Ini karya pertamaku. Mohon maaf jika tidak sesuai dengan harapan. Author pribadi, belum sempat untuk merevisinya secara keseluruhan. Mohon maklum dan sudi menghargai 🙏🙏🙏
...----------------...
Perkenalkan aku Adi Riyana, pemuda dari provinsi A. Aku tinggal di desa pelosok yang jauh dari pusat kota. Di usiaku yang menginjak dua puluh sembilan tahun, aku masih enggan untuk menikah, tapi sejujurnya aku ingin memiliki banyak anak. Tentu saja betinaku kelak yang beranak.
Hari ini aku baru saja menghirup udara bebas. Ya benar, aku sebodoh itu. Aku tak pernah memilih teman, sampai begitu bodohnya aku mengikuti temanku memakai barang haram tersebut, karena mereka bilang ini enak untuk penambah stamina.
Di hari ini pula tunanganku.
Oh, bukan.
Lebih tepatnya mantan tunanganku menikah. Dia lebih memilih meninggalkanku dari pada harus menikah dengan mantan narapidana. Pulang segan, tetap disini pun aku tak mau.
Akhirnya adikku datang, Edi Wijaya yang sekarang menggantikanku sementara untuk mengelola lahan kopi milikku. Ibuku tinggal di ibu kota J bersama ayah sambungku. Aku memiliki empat saudara sekandung, tapi tidak sedarah dari pernikahan kedua ibuku. Ayah kandungku meninggal karena kecelakaan, saat aku masih berusia tiga tahun.
Sampailah aku di sini, rumah yang penuh dengan kenangan masa kecilku. Ingatanku berputar kembali, sampai dering ponsel yang Edi berikan mengagetkanku.
"Hallo Nak, gimana kabar Abang sekarang? Besok pulang ke rumah ya Bang?!" rupanya umi yang menelpon.
"Abang baik-baik aja Umi, iya Abang besok pulang." sahutku dengan merebahkan diri di kursi panjang.
"Syukur lah Nak, setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Abang pasti bisa lewatin semuanya, lagian masih banyak kok perempuan yang lebih bagus dari Shasha itu." balas umi terdengar kesal.
"Udah lah umi, Abang malas kali bahas dia." jawabku tidak suka dengan pembicaraan ini.
"Ok, sampai jumpa besok ya Bang dan hati-hati di jalan." sahut umi memahami sifatku.
"Ya Umi, Abang......" ucapku terputus, sebelum aku selesai berbicara. Umi sudah mematikan sambungan teleponnya.
Aku mengajak Edi ke tukang pangkas rambut, untuk mengubah sedikit potongan rambutku. Banyak orang-orang yang menyapaku. Sejujurnya aku merasa sedikit malu, aku merasa asing di kampung halamanku sendiri.
~
Esoknya aku sudah berkumpul dengan anggota keluargaku. Sesi makan malam bersama telah usai. Kuhembuskan asap rokok di balkon kamar yang disediakan untukku, sambil menatap lampu jalanan yang begitu banyak. Ayah datang dan membuyarkan lamunanku.
"Abang tolong urus kedai kopi Ayah yang di kota C ya? Ayah sibuk kali, besok pagi Ayah harus terbang ke provinsi K." ucap ayahku.
Sungguh sebetulnya aku ingin menikmati kebebasanku dulu.
Tapi ya sudahlah. Aku pun bosan kalau tak punya kegiatan, "Ya Ayah, di mana alamatnya?" sahutku kemudian.
Aku melanjutkan berbincang ringan dengan ayah. Ayah sambungku berasal dari provinsi KB dan dia seorang peladang juga, sama seperti ayah kandungku. Dulu saat ibuku baru menikah aku tinggal bersama ayah di provinsi KB.
Sampai di mana, aku masih ingat betul saat aku makan. Kemudian ayah mengatakan, makanan yang aku makan adalah ular yang di dapat dari kebun sawit. Aku muntah-muntah hebat, karena aku ingat betul bentuk ular itu semasa hidupnya dia pendek dan gemuk sekali.
Sungguh, di hari itu juga aku meminta pulang ke kampung halamanku di provinsi A. Sampai dewasa aku di besarkan oleh kakek dan nenek dari pihak ayah kandungku.
Hari semakin malam, rasa kantukku belum juga datang. Aku menghembuskan kembali asap rokokku. Aku mengingat kembali kerabat yang ada di kota C yang ayah sebutkan tadi. Sepertinya aku merindukan seseorang, cinta pertamaku, anak kerabat dari ayah.
Entahlah, rasanya sekarang aku hanya ingin bermain-main dengan perempuan. Rasa kepercayaanku terhadap perempuan hilang, sejak Shasha memutuskan sepihak pertunangan kami.
~
Pagi telah tiba, suara klakson mobil bersahutan mengganggu tidur nyenyakku. Oh sial, jam berapa sekarang? Setengah jam lagi jadwal kereta yang akan aku tumpangi berangkat.
Ya, aku lebih memilih naik kereta dari pada membawa mobil. Aku ingin lebih menikmati perjalananku.
Segera aku bergegas mandi dan bersiap, aku menggendong ransel yang sebelumnya sudah aku masukan beberapa setel pakaianku. Aku pamit dengan ibuku dan adik-adikku. Lalu segera aku berangkat ke stasiun, dengan diantar oleh supir pribadi ibuku.
Oh syukurlah, masih belum terlambat. Segera aku bergegas, menuju kereta yang akan aku tumpangi. Aku menikmati perjalanan ini.
Hingga beberapa saat kemudian, sampailah aku di kota C. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, aku mencari masjid terdekat dan melakukan aktifitas ibadahku. Sampai akhirnya aku keluar dari masjid, aku memakai kembali sepatuku dan kejadian itu pun dimulai.......
......................
Novel ini dalam tahap revisi, mohon maklum atas ketidaknyamanannya 🙏🙏🙏
ADI POV
Sepertinya ada yang aneh dengan sepatuku, kenapa sebelah kanan terasa sempit sekali. Saat aku memutar badanku ke belakang. Oh betapa malunya aku, saat seorang wanita sekitar berumur dua puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia empat tahun tertawa ke arahku sambil menenteng sepatu.
Ini sungguh gila, kenapa bisa aku memakai sepatu yang sebelahnya mungkin dialah pemiliknya.
Dengan berat hati, aku menghampirinya. Sungguh aku malu sekali. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, kemudian aku memberikan senyum terbaikku.
"Maaf Dek, sepertinya salah satu sepatu Saya tertukar dengan milik Anda." ucapku ramah.
Dia tersenyum manis padaku, tapi kenapa wajahnya terlihat begitu menyebalkan seperti...mengejekku.
"Hei om, melamun kah?" tanya wanita tersebut.
Tunggu, kenapa dia memanggilku om? Sungguh aku merasa sangat tersinggung sekarang.
"Tengok mah! Sepatu mamah di pakainya." suara anak kecil yang tampangnya terlihat menyebalkan.
Oh rupanya mereka ini ibu dan anak, di usianya yang masih terbilang cukup muda wanita itu sudah memiliki anak. Apa jangan-jangan dia menabung dari masa sekolah. Oh maafkan aku tuhan, kenapa aku malah menilainya demikian.
Ibu dan anak itu malah asik mentertawakan kebodohanku. Aku berdekhem, untuk mengalihkan perhatiannya dan menetralisir rasa maluku.
"Maaf dek, ini Saya kembali kan. Saya tidak menyadarinya tadi." ucapku menyesal dengan melepas kembali sepatu miliknya.
"Oh, ok. Tak masalah Om. Hati-hati om dan jangan ngelamun terus." jawabnya dengan nada cerewet.
Ia malah melanjutkan mentertawakanku dengan anaknya sambil berlalu pergi. Aku beristighfar dalam hati, kebodohan apa ini? Kenapa bisa aku mempermalukan diriku sendiri?
Aku segera memakai sepatu milikku dan berlalu pergi.
Tapi kalau diingat kembali, manis juga senyuman wanita itu. Mata yang hanya tinggal garis saja, saat tersenyum. Hmm, lucu juga wajahnya.
Sudah lupakan, aku memainkan ponselku untuk memesan ojek online yang akan mengantarku ke alamat yang aku tuju. Kota yang pernah menjadi kenanganku dulu tidak banyak berubah sekarang.
Sesampainya aku di alamat, aku bertemu dengan istri dari kerabat ayahku dan anaknya. Anaknya yang bernama Maya Renawati, dia cinta pertamaku. Tidak ada yang berubah darinya. Tinggi badannya setara denganku, mungkin sekitar seratus tujuh puluh sentimeter. Rambutnya hitam bergelombang, mata bulat, hidung mancung dan bibir bawahnya yang sedikit tebal memberikan kesan sensual dan oh....cukup.
Ayolah Adi ini bukan waktunya.
Aku mencium tangan ibu dari Maya, "Gimana kabarnya, Bu?" ucapku sopan.
"Baik nak Adi, tambah gagah ya sekarang?" sahut ibu Rokhayah, dengan menepuk bahuku.
Aku tersenyum canggung, "Tak juga, Bu." sahutku malu.
Lalu aku menoleh pada wanita cantik di sampingnya dan tersenyum kearahnya. Aku dekap wangi yang dulu selalu membuatku gila. Segera aku melepaskan pelukanku, karena tak enak pada ibu Rokhayah yang masih berada di sini. Nampaknya, Maya sedikit kecewa atas tindakanku.
"Long time no see, May. Tak rindu kah kau sama Abang?" kami tertawa bersama mendengar ucapanku yang sedikit bergurau itu.
Kemudian, aku dipersilahkan masuk dan diberi waktu untuk beristirahat.
Aku terbiasa dipanggil abang oleh orang-orang terdekatku, bahkan ibuku memanggilku demikian. Katanya, untuk mengajari adik-adikku memanggilku dengan sebutan abang. Lama kelamaan, semua orang terdekatku memanggilku demikian.
Aku masuk ke kamar yang telah disediakan untukku. Rumah minimalis di tengah padatnya penduduk kota C ini, memiliki empat buah kamar tidur yang hanya dihuni oleh dua orang saja. Aku pun tidak tau pasti kemana ayah Maya dan saudaranya, karena cukup lama juga aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Maya sejak hubungan kita berakhir. Rasa kantukku mulai datang karena semalam aku tidur cukup larut.
AUTHOR POV
Maya mengetuk pintu kamar Adi untuk membawakan makanan, tapi tidak ada sahutan. Kemudian, Maya langsung membuka pintu kamar Adi. Terlihat lah Adi tertidur dengan pulas. Maya mengulas senyum melihat sepatu Adi masih terpakai, ia mencoba melepas sepatu Adi. Seketika dia menahan tawa melihat kaos kaki Adi yang kanan dan kirinya berbeda, karena sebelumnya Adi sempat mengenakan kaos kaki dan sepatu milik Adinda. Sungguh Maya tidak mengerti kenapa Adi bisa seceroboh ini dalam memilih kaos kaki.
TBC.
Hai semuanya, support aku yuk dengan cara LIKE, RATE ⭐⭐⭐⭐⭐, VOTE, COMENT 😁, dan tap ❤️ FAVORIT juga agar dapat notifikasi dari cerita ini.
Terima kasih 🥰
Adi bergegas menuju ke kedai kopi ayahnya yang ada di kota ini. Setelah dia tahu bahwa Maya sekarang tengah menjalani masa Iddah. Ia menjaga jarak dengan Maya, agar tidak menimbulkan fitnah dan membuat para tetangga menjadi salah paham. Adi benar-benar tidak menyangka, ternyata Maya pernah menikah. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, kejadian apa saja yang terjadi saat dirinya berada di jeruji besi.
ADI POV
Saat aku sedang berkeliling dengan pak Munawir karyawan kepercayaan ayah, aku dikejutkan dengan wanita yang tertukar sepatu denganku berada di dapur kedai ayah. Mau aku sapa, rasanya malu sekali. Ya sudahlah, aku putuskan untuk berpura-pura tidak melihatnya saja. Namun, sialnya dia malah melihatku.
"Oh iya Bang, kenalkan ini Adinda salah satu karyawan disini juga." ucap pak Mun sambil mengisyaratkan wanita itu untuk berjabat tangan denganku.
"Adinda, Om. Dengan siapa ini?" ucapnya dengan wajah yang memang betul-betul menyebalkan. Coba dengar dia menyebutku dengan apa?
"Adinda!!!" seru pak Mun dengan geram. Tapi lihat wanita itu, ia cengengesan dengan wajahnya yang sok polos.
"Dengan Adi, lebih baik kau panggil aku dengan sebutan yang lebih pantas. Om, om, om!!! Kau kira, aku nikah dengan tante kau!" sarkasku dengan tegas.
Jujur aku jenis manusia yang gampang tersinggung. Aku belum pernah menikah, aku pun belum memiliki anak. Apalagi menikah dengan tantenya, sampai hati dia menyebutku dengan sebutan om. Menurut pengakuan adik-adikku pun aku masih terlihat muda, gagah dan tentu saja manis tiada duanya.
Aku masih tidak mengerti dengan wanita ini, bisa-bisanya dia tertawa terbahak mendengar penuturan ku.
"Ok, Maaf Bang Adi. Aku tak sengaja menyinggung Anda." jawabnya diakhir dengan berdekhem untuk menetralisir suara tawanya.
"Hm, lanjutin aja kerjaan kau!" sahutku kemudian.
Aku lihat, dia mengangguk dan berlalu. Namun, saat ia sampai di samping pak Mun. Dia berbisik tapi masih bisa kudengar, "Siapa dia, Bang? Memang udah nampak macam om pun tersinggung pula dia kupanggil om!" bisiknya tertahan.
"Husttt, udah sana lanjut kerja. Ngeledekin orang aja kau ini." jawab pak Mun dengan suara pelan.
AUTHOR POV
Sampai malam hari Adi berada di kedai. Dia tidak sengaja bertemu dengan kawan lamanya, Haris dan Jefri yang sedang menikmati makan malam.
Adi menghampiri mereka dan menyapanya, "Gimana punya kabar, Rekan?" ucap Adi menyalami mereka berdua.
"Oh wow, siapa nih? Tengok Jef. Udah gak cungkring lagi kau sekarang, Di?" ucap Haris dengan diselingi dengan tawa. Lalu Haris menyambut tangan Adi.
"Sialan kau memang, ngeledek hah?" jawab Adi dengan wajah yang dibuat seolah marah.
Mereka tertawa bersama, membahas segala hal dan Adi baru mengetahui ternyata kawan lamanya berprofesi sebagai dokter yang bertugas di kota ini.
Sampai seorang wanita datang, wanita itu menyapa mereka dan berjabat tangan layaknya teman akrab.
"Udah kelar kerja, Dek? Makan ngopi dulu sini Dek." tawar Haris sambil menepuk kursi di sampingnya.
"Bolehlah Bang, kalau dibayarin." jawab wanita tersebut sambil cengengesan.
"Pesan ajalah! Tapi jangan banyak-banyak!" jawab Haris dengan akrab.
"Kenalin nih, Dek. Dia kawan lama Abang, dia ini anaknya pak Dodi yang punya kedai ini." ucap Jefri dengan menunjukan Adi pada wanita tersebut.
"Memang udah kenal pun. Hei Bang, kau tau tak laki-laki kemarin hari yang aku ceritakan. Inilah Bang orangnya yang buat l*bang aku longgar!" seru wanita itu menatap tajam kearah Adi.
"Hah, l*bang apaan Dek? Kau tak ada cerita sama Abang Dek." sahut Haris dengan cepat, Jefri hanya tertawa renyah mendengarnya.
"Jadi udah sejauh apa laki-laki ini buat, Dek?" lanjut Haris dengan khawatir.
"Eh, Betina! Ambigu betul kau cakap! Jangan seolah aku ini nampak brengsek hah!" bentak Adi dengan tegas.
"Ya Allah, Bang. Aku dibentaknya." ucap wanita itu, seperti anak kecil yang tengah mengadu.
"Ya kau ngomong yang jelas, Adek! Coba jelaskan kek mana cerita nya!" sela Jefri menengahi.
"Jadi tuh, Bang. Aku sama Givan baru balik, dari acara ulang tahun anak kak Shila. Aku singgah sejenak di masjid, pas balik kutengok sepatuku tinggal kiri aja Bang. Selangkah dari tempat aku, nampak sepatu yang tinggal kanan aja. Memang model dan warnanya sama, cuma dari ukurannya memang beda jauh Bang. Terus...." ungkap wanita itu yang dipotong oleh interupsi dari Adi.
"Cukup cukup, ok lebih baik kau bungkus kau punya makanan itu dan balik lah kau cepat!" seru Adi dengan geram.
"Oh, jadi lol*bang sepatu kau yang Adi buat longgar Dek!" sela Haris dan di susul tawa renyah dari mereka.
"Yah begitulah bang,..." saat wanita tersebut ingin mengeluarkan suaranya kembali, Adi langsung menyela pembicaraan mereka.
"Udahlah, mau balik lah aku. Geram betul aku sama kau, tak bisakah kau jaga mulut manis kau itu?!" tutur Adi dengan tegas. Kemudian ia langsung berlalu pergi
ADI POV
Aku kesal sekali, pada siapa tadi namanya? Arinda. Oh bukan, Adinda itu.
Sebetulnya aku tidak punya masalah dengannya, entah mengapa saat melihat ekspresi wajahnya sangat begitu menyebalkan. Ditambah tadi, kenapa juga dia menceritakan hal memalukan itu pada kawan-kawanku?
Dia kira ini lucu apa?
Tahan, tahan. Cukup emosinya, Di.
Sepertinya, lebih baik besok aku cari tempat tinggal di sekitar sini. Terasa begitu aneh bila aku menetap di rumah Maya yang sedang menyelesaikan masa iddahnya. Apa kata tetangga nanti?
Kenapa aku jadi memikirkan Adinda itu, siapa dia bagi Haris?
Aku lihat ekspresi Haris begitu khawatir, saat membahas l*bang yang aku buat longgar di kedai tadi.
Sebenarnya, cantik juga Adinda itu kalau sedang fokus dengan pekerjaannya. Sayang sekali, kenapa dia begitu pendek?
Apa memang dia masih dalam masa pertumbuhan?
Gayanya yang sok kali, dengan kacamata yang bertengger di atas kepala dengan rambut coklat keemasan yang bergelombang. Kulit putih bersih dan licin, mungkin itu karena skincarenya mahal. Wajahnya pun sedikit oriental. Sayangnya, kenapa setiap kali berekspresi wajahnya terlihat begitu menyebalkan?
Ya sudahlah lebih baik aku bersiap tidur.
Saat aku hendak memejamkan mata, aku dikagetkan dengan ketukan pintu. Aku berseru untuk masuk saja karena pintu tidak dikunci. Bukan main, Maya masuk dan langsung berlari untuk memelukku.
"Kenapa, May? Lebih baik, balik lah ke kamarmu dan tidur. malam sudah larut, May." ucapku kaget dengan tindakan Maya
"Maaf, Bang. Aku ngerasa bersalah, pas dengar Abang masuk rehabilitasi dan harus menjalani hukuman." ucap Maya sambil melepas pelukannya, "Aku kira Abang bakal baik-baik aja, pas kita memutuskan untuk putus. Eh, malah beberapa bulan setelahnya aku dengar kabar buruk tentang Abang." lanjutnya kembali.
Hah, apa dia kata?
Dia kira aku melakukan hal tersebut gara-gara putus dengan dia begitu?
Satu bulan setelah putus dari Maya, aku bertunangan dengan Shasha. Aku menidurinya dalam keadaan tidak sadar. Kemudian, pagi harinya dia meminta pertanggung jawaban, meski sudah aku pastikan dia tak akan mungkin hamil. Karena aku selalu menggunakan pengaman saat bermain.
Tentu saja, keluarga kami tidak tahu masalah sebenarnya. Sampai mendadak aku harus melingkarkan cincin di jarinya. Lalu, untuk masalah barang haram. Aku sudah menggunakannya sejak masih punya hubungan dengan Maya. Bukan karena aku putus, kemudian galau karenanya. Hmm, dasar betina!
"Tak apa, May. Udah kelewat juga. Do'akan Abang semoga bisa menjadi laki-laki yang lebih baik lagi." ucapku dengan tersenyum lembut.
"Nak Adi kenapa belum tidur?" suara dari ibu Rokhayah, ibunda dari Maya. Sungguh detik itu juga jantungku serasa hidup anarkis.
Tidak disangka, "Ya Allah nak......."
TBC.
Sekali lagi, mohon maaf. Ada beberapa perubahan karakter dalam tokoh. Karena, novel ini dalam tahap revisi ulang. Tentu memakan waktu yang cukup lama, karena author pun memiliki novel on going yang harus update tiap hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!