Karya by author:medusa
selamat membaca😇🙏
...🔥🔥🔥🔥...
Ciiitttt!
...Malam menusuk tulang, udara dingin menggigit kulit. Di tengah deru roda mobil yang saling susul di atas aspal basah, semburan asap hitam pekat mengepul, mengaburkan pandangan. Di balik kemudi mobil sport merah menyala yang ringsek, seorang wanita dengan luka menganga berjuang keras. Peluru demi peluru mendesing dari arah belakang, mengancam setiap geraknya dalam upaya meloloskan diri....
"Aku pasti bisa," gumam Silvia Aurelia, suaranya serak namun sarat keyakinan. Meskipun rasa sakit menusuk dan bahaya mengintai di setiap sudut, tekadnya membara, menolak untuk menyerah.
...Silvia Aurelia, dengan paras memukau layaknya dewi Yunani, memiliki tatapan mata biru laut yang tajam dan wajah tirus yang elegan. Postur tubuhnya yang tinggi semampai dan lekuk tubuhnya yang indah mampu memukau mata siapa saja yang melihatnya....
...Silvia Aurelia menjadi buruan, nyawanya terancam karena tuduhan keji: membunuh suaminya sendiri. Bukan hanya suami biasa, melainkan pewaris keluarga konglomerat terpandang dan putra dari seorang ketua mafia yang disegani....
Dor!
Dor!
Dor!
...Raungan frustrasi dan ketakutan lolos dari bibir Silvia, "Aaarrrgggg!" Dengan gerakan kasar dan penuh amarah, ia membanting setir, memaksa mobil sport merahnya berdecit saat berbelok tajam memasuki jalur jalan tol....
...Raungan mesin mobil Silvia yang memekakkan telinga memecah ketenangan malam di jalan tol. Di belakangnya, suara deru mobil pengejar semakin mendekat. Dengan kecepatan gila, Silvia memacu kendaraannya, memaksa mobil-mobil dari arah berlawanan mengerem mendadak dan membanting setir ke tepi jalan, menghindari tabrakan maut dengan selisih sentimeter. Lampu rem berkedip panik, dan klakson saling bersahutan, menciptakan pemandangan kekacauan yang mengerikan....
"Tuan! Dia semakin jauh, tidak ada tanda-tanda akan menyerah!" lapor anak buah itu dengan nada tergesa-gesa melalui ponsel kepada pria di mobil pengejar.
"Siapkan RPG. Lenyapkan mobil itu," perintah pria itu dengan tatapan sedingin es, matanya tak lepas dari buruan di kejauhan.
"Siap, Tuan," jawab anak buah itu sigap, tangannya bergerak cepat meraih peluncur RPG dari kursi belakang.
...Anak buah itu menyembulkan kepalanya keluar jendela mobil yang melaju kencang, angin menerpa wajahnya. Dengan mantap, ia menempatkan tabung RPG di bahunya, membidikkan lurus ke arah buruan yang semakin jauh. Setelah memastikan target terkunci dalam bidikan, jarinya tanpa ragu menekan pelatuk....
Swos.
...Rudal RPG meluncur deras, meninggalkan jejak asap putih di udara malam yang gelap. Silvia, yang melihatnya terpantul jelas di kaca spion, memekik tertahan. Matanya membulat sempurna, menyaksikan kematian datang mendekat. Tanpa berpikir panjang, ia membanting setir ke kiri, memaksa mobilnya melompat ke atas jalur rel kereta api yang tampak sunyi dan gelap. Besi beradu dengan ban mobil dengan suara gerincing yang mengerikan, dan... mobilnya terlonjak-lonjak tak terkendali di atas rel yang keras....
Gudubrakk!
...Belum sempat mobil Silvia stabil di atas rel, sebuah lokomotif kereta api muncul dari kegelapan, meraung bagai binatang buas yang marah. Dalam sepersekian detik yang mengerikan, benturan dahsyat tak terhindarkan. Baja beradu dengan baja, menghasilkan suara gerincingan logam yang memekakkan telinga, diikuti oleh ledakan keras dan deritan mengerikan saat mobil sport Silvia remuk di bawah gerbong kereta yang melaju tanpa ampun. Mobil merah itu, beserta Silvia di dalamnya, terseret tanpa daya di sepanjang rel, hancur berkeping-keping dalam tabrakan yang mengerikan....
"Ugh... tidak... aku tidak akan mati seperti ini," desis Silvia dengan suara tercekat, rasa sakit luar biasa menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya yang sayu memancarkan bara kemarahan yang membakar."Kalian akan membayar untuk ini... kalian semua..." Lirihnya bergetar, tangannya gemetar mengusap perutnya yang masih datar, seolah melindungi sesuatu yang belum terwujud.
...Beberapa saat berlalu, napas Silvia semakin lemah dan terputus-putus. Matanya perlahan terpejam, seolah menyerah pada rasa sakit yang tak tertahankan. Dengan sisa kekuatan terakhir, tangannya yang berlumuran darah bergerak perlahan, menyentuh perutnya yang masih rata dengan sentuhan lembut dan penuh harapan yang tak terucapkan. Kemudian, hening menyelimutinya, napas terakhirnya menguap bagai bisikan di tengah reruntuhan....
...🔥🔥🔥🔥...
...(Di sisi lain)...
...Kemewahan mansion itu terasa menyesakkan. Di atas lantai marmer yang dingin dan berkilauan, kontras dengan sekitarnya, terbaring seorang wanita dengan tubuh tinggal tulang. Pakaian lusuh yang dikenakannya semakin menonjolkan betapa rapuhnya ia. Setiap tarikan napasnya disertai erangan kesakitan yang lirih, bukti bisu dari racun keji yang menggerogoti tubuhnya atas ulah gundik suaminya....
"Aaarrgggg! Tolong aku! Sakit sekali!" raung Silviana Amores, suaranya pecah oleh gelombang rasa sakit yang menghantam tubuhnya.
...Air mata mengalir deras di wajahnya yang pucat saat ia merentangkan tangan lemahnya ke arah pintu kamar, satu-satunya harapan yang tersisa dalam keputusasaan....
...Jeritannya menggema tanpa jawaban, memantul kembali dari dinding-dinding mewah yang kini terasa seperti penjara baginya. Kesunyian yang dingin menjadi satu-satunya respons atas permohonannya. Tak lama kemudian, cairan merah pekat mulai mengalir dari sudut bibirnya, semakin deras membasahi lantai. Pandangan Silviana berangsur-angsur kabur, dunia di sekitarnya memudar seiring dengan harapan yang telah lama sirna. Ia sendirian, ditinggalkan dalam penderitaan yang tak tertahankan....
"Jika ini saatnya... batin Silviana dengan sisa kesadarannya yang menipis. Rasa sakit yang menusuk tak sebanding dengan kepedihan pengkhianatan. Seseorang... kumohon... jangan biarkan ini sia-sia. Balaskan dendamku."Dengan beban harapan terakhir dan dendam yang tak tersampaikan, kelopak matanya perlahan menutup, merenggut sisa cahayanya.
Tak.
Tak.
Tak.
...Detik demi detik jarum jam dinding menusuk keheningan kamar Silviana yang dingin dan gelap. Tubuhnya membeku, kaku seperti patung. Namun, di tengah kebisuan maut itu, sebuah kejanggalan terjadi. Jari-jari tangannya, yang tadi membujur kaku, mulai bergerak perlahan, tersentak-sentak seperti ada kehidupan yang kembali merayap masuk....
"Ugh..." lirih Silviana, suaranya serak dan lemah seperti bisikan yang hampir hilang. Jari-jarinya bergerak perlahan, tersentak-sentak seolah baru bangun dari tidur yang sangat panjang dan menyakitkan. Ada kerutan samar di dahinya, tanda kebingungan atau sisa rasa sakit yang masih mencengkeram.
...Kedua mata Silviana perlahan terbuka dan menatap lurus ke arah atap mansion.......
"Dimana ini? Bukannya tadi aku sudah meninggal?"
...Pikir Silvia yang telah merasuki tubuh Silviana bergumam seorang diri dalam kebingunan.......
Ceklekkk.
...Pintu kamar Silviana dibuka. Terlihat seorang Wanita bertubuh sintal memakai pakaian sexi berjalan masuk dan diikuti seorang seorang Pelayan dari belakangnya, mereka berdua terus melangkah masuk ke dalam kamar. Dan berdiri di samping Silviana yang tenga terbaring lemas diatas lantai.......
"Apa, dia sudah mati?" tanya wanita itu menatap dingin ke arah Pelayan yang tenga berdiri di sampingnya.
"Sepertinya begitu Nyonya, biar ku cek," jawab Pelayan itu perlahan berjongkok di samping Silviana, lalu mengulurkan tangannya ke arah hidung Silviana.
Graapppp.
...Tangan Pelayan itu tiba-tiba diraih oleh Silviana hingga membuatnya terkejut dan berteriak ketakutan.......
"Aaarrgggg! Hantu!"
...Silviana bangkit dari atas lantai, dan duduk sambil meremas kuat pergelangan tangan Pelayan itu, lalu menoleh ke arahnya dan wanita itu dengan tatapan dingin dan tajam secara bergantian.......
"Apa, aku terlihat seperti hantu?" tanya Silvia.
"Aaarrgggg! Lepaskan!" jerit Pelayan itu lagi mengibas tangan Silvia, lalu bergegas bangkit dan berlari ke arah Wanita tadi, dan bersembunyi dibelakang nya dengan takut.
"Ternyata kamu belum mati, hebat juga kamu," puji Wanita itu sambil melipat kedua tangan nya di dada menatap Silviana dengan sinis.
"Hahahaha... Sepertinya aku membuatmu sedikit kecewa," ujar Silvia tertawa dingin, lalu bangkit dari atas lantai mengusap kasar bekas noda darah yang ada di sudut bibirnya.
...Lalu Silvia melirik sejenak ke arah Wanita dan Pelayan nya itu, dan Silvia bisa menebak, kalau mereka berdua sangat membenci pemilik tubuh yang saat ini ia masuki.......
"Ini semakin seru," ucap Wanita itu seolah menantang Silvia.
"Baguslah, karna aku akan menemanimu bermain," balas Silvia tersenyum sinis menatap wanita itu.
"Sebaiknya jangan cepat mati Silviana, karna itu akan sangat membosankan."
"Tentu saja."
"Ayo kita pergi," ajak Wanita itu berbalik dan berjalan pergi.
...Pelayan itu pun segera berlari kecil mengikuti Wanita itu dari belakan, pikirannya semakin kacau memikirkan bagaimana Silviana bisa selamat dan terlihat seperti tidak terjadi apa-apa, setelah diberi racun mematikan olehnya.......
"Aneh," gumam Pelayan itu sesekali menoleh ke arah pintu kamar Silviana.
...Di dalam kamar, setelah mereka berdua pergi. Silviana alias Silvia mengulurkan tangannya menyalahkan saklar lampu kamar, kemudian berjalan ke arah cermin.......
"Aaaarrrggg! Siapa ini?" Silvia berteriak histeris menatap pantulan dirinya di depan cermin.
...Silvia sangat syok melihat tubuh Silviana. Wajahnya kusam penuh jerawat. Rambut coklat keemasan tak terawat, dan tubuh kurus kering terdapat banyak panu di sekujur tubuh Silviana.......
"Sebaiknya aku mati saja, ini lebih mengerikan daripada kematian," kelu Silva berpaling dari cermin menatap sekitar kamar.
...Silvia semakin geram melihat isi kamar Silviana, bagaimana tidak? Kamar Silviana sangat kotor dan tidak terurus, membuat jiwa anti kotor milik Silvia meronta-ronta.......
"Oh... tuhan... Apa aku harus berterima kasih karna telah memberikan kesempatan kedua, atau menyesal? Ini tidak sesuai keinginanku."
Duarr!
...Suara petir menyambar dengan keras, membuat Silvia seketika takut sambil menutup kedua telinga nya....
"Iya maafkan aku tuhan, aku akan membereskan semuanya, maaf!" jerit Silvia menunduk takut.
...Akhirnya Silvia menyerah dan mulai membersihkan kamar milik Silviana yang kotor hingga bersih, lalu ia pun berjalan dengan lemas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri, dan lagi-lagi, dia dibuat marah setelah melihat isi kamar mandi.......
"Yah ampun Silviana! Apa di dunia ini kamu hidup seperti mayat hidup? Kenapa cuman ada sabun batang dan shampo sachet di kamar mandi ini!" teriak Silvia frustasi mengema di dalam kamar mandi.
...Silvia sudah terbiasa mandi memakai sabun cair yang harga nya sangat fantastis dan beberapa wewangian, namun kini ia merasa sangat frustasi harus mandi memakai sabun batang yang harga nya murah meriah tanpa wewangian apapun....
"Awas kalian, aku akan membuat kalian menyesal," gerutu Silvia berusaha mandi dengan apa ada nya saat ini.
...Beberapa saat kemudian, Silvia pun selesai mandi, lalu menganti pakaiannya, ia sangat lelah dan memilih tidur agar besok pagi tubuh nya bisa fresh kembali....
(Bersambung)
"Jangan lupa tinggalkan like,komen dan vote. Jika ada poin lebih, boleh dong traktir thor kopi dan bunga🤭"
"Jangan lupa di share juga kepada yang lain, dan bantu thor ramaikan karya ini, terima kasih🙏"
Bye....
...Tengah malam. Tidur lelap Silvia tiba-tiba terganggu. Ia terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah taman luas. Bunga-bunga bermekaran di mana-mana, menyuguhkan pemandangan yang tak terduga....
Dengan kaget, Silvia terduduk. "Ya Tuhan... Sekarang aku di mana?" gumamnya, pandangannya menyapu setiap sudut taman yang luas itu.
"Hai," sebuah suara lembut menyapa dari samping Silvia, memecah keheningan taman malam itu.
Silvia segera menoleh ke arah suara itu. "Siapa kau?" tanyanya dengan nada sedikit terkejut bercampur curiga.
Wanita itu mengulas senyum lembut sembari duduk di samping Silvia. "Aku adalah kembaranmu, Silvia," ucapnya dengan nada haru. "Bertahun-tahun aku menabung setiap sen dan mencarimu tanpa lelah. Namun, tak pernah kubayangkan pertemuan kita akan terjadi dalam situasi yang tak terduga seperti ini."
...Kebingungan Silvia semakin menjadi-jadi. Matanya tak lepas dari wajah wanita di sampingnya. Bukankah ia selama ini tahu bahwa dirinya adalah putri tunggal dari keluarga terpandang di negara A? Melihat ekspresi blank Silvia, wanita itu menarik napas dalam, bersiap mengurai benang kusut masa lalu....
"Pasti banyak pertanyaan di benakmu sekarang," ujar Silviana, menatap Silvia dengan penuh pengertian. "Semuanya sudah kutuliskan dalam diary yang ada di lemari. Percayalah, setelah membacanya, kamu akan mengerti."
...Silviana menghela napas berat, sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Langkahnya terasa berat untuk diayunkan, sebab pertemuan ini adalah yang pertama baginya dengan sang adik tercinta setelah terpisah sejak masa kanak-kanak....
"Hei! Tunggu!" seru Silvia, bergegas bangkit dari tempat duduknya dan berlari untuk meraih lengan Silviana.
"Ada apa, Silvia?" tanya Silviana, sembari menoleh ke arah adiknya.
"Bisakah kamu jelaskan semuanya? Jangan membuatku penasaran," desak Silvia.
"Kamu akan tahu setelah membaca buku harian itu, adikku." Silviana melepaskan genggaman tangan Silvia, lalu mengulurkan tangannya menyentuh lembut salah satu pipi adiknya. "Kamu sangat cantik, persis seperti ibu kita," lanjut Silviana dengan mata berkaca-kaca memuji Silvia.
...Air mata yang sejak tadi ditahan Silviana akhirnya luruh, membasahi kedua pipinya. Dengan berat hati, ia menarik tangannya dari pipi Silvia, lalu berbalik melangkah menuju cahaya putih yang samar di kejauhan....
"Hei! Kamu mau ke mana? Tunggu!" seru Silvia, berusaha mengejar langkah kakaknya.
...Namun, Silviana tak sedikit pun menoleh, terus berjalan hingga sosoknya menghilang dalam rengkuhan cahaya putih....
"Tidak! Jangan pergi! Tunggu!" pekik Silvia, tiba-tiba terbangun dengan jantung berdebar kencang dan napas terputus-putus.
...Peluh dingin membasahi sekujur tubuh Silvia. Napasnya masih memburu kasar saat ia berusaha mengingat kembali detail mimpinya yang terasa begitu nyata. Perlahan, ia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri sejenak. Pandangannya kemudian tertuju pada jam dinding kamarnya, yang ternyata telah menunjukkan pukul 06:00 pagi....
"Apakah semua itu nyata? Di mana buku harian itu?" gumam Silvia dengan nada bertanya.
...Silvia bergegas bangkit dari ranjang, kemudian melangkah menuju lemari kayu tua dan membukanya lebar-lebar....
...Dengan tergesa, Silvia mulai menggeledah isi lemari milik Silviana. Tangannya menyentuh sebuah benda keras di bawah tumpukan pakaian—sebuah kunci....
"Tidak salah lagi," gumam Silvia yakin, "ini pasti kunci lemari penyimpanan buku harian itu."
...Dengan tergesa, Silvia mencoba memasukkan kunci itu ke setiap laci lemari kayu tua tersebut. Namun, tidak satu pun yang berhasil terbuka. Akhirnya, kunci itu terasa pas dan berputar mulus di laci paling bawah yang tersembunyi di dalam lemari besar itu....
Srek.
...Silvia menarik pelan laci itu dengan tangan gemetar. Tiba-tiba, gelombang perasaan sedih bercampur kebingungan menyeruak dan menyelimuti dirinya....
"Jika benar Silviana adalah kakak kandung sekaligus kembaranku, aku tidak akan pernah memaafkan mereka semua," ucap Silvia dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Deg!
...Jantung Silvia berdebar keras saat kedua mata biru lautnya terpaku pada sebuah buku harian berukuran besar di dalam laci itu. Ini berarti apa yang dialaminya dalam mimpi bukanlah ilusi. Perlahan, Silvia mengulurkan tangan meraih buku itu, membukanya, dan mulai membaca isinya....
"Hai Silvia, ini aku, Silviana, kakakmu. Pasti aneh ya, baru sekarang kita bertemu? Tapi tenang, Kakak akan jelaskan semuanya."
"Salam kenal, Kak..." bisik Silvia dengan air mata mengalir, menciumi diary itu penuh haru, lalu berjalan pelan ke ranjang dan duduk di sisinya.
"Lihat foto ini. Kita masih sekitar satu tahun. Kita bermain riang di taman, tapi tiba-tiba semuanya berubah. Kekacauan terjadi, dan kamu hilang. Papa dan Mama tak pernah menyerah mencarimu, berkeliling dunia hingga perusahaan kita hancur. Setelah Mama meninggal, Papa tak kuat lagi, ia memilih untuk pergi menyusul Mama."
"Apa?" bisik Silvia terkejut.
...Dengan cepat, Silvia meraih foto masa kecilnya bersama Silviana dan menatapnya lekat-lekat. Ternyata benar, mereka adalah saudara kembar. Ia ingat memiliki foto serupa di dalam bingkainya. Namun, saat dewasa, rambutnya diwarnai menjadi cokelat tua atas permintaan ibunya yang merasa warna aslinya kurang menarik....
"Silviana... Kakak..." lirih Silvia, tangisnya pecah menjadi isakan yang menyayat hati. Kemudian, ia melanjutkan membaca.
"Lalu, suatu hari, Kakak terpaksa menikah dengan seorang pria bernama Leon Amores. Dia kaya raya, tapi hatinya sudah dimiliki wanita lain, Tamara, cinta pertamanya. Hidup Kakak bagai neraka, tapi Kakak bertahan demi kamu, Dik. Kakak juga tak punya pilihan, keluarga Leon berutang budi pada Kakek."
Deg!
...Dada Silvia terasa sesak membaca lembar pertama diary itu. Namun, belum selesai keterkejutannya, tiba-tiba......
Brak!
...Suara keras pintu kamar Silviana yang didobrak membuat Silvia, yang sedang terisak, tersentak dan menoleh....
"Lihatlah... si Nyonya Besar sudah bangun rupanya, tapi kerjanya cuma bengong," cibir pelayan yang semalam, menatap Silvia (alias Silviana) dengan tatapan merendahkan.
...Silvia membanting buku diary itu ke ranjang dengan marah. Ia berdiri tegak dan menghampiri pelayan itu dengan langkah cepat....
"Kau tahu siapa aku di sini! Berani-beraninya kau merendahkanku?" sentak Silvia dengan mata berkilat marah.
"Tch! Cepat pakai baju hina ini." Pelayan itu melemparkan seragam pelayan ke wajah Silvia dengan kasar. "Pakai dan enyah ke dapur sekarang!" bentaknya.
Plak!
...Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri pelayan itu, membuatnya terperanjat dan menatap Silvia dengan mata terbelalak....
"Kau berani menamparku?!" bentak pelayan itu dengan nada penuh amarah.
Grap.
...Silvia dengan kasar mencengkeram rambut pelayan itu dan menariknya mendekat, lalu berbisik tajam di telinganya......
"Aku bahkan berani merobek habis mulutmu, jika lain kali kau berani bertingkah seolah-olah kau adalah nyonya di mansion ini, paham?" bisik Silvia dengan nada mengancam.
...Pelayan malang itu mengangguk ketakutan, kedua matanya membulat sempurna menatap tatapan Silvia yang penuh amarah, seolah ingin membunuhnya....
Swos.
...Silvia menghempaskan rambut pelayan itu dengan kasar, lalu menatapnya dengan dingin dan penuh peringatan....
"Cepat pergi dari sini. Melihat wajahmu membuat perutku mual," usir Silvia dengan nada jijik.
...Pelayan itu mengangguk cepat-cepat, lalu berlari kecil meninggalkan kamar tersebut. Setelah sosok pelayan menjengkelkan itu menghilang dari pandangannya, Silvia menghela napas berat....
"Huf... kira-kira ada sedikit uang di laci itu? Aku harus segera pergi menemui dokter," gumam Silvia dengan cemas.
...Silvia kembali menghampiri lemari dan membuka laci yang tadi. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kartu rekening berwarna hitam beserta nomor pin yang terselip di dalam amplop, seolah memang dipersiapkan untuknya....
"Maafkan aku, Kak. Aku membutuhkannya," ucap Silvia sambil menatap langit-langit mansion dengan kedua tangannya tertaut.
...Kemudian, Silvia bergegas mandi, lalu keluar dari kamar yang terletak di lantai dua. Ia menuruni anak tangga menuju ruang tengah sambil mengutak-atik ponsel Silviana....
...Leon dan Tamara tengah menikmati sarapan di meja makan. Silvia sama sekali tidak menggubris mereka, terus melangkah menuju pintu mansion. Ia kemudian naik ke taksi daring yang telah menunggunya dan pergi menjauhi rumah besar itu....
(Bersambung)
...Sebelum menemui dokter, Silvia memutuskan untuk pergi ke bank terlebih dahulu guna memeriksa jumlah uang yang tersimpan di rekening kakaknya....
"Nyonya Amores, total dana yang ada di rekening Anda berjumlah 5 miliar," ucap staf bank setelah memeriksa kartu rekening tersebut.
"5 miliar?"
...Silvia ternganga dengan tatapan tak percaya mendengar ucapan staf bank. Ini berarti selama ini kakaknya hidup hemat demi bisa menemukannya kembali....
"Terima kasih, Mbak. Saya permisi dulu."
"Sama-sama, Nyonya."
...Silvia bergegas meninggalkan bank dengan perasaan bahagia bercampur haru. Ia tak menyangka kakaknya rela hidup sederhana demi bisa menemukannya....
Terima kasih, Kak. Aku tidak akan menyia-nyiakan pengorbananmu, batin Silvia sambil tersenyum getir, lalu kembali menaiki taksi daring yang tadi.
...Taksi itu pun melaju meninggalkan bank menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, Silvia membayar ongkos taksi, lalu berjalan memasuki pintu utama rumah sakit menuju ruang dokter spesialis yang telah ia hubungi menggunakan nama dan ponsel kakaknya....
"Selamat datang, Nyonya Amores," sapa dokter sambil menatap ke arah pintu ruangan yang baru saja terbuka.
...Silvia hanya membalas sapaan dokter itu dengan senyum kecut dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Dalam hatinya, ia merasa sangat tidak suka mendengar nama belakang suami kakaknya itu....
"Silakan duduk, Nyonya."
"Terima kasih."
"Ada keperluan apa Nyonya menghubungi saya?" tanya dokter sambil menatap wajah Silvia yang kini terlihat sangat pucat.
"Saya ingin memeriksakan paru-paru saya, Dok. Kemarin, saya tidak sengaja salah makan dan muntah darah," jawab Silvia berbohong.
"Pantas saja Nyonya terlihat sangat pucat," gumam dokter sambil bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Silvia.
"Silakan ikuti saya, Nyonya," ajak dokter sambil berjalan menuju pintu ruangan.
...Silvia mengangguk kecil dan berdiri. Kemudian, ia berjalan mengikuti dokter dari belakang. Mereka berdua menyusuri lorong rumah sakit menuju sebuah ruangan dan masuk ke dalamnya. Ruangan itu tampak dilengkapi dengan berbagai peralatan medis....
...Silvia diminta untuk mengganti pakaiannya dengan baju pasien, lalu berbaring di atas ranjang pemeriksaan. Tak lama kemudian, beberapa perawat berpakaian medis putih mendekati Silvia. Sebelum pemeriksaan dimulai, Silvia diberikan anestesi, dan para medis pun memulai tugas mereka....
...(2 jam kemudian)...
...Silvia tersadar dari pengaruh obat bius, perlahan membuka kedua matanya dan menatap langit-langit rumah sakit....
"Nyonya, Anda sudah sadar?" tegur dokter yang tadi berdiri di samping ranjang Silvia.
"Nak, kamu tidak apa-apa, kan?" tanya seorang pria paruh baya berwajah tampan bagai dewa Yunani, berdiri di samping dokter sambil menatap Silvia dengan wajah cemas.
"Ugh... Anda siapa?" tanya Silvia dengan bingung sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri.
"Saya adalah ayah mertuamu, Nak," jawab pria paruh baya itu dengan penuh perhatian.
"Maafkan saya, Tuan Antonio, sepertinya Nyonya muda belum sepenuhnya sadar dari pengaruh obat bius," ucap dokter sambil kembali memeriksa kondisi Silvia.
"Tidak mengapa. Yang terpenting bagiku saat ini adalah menantuku baik-baik saja," ujar Antonio sambil tersenyum lega.
Oh... jadi ini ayah mertua Kakak. Pasti hanya beliau yang tulus menerima Kakak, batin Silvia menebak, mengamati seisi ruangan yang hanya ada dokter dan ayah mertuanya.
"Maafkan saya, Ayah mertua. Saya jadi merepotkan Anda," ucap Silvia sambil tersenyum hambar dan menoleh ke arah Antonio.
"Tidak masalah, Nak. Lagipula, saya sudah berjanji kepada mendiang ayah dan kakekmu bahwa saya akan selalu menjagamu," ujar Antonio sambil mengusap lembut kepala Silvia dengan penuh perhatian.
"Emmm... Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Silvia sambil melirik ke arah dokter.
...Dokter yang sejak tadi tampak melamun memperhatikan kelembutan Tuan Antonio memperlakukan Silvia, seketika tersadar dari lamunannya....
"Ah, semuanya baik-baik saja setelah sisa racun itu berhasil kami keluarkan dari lambung Anda, Nyonya," jawab dokter sambil tersenyum canggung.
"Racun?" tanya Antonio sambil melirik ke arah dokter dan Silvia secara bergantian dengan tatapan bingung.
"Ah, itu... Anu... Ayah mertua tidak perlu khawatir. Kemarin, saya keracunan makanan, jadi hanya ingin memastikan saja," elak Silvia sambil berusaha menampilkan senyum semanis mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Bagaimana bisa menantuku keracunan makanan di dalam mansion suaminya sendiri? Ini tidak bisa dibiarkan. Saya harus bertanya kepada para pelayan di sana," ucap Antonio dengan nada emosi yang mulai meninggi.
"Ayah mertua tenanglah. Saya hanya salah makan," bujuk Silvia, berusaha meredakan emosi Antonio.
...Melihat usaha Silvia, Tuan Antonio mencoba menenangkan diri sambil menghela napas berat, lalu menatapnya....
"Lain kali, kamu harus melaporkan semuanya kepadaku. Jangan diam saja, Nak. Aku bukan hanya ayah mertuamu, tapi juga ayahmu," timpal Antonio dengan nada lembut namun tegas.
"Baik, Ayah mertua. Terima kasih atas perhatiannya kepada saya." Silvia tersenyum lebar sambil mengangguk patuh.
"Dasar anak keras kepala," gumam Antonio pelan, meskipun hanya senyum tipis terlihat di bibirnya.
...Tuan Antonio mengacak lembut rambut panjang keemasan Silvia dengan gemas, persis seperti yang selalu dilakukannya pada Silviana saat masih kecil....
"Nyonya dan Tuan Besar, ini adalah resep obat. Silakan diminum secara teratur," sela dokter sambil menyerahkan secarik kertas kepada Silvia.
...Tuan Antonio dengan sigap meraih kertas itu, lalu mengucapkan terima kasih kepada dokter. Kemudian, ia menoleh ke arah Silvia....
"Nak, gantilah pakaianmu. Ayah akan menunggumu di luar," ucap Antonio sambil mengajak dokter pergi meninggalkan ruang rawat Silvia.
...Silvia pun bergegas mengganti pakaiannya, lalu berjalan keluar dari ruang rawat. Ia merasa semakin baik dan bersemangat, senyum cerah menghiasi wajahnya....
"Keadaanku baik-baik saja. Itu artinya, aku akan bermain dengan mereka tanpa belas kasihan," gumam Silvia sambil tersenyum lebar seraya berjalan menghampiri Antonio yang sedang menunggunya di depan pintu utama rumah sakit.
"Ayo kita pulang, Nak," ajak Antonio sambil mengulurkan tangannya ke arah Silvia.
"Ayah mertua pergi duluan saja. Saya ingin pergi ke salon dan berbelanja sebentar," tolak Silvia dengan halus.
"Kalau begitu, gunakan kartu Ayah saja."
"Tidak perlu, Ayah mertua. Saya masih memiliki sedikit uang."
...Tuan Antonio mengabaikan penolakan Silvia. Dengan sigap, ia mengeluarkan dompetnya, mengambil sebuah kartu ATM berwarna hitam, dan meraih tangan Silvia....
"Tidak boleh menolak," tegas Antonio sambil meletakkan kartu tersebut di telapak tangan Silvia.
"Ayah mertua sendiri yang memaksa, jadi aku akan menguras habis semua uang di ATM ini tanpa sisa," ucap Silvia.
"Hahahaha... Tidak masalah. Lagipula, itu tidak akan membuat Ayah bangkrut," ujar Antonio sambil menatap Silvia dan tertawa kecil.
"Baik," jawab Silvia singkat.
"Kalau begitu, Ayah pamit. Hati-hati di jalan, dan jika ada sesuatu, segera hubungi Ayah," pesan Antonio.
"Iya, Ayah mertua."
...Tuan Antonio berjalan meninggalkan Silvia, masuk ke dalam mobil, dan pergi. Silvia segera memesan taksi daring dan meninggalkan rumah sakit menuju sebuah showroom mobil. Ia berencana membeli sebuah Lamborghini berwarna hitam agar tidak perlu lagi memesan taksi untuk bepergian....
...Setelah membelinya, Silvia mengendarai mobil sport barunya itu menuju sebuah salon ternama dan melakukan perawatan seluruh tubuh....
...(1 jam kemudian)...
"Nyonya, totalnya—" ucapan staf salon itu terhenti ketika Silvia menyodorkan kartu kredit milik Antonio tepat di hadapannya.
"Gesek saja," perintah Silvia singkat.
"Baik, Nyonya." Staf salon itu pun mengambil kartu kredit tersebut dan pergi.
...Beberapa jam kemudian, semua perawatan yang dilakukan Silvia selesai. Silvia pun meninggalkan salon tersebut menuju mal ternama di Kota X....
...Hari itu, Silvia berbelanja dengan sangat boros menggunakan kartu ATM milik Tuan Antonio, membuat asisten Tuan Antonio panik menerima banyak notifikasi dari pihak bank....
...Setelah puas berbelanja, Silvia kembali ke mansion sambil membawa banyak barang belanjaan. Ia memerintahkan para pelayan untuk mengangkut sisa barang belanjaannya menuju kamarnya yang telah direnovasi sejak siang tadi, saat ia masih berada di showroom mobil....
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!