"Kau kembali?"
Langkah lemah membawanya berdiri di hadapan wanita yang sedang bertanya padanya. Wanita tak lain dan tak bukan saudara tirinya sendiri.
"Iya, aku butuh uang." Ia menjawab dengan raut wajah lesu.
"Sejak kapan kau tidak butuh uang? Semua orang juga butuh uang. Bukankah begitu?" Kata Lusia merendahkan Aulia.
Meremas jari tangannya. Rasanya ingin saja dia meremas wajah wanita di hadapannya sampai tak berbentuk. Namun, semua itu hanya khayalan semata. Karena sampai kapanpun dia tidak akan berani melakukan semua itu.
"Aku akan memberimu uang. Tapi masih dengan persyaratan di awal. Kalau kau sanggup, Aku akan memberimu. Tapi kalau tidak, lebih baik kau mundur saja," tersenyum penuh kemenangan.
"Apapun itu, aku butuh uang untuk pengobatan putriku," Aulia tampak membendung.
"Ahahahaha. Masih dengan urusan putri anak haram mu itu? Apa kau tidak capek, Aulia? Mengurusi anak itu?" Lusia mengejeknya.
Mata Aulia menggambarkan kemarahan yang masih berusaha ia bendung agar tidak meledak mendengar Lusia yang sering bilang kalau putrinya 'anak haram'
"Aku datang kemari atas sebab kebutuhan. Dan kau menawariku juga untuk kebutuhan. Saat kita saling bekerja sama, kau diuntungkan, dan juga aku bisa mendapatkan uang. Kau hanya perlu bilang iya atau tidak. Tanpa harus bawa-bawa putriku!" Tegas Aulia menatap Lusia.
"Ahahahaha. Ternyata orang miskin, tahu belagu juga ya?" Semakin menginjak-injak harga diri Aulia.
Aulia mengepel erat kepalan tangannya.
"Baiklah. Seperti yang aku bilang. Saat kau datang pada suamiku, jangan sampai dia mengenali mu. Kalau sampai itu terjadi, maka aku tidak akan segan-segan membuatmu lebih menderita daripada yang kau rasakan sekarang ini!" Peringatan Lusia tidak sekedar mengancam.
"Baik. Aku setuju. Dengan catatan, berikan aku uangnya sekarang." Aulia menengadahkan tangannya meminta uang pada Lusia.
Cuih!
Lusia meludahi tangan Aulia. Aulia tidak melawan, dan membiarkan ludah Lusia dia atas genggamannya.
"Ahahaha. Aulia, Aulia, Aulia. Ternyata selain jal*ng dan hina. Kau juga wanita yang tangguh dan pemberani ya." Kata Lusia merendahkannya berdiri dari kursi roda yang menandakan kalau dia tidak benar-benar lumpuh.
Karena yang aku butuhkan adalah uang. Hinaan mu ini belum apa-apa. Batin Aulia tidak peduli dengan semua hinaan yang dia dapatkan dari Lusia.
**
Dalam sebuah ruangan yang sangat gelap. Tampak samar-samar seorang laki-laki duduk di atas ranjang yang terkena sinaran lampu dari luar jendela.
Pria itu terlihat hanya diam menunggu wanita yang berdiri di ambang pintu yang juga tampak samar-samar.
"300 juta. Aku akan melayani mu." Ucap Aulia pada pria yang tak lain dan tak bukan adalah iparnya, alias suami kakak tirinya.
Pria itu tersenyum menyeringai. Ia berdiri, kemudian mengambil gelas berisi alkohol, kemudian meneguknya.
"300 juta uang yang sangat sedikit bagiku. Tapi, kau sudah di bayar oleh istriku. Lantas apa lagi yang kau minta dari ku?" Jawab pria tersebut menatap Aulia yang hanya terlihat sebagian tubuhnya, tanpa memperlihatkan wajahnya.
"Aku butuh uang tidak sedikit. Jika aku bisa mendapatkan lebih, kenapa tidak aku manfaatkan?" Jawab Aulia tanpa rasa malu.
Hatinya sudah kebal mengahadapi kerasnya sebuah kehidupan tanpa seseorang untuk bergantung hidup.
Sehingga kata-kata kasar penuh hinaan tidak akan mampu membuat hatinya goyah dengan tujuan hidupnya.
"Baik. Aku akan memberi mu 500jt. Segera, layani aku!" Perintah pria itu.
Perlahan kakinya mulai melangkah mendekat. Ia mulai menjalankan tugasnya untuk mem*askan pria itu.
Tangannya mulai membuka kimono mandi yang di pakai oleh si pria.
Brugh!
Tiba-tiba pria itu mendorongnya, menguasai tubuhnya.
Entah ada masalah apa dengan pria itu. dia terlihat seperti melepaskan amarahnya pada wanita di bawah tubuhnya. Tanpa peduli dengan perasaan dan rasa sakit wanita itu.
"Arghhh...." teriaknya tertahan ketika selaput darah keperawanannya di renggut paksa membuat wanita itu merasakan sakit luar biasa.
Dia seorang gadis?
Sebelum menjelang siang. Aulia segera bersiap-siap memakai pakaiannya semua agar bisa segera pergi menjauhi Dave, sebelum pria itu melihatnya.
Sebenarnya tidak masalah kalau sampai pria itu melihatnya. Karena Dave tidak pernah bertemu dengan saudara tiri istrinya, setelah menjalin rumah tangga selama beberapa tahun bersama Lusia.
Hanya saja Aulia mengelak sesuatu hari nanti kalau sampai dia bertemu dengan suami Lusia sebagai sepupunya. Dan itu juga tidak di inginkan oleh Lusia sendiri.
Usai Aulia mengenakan pakaiannya. Ia bersiap untuk segera pergi meninggalkan kamar hotel.
Tak!
Saat akan melangkah kan kaki. Tiba-tiba Dave memegang lengannya. Ternyata pria itu terbangun dari tidurnya.
"Kau mau pergi mana?" Tanya Dave.
"Tidak ada keharusan untuk saya menceritakan, atau memberi tahukan kemana saya akan pergi. Urusan di antara Anda dengan saya hanya untuk saling menguntungkan antara satu sama lain. Jadi, Anda tidak berhak bertanya setelah saya selesai dengan tugas saya." Tegas Aulia ingin menarik pergelangan tangannya yang di pegang Dave.
Tapi pria itu mengerat pegangannya. Meski tak melihat wajah Aulia dengan jelas. Namun samar-samar Dave bisa melihat bibir merah wanita itu.
"Bagaimana kalau aku memberimu tawaran? Tawaran melahirkan benih ku, dengan imbalan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan. Aku juga akan memenuhi semua kebutuhan mu," tawar Dave serius.
Aulia menarik kasar pergelangan tangannya hingga lepas dari tangan Dave.
"Saya tidak tertarik." Aulia menolak mentah-mentah kemudian berjalan menghampiri meja yang masih dalam kamar hotel.
Di sana ia mengambil selembar cek yang sudah Dave siapkan. Usai mengambil cek tersebut. Ia segera menghampiri pintu.
Rahang Dave terlihat mengeras ketika wanita bayarannya menolaknya mentah-mentah tanpa berpikir dua kali.
"Berhenti di sana!" Dave benar-benar marah.
Aulia berhenti tepat di depan pintu kamar hotel, menoleh sedikit ke samping. Kemudian mengeluarkan kalimat terakhirnya.
"Anda dengan saya sudah selesai. Dan tidak ada lagi yang perlu di bahas. Saya pamit." Membuka pintu segera melangkah pergi menjauh.
Wanita yang berbeda dari biasanya. Aku suka dia. Batin Dave tersenyum penuh makna.
**
1 TAHUN KEMUDIAN.
Desa.
"Bunda!" Seorang gadis kecil berusia 6 tahun tersenyum bahagia melihat bundanya datang menjemputnya di sekolah.
Kalau anak gadis pada umumnya melihat sosok wanita yang bergelar ibu. Dia pasti akan sangat senang kemudian berlari menghampiri si ibu dan memeluknya.
Tapi berbeda dengan sosok gadis kecil bernama Asya. Asya gadis yang penuh keterbatasan, gadis yang belum pernah merasakan bagaimana rasanya menginjakkan kaki ke tanah.
Karena selama hidupnya. Asya duduk di kursi roda, akibat benturan keras yang pernah terjadi semasa ia masih bayi 6 tahun yang lalu.
Sehingga membuat kakinya mengalami kelumpuhan, dan tidak bisa berjalan sampai saat ini.
Tak jarang Asya juga di-bully dan direndahkan oleh teman-teman sekelasnya, karena fisiknya yang tidak seperti anak-anak lainnya.
Aulia tersenyum melihat keceriaan di wajah putrinya. Ia ingin menghampiri putrinya, tapi sebelum ia tiba di dekat Asya.
Terlihat ada seorang gadis kecil, teman sekelas Asya yang sedang meledeknya.
"Asya, kasihan banget sih. Nggak bisa lari-lari. Ahahaha." Gadis kecil itu tertawa kemudian berlari sembari menjulurkan lidah mengolok Asya.
Yang tadi wajah gadis kecil itu ceria. Tiba-tiba berubah mendung. Dengan fisik yang keterbatasan, Asya tidak bisa menjadi seperti anak-anak lainnya.
Ia sering merasa insecure. Dan sering menangis diam-diam karena tidak punya teman.
"Kok putri bunda mendung kayak gini? Apa nggak bahagia ketemu sama bunda?" Aulia berusaha menghibur putrinya.
Senyuman di bibir gadis kecil itu kembali terbit dengan kepala yang digelengkan.
"Tentu saja Asya bahagia, bunda." Asya tidak ingin bunda melihat kesedihannya.
"Hm, baiklah. Kita mau ke mana?" Tanya Asya mencium pipi Asya.
"Kita pulang aja deh bunda, soalnya Asya juga mau istirahat,"
"Beneran pulang?"
Asya mengangguk yakin. Ia tahu benar kalau dia tidak bisa meminta ini dan itu pada bunda. Karena Asya tahu betul seperti apa keuangan bunda. Sehingga ia tidak ingin mempersulit bundanya memikirkan di mana akan mencari uang lagi.
Apalagi dia yang setiap minggu harus konsultasi ke dokter. Sehingga Asya tidak mau menambah beban Aulia.
**
Di lain sisi. Terlihat Lusia memutar bola mata malas saat melihat suaminya yang sedang memandangi foto sosok seorang bayi yang berusia sekitaran sebulan.
Ia mendorong kursi rodanya menghampiri Dave.
"Kamu merindukannya? Dia sudah bahagia di alam sana, Mas." Berbeda saat berada di belakang, dan di depan Dave yang tiba-tiba berubah menjadi istri lemah lembut dan baik.
Dave menyimpan foto itu. "Kalau bayi kita masih hidup, dia pasti sudah berusia 6 tahun. Tapi kecelakaan itu---"
"Sssttt.. Nggak usah di ungkit lagi dong, Mas. Semua sudah berlalu. Mari kita lupakan kejadian itu." Kata Lusia tampak bersedih.
Ting!
Ting!
Dave melihat istrinya, ketika mendengar ada pesan masuk ke dalam ponsel wanita itu.
Lusia membalik ponsel, melihat siapa yang baru saja mengirim pesan. Wajahnya seketika berubah. Ia tampak khawatir dengan pesan yang seseorang kirim padanya. Ia takut kalau sampai Dave dapat melihat pesan tersebut.
"Siapa?" Tanya Dave.
Lusia tersenyum manis. Berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Mama, Mama kirim pesan. Katanya dia minta sore nanti kita berkunjung ke rumahnya," bohong Lusia.
Dave mengangguk pelan.
Lusia tiba-tiba memegang punggung tangan pria itu. "Mas, aku minta maaf ya. Karena tidak bisa menjadi istri yang sempurna buat kamu. Aku bahkan tidak bisa melayani mu. Juga terpaksa membayar wanita lain agar memenuhi kebutuhan ranjang mu," Lusia tampak sedih.
Dave tersenyum mengusap pucuk kepala istrinya. "Tidak usah bilang seperti itu. Aku baik-baik saja. Selama itu bisa membuatmu bahagia, aku akan selalu mendukungmu." Ucap Dave mencium istrinya.
"Makasih, Mas." Memeluk Dave.
Di Desa.
"Kok bunda nggak makan?" Tanya Lusia yang sedang menyantap makan malamnya.
Aulia menggeleng, "Bunda sudah kenyang. Tadi bunda sudah makan," bohong Aulia tersenyum.
"Serius?"
"Iya."
"Kalau gitu, Asya makan ya, bunda."
Aulia mengangguk. "Bunda masuk kamar dulu ya." Pamit Aulia.
"Iya, bunda."
Aulia beranjak pergi masuk ke dalam kamar. Ia mengambil tas, memeriksa apa dia masih punya uang atau tidak.
Tapi ternyata, dia sudah tidak punya uang sama sekali.
Aulia duduk di atas ranjang sempit tempat tidurnya bersama putrinya selama setahun berada di Desa itu.
Ia mengambil selembar foto wanita paruh baya yang tampak sangat cantik sembari tersenyum manis.
Ibu... Aku merindukan ibu... Aku tidak punya uang sama sekali, bu... Aku nggak tahu mau ambil uang di mana lagi. Uangku sudah habis untuk biaya pengobatan Asya. Dan aku sudah tidak punya simpanan lagi. Batin Aulia menitikkan air mata.
Tubuhnya terguncang menangisi hidupnya yang benar-benar tidak punya ketergantungan sama sekali.
Kalau saja Ayah tidak berkhianat. Mungkin hidupku tidak akan hancur seperti ini... Ibu juga tidak akan terbunuh oleh mereka. Lanjut Aulia masih terus membatin sembari menangis.
Ia segera mengusap kasar air matanya. "Tidak! Aku tidak bisa lemah dan terpuruk dengan keadaan ini. Aku sudah berjuang selama bertahun-tahun untuk mencapai tujuanku. Aku tidak bisa lemah hanya karena tidak punya uang sepeserpun." Lirih Aulia menegakkan hatinya kembali.
Ia mengambil ponsel. Kemudian menghubungi seseorang.
Drrt drrt drrt
Beberapa kali dia coba menghubungi seseorang di panggilan sana. Tapi masih tak ada sahutan.
Ia kembali ulang menghubungi orang tersebut. Akhirnya ada yang mengangkatnya.
"Hello." Terdengar suara laki-laki tak asing yang menjawab panggilan Aulia.
Aulia diam. Ia tak mengeluarkan sepatah katapun.
"Hello, cari siapa?" Tanya Dave.
Ternyata Aulia sedang menghubungi Lusia, namun Dave yang mengangkat panggilannya.
"Siapa, Mas?
Dari seberang panggilan Aulia bisa mendengar suara Lusia yang sedang berbicara pada suaminya.
"Tidak tahu. Seharusnya aku yang bertanya." Jawab Dave memberikan ponsel Lusia.
Lusia mengerutkan alis tak tahu nomor siapa yang terpampang di layar ponselnya dan dia sendiri tak tahu nomor ponsel tersebut.
Lusia mendekat kan ponselnya di kupingnya, kemudian sedikit menjauh dari Dave.
"Siapa?" Tanya Lusia.
"Aku butuh uang." Tanpa basa-basi Aulia mengatakan tujuannya menghubungi Lusia.
Lusia tersenyum meremehkan Aulia. "Jelas saja kau mencari ku hanya untuk uang. Kenapa? Apa untuk anak garam itu lagi?" Ejeknya.
"Bagaimana? Apa aku bisa mendapatkan uangnya?" Ia sengaja tak menanggapi ucapan Lusia.
"Datang kemari. Aku punya tugas untuk mu."
Tit
Lusia segera mematikan ponselnya.
Aulia tersenyum penuh makna. Sudah tiba saatnya untuk mencapai tujuan ku. Batin Aulia.
**
"Tolong! Tolong aku!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!