memacu langkah kaki. Azam Al Ghani, nama yang selalu aku sebut dalam doa, yang hanya mampu aku panggil dalam hati. Pria yang telah mencuri hatiku, singgah selama dua tahun. Satu hari mengubah segalanya, membuktikan sesempurna apa pun rencana manusia tetap kalah dengan takdir Allah.
Air mata jatuh berkali-kali, rasanya tubuh ini sudah kehilangan kekuatan. Dengan sisa-sisa tenaga aku membuka pintu kamar. Menuju kamar mandi. Tubuhku luruh di lantai kamar mandi, ku putar kran air untuk menyamarkan suara tangisku. Aku belum sepenuhnya berdamai dengan keadaan. Aku kalah dengan kenyataan.
"Daun gugur pun demi kebaikan sang pohon. Mengurangi beban yang ditanggung di musim kemarau. Rela gugur demi keberlangsungan hidup sang pohon!"
Nasihat Kakek, saat aku menangis sejadi-jadinya. Tanpa bisa mengatakan apa yang terjadi.
"Apa pun masalahmu nak, itu ujian yang diberikan oleh Allah. Bisa jadi teguran karena telah membuat-Nya murka!"
Aku meluahkan segala rasa. Kukuras habis air mata ini, cukup kali ini aku menangisi hal yang sama.
"Alisha kangen kakek,"lirihku.
Lama aku menangis, memastikan tidak ada air mata yang jatuh lagi. Sandiwara itu tidak berdosa selama niat baik. Aku putuskan untuk pura-pura bahagia.
"Neng, kamu dimana?" suara Mba Sinta terdengar beberapa kali memanggil dan mengetuk pintu sedikit keras. Apa air kran ini tidak bisa menyamarkan suara tangisku?
"Neng... Neng Alisha!" suara Mba Sinta terdengar sedikit panik. Bagaimana aku menjawab sedangkan suaraku pasti terdengar serak.
"Aku nggak apa-apa, Mba!" jawabku setelah membuka pintu kamar mandi. Setelah memastikan air mata tidak ada yang terjatuh lagi. Aku keluar, bisa heboh jika Mba Sinta memanggil Ayah.
"Syukurlah... saya khawatir, di panggil tidak ada jawaban, Neng!" ucap Mba Sinta.
Aku berusaha tersenyum, meyakinkan Mba Sinta jika aku baik-baik saja.
"Salat dulu, Mba!"ajakku pada mba Sinta.
Aku butuh amunisi kekuatan untuk bersandiwara pura-pura bahagia.
"Kak Alisha... Kangen aku!" aku hampir saja tersedak saat minum. Aisha, kembaranku memeluk aku dengan erat. Aku membalikkan badan membalas pelukannya. Sejak kecil memang sering terpisah kami, aku yang sering di rumah kakek yang membuat kami jarang bertemu. Dan setelah dewasa memilih jalur masing-masing. Aisha, dia memilih tetap belajar di sini. Sedangkan aku mendapatkan kepercayaan dari Ayah. Aku diizinkan untuk melanjutkan pendidikan sesuai hobiku di bidang sastra. Dengan satu syarat tidak boleh pacaran.
Aku menghela napas berat jika mengingat hal itu. Aku telah mengkhianati kepercayaan Ayah. Saat kuliah-lah aku mengenal Azam, yang menjadi seniorku. Tidak pacaran, hanya sekedar dekat. Aku menggelengkan kepala jika ingat akan hal itu, hal dimana dia ingin menjadikan aku pelengkap imannya.
"Kakak juga kangen, Sha!" Habis dari mana kamu? Katanya di suruh pulang, eh ga ada yang menyambut sama sekali," tuturku sedikit aku buat kesal.
"Dari rumah Umma, Kak tadi Mas Azam yang kasih tahu jika kakak udah datang." Aku melirik ke arah kamar Aisha, tampak Azam berdiri di sana. Hanya sekilas aku memandang karena mataku kabur, gumpalan air panas siap terjun jika sekali saja aku mengedipkan mata.
"Udah peluknya, nanti ada yang cemburu!" tegurku Aisha terlalu lama memelukku.
"Siapa yang cemburu orang sama kakak sendiri," balas Aisha. Aku mencubit gemas pipinya. Meski umur kita sama-sama 29 tahun, sikap manja Aisha padaku tidak berubah.
"Dek, katanya mau ambilin makan!" tegur lembut suara bariton yang masih terekam jelas di telingaku. Aku meringis, kini perumpaan yang sering aku tulis menjadi nyata. Bahwa yang memandang masih kalah dengan yang dimiliki, dan masa lalu akan terlupakan seiring dengan bergantinya waktu.
Panggilan yang pernah dia berikan padaku sudah tidak berlaku lagi, aku yang biasa memanggil 'Mas' menjadi Gus. Dia telah menjadi menantu Ayah, bukan suamiku. Namun, Alisha Khairunnisa kembaranku.
"Maaf, Mas lupa. Iya udah kita makan bersama saja! Sambil nunggu Ayah dan Ibu pulang dari masjid," usul Aisha. Aku berniat kembali ke kamar. Tidak mungkin aku mengganggu mereka.
"Lho, Kakak mau kemana?" tanya Aisha saat aku baru tiga langkah menjauh.
"Ke kamar, Aisha! Mau beresin baju."
"Makan dulu, Kak! Pasti belum makan. Sudah satu tahun kakak nggak makan nasi di rumah," ucap Aisha yang langsung menarik tanganku.
Mau tidak mau aku menuruti kemauan, Aisha. Jadilah kini aku diantara Aisha juga Azam. Dengan cekatan tangan Aisha menyiapkan makan untuk Azam.
"Mas mau makan apa?"
"Apa saja asal kamu yang pilih pasti nikmat!"
"Kalau aku pesannya tumis pare mau?"
"Mau, asal makannya lihat kamu jadi nggak pahit!"
Sekilas ingatan masa lalu bersama Azam mengisi pikiranku. Saat masih kuliah sering makan bersama, menjelajah semua kuliner karena itu hobi Azam. Dan mungkin ini teguran dari Allah karena aku mengecewakan Ayah, tidak menjaga jarak antara lawan jenis. Meski tidak pacaran kami cukup dekat. Semua teman kuliahku juga Azam tahu kedekatan kami.
Untung saat pernikahan mereka tidak tahu jika aku bukan mempelainya. Allah menyelamatkan aku saat hari terperih itu terjadi. Kakek mendadak sakit dan aku memaksa untuk merawatnya.
"Kak, kok melamun! Ayo makan. Mau aku ambilin apa?" tanya Aisha, membuyarkan lamunanku. Ternyata aku terlalu lama melamun, Azam tetap fokus pada makanannya.
"Nggak usah, Aisha. Kamu nggak makan?" tanyaku balik. Aisha hanya menggelengkan kepala. Aku segera mengambil nasi juga ayam kecap. Memasukan ayam yang terlihat sangat menggoda ke piring, yang aku rasa hanya rasa hambar ketika bersatu di dalam mulut. Semua terdiam hanya suara denting sendok juga piring.
"Kak, aku lupa ada pesanan Ibu untukmu! Tunggu bentar ya aku ambilin dulu di kamar."
Aisha langsung pergi begitu saja, kini hanya ada aku juga Azam di meja makan. Aku mencoba biasa saja. Namun, tidak dengan jantung yang berdebar hebat. Dua orang yang pernah saling dekat seolah tidak pernah bertemu itu yang kini terjadi padaku juga Azam.
"Aku tahu kecewa Neng. Tapi, aku tidak berkhianat. Semua terjadi cepat, aku tidak tahu kamu kembar Neng."
Aku dan Aisha terlahir beda setengah jam. Kami kembar identik, hanya tahi lalat di atas bibirnya Aisha yang menjadi pembeda. Jika yang baru mengenal kami, maka tidak akan ada yang bisa membedakan.
Aisha lebih suka mendalami ilmu tentang dakwah. Berbanding dengan aku yang menyukai dunia tulis menulis. Aisha menurunkan bakat Ayah sedang aku bakat Ibu. Dari cerita Ibu, dulu begitu menyukai dunia literasi. Menulis beberapa novel bestseller. Namun, sejak jadi istri Ayah, Ibu berhenti menulis juga lepas dari telah menyukai membaca. Beranjak SMP, aku belajar menulis cerita tentang diriku sendiri di buku diary.
Satu cita-cita terbesarku berdakwah lewat tulisan.
Itulah yang membuat aku memilih kuliah jurusan sastra untuk memantapkan hobiku.
"Ayah izinkan kami kuliah di Jakarta, Alisha! Dengan syarat tidak boleh pacaran!" aku yang sangat ingin kuliah jurusan sastra menyetujui syarat Ayah.
Sudah tidak heran lagi, Ayah dan Ibu jika aku pulang ke rumah kakek jika masa liburan tiba. Sejak kecil aku lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Aisha yang fisiknya ringkih sejak kecil membuat Ayah dan Ibu lebih ekstra menjaganya. Apalagi setelah kelahiran Inayah. Aku tidak tinggal di Darul Arkom, Ibu dan Ayah sibuk mengurus kedua adikku.
Apa aku iri? Tentu tidak sejak kecil aku di didik untuk mandiri, menjadi Kakak yang baik untuk kedua adiknya. Kakek selalu menasehati aku agar selalu mengalah dengan adik. Karena sejatinya adik akan selalu meniru kakaknya.
"Alisha, kamu jangan merasa kurang kasih sayang ya, Neng Geulis! (Teteh Cantik) Di sini kakek anggap saja sebagai Ayahnya Alisha. Jadi kakak yang menjadi panutan adik-adik, jangan saling berantem ya, sayang!"
Nasehat kakek yang selalu aku ingat. Aku lebih baik mengalah dan mundur teratur waktu Ayah salah melamar. Aku lupa menceritakan padanya jika aku terlahir kembar. Hanya bilang punya dua adik. Di saat kami bersama hanya mimpiku yang menjadi pembahasan.
Hari itu, aku memang pulang ke cirebon. Namun, bukan ke Darul Arkom melainkan ke rumah Kakek. Entah mengapa ponsel tiba-tiba rusak saat itu. Ketika kembali menyala pesan beruntun masuk dari Azam juga Aisha.
[ Aku kasih kejutan hari ini, Alisha! Kamu sudah sampai belum?]
[Makasih ya, Alisha! Sudah mau menerima lamaranku]
Pesan dari Azam satu tahun lalu masih teringat jelas, seakan baru kemarin terjadi. Aku yang baru menyalakan ponsel tidak mengerti maksud Azam. Menerima dia? Aku menutup mulut sendiri kala itu.
Mataku memanas saat membaca pesan dari Aisha..
[ Kak, aku bahagia hari ini. Dia tiba-tiba datang melamar aku!]
[ Allah menjawab doaku, kak! Aku bahagia pokoknya hari ini. ]
Aku tidak pernah menyangka jika lelaki yang sering Aisha ceritakan padaku itu, Azam. Dengan tangan bergetar, tiba-tiba air mata ini tak terasa bercucuran saat aku membalas pesan Aisha.
[ Selamat.. Aisha, maaf kakak tidak bisa pulang.]
Hatiku hancur, menangis histeris membuat Kakek juga Nenek kebingungan.
Aku tidak mungkin mematahkan sayap Aisha yang rapuh. Biarlah semua kisahku juga Azam menjadi masa lalu. Hati ini bagai tersayat luka yang begitu dalam. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika jujur akan lebih membuat banyak hati yang terluka, biarlah aku yang merana asal Aisha bahagia.
Udara seakan menjauh dariku, membuat aku kesulitan untuk bernafas. Nasi juga lauk masih banyak di piring. Namun, mood untuk makan hilang. Mataku memanas, sekali saja aku berkedip pasti akan jatuh air mataku.
Perkataan Azam membuat aku terpaku, kejadian yang selalu aku usahakan untuk lupa malah di bahasnya lagi. Tidak tahukah dia betapa sulitnya aku menata hati? Hal yang paling aku takuti kini terjadi. Aku tidak menuntut penjelasan karena itu tidak akan merubah keadaan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan kata-kata untuk menjawab ucapan Azam. Walau bagaimanapun aku harus kuat agar dia tidak berpikiran bahwa aku makhluk paling menderita karena cinta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!