NovelToon NovelToon

ARUNA

Benda bundar

Isakan kecil masih tersisa dari mulut seorang gadis kecil yang sedang ditenangkan oleh Bu Mirna. Beruntung Mirna masih bisa mengamankan Aruna yang sedang dimarahi ibunya yang datang agak malam dengan gaya sempoyongan.

Ya, lagi-lagi Aruna harus merasakan sakitnya tamparan dari tangan ibu kandungnya sendiri padahal dia hanya berniat untuk pamer nilai ujian sekolahnya yang mendapatkan nilai seratus.

"Sayang, sudah ya jangan nangis. Ini budhe buatkan mie goreng pakai telor ceplok. Kesukaan kamu" ujar Bu Mirna dengan sayang.

"Terimakasih budhe" ujar Aruna kecil dengan mata yang kembali bersemangat. Menerima sepiring mie goreng yang disiapkan dengan cinta dari orang yang bahkan tak memiliki hubungan apapun dengannya.

Bu Mirna dan suaminya, Pak Burhan adalah pemilik kontrakan yang Aruna tinggali bersama ibunya belakangan ini setelah berkali-kali Aruna pindah kontrakan karena ibunya yang harus diusir karena tidak bisa membayarnya.

Aruna masih duduk di bangku SD saat itu. Saat datang dengan beberapa luka bekas cubitan di tangan dan kaki kecilnya dan membuat sepasang suami istri yang belum di karuniai buah hati di usia pernikahannya yang sudah lebih dari dua puluh tahun itu memantapkan hati untuk membiarkan Selly, ibu dari Aruna tinggal di rumah kecil yang ada di samping bangunan rumah utamanya.

Kini Aruna sudah tinggal selama setahun di rumah itu. Dan Bu Mirna sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Beliau menyayangi dan selalu mengamankan Aruna saat ibunya sedang hilang kendali untuk menjadikannya sasaran kemarahan yang tidak jelas.

Tumbuh keras dengan dunia sekitar yang mencemooh menjadikan Aruna sebagai gadis belia yang tomboy dan sangat suka dengan basket.

Benda bundar dan keras itu seolah jelmaan dari sakit hatinya yang mengeras dan bisa dia pantulkan sesuka hati. Ya, Aruna menjadi sangat menggilai basket.

......................

Rok selutut berwarna abu-abu itu sudah nampak sedikit pudar warnanya. Tapi tetap saja Aruna memakainya karena hanya itu seragam sekolah yang dia miliki bahkan di hari pertama sekolahnya.

Melangkahkan kakinya dengan santai menuju gedung sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Aruna tentu akan sulit untuk membolos sekolah dalam tiga tahun ke depan.

Pasalnya para guru akan mudah saja mencari keberadaannya karena jarak sekolah dan rumahnya tidak lebih dari satu kilo saja.

"Ayo bareng, Run" teriak Ferdi yang datang dengan motor bututnya.

"Ok" jawab Aruna sambil mendudukkan diri di jok belakang motor Ferdi yang tidak ada footstepnya.

Hingga sampai di parkiran, keduanya lantas berjalan pelan dengan tujuan kelas yang berbeda meski dalam tingkat yang sama.

Ckit!

Sebuah mobil mengerem saat tidak sengaja akan menyenggol Aruna yang berjalan keluar dari parkiran motor, masih bersama Ferdi.

"Sorry" ucapnya tenang karena tak ingin memperpanjang masalah.

"Punya mata nggak sih Lo?" teriak seorang siswi dari dalam mobil itu, lantas ditarik paksa oleh siswa lain yang menjadi pengemudinya untuk tak lagi meneruskan kemarahan.

"Masih pagi juga sudah bikin bad mood" telinga Aruna masih mendengar gerutuan siswi itu.

Tak diindahkan, Aruna kembali berjalan pelan menuju kelasnya.

"Gue tinggal ya, jangan nyariin. Kelas gue disana, kelas Lo disitu" tunjuk Ferdi yang mendapat decakan sebal dari Aruna.

"Cg, iya" kesalnya lantas berlalu.

Ferdi yang sudah hafal dengan tabiat sahabatnya itu hanya tertawa kecil.

Memilih duduk di bangku paling belakang, Aruna masih mendengarkan musik dari ponsel usangnya sambil memejamkan mata.

Bel sudah berdering, hari ini adalah hari ketiga sekolah setelah selesai dengan serangkaian kegiatan MOS yang membuat Aruna merasa malas.

"Selamat pagi anak-anak" sapa Bu Ratna yang katanya adalah wali kelasnya.

"Pagi Bu" jawab semua murid dengan kompak.

"Pagi ini kita kedatangan murid baru, silahkan perkenalkan diri kamu" ujar Bu Ratna pada siswi yang rupanya adalah gadis yang Aruna temui.

"Perkenalkan nama aku Karamina Dae-un Wiyasa, panggil saja Mina" ujarnya sambil memindai isi kelasnya.

Melihat satu per satu murid yang akan menjadi temannya. Dan netra nya terhenti singkat saat melihat Aruna yang duduk sendiri di pojok ruangan.

"Mina baru bisa masuk karena baru kemarin juga dia pindah ke kota ini, bukan begitu Mina? Pertanyaan Bu Ratna hanya dijawab anggukan kepala oleh Mina dengan senyum yang masih terukir.

"Silahkan duduk, Mina" ujar Bu guru, Mina melangkah ke bangku di deretan kedua dan duduk manis disana.

Tampilannya yang modis dan menarik membuatnya disukai kaum Adam.

"Baiklah, kita mulai pelajarannya ya anak-anak" ujar Bu Ratna memulai hari ini dengan membosankan. Apalagi jadwal pelajaran matematika hari ini hingga nanti saat istirahat baru berakhir.

Hari ini bisa dilalui Aruna dengan cukup baik. Setiap hari dia selalu membawa baju ganti karena sepulang sekolah pasti akan berbelok ke pasar untuk bekerja paruh waktu.

Langkah santainya sudah sampai di gerbang sekolah. Celana jeans yang sedikit robek di bagian depannya, dipadukan dengan kaos oblong dan jaket hodie yang menutup kepala. Kedua telinganya disumpal dengan headset hingga Ferdi harus menepuk pundaknya karena panggilannya sejak tadi tak Aruna indahkan.

"Run" sapa Ferdi yang membuat Aruna menoleh setelah pundaknya di tepuk.

"Mau langsung ke pasar?" tanya Ferdi.

"Iya" jawab Aruna singkat.

"Oke deh, gue duluan ya" pamit Ferdi yang kembali hanya mendapat decakan sebal dari Aruna.

Sepeninggal Ferdi Aruna kembali memasang headset di telinganya sambil melangkah menyebrang gerbang dan kembali membuat sebuah mobil harus mengerem agar tak menabraknya.

"Lo lagi, Lo lagi. Mau cari mati ya?" kesal Mina yang sudah dua kali hampir menabrak Aruna.

"Sudah, dia kan nggak sengaja" ujar cowok yang duduk di samping Mina dari balik kemudi.

"Sorry" lagi-lagi hanya itu yang Aruna katakan dan melangkah tanpa mau lagi menatap ke belakang.

Sampai di pasar, Aruna melangkah menuju sebuah ruko yang rupanya adalah toko bangunan.

"Siang bos" sapa Runa yang melenggang pergi memasuki ruko itu untuk menaruh tasnya.

"Sebentar lagi kiriman semen datang. Semuanya siap-siap ya" ujar Ko Acing, pemilik toko bangunan tempat Runa bekerja paruh waktu sejak kelas dua SMP dulu.

"Lo sudah makan apa belum, Run?" tanya Ko Acing, Aruna hanya menggeleng.

"Lo makan dulu cepetan. Kontainernya bakalan datang sejam lagi" ujar ko Acing yang selalu duduk di balik meja dengan kalkulator antiknya.

Sudah ada sebungkus nasi yang selalu tersedia untuk karyawan toko yang hanya ada lima orang.

Seperti biasa Aruna akan makan dengan sedikit tergesa. Duduk di emper toko, tempat aman yang sering dia gunakan untuk makan sore.

Lima belas menit setelah makan, sebuah kontainer memasuki parkiran ruko. Tugas berat Aruna dan kedua teman prianya untuk menurunkan separuh dari isi kontainer itu untuk di tata di dalam gudang.

Setelah menutup bagian punggungnya dengan kaos usang, Aruna berdiri bergantian dengan kedua temannya untuk menurunkan tumpukan semen.

Ya, sekeras itu hidup Aruna demi bisa membiayai diri sendiri. Tapi kerasnya hidup tak membuat pertumbuhannya terhambat karena tinggi badan Aruna di kelas sepuluh ini saja sudah 165cm. Cukup tinggi untuk seorang gadis.

Dan kulitnya tetap saja putih meski kusam karena tak terawat oleh skincare yang biasanya dipakai oleh remaja seusianya. Dan rambutnya tak pernah berganti model. Lurus sebahu dan tak bisa diikat.

Satu hari sudah Aruna lalui dengan cukup membosankan. Malam bahkan sudah akan pergi dan berganti fajar saat seseorang mengetuk pintu rumahnya dengan ucapan sumpah serapah.

"Bukain pintu, Run! Lo tidur apa mati sih?" cerca si pemilik suara seperti biasanya.

Aruna sudah hafal dengan kondisi itu. Tubuhnya seolah tersetting untuk selalu awas jika ibunya datang di waktu yang seperti ini.

Membuka pintu dengan wajah datarnya. Aruna sudah dihadiahi bogem mentah dari tangan ibunya dan tepat mengenai pipinya dan membuat bibirnya sedikit berdarah.

"Ah" Aruna hanya bisa menahan sakit dan melihat tampilan ibunya dengan baju minim bahan dan berbicara ngelantur.

"Ibu mabuk lagi?" tanya Aruna heran. Tidak kapok ibunya sudah beberapa kali muntah darah tapi tetap saja pulang dalam kondisi mabuk seperti ini.

"Diam lo anak bajingan tengik" jawab ibunya yang langsung tumbang.

Dan Aruna akan menyeret ibunya supaya tidur di kamar.

Tyo

Jadwal pelajaran sesudah istirahat adalah olahraga. Pelajaran yang sangat Aruna sukai. Bahkan gadis itu sudah stand by di lapangan karena pak guru bilang akan melakukan pelajaran praktek.

Belum ada seorangpun di lapangan karena semua siswa sedang sibuk dengan urusan kantin di jam istirahat.

Ada dua lapangan di sekolah ini. Lapangan indoor untuk olahraga seperti basket atau bulutangkis, dan lapangan outdoor untuk sepak bola atau tenis.

Kini Aruna ada di lapangan indoor. Tangannya sudah mendribel bola basket dengan baik meski masih sendirian.

Melihat sekitar, suasana masih sepi membuat Aruna berani membuka maskernya dan terlihatlah wajah lebam bekas pukulan ibunya semalam.

Berjalan ke sisi lapangan. Aruna sedang mengambil ancang-ancang untuk memantulkan bola ke dinding.

"Satu... Dua... Tiga..." rencananya Aruna akan melemparkan bola itu agar memantul ke wajahnya, sehingga dia bisa beralasan terkena lemparan bola saat orang bertanya perihal luka di wajahnya.

"Awas" kata seseorang yang mendorong Runa hingga keduanya selamat dari lemparan bola.

Aruna membuka mata saat seorang siswa masih memegang kedua bahunya dan berdiri dalam dekapannya. Sejenak mata mereka beradu pandang dan sesegera mungkin Aruna berpaling.

"Lo ngapain sih? Ganggu saja" kata Aruna yang gagal kali ini.

Sudah sejak SMP kebiasaan itu Aruna lakukan demi menjaga nama ibunya yang sudah buruk di masyarakat.

"Maksud Lo apa melakukan itu?" tanya siswa yang sudah melepaskan bahu Aruna dan mengamati wajah Aruna yang masih lebam.

"Bukan urusan Lo" jawab Aruna yang memang tak suka dengan orang baru dalam hidupnya. Temannya hanyalah Ferdi di sekolah ini. Bahkan Aruna tak pernah berteman dengan teman sekelasnya.

Kembali merebut bolanya, Aruna memilih untuk kembali bermain basket. Tapi siswa itu seolah ingin lebih mengenal Aruna yang sudah pergi ke tengah lapangan.

Sedikit tersenyum. Lantas siswa itu berlari juga ke tengah lapangan untuk merebut bola dari Aruna. Jadilah keduanya bermain basket satu lawan satu.

"Kak Tyo" teriakan itu membuyarkan fokus si cowok hingga Aruna bisa kembali merebut bolanya.

Setelah tersenyum kecil, cowok itu pergi ke sisi lapangan dan Aruna hanya melihat dalam diam saat Mina bersama dua kawannya datang memberikan minuman pada cowok yang Runa dengar bernama Tyo.

"Lagi apa sih?" tanya Mina yang sudah siap dengan baju olahraga.

"Pemanasan doang" kata Tyo setelah menutup kembali minuman isotonik yang tadi Mina berikan.

Kembali Tyo menatap permainan Aruna yang terlihat sangat baik. Penampilan sederhana dari seorang gadis remaja yang sedang sibuk mendribel bola dengan bandana di kepala agar poninya tidak mengganggu pandangan.

"Lihatnya begitu amat. Aku cemburu tahu" ujar Mina yang hanya disenyumi oleh Tyo.

Sementara bel masuk membuat Tyo harus pergi karena sudah bukan lagi jadwalnya untuk pelajaran olahraga.

"Lo tahu cewek berambut pendek yang jago basket itu nggak, Vin?" tanya Tyo pada teman sekelasnya, Davin yang merupakan anggota OSIS. Di sela pelajaran yang mereka lalui hanya dengan tugas saja.

"Cewek tomboy? Sebentar" kata Davin si play boy yang pasti ingat pada semua siswi di sekolahnya.

"Anak kelas IPS bukan?" tanya Davin menegaskan.

"Mana gue tahu" jawab Tyo.

"Tinggi putih tapi kucel, rambut sebahu terus nggak punya teman. Betul yang itu?" tanya Davin lagi.

"Mungkin iya" jawab Tyo yang ingat jika memang saat bertemu memang Aruna sedang sendirian.

"Itu mah Aruna" jawab Davin yang ingat karena Aruna yang sering bolos saat MOS.

"Kenapa tanya-tanya? Lo naksir sama dia?" tanya Davin.

"Biasa saja sih. Cuma tadi gue lihat dia sendirian di lapangan. Wajahnya lebam" ucap Tyo.

"Palingan abis berantem" kata Davin ngasal.

"Masak sih?" Tyo malah serius.

"Mana gue tahu, Lo tanya saja sendiri" kata Davin yang kembali sibuk dengan bukunya.

Tyo melempar bolpoin ke arah temannya itu. Dan hanya dibalas tertawa.

Jam pulang sudah kembali berdenting. Semua murid sudah ramai ingin segera pulang.

Kembali Aruna mengunjungi toilet sekolah untuk berganti pakaian dan berjalan santai menyusuri sekolahnya agar bisa sampai ke pintu gerbang.

Tyo yang sudah siap dengan mobilnya belum mau pergi saat melihat Aruna berjalan santai dengan penampilan berbeda.

Wajah tertunduk tanpa senyuman dengan kedua tangan masuk ke saku jaketnya. Topi usang mengamankan wajah Aruna dari sengatan cahaya matahari. Padahal niat Aruna memakai topi adalah untuk menutupi pandangan orang dari wajah lebamnya.

Entah mengapa Tyo seolah terhipnotis dan melihat saja langkah Aruna yang pergi menyeberang jalan. Sekarang dia malah membuntutinya.

"Gue anterin mau nggak?" tanya Ferdi yang sudah sejajar dengan Aruna.

"Nggak usah, dekat gini. Lo pulang saja" kata Aruna menolak.

"Okelah kalau begitu" ucap Ferdi lantas tancap gas.

Kembali Tyo fokus dengan Aruna yang terus melangkah entah kemana. Cukup pegal kaki Tyo mengikutinya hingga nampak Aruna memasuki sebuah toko bangunan.

"Mungkin usaha bokapnya" kata Tyo dari jarak cukup jauh.

Tapi kembali dia penasaran karena tak lama setelah itu Aruna terlihat makan nasi bungkus di teras toko itu.

"Balik deh. Ngapain juga gue disini" sesal Tyo yang aneh dengan sikapnya sendiri.

Kini cowok itu sudah kembali di parkiran, setelah siap mengendarai, malah tangannya berbelok ke arah yang salah seolah kemudi Tyo terbawa ke ruko tempat Aruna bekerja paruh waktu.

Memberhentikan mobilnya di seberang jalan, Tyo mendapati pemandangan Aruna yang sedang mengangkat semen ke sebuah mobil pick up. Lalu bersama seorang rekannya, nampak gadis itu menyetir mobil itu keluar dari halaman luas toko bangunan.

Kembali Tyo mengikuti mobil yang Aruna bawa hingga ke sebuah rumah tak jauh dari toko itu berada.

Bersama rekannya, Aruna nampak menurunkan semen sementara rekannya menurunkan pasir.

"Sebenarnya dia itu pemilik apa pekerja sih?" gumam Tyo yang merasa kasihan pada Aruna.

Biasanya Tyo akan pergi ke Gym saat ingin olahraga, sementara melihat Aruna berpeluh karena mengangkat semen membuat Tyo merasa aneh.

Malam sudah datang, pukul tujuh malam Aruna biasanya sudah boleh pulang.

"Gue pulang ya ko" pamit Aruna yang hanya diangguki oleh kokonya.

"Tunggu Run" kata si Koko.

"Apa?" tanya Aruna yang memang irit bicara.

"Nih buat Lo makan di rumah. Daripada beli" ucap ko Acing memberikan sebungkus mie ayam yang tadi sore dibelinya tapi tak dimakan.

"Makasih ko" jawab Aruna lantas berlalu pergi.

Kembali berjalan pelan menuju rumah kontrakannya, setengah jam berjalan barulah dia sampai di halaman rumah sederhana yang sudah dia tinggali hampir sepuluh tahun ini.

"Run, baru pulang?" tanya Budhe Marni tergesa.

"Iya. Kenapa budhe?" tanya Aruna.

"Sudah makan? Ayo masuk ke rumah budhe, makan dulu" ajak Marni sementara Aruna menelisik ke dalam rumah yang ternyata sedang ada tamu.

"Makasih budhe, tadi ko Acing ngasih ini buat Runa" jawab Aruna membuat Marni sedikit menghela nafas.

"Runa masuk dulu ya budhe" pamit Aruna kembali melangkah, memasuki belakang rumah Marni tempat Aruna tinggal.

Aruna membersihkan diri sebelum makan. Berganti pakaian dan kini duduk di meja ruang tamu sambil membawa buku pelajarannya.

Aruna memakan mie ayam yang sudah dingin itu sembari mengerjakan tugas sekolahnya.

Sebenarnya Aruna adalah gadis yang cerdas. Hanya saja kenangan pahit membuatnya merasa tak penting dengan nilai sekolah. Nyatanya usaha untuk mendapatkan nilai yang baik tak pernah mendapatkan apresiasi dari ibunya, membuat Aruna santai saja menghadapi sekolah. Yang penting ada nilai yang tidak sampai harus remidi.

Selesai dengan tugas dan makanannya, Aruna yang memang letih harus mengistirahatkan tubuh demi bisa kembali beraktivitas esok hari.

Beruntung ada ko Acing yang meski cerewet mau menerimanya bekerja paruh waktu demi bisa membayar kontrakan.

Hingga pagi menjelang, tak nampak batang hidung ibunya pulang. Membuat Aruna sedikit khawatir meski sudah sering kali ibunya seperti itu.

Pergi dan pulang sesuka hati tanpa pernah memperhatikan Aruna yang tumbuh tanpa kasih sayangnya.

Selentingan kabar yang selalu Aruna dengar bahwa ibunya adalah pekerja malam membuat Aruna minder untuk berteman.

Meski tak pernah di bully, mungkin karena Aruna yang tinggi dan sikapnya yang dingin, tapi jelas terlihat jika temannya akan berpikir ulang untuk mau berteman dengannya. Dan Aruna memahami itu semua.

foto usang

Di hari Minggu saat libur sekolah dan kerja, Aruna hanya ingin tahu kejelasan tentang jati dirinya.

Sudah sering Aruna bertanya perihal bapaknya pada sang ibu. Tapi selalu dijawab jika bapaknya sudah mati. Dan setelahnya pasti Aruna akan mendapat cacian dari mulut ibu yang katanya adalah ibu kandungnya itu.

Seiring bertambahnya usia, Aruna sudah lebih berani untuk kembali bertanya dimana kuburan bapaknya, dan sang ibu pasti semakin bertambah marah.

"Sebenarnya Aruna ini punya bapak apa tidak sih Bu?" Aruna memberanikan bertanya pada ibunya yang nampak segar karena sudah mandi sore ini.

Sang ibu menatap malas pada anak semata wayangnya itu. Sejenak wanita itu menghentikan aksi menyesap asap dari tembakau dalam gapitan jarinya sambil menurunkan senyum yang sejak tadi menghiasi bibirnya.

"Bapak Lo orang kaya. Tapi sial nasib Lo miskin" sepertinya sang ibu sedang mood diajak bicara.

Aruna menatap intens, sang ibu mengerti rasa penasaran itu.

Dengan ekor matanya, Aruna menatap pergerakan ibunya yang mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompetnya.

"Ini foto bapak Lo. Jangan tanya siapa dan dimana. Gue nggak mau jawab karena bapak Lo cuma seorang pecundang yang bersembunyi di ketiak emaknya" jawab Selly, terdengar getaran amarah yang tertahan sementara Aruna menerima selembar foto.

Terlihat seorang wanita menggamit manja pada lengan pria di sampingnya. Menyunggingkan senyum ceria dari keduanya yang ternyata itu adalah foto ibunya sendiri.

Aruna menatap foto itu lekat. Membedakan dengan kondisi ibunya yang sekarang.

Wanita dalam foto itu terlihat elegan dan berpendidikan dalam balutan blazer panjang, sementara ibunya sekarang nampak garang, bahkan pakaiannya hampir tel.anjang.

"Nggak usah menatap aneh begitu. Begini-begini juga selama ini gue yang ngasih Lo makan" lupa ibunya bahwa uang kontrakan adalah kewajiban Aruna sejak kelas dua SMP karena punya penghasilan dari kerja sampingan di toko Acing, sementara untuk makan dia sering kelaparan.

Entah kemana uang yang katanya ibunya cari setiap malam. Tapi memang Aruna lihat skincare milik ibunya sangat lengkap dan cukup mahal. Sementara dia sendiri tak pernah bersentuhan dengan yang namanya bedak. Cukup mandi dengan sabun yang penting bersih dan gosok gigi.

Dering telepon milik ibunya membuat Aruna tak jadi bertanya. Sang ibu nampak tertawa nakal dengan suara genit untuk bercakap dengan gawainya yang bagus.

Aruna mendesah, membiarkan saja kelakuan ibunya karena memang terlalu takut untuk mencegahnya. Dan membiarkan ketika ibunya pergi setelah menutup panggilan teleponnya.

"Pria bodoh mana yang tega menelantarkan anak gadisnya?" batin Aruna lekat menatap foto di tangannya.

"Itu adalah bapakku" jawabnya lagi dengan senyum perih.

Mengingat selama ini dia hidup tapi seperti sudah mati rasa. Beruntung masih ada Mirna dan Burhan yang dengan senang hati sesekali memberinya makan saat ketahuan sedang menahan lapar.

Aruna paham jika Burhan yang sudah sakit-sakitan tak bisa memberi banyak kebahagiaan untuk istrinya, bahkan mereka belum dikaruniai anak meski sudah sangat lama menikah.

Jadilah Aruna sebagai pelampiasan kasih sayang saat menginginkan menjadi orang tua. Bahkan Mirna lah yang selalu datang ke sekolah Aruna sebagai wali murid untuk menggantikan posisi sang ibu yang tak pernah mau tahu pada keadaan anaknya.

Ibunya selalu menghindar saat ada obrolan mengenai keluarga. Asal usul mereka dan bagaimana Aruna bisa terlahir di dunia.

Baru kali ini ibunya mau sedikit memberi klue di kehidupan Aruna yang tak tentu arah. Tapi masih meninggalkan seribu pertanyaan yang tak sanggup Aruna pikir sendiri. Jadilah Aruna hanya bisa menyimpan foto usang dari dompet ibunya ke dalam dompetnya sendiri.

......................

Kembali ke rutinitas semula. Senin saat upacara membuat sebagian besar murid merasa sangat malas untuk berdiri berlama-lama di lapangan sekolah.

Begitupun Aruna yang sejak pagi sudah merasa tidak enak badan. Ditambah tak pernah sarapan membuatnya semakin pusing saat sinar matahari membuatnya harus tumbang dan pingsan.

Dengan cekatan para petugas PMR membawanya dalam tandu untuk dibawa ke UKS.

Perjalanannya melewati barisan murid membuat beberapa dari mereka merasa penasaran tentang siapa yang pingsan.

"Itu kan Aruna?" dalam hati Tyo memperhatikan para petugas yang membawa Aruna dalam tandunya.

Melewati barisan paling belakang, dan Tyo tengah berdiri di sana. Murid yang bertubuh tinggi pasti selalu berdiri di barisan paling belakang saat upacara.

Tapi tak ada yang bisa dia lakukan karena memang masih jam upacara. Tyo bertekad untuk menyambangi gadis itu nanti selepas upacara.

"Hai, Lo sudah baikan?" tanya Tyo yang tanpa sadar sudah berada di dalam UKS dan mendapati Aruna sedang tiduran, terpejam meski tak tidur.

Mendengar sebuah suara asing membuat Aruna membuka mata dan mendapati seseorang yang beberapa hari yang lalu sempat dia temui sedang berdiri di samping ranjangnya.

"Mau apa?" tanya Aruna yang sudah berposisi duduk diatas ranjang.

"Nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau ngasih Lo ini doang" kata Tyo menyerahkan sebuah kantong kresek pada Aruna lantas pergi meninggalkannya.

Menelisik isi didalamnya, rupanya ada sebungkus roti, beberapa camilan, susu dan air mineral.

"Aneh banget" ucap Aruna tapi tangannya terulur membuka kemasan roti untuk segera dia santap, Aruna memang sedang kelaparan.

Bisik-bisik mulai terdengar saat Aruna sedang memakan rotinya.

"Kak Tyo ngapain kesini?" tanya seorang petugas PMR yang baru masuk UKS pada rekannya.

"Nggak tahu, barusan datang terus langsung pergi" jawab rekannya yang tahu ada orang lain yang sedang mencuri dengar.

"Hadeh, ketinggalan dong gue. Kapan lagi UKS disambangi cowok seganteng kak Tyo" keluh petugas PMR tadi.

Aruna hanya diam, tak tahu juga kalau Tyo adalah cowok populer di sekolahnya. Dia tak pernah mengurusi hal semacam itu.

Hingga rotinya kandas dan kondisinya sudah semakin membaik, Aruna ijin pada petugas jaga untuk kembali ke kelasnya saja.

......................

Tak seperti di SMP, rupanya banyak murid yang menghabiskan waktu istirahatnya untuk menyambangi lapangan sekolah.

Aruna jadi putar badan karena tak suka saat melihat lapangan sedikit penuh dengan para murid yang juga ingin bermain dengan bola basket.

Tapi pantulan bola yang menuju ke arahnya membuat Aruna tak jadi melangkah karena menangkap bola itu dan terlihat beberapa murid yang bersiap di posisi seperti musuh.

Aruna suka kondisi seperti ini. Diapun mendribel bola ke tengah lapangan dengan gaya lincah.

Sesekali berputar saat seseorang ingin mencuri bolanya. Kadang melompat, kadang menunduk saat tiba-tiba ada serangan datang.

Dan saat dirasa cukup dekat dengan ring, gaya bebasnya membuat Aruna melompat dan membidik ring hingga bola itu masuk dengan sempurna dan membuat beberapa murid bertepuk tangan.

"Perfect" kata sebuah suara dari belakang badannya yang ternyata adalah Tyo.

"Lo jago juga main basket" ujarnya sementara Aruna yang tersadar kembali bersikap biasa dan bersiap pergi saja dari lapangan tapi Tyo malah mensejajari langkahnya.

"Kak Tyo" sapa sebuah suara yang Aruna kenal adalah Mina dengan dua gadis disampingnya.

"Minum buat kamu" ujarnya lembut.

Kali ini Tyo membiarkan Aruna benar-benar pergi.

Langkah Aruna kembali ke ruang kelasnya dan duduk di kursi paling belakang. Membuka tasnya dan memakan Snack yang tadi Tyo berikan padanya saat di UKS.

Tak mau ambil pusing, Aruna tak berniat ingin tahu alasan tentang kebaikan Tyo kepadanya. Pasti sama seperti sebelum-sebelumnya bahwa mereka tak tega melihat Aruna yang seperti kekurangan gizi.

Tapi sepanjang pelajaran setelah istirahat kali ini nampak Mina yang sering menoleh kebelakang hanya untuk melihat Aruna dengan pandangan sinis.

Hingga pulang sekolah, Aruna yang memang tak biasa bertegur sapa langsung saja ke toilet untuk berganti baju dan bersiap ke toko Acing.

Alasan Aruna tak berganti baju di toko karena ingin lebih efisien waktu. Jadi saat datang di toko bisa langsung mengambil jatah makan siang karena perutnya memang sudah lapar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!