NovelToon NovelToon

Rawon Kesukaan Mas Kai

Chapter 1

“KAMU NGAPAIN AJA, SIH?! KOK SETIAP AKU PULANG MAKANAN SELALU BELUM SIAP?!”

Shana memejamkan matanya erat. Tangannya sudah mengepal di sudut-sudut daster merah mudanya. Perkataan itu lagi. Itu itu terus yang selalu menjadi pembuka ketika Kaivan pulang.

Sikap Kaivan yang terlalu emosional ini sudah terjadi sejak lima bulan lalu. Tidak pernah terpikirkan di benak Shana bahwa laki-laki yang akan dia nikahi lima bulan lalu, adalah lelaki yang perfeksionis.

Shana hanya harus bisa mengendalikan dirinya. Tidak perlu ikut-ikutan terbawa emosi. Dia hanya harus berlapang dada, tanpa bisa berteriak balik di telinga suaminya.

“KAMU NGAPAIN AJA DI RUMAH, SHAN? HAH? JAWAB DONG!” Kaivan membalik badan dengan berkacak pinggang. Dadanya naik turun dengan wajah memerah. Memandangi Shana yang baru saja membuka mata, tanpa membalas tatapan Kaivan. Shana merasa tidak perlu melakukan itu. Dia hanya bisa mendengar teriakan-teriakan Kaivan, dan … setelah Kaivan menyelesaikan unek-uneknya, maka keadaan mereka kembali normal. Seperti pasutri pada umumnya. Biasanya seperti itu.

“Kamu pasti main hp aja, kan? Kenapa, sih?” Kaivan mendekat dan langsung memegang pundak Shana. Tidak erat, hanya ingin Shana membalas tatapannya. Namun, Shana masih memalingkan pandangannya. “Kenapa setiap aku ngomong, kamu selalu begini? Kamu selalu menghindar dari permasalahan. Lima bulan, Shana. Usia pernikahan kita sudah menginjak lima bulan. Kapan, sih, kamu berubah?”

Jleb.

Perkataan itu melekit, membuat hati Shana mencelos. Desir napasnya sudah tidak beraturan. Matanya mulai membalas tatapan Kaivan. Oh tidak. Itu hal bodoh. Karena jika Shana membalas tatapan Kaivan, air matanya pasti akan jatuh. Dan … ya, Shana mulai terisak.

Semua perkataan Kaivan, seakan-akan menodong dadanya dengan pisau kecil. Kecil, tapi yakin akan menembus kulit.

Kaivan tidak menyangka bahwa Shana akan menangis. Dia pikir Shana adalah perempuan yang kuat. Perempuan yang tidak gampang cengeng. Namun, kenyataannya tidak begitu. Shana tetaplah seorang perempuan. Makhluk yang memiliki hati serapuh kaca. Kaivan melupakan itu.

Tangan yang tadi memegang pundak Shana, mulai menjalar ke bagian punggung Shana. Tubuh Kaivan mendekat. Tangan yang lainnya mendorong tengkuk Shana agar masuk ke dalam dada bidangnya.

Hangat.

Shana memejamkan matanya, lagi. Kini, dia menikmati dekapan hangat yang diberikan Kaivan. Lihat? Ini alasannya mengapa Shana tidak pernah membantah atau membalas ucapan Kaivan. Karena hati Kaivan sangat lembut.

Mungkin saja, Kaivan marah-marah sepulang kerja karena mendapat tekanan di kantornya. Terlebih lagi, posisi Kaivan baru saja naik jabatan menjadi manager di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Pastk tekanannya tidak main-main.

“Maafin aku, ya?”

Pelan, namun sangat lembut diterima oleh telinga Shana. Di dalam dekapan hangat Kaivan, Shana tersenyum manis. Tangannya mulai terulur ke bagian belakang tubuh Kaivan, membalas pelukan lelaki itu. “Iya, Mas. Aku juga minta maaf. Belum bisa jadi istri yang baik buat—”

Perkataan Shana terpotong oleh suara bising dan aroma hangus dari wajan di dapur. Keduanya refleks berlari ke arah yang sama. Asap mengepul di udara. Tangan Shana cekatan mematikan kompor. Kepalanya menoleh pada wajah Kaivan yang berada di sisinya, sedang menghembuskan napas lega. “Untuuung aja cepat. Kalo enggak, bisa berabe.”

Shana tersenyum saat telapak tangan Kaivan mengacak puncak kepalanya. Dia pikir Kaivan akan mengomelinya lagi. Ternyata tidak. “Mas?”

“Hm?” Kaivan bergerak mengambil air minum. Wajahnya melirik sekilas pada Shana yang berdiri di belakangnya.

“Aku … masak lagi aja, ya. Kamu nggak apa-apa ‘kan kalau harus nunggu lagi?” Ragu, namun Shana berusaha keras agar Kaivan tidak kembali marah.

Kaivan menaikkan alisnya satu, bersamaan dengan gerakan tangannya yang meletakkan gelas. Kini, dia bergerak mendekati Shana. Tangannya memainkan ujung rambut Shana hingga wajah mereka berdekatan. “Nggak usah. Kita go-food aja. Sekarang … kita ke kamar, yuk. Mas, gerah nih dari tadi liat kamu pake daster ginian.”

Kaivan dengan cepat menggendong tubuh Shana ala bridal style. Merengkuhnya dengan lembut, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar yang telah dirapikan. Kaivan hanya tersenyum saat Shana menutup wajahnya malu-malu. Walaupun sudah lima bulan, tapi mereka masih fresh sebagai pasutri baru.

Tangan Kaivan dengan lembut meletakkan tubuh mungil Shana di atas ranjang. Matanya menatap mata cokelat milik Shana. Mata yang selalu menjatuhkan hatinya. Setelah memastikan tubuh mungil Shana sudah bersandar di sandaran ranjang, wajah Kaivan mulai mendekat.

Desiran halus menerpa hati keduanya. Debar-debar di dada tidak pernah hilang jika mereka bersama. Shana masih dengan senyum malu-malunya. Tangannya kadang mendorong dada Kaivan dengan pelan, namun Kaivan pandai menenangkan Shana.

Saat wajah Kaivan sudah sangat dekat, bibir mereka berjarak dua sentimeter. Shana mulai bertanya, “M-mas? Kamu katanya ma-mau pesan go-food? Ng-nggak jadi, ya?” Shana tampak salah tingkah. Perkataannya barusan menggelitik perut Kaivan, akhirnya dia pun tertawa kecil.

“Kamu grogi banget,”ujar Kaivan. Dan, Shana tidak menjawab. Bibirnya hanya terkatup rapat saat Kaivan mulai memberinya kecupan di bibir. “Hanya kecupan, tapi kamu sudah panas dingin.” Kaivan mulai mendaratkan satu kecupan lagi. Dia tersenyum senang melihat Shana yang masih mematung grogi. Lalu, wajahnya mulai mendekat dengan tangan yang mendorong tengkuk Shana. Bukan kecupan lagi. Kali ini Kaivan memberikan ciuman hangat nan lembut. Melumat dan bergerak liar hingga bibir Shana mulai membuka.

Shana mulai menikmati ciuman liar Kaivan. Kaivan sangat pandai membuatnya bungkam dan menikmati walau hanya sebuah ciuman. Liar, tapi lembut, makanya Shana senang. Tangan Kaivan mulai bergerak liar, membuat Shana menggigit bibirnya kuat. Melihat itu, Kaivan cekikikan. Dia mulai melepaskan Shana, berdiri di sisi ranjang. Tangannya mulai bergerak melepas kancing kemeja putihnya satu per satu.

Mata Shana mengerjab beberapa kali dengan air liur yang susah ditelannya beberapa kali. Melihat pemandangan di hadapannya, membuat tubuh Shana kembali panas dingin. Seperti ada aliran listrik yang menyengat dan mendebarkan di dadanya. Padahal ini bukan kali pertama, tapi entah kenapa setiap melihat roti sobek dan bahu kokoh milik Kaivan, hati Shana selalu menjerit. Ribuan kupu-kupu menghinggapi perutnya, membuatnya menikmati kesenangan ini.

Kaivan terkekeh kecil melihat Shana meremas ujung daster merah mudanya dengan pipi merona. Kaivan tahu pikiran Shana sudah kemana-mana sekarang, dan itu cukup membuat Kaivan mulai melepaskan kemejanya dan mendekati Shana lagi. Tangan Kaivan menggenggam tangan Shana, keduanya bersitatap dengan jantung berdebar. “Kamu cantik banget, Shan. Bikin aku kangen rumah terus. Pengen deh cepat-cepat punya anak perempuan yang cantik kayak kamu.”

Shana menunduk, menyembunyikan pipinya yang semakin memerah. Lalu, “Langsung digas aja.” Pelan, namun dapat didengar Kaivan. Menggelitik perutnya, namun Kaivan segera melakukannya. Dia tidak menyia-nyiakan waktu ini.

Chapter 2

Angin berhembus kencang menerbangkan tirai jendela berwarna kuning muda. Rintik demi rintik turun perlahan membasahi bumi, meninggalkan jejak di sana. Jendela yang semalam tidak tertutup rapat menimbulkan derit yang menganggu kedua orang yang tengah terpejam di atas ranjang. Saling memeluk—lebih tepatnya, Kaivan memeluk tubuh Shana dari belakang.

Mata Shana mulai terbuka perlahan, tubuhnya sedikit menggeliat disebabkan oleh suara bising dari jendela. Tidak lama kemudian, suara alarm berbunyi. Dengan mata yang masih setengah terbuka, tangannya meraih alarm dan mematikan benda itu.

“Mas?” Suara parau khas Shana membangunkan Kaivan yang masih memeluknya.

“Hm?” Kaivan masih belum bangun. Entah sadar atau tidak, dia hanya menggumam, lalu dengkuran halusnya terdengar lagi. Membuat Shana memutar balik tubuhnya, menatap wajah tampan nan manis itu. Senyumnya merekah dengan gerakan tangan yang mengelus rambut hitam Kaivan. Tubuh Kaivan menggeliat, namun dia masih terlelap.

“Kamu kecapekan, ya?”lirih Shana, “Mau aku masakin apa?” Meski tahu tidak akan mendapatkan jawaban, Shana masih bersuara, “Omelette? Gimana, Mas?”

“Hm …”

Shana cekikikan mendengar gumaman Kaivan, sepertinya laki-laki itu tidak ingin diganggu. Akhirnya, Shana memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan mulai membersihkan dirinya.

Tepat di jam 7 pagi, Kaivan baru saja terbangun. Sinar mentari pagi sehabis hujan menyinari wajahnya, menganggu lelapnya dari lelahnya semalam. Dia berjalan gontai sembari mencari keberadaan Shana. Sesekali menutup mulut ketika menguap, sesekali matanya mengedar mencari perempuan bertubuh mungil itu.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan si perempuan mungil. Kaivan tersenyum melihat Shana yang tengah sibuk menyiapkan sup ayam dan omelette, ah … di sana juga ada roti berisi sayuran. Kaivan hanya geleng-geleng kepala melihat kemeja putihnya yang hampir menelan tubuh mungil Shana. Dengan gerak cepat, Kaivan langsung memeluk Shana dari belakang.

“Astaga, Mas Kai!!”pekik Shana setelah melepaskan sutilnya. Matanya menatap horor wajah Kaivan yang diletakkan di pundaknya. Sedangkan, Kaivan, hanya terkekeh kecil. “Ngagetin tau, ga?”

“Iya. Iya. Maafin ya, Sayang …” Kaivan mengecup pipi Shana. Shana hanya tersenyum, lalu melanjutkan aktivitasnya tanpa mendorong Kaivan. Lagi pula, semua masakannya sudah siap, tinggal dihidangkan.

“Kamu tau ga, Sayang?” Kaivan memulai pembicaraannya. Shana hanya menoleh sebentar, pertanda bahwa dia tertarik dengan topik Kaivan. “Semalam tuh aku pengen dipijit. Tapi, malah dapat plus-plus—eh, sakit, Sayang! Kamu tuh kalau cubit kayak kepiting.” Kaivan meringis sembari menggosok sisi perutnya.

Shana melepaskan tawanya. Dia berhasil menjahili Kaivan balik. Siapa suruh membahas hal-hal seperti itu?

“Lagian masih pagi malah bahas yang kayak gitu-gitu. ‘Kan malu, Mas,”protes Shana. Tangannya mengangkat semangkuk sup dan sepiring omelette, dia berjalan menghampiri meja makan dan meletakkannya.

“Ngapain malu, sih? ‘Kan udah nikah. Mau di kamar kek, dapur kek, ruang tamu kek—aduh, jangan dicubit terus perut aku, Sayang …” Kaivan meringis lagi, kali ini dia menggosok perutnya yang habis dicubit Shana, lagi.

“Kamu tuh kalau dibilangin susah, ya, Mas?”

“Emang. Maunya dicium, itu nggak susah.”

“Maaaaass!!!!”

Kaivan berlari di saat Shana mulai memegang sendok dan mengejarnya. Keduanya saling mengejar sampai depan pintu kamar. Shana tidak berani memasukinya lagi, karena jika itu terjadi, maka Kaivan akan terlambat ke kantor.

Kaivan berdiri di ambang pintu, tersenyum genit dengan kedipan matanya. “Masuk, yuk, Sayang. Masih pagi nih.”

Dasar Kaivan. Bisa-bisanya dia membuat Shana mati kutu di depan pintu dengan pipi yang merona. Shana segera memutar balik badannya. “Nggak jadi, Mas.”

Sontak saja Kaivan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Kali ini dia berhasil mengusili Shana. Setelahnya, dia pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

“Bye, Maaas!” Shana melambaikan tangannya pada Kaivan yang sudah masuk ke dalam mobil. Deru mesin mobil sudah terdengar, kaca bagian kemudi diturunkan demi melihat sang istri yang berdiri di teras rumah.

“Bye, Sayang…” Kaivan balas melambaikan tangannya. Sesaat kemudian, mobilnya mulai meluncur. Pergi menjauh sampai hilang dari pandangan Shana. Senyum Shana memudar seiring dengan langkahnya memasuki rumah.

Setelah menutup pintu, Shana mulai mengambil beberapa alat tempur untuk membersihkan rumah. Alat yang pertama dia gapai adalah sapu. Dia menghembuskan napas pelan, berusaha untuk menerima semua ini. Termasuk, menjadi seorang istri yang hanya di rumah.

Di saat para tetangga mengomentari Shana yang hanya duduk diam di rumah tanpa ikut bekerja, kadang membuat Shana bersedih. Namun, Kaivan selalu bisa membuatnya kuat dan tidak mendengarkan omong kosong mereka.

Shana hanya harus legowo dan menjadi istri yang baik untuk Kaivan. Itu saja. Tidak perlu mendengar semua komentar itu, apalagi untuk memasukkannya ke dalam hati. Shana rasa itu tidak perlu.

Suara bel pintu terdengar nyaring. Bukan satu kali saja, melainkan dua sampai tiga kali. Nampaknya seseorang di luar sana tidak sabar dibukakan pintu.

Kening Shana mengernyit, memandang ke arah pintu. “Apa Mas Kai kelupaan sesuatu?”gumamnya. Lalu, kaki nya mulai melangkah menelusuri ruang tamu. Dengan gerak cepat, tangannya membuka pintu. Senyum merekah miliknya, harus pudar ketika mendapati bahwa di sana bukan Kaivan.

“Ibu?”

Ya, ibu Shana. Perempuan paruh baya yang dari awal tidak menyetujui pernikahan mereka. Dengan dagu yang masih terangkat, tanpa meminta masuk, kaki nya mulai berjalan melewati Shana. Di salah satu tangannya terdapat tas branded berwarna merah, sedangkan di sisi lainnya terdapat kipas yang selalu dibawanya kemana-mana.

“Kenapa? Kok kamu terkejut begitu melihat ibu? Apa kamu tidak senang ibu datang ke sini?”cecar sang Ibu membalik tubuh hingga berhadapan dengan Shana. “Atau … Kaivan tidak mau ibu mengunjungimu?”

Shana menggeleng dengan gerak tangan di depan dadanya. “Enggak, Bu. Ibu salah paham. A-aku cuma kaget aja.” Shana berjalan hendak menggapai tangan ibunya. Namun, sang Ibu menarik tangan sebelum Shana menyalaminya.

“Nggak perlu. Ibu masih marah sama kamu. Ibu masih kecewa sama pernikahan kalian.” Ibu segera duduk di atas sofa tanpa memandangi Shana sama sekali.

Hati Shana mencelos. Matanya sudah berair, namun dengan cepat tangannya menghapus agar sang Ibu tidak melihatnya. “Ibu, mau minum apa? Teh atau kopi?”

“Nggak usah. Ibu tidak lama ke sini.” Ibu menolak dengan dagu yang masih terangkat. “Kamu sudah isi?”

“Isi? Isi apa, Bu?”

“Halaah … taunya bikin aja, masa gitu doang nggak tau?”ujar Ibu, “Ya … hamil lah, apalagi?”

Shana tertegun. Dia tampak gelisah dengan pertanyaan itu. Padahal dia sering mendapatkannya dari tetangganya. Namun, entah mengapa saat mendengar dari orang yang dia sayang, malah terdengar menyakitkan.

“Sudah atau belum?” Ibu tampak tidak sabaran dengan diamnya Shana.

Shana menunduk, tangannya meremas sudut-sudut dasternya, “Belum, Bu.” Pelan, namun terdengar sakit.

Ibu menghembuskan napas lega. Kemudian, berdiri menghampiri Shana. Tangannya menepuk pundak Shana. “Bagus lah. Lagian, ibu tidak sudi punya cucu dari Kaivan. Kamu harus selalu mencegahnya, ibu sudah peringatkan kamu untuk selalu suntik tiga bulan. Kamu ikuti, kan?”

Shana tergagap. “I-iya, Bu.” Padahal selama ini, Shana tidak pernah melakukannya. Dia terpaksa membohongi ibunya sendiri.

Ibu tersenyum manis, “Bagus. Kalau begitu, ibu pulang, ya. Bye.” Derap langkah kakinya terdengar menjauh. Tanpa menoleh, Shana masih memerhatikan ujung kakinya. Tetes demi tetes air matanya mulai terjatuh di pipi. Apalagi mengingat ucapan Kaivan semalam, ketika dia berkata ingin seorang anak perempuan secantik Shana.

Chapter 3

Di atas sofa berwarna merah, Shana masih terdiam gamang. Kaki nya ditekuk dengan kedua tangan yang memeluk. Sapu yang tadi dipegangnya masih terletak di sudut sofa. Tidak berniat melakukan apapun. Berkali-kali deru napasnya tidak teratur. Pikirannya melayang-layang pada ucapan ibunya, dan juga Kaivan.

Mata bulat dengan iris cokelat muda miliknya menatap lurus-lurus ke arah vas bunga yang terletak di atas meja kaca. Pandangannya memang ke sana, tapi tidak dengan pikirannya. Dia melepaskan napas gusar berkali-kali. Tidak menghiraukan suara-suara berisik yang tengah menggunjingnya di depan rumah.

Shana masih memikirkan ucapan ibunya. Tangannya terangkat dan meraba perut ratanya. Mengusapnya dengan lembut, dengan perasaan yang entah, dia pun tidak mengerti. Dia belum hamil saja ibunya sudah berkata seperti itu, lalu bagaimana jika nanti Shana benaran hamil?

Shana harusnya senang jika kabar bahagia itu tiba, selain bisa menutup mulut para tetangga yang mengatakannya mandul. Dia juga bisa memenuhi keinginan Kaivan. Lalu, ibunya? Ibunya pasti akan sangat membencinya.

Shana tersenyum getir. Matanya menoleh ke arah daun pintu yang masih tertutup rapat. Suara-suara berisik di sana enggan untuk diam sejenak. Tanpa mengerti perasaan seseorang yang mendengarnya.

“Untung aja Wati pas nikah langsung punya anak, jadi aku bisa gendong cucuku. Cucu yang cantiiik.”

“Iya tuh, masa sudah lima bulan, belum hamil juga?”

“Udah bener tuh, Bu. Dia itu MANDUL!”

“Kasian suaminya, mana cakep, kaya, bodinya bagus. Eh … dapat istri mandul.”

“Harusnya, suaminya itu lebih dulu ketemu anakku. Biar langsung dapat anak. Iya, kan?”

“Iya. Kasihan banget suaminya. Amit-amit, deh, kalau dapat mantu kayak dia. Ihhh!!”

“Jangan sampe deh. Kalau nanti Rafi nikah sama perempuan mandul, langsung ku suruh cerai!”

“Tampang doang cantik, tapi MANDUL! IH AMIT-AMIT!”

Dengar? Suara mereka bersahut-sahutan di depan rumah Shana. Tidak memikirkan Shana yang sedang menenggelamkan wajahnya di atas tumpuan kaki. Tidak ada upaya lagi untuk menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Kekuatannya sudah habis. Isak tangisnya mulai terdengar lirih. Lirih menyayat hati, meninggalkan guncangan di bahunya.

“Dia di dalam, kan, ya? Pasti dengar dong obrolan kita?”

“Ya iyalah, Bu. Masa dia tuli juga, sih?” Sahutan itu membuat semua yang ada di sana tertawa-tawa.

“HEH, PEREMPUAN MANDUL! KALAU NGGAK BISA NGASIH KETURUNAN, LO CERAIKAN AJA SUAMI LO. KASIHAN DIA!”

“Buat Siti aja sini. Siti bisa kasih gaya helikopter!”

Tawa mereka terdengar kembali. Bahkan, kali ini tampaknya mereka sambil berbisik-bisik.

“Udah, yuk, Buibu. Kita pulang. Nanti ke sini lagi.”

“Kalau ngumpul jangan lupa bawa anak, biar makin panas dia.”

“Benar tuh! Yuk!”

Derap langkah kaki bersahut-sahutan mulai menjauh. Beriringan dengan suara tawa mereka yang masih terdengar walaupun samar-samar. Shana mengangkat wajahnya, mengusap pipi nya yang basah, menghapus jejak air mata yang membuatnya terlihat jelek. Mereka sudah pergi, jadi Shana memutuskan untuk bangkit kembali. Dia hanya pura-pura tegar di hadapan semua orang, yang pada akhirnya dia kembali rapuh ketika sendiri.

Shana bangkit dari duduknya. Mulai mengambil sapu yang dari tadi menganggur. Setelah membenarkan cepol rambutnya, Shana mulai legowo dan mulai membersihkan rumah. Dia tidak mau jika nantinya Kaivan pulang marah-marah karena rumah berantakan. Shana tidak mau itu terjadi lagi. Dia hanya menginginkan suaminya pulang dengan senyuman hangat.

***

Langit menggelap dengan rintikan hujan yang turun perlahan. Shana baru saja selesai mandi, kali ini dia memutuskan untuk mencari bahan masakan sebelum Kaivan pulang. Tepat di depan gang, ada sebuah jalan besar yang dijadikan tempat berjualan para pedagang. Biasanya mereka berjualan sayur-mayur dan beberapa olahan daging.

Dengan sweater merah, celana panjang, dan sandal jepit, Shana mulai melangkah menjauhi rumah. Di tangan kanannya memegang payung berwarna merah guna menutupi tubuhnya dari serangan hujan yang tiba-tiba deras. Kaki nya terus melangkah. Di saat-saat seperti ini lah Shana senang keluar mencari bahan masakan, karena jika di pagi atau siang hari, dia hanya akan mendapat cacian dari para tetangganya.

Tidak lama untuk menemukan tempat para pedagang yang dibutuhkan Shana. Shana langsung bergerak ke arah pedagang sayuran dulu. Dia membeli beberapa sayuran hijau, seperti kangkung, bayam, dan brokoli.

“Ini, Bu,”ucap Shana menyerahkan uang dua puluhan ribu. Setelah mendapatkan kembaliannya. Shana bergerak menuju tempat per-bawang-an. Dia baru ingat bahwa bawang dan tomatnya sedang habis.

“Bu, mau bawangnya sekilo sama tomatnya setengah kilo.” Shana membalas senyuman si ibu penjual langganannya. Tangannya dengan cepat merogoh saku sweater-nya.

“Bawang sudah naik, Mbak. Nggak kayak kemarin masih dapat harga empat puluh. Sekarang naik, jadi enam puluh. Nggak apa-apa, Mbak?” Si Ibu penjual bertanya sembari melirik Shana yang hanya memegang uang seratus ribu.

“Oh … ng—bawangnya, setengah kilo aja deh, Bu. Hehe…” Shana menggaruk pipinya. Malu sekali rasanya karena tidak bertanya dahulu. Si Ibu penjual hanya tersenyum melihat Shana yang salah tingkah.

Setelah mendapatkan barang belanjaannya, kini Shana sudah berdiri di depan mamang penjual ayam. Untung saja sekarang lagi turun hujan, kalau tidak, Shana pasti akan kehabisan daging ayam karena harus berebut dengan para ibu lainnya.

“Ini, Mbak. Saya kasih tambahan daging, karena udah langganan.”ucap si Mamang dengan senyum khasnya.

“Makasih, ya, Mang.” Shana menerima kresek putihnya dengan senang.

“Sama-sama.”

Langkah kaki Shana mulai terayun meninggalkan area jalan. Matanya sempat menyapu beberapa toko di seberang jalan yang berjualan eskrim dan pakaian. Patung-patung yang memakai baju cantik terpampang jelas di depan toko. Membuat Shana melihat lama dengan senyum tipisnya. Ah … mungkin saja dia ingin merayu Kaivan untuk membelikannya baju itu.

Belum sempat mata Shana beralih hendak berbelok, namun pandangannya tertahan pada sebuah mobil yang dia kenali. Mobil dengan ciri khas yang tertempel di sudut badannya, Shana mengenali mobil itu. Kaki nya berhenti memandangi mobil itu, tanpa memperdulikan beberapa orang yang berjalan desak-desakan dan menabrak punggungnya. Shana masih terdiam, tidak berniat menyebrang jalan untuk menyapa seseorang di sana.

Pintu kemudi terbuka, seorang pria yang Shana kenal telah keluar dengan payung hitamnya. Shana tersenyum melihat pergerakan lelaki itu yang menurutnya sangat lucu. Berlari cepat ke sisi mobil, membuka pintu di sebelah kemudi. Seseorang yang Shana tidak bisa melihatnya dari sini, hingga membuatnya harus melongok untuk melihat siapakah yang tengah dipayungi pria itu.

Binar di mata Shana memudar seiring dengan gerakan payung yang berjalan ke arah belakang mobil. Membuat jelas di mata Shana saat lelaki itu terlihat memayungi seorang perempuan dengan kuncir satu dan kacamatanya. Mereka tampak mengobrol sebentar. Kaki Shana terasa kaku saat melihat tangan pria itu bergerak menyentuh sisi wajah perempuan itu. Deru napas Shana semakin tidak teratur dengan mata yang berkaca-kaca. Payung merahnya terjatuh seiring dengan suara lirihnya yang tertahan.

“Mas Kai?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!