Di dunia korporat yang kejam, hanya ada dua jenis orang: mereka yang bekerja untuk bertahan hidup dan mereka yang bekerja untuk menang. Evelyn Carter termasuk dalam kategori kedua. Sebagai sekretaris pribadi Adrian Lancaster, CEO perusahaan multinasional Lancaster Group, ia bekerja tanpa cela. Tepat waktu, disiplin, dan nyaris tanpa emosi—seperti mesin yang dirancang untuk kesempurnaan.
Pagi itu, seperti biasa, ia tiba di kantor pukul 06.00 pagi, dua jam sebelum para karyawan lainnya. Ia berjalan melewati lobi dengan langkah tegap, sepatu hak tingginya berbunyi pelan di lantai marmer. Para petugas keamanan yang sedang berjaga hanya bisa mengangguk sopan ketika wanita berambut hitam panjang itu melewati mereka. Tak ada sapaan balik dari Evelyn, hanya tatapan dingin yang menyiratkan bahwa ia tidak tertarik pada basa-basi.
Setibanya di lantai tertinggi, ia langsung masuk ke ruang kerja bosnya. Ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang masih tertutup kabut pagi. Tanpa membuang waktu, ia mulai menyusun berkas-berkas yang akan dibutuhkan Adrian hari ini.
Pukul 06.30, kopi hitam tanpa gula sudah tersaji di meja kerja sang CEO. Agenda rapat telah tersusun rapi dalam tablet yang akan dibawa Adrian. Evelyn bahkan telah mengantisipasi permintaan tambahan—sebuah laporan mendetail tentang proyek ekspansi ke Eropa yang kemungkinan besar akan diminta bosnya pagi ini.
Tepat pukul 07.00, pintu lift terbuka, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan jas hitam keluaran desainer melangkah masuk. Adrian Lancaster.
Rambutnya sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan lari paginya. Rahangnya yang tegas dihiasi sedikit janggut tipis yang membuatnya tampak lebih matang. Dengan tubuh atletis dan sorot mata tajam, Adrian adalah pria yang terbiasa mengendalikan segalanya.
Namun, ada satu hal yang tidak pernah bisa dikendalikannya—Evelyn Carter.
“Pagi, Tuan Lancaster,” ujar Evelyn datar tanpa menoleh dari laptopnya.
Adrian melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu mengambil cangkir kopi yang sudah tersaji di mejanya. Ia menyesapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Kau bahkan tahu aku butuh kopi lebih awal hari ini.”
Evelyn akhirnya menatapnya, wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Anda selalu meminta kopi setelah lari pagi di hari Selasa dan Jumat. Hari ini Selasa.”
Adrian terkekeh pelan. “Tentu saja kau mengingat kebiasaanku.”
Bukan hal yang mengejutkan. Evelyn selalu mengingat semuanya.
Jika ada yang pernah melihat Evelyn melakukan kesalahan, mereka pasti sedang berkhayal. Wanita itu tidak pernah datang terlambat, tidak pernah lupa jadwal, dan tidak pernah panik. Ia bisa bekerja berjam-jam tanpa terlihat lelah. Jika ada krisis, ia selalu punya solusi sebelum Adrian sempat mengeluh.
Banyak yang bergosip bahwa Evelyn bukan manusia biasa—mungkin robot, atau mata-mata, atau bahkan makhluk dari dimensi lain. Tapi yang pasti, dia adalah sekretaris terbaik yang pernah dimiliki Lancaster Group.
Adrian mengamati wanita itu dari balik cangkirnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat rapi, memperlihatkan leher jenjang dan wajah tanpa cela. Mata abu-abunya selalu penuh perhitungan, bibirnya tipis dan jarang tersenyum. Cantik, tapi dingin.
Ia sudah mengenal banyak wanita di hidupnya—model, aktris, sosialita—tetapi tidak ada yang seperti Evelyn.
“Bagaimana agendaku hari ini?” tanya Adrian, mencoba mengalihkan pikirannya dari pertanyaan aneh yang terus mengusik kepalanya.
Evelyn mengetuk tabletnya beberapa kali sebelum menjawab, “Pukul 08.00, Anda memiliki rapat dengan dewan direksi. Pukul 10.00, konferensi video dengan investor dari Jepang. Pukul 12.30, makan siang dengan Lucas Reed. Pukul 15.00, inspeksi proyek gedung baru di pusat kota.”
Adrian mengangguk, lalu menyipitkan mata. “Lucas? Untuk apa?”
“Dia ingin membahas kemungkinan merger dengan Morgan & Co.”
Adrian menghela napas. Lucas Reed, sahabat sekaligus direktur keuangan perusahaan, selalu punya banyak ide gila. Ia akan mendengar penjelasannya nanti.
Namun, satu hal lain mengusiknya lebih dari sekadar merger perusahaan.
“Evelyn,” panggilnya tiba-tiba.
Evelyn menatapnya tanpa ekspresi. “Ya?”
“Aku penasaran.” Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat tangannya di dada. “Sejak kau mulai bekerja di sini, aku tidak pernah melihatmu sakit, terlambat, atau bahkan sekadar mengambil cuti.”
“Apa yang Anda ingin tanyakan?”
“Apakah kau manusia?”
Evelyn terdiam sesaat. Itu bukan pertama kalinya seseorang bertanya demikian.
“Jika saya bukan manusia, menurut Anda, saya ini apa?” Evelyn bertanya balik, suaranya tetap datar.
Adrian terkekeh. “Itulah yang sedang kucoba cari tahu.”
Evelyn tidak menjawab. Ia hanya kembali menunduk dan melanjutkan pekerjaannya, seolah percakapan itu tak pernah terjadi.
Siang harinya, setelah rapat dan konferensi video selesai, Adrian kembali ke kantornya lebih awal. Namun, saat hendak masuk, langkahnya terhenti.
Pintu ruang kerja Evelyn sedikit terbuka.
Rasa penasaran membuatnya mendekat. Dari celah pintu, ia melihat Evelyn sedang berbicara di telepon. Nada suaranya berbeda. Tidak dingin, tidak formal. Ada sesuatu yang lain—mungkin kekhawatiran?
“Tidak. Aku tidak bisa pulang sekarang,” suara Evelyn terdengar pelan. “Aku punya pekerjaan.”
Hening sejenak.
“Aku tahu… Tapi aku belum siap untuk itu.”
Adrian menyipitkan mata. Evelyn Carter tidak pernah tidak siap untuk sesuatu.
“Aku akan menghubungimu nanti.” Evelyn menutup teleponnya, lalu menghela napas pelan. Saat itulah Adrian melihat sesuatu yang tidak biasa—tangan Evelyn sedikit gemetar.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Evelyn menyadari kehadirannya. Dengan cepat, ekspresinya kembali dingin seperti biasa.
“Maaf, apakah Anda butuh sesuatu, Tuan Lancaster?”
Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Tidak. Aku hanya ingin memastikan kau masih manusia.”
Evelyn tidak menanggapi. Ia hanya menatap Adrian dalam diam, sebelum akhirnya kembali pada pekerjaannya.
Namun, Adrian tahu satu hal pasti: Evelyn Carter tidak sesempurna yang ia kira.
Dan ia berniat mencari tahu rahasia apa yang disembunyikan wanita itu.
.
.
Adrian Lancaster tidak mudah tertarik pada seseorang. Hidupnya selalu dipenuhi dengan orang-orang yang ingin mendekatinya—entah karena ketampanannya, kekayaannya, atau statusnya sebagai CEO Lancaster Group. Ia sudah terbiasa dengan wajah-wajah penuh kepalsuan, senyum basa-basi, dan kata-kata manis yang berusaha menyenangkan egonya.
Namun, Evelyn Carter berbeda.
Wanita itu tidak pernah mencoba menarik perhatiannya, tidak pernah mencari validasi darinya, bahkan tidak pernah berusaha membuatnya terkesan. Ia hanya melakukan pekerjaannya dengan kesempurnaan nyaris tidak manusiawi. Jika ada satu hal yang membuat Adrian penasaran, itu adalah fakta bahwa ia tidak bisa membaca Evelyn Carter.
Dan baru saja, untuk pertama kalinya, ia melihat retakan di balik fasad sempurna Evelyn.
Seseorang telah meneleponnya. Seseorang yang cukup penting hingga membuat tangan Evelyn sedikit gemetar.
Adrian mungkin tidak punya banyak waktu untuk mengurusi kehidupan pribadi sekretarisnya, tapi ia bukan pria yang bisa mengabaikan sesuatu yang membuatnya penasaran.
“Evelyn,” panggilnya tiba-tiba.
Wanita itu mengangkat kepalanya dari layar komputer. “Ya, Tuan Lancaster?”
Adrian berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan di meja kerja Evelyn dan menatapnya dalam-dalam. “Aku penasaran. Pernahkah kau mempertimbangkan mengambil cuti?”
Evelyn menatapnya datar. “Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena saya tidak membutuhkannya.”
Adrian tertawa pelan. “Manusia butuh istirahat, Evelyn.”
“Saya tidak seperti manusia lain.”
Jawaban itu membuat Adrian semakin tertarik. Ia tidak menunjukkan reaksinya, hanya mengangkat alis sedikit sebelum kembali ke kursinya.
“Baiklah,” katanya santai. “Katakan padaku jika suatu hari kau butuh cuti.”
“Saya tidak akan membutuhkannya.”
Adrian hanya tersenyum kecil. Evelyn benar-benar menarik—tapi bukan karena kecantikannya, bukan karena kecerdasannya, melainkan karena misterinya.
Dan Adrian Lancaster adalah pria yang selalu mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya.
Hari itu berlalu seperti biasa, dengan rapat-rapat yang panjang dan negosiasi yang melelahkan. Adrian tidak lagi membahas soal cuti Evelyn, tetapi ia menyadari bahwa sesekali, sekretarisnya itu tampak sedikit… terganggu.
Tatapannya kosong selama beberapa detik sebelum ia kembali bekerja. Tangannya sedikit lebih kaku saat mengetik.
Sesuatu telah terjadi.
Dan Adrian berencana mengetahuinya.
Ketika hari mulai gelap dan kantor sudah sepi, Adrian tetap tinggal di ruangannya, berpura-pura menyelesaikan dokumen penting. Ia memperhatikan Evelyn dari balik jendela kacanya.
Pukul 21.30, Evelyn akhirnya menyimpan dokumen terakhirnya dan menutup laptopnya. Wanita itu berdiri, merapikan kertas-kertas di mejanya, lalu mengambil tas tangannya.
Adrian segera keluar dari ruangannya. “Evelyn.”
Evelyn menoleh, sedikit terkejut, tetapi ekspresinya segera kembali netral. “Anda belum pulang, Tuan Lancaster?”
Adrian memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Tidak. Aku berpikir untuk makan malam. Ikut denganku?”
Evelyn mengerutkan kening. “Anda ingin saya menemani Anda makan malam?”
“Ya.” Adrian tersenyum. “Aku pikir sudah cukup lama kita bekerja bersama, tapi aku belum pernah benar-benar mengenalmu.”
Evelyn menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Mereka berdua berakhir di sebuah restoran mewah yang tidak terlalu ramai. Adrian memesan steak, sementara Evelyn hanya memesan salad dan segelas anggur merah.
Mereka makan dalam diam selama beberapa menit sebelum akhirnya Adrian memecah keheningan.
“Kau menerima telepon hari ini.”
Evelyn berhenti memotong saladnya, lalu menatap Adrian dengan ekspresi tenang. “Ya.”
“Dari siapa?”
“Itu bukan urusan Anda.”
Adrian terkekeh. “Tidak biasanya kau menjawab seperti itu.”
“Saya tidak suka membicarakan hal pribadi.”
“Kenapa?”
Evelyn meletakkan garpunya dan menatap Adrian lurus-lurus. “Karena tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Adrian mendekatkan tubuhnya ke meja, menyipitkan mata. “Aku tidak percaya.”
Evelyn tetap diam, tetapi Adrian melihat cahaya aneh di matanya. Sesuatu yang hampir seperti… ketakutan.
“Kau bisa bekerja dengan sempurna, menghafal jadwal dan kebiasaan orang-orang di sekitarmu, dan selalu tampak tidak tergoyahkan,” lanjut Adrian. “Tapi hari ini, kau berbeda.”
Evelyn menarik napas pelan. “Saya hanya lelah.”
“Kau tidak pernah lelah.”
Evelyn menatapnya tajam, tetapi tidak berkata apa-apa.
Adrian bersandar ke kursinya, menyesap anggurnya. “Baiklah, kalau kau tidak ingin mengatakannya, aku tidak akan memaksa.”
Evelyn tetap diam, tetapi Adrian tahu satu hal pasti: Wanita itu menyimpan rahasia.
Dan entah kenapa, ia ingin menjadi orang pertama yang mengetahuinya.
Setelah makan malam, Adrian mengantar Evelyn ke mobilnya. Saat Evelyn hendak masuk ke dalam mobil, Adrian menangkap sesuatu dari sudut matanya.
Seseorang berdiri di seberang jalan, mengenakan jaket hitam dan topi, memperhatikan mereka dari kejauhan.
Adrian menyipitkan mata, tetapi begitu pria itu menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, ia segera berbalik dan berjalan menjauh.
Evelyn yang menyadari perubahan ekspresi Adrian bertanya, “Ada apa?”
Adrian menatapnya lama sebelum menjawab, “Tidak ada.”
Namun, pikirannya mengatakan hal lain.
Seseorang sedang mengawasi mereka.
Dan itu berarti hanya satu hal—Evelyn Carter menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga.
Adrian Lancaster bukan tipe pria yang mudah mengabaikan sesuatu, terutama jika itu berkaitan dengan orang yang menarik perhatiannya. Dan malam ini, ia baru saja menyadari sesuatu yang membuatnya semakin ingin menggali lebih dalam tentang Evelyn Carter.
Seseorang sedang mengawasi mereka.
Pria berjaket hitam yang berdiri di seberang jalan tadi mungkin tidak sadar, tapi insting Adrian sudah cukup tajam untuk mengenali tanda-tanda kecurigaan. Cara pria itu berdiri, memperhatikan Evelyn, lalu pergi begitu sadar dia sedang diperhatikan… itu bukan kebetulan.
Namun, Evelyn tampak biasa saja. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasa terancam.
Atau mungkin… ia memang sudah terbiasa dengan situasi ini?
Adrian menatap Evelyn yang hendak masuk ke mobilnya. Sejenak, ia mempertimbangkan untuk menanyakan langsung, tetapi sesuatu memberitahunya bahwa wanita itu tidak akan memberinya jawaban yang jujur.
Dan Adrian Lancaster tidak suka ditutup-tutupi.
“Evelyn,” panggilnya sebelum wanita itu sempat menutup pintu mobilnya.
Evelyn menoleh. “Ya?”
“Apa kau baik-baik saja?”
Mata Evelyn menatapnya dalam. Sekilas, Adrian melihat ekspresi ragu di sana, tetapi dalam hitungan detik, Evelyn kembali ke ekspresi datarnya. “Saya baik-baik saja.”
Adrian tersenyum kecil. “Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa bicara padaku.”
Evelyn hanya menatapnya selama beberapa detik sebelum berkata pelan, “Terima kasih, Tuan Lancaster.”
Dan dengan itu, ia masuk ke mobil dan menyalakan mesin, meninggalkan Adrian yang masih berdiri di trotoar dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.
Adrian bukan pria yang sabar. Jika ia menginginkan sesuatu, ia akan mendapatkannya.
Maka keesokan harinya, ia sudah menugaskan seseorang untuk menyelidiki Evelyn Carter.
“Kau ingin aku mencari informasi tentang sekretarismu?” tanya Lucas Reed, kepala keamanan pribadinya yang juga sahabatnya sejak kecil.
“Ya.”
Lucas mengangkat alis. “Adrian, kau punya akses ke hampir semua data di negara ini. Kalau kau ingin tahu di mana dia tinggal atau riwayat pekerjaannya, kau bisa mendapatkannya dalam hitungan menit.”
“Aku tidak butuh informasi dasar,” Adrian menjawab sambil menyilangkan tangan. “Aku ingin tahu hal-hal yang tidak ada dalam data resmi.”
Lucas menyipitkan mata. “Kau mencium sesuatu?”
“Lebih dari itu.” Adrian menatap sahabatnya tajam. “Semalam, ada seseorang yang memperhatikannya. Dan reaksi Evelyn membuatku yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu.”
Lucas bersiul pelan. “Oke, sekarang aku tertarik.”
“Mulailah dari hal kecil,” kata Adrian. “Apakah ada sesuatu dalam hidupnya yang tampak janggal? Apakah dia punya hubungan dengan seseorang yang mencurigakan?”
Lucas mengangguk. “Baiklah, beri aku waktu beberapa hari.”
Adrian tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi ia tahu satu hal: Evelyn Carter bukan sekadar sekretaris biasa.
Dan ia akan mencari tahu kenapa.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, tetapi Adrian semakin memperhatikan Evelyn.
Wanita itu tetap sama seperti sebelumnya—efisien, profesional, dan nyaris seperti robot. Jika ia memiliki kehidupan pribadi yang berantakan, ia benar-benar menyembunyikannya dengan sempurna.
Tetapi Adrian tahu cara membaca orang. Ia memperhatikan bahwa sesekali, Evelyn memeriksa ponselnya dengan cepat. Ia melihat bagaimana mata Evelyn bergerak sedikit ke arah jendela seakan-akan memastikan sesuatu.
Dia sedang menunggu seseorang.
Atau lebih tepatnya, menghindari seseorang.
Dan itu semakin membuat Adrian penasaran.
Pada suatu malam, saat semua orang sudah pulang dan hanya mereka berdua yang tersisa di kantor, Adrian akhirnya memutuskan untuk bertanya.
“Evelyn,” katanya tanpa mengangkat kepala dari dokumen yang sedang ia tanda tangani.
“Ya, Tuan Lancaster?”
“Kau tidak pernah bercerita tentang keluargamu.”
Evelyn terdiam sejenak sebelum menjawab, “Itu karena tidak ada yang perlu diceritakan.”
Adrian akhirnya menatapnya. “Jadi kau tidak punya keluarga?”
Evelyn tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab, “Saya tidak punya siapa pun yang bisa disebut sebagai keluarga.”
Adrian memperhatikan ekspresinya, tetapi seperti biasa, wajah Evelyn tetap tenang.
“Bagaimana dengan masa kecilmu?” lanjut Adrian.
“Saya dibesarkan di panti asuhan.”
Itu membuat Adrian sedikit terkejut. Ia tidak menyangka bahwa wanita sehebat Evelyn berasal dari latar belakang seperti itu.
“Tapi kau berhasil mencapai titik ini,” kata Adrian dengan nada kagum. “Dari panti asuhan sampai menjadi sekretaris pribadi CEO. Itu bukan sesuatu yang mudah.”
Evelyn menatapnya sebentar sebelum berkata, “Saya hanya bekerja keras.”
Jawaban yang terlalu sederhana.
Adrian tahu ada lebih dari itu, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh.
Namun, semakin hari, rasa penasarannya semakin membesar.
Siapa sebenarnya Evelyn Carter?
Pada malam ketiga setelah makan malam mereka, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Adrian baru saja keluar dari kantornya ketika ia melihat sesuatu di tempat parkir.
Evelyn sedang berbicara dengan seseorang.
Adrian tidak mengenali pria itu, tetapi cara Evelyn berdiri menunjukkan ketegangan yang tidak biasa.
Ia mendekat perlahan, bersembunyi di balik salah satu mobil agar bisa mendengar percakapan mereka.
“…Aku sudah memperingatkanmu,” suara pria itu terdengar dingin.
“Aku tahu,” suara Evelyn terdengar lebih pelan dari biasanya, tetapi ada ketegasan di sana. “Aku tidak akan berubah pikiran.”
Pria itu tertawa kecil. “Kau pikir dia tidak akan tahu? Kau pikir kau bisa terus hidup seperti ini?”
“Aku bisa.”
“Aku harap kau benar, Evelyn,” kata pria itu sebelum berbalik pergi.
Evelyn tetap berdiri di tempatnya selama beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang.
Adrian segera bergerak, berpura-pura baru saja keluar dari kantor. “Evelyn?”
Evelyn menoleh dengan cepat, ekspresinya langsung berubah menjadi netral. “Ya, Tuan Lancaster?”
“Siapa pria itu?”
Evelyn tampak tenang, tetapi Adrian menangkap jejak kekhawatiran di matanya.
“Teman lama.”
Adrian tidak percaya. Tetapi untuk saat ini, ia tidak menekan lebih jauh.
Namun, satu hal sudah jelas—Evelyn Carter menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia duga.
Dan Adrian tidak akan berhenti sampai ia menemukan jawabannya.
---
Adrian Lancaster bukan pria yang mudah diabaikan, dan dia bukan tipe yang membiarkan sesuatu berlalu tanpa jawaban. Ketika melihat Evelyn berbicara dengan pria asing tadi, rasa penasarannya semakin menguat.
Pria itu jelas mengenal Evelyn—dan yang lebih mencurigakan, Evelyn tampak tidak nyaman berada di dekatnya.
Ketika Adrian bertanya siapa pria itu, Evelyn hanya menjawab dengan santai, “Teman lama.”
Tetapi cara matanya sedikit bergetar, cara dia menelan ludah seolah menahan sesuatu, semuanya menandakan kebohongan.
Evelyn bukan wanita yang mudah dibaca. Selama bekerja sebagai sekretarisnya, Adrian menyadari bahwa Evelyn selalu bersikap profesional, tidak pernah menunjukkan emosi lebih dari yang diperlukan. Bahkan ketika bekerja lembur atau menghadapi situasi sulit, dia selalu tenang dan terkendali.
Namun, detik itu juga, Adrian tahu bahwa Evelyn sedang menyembunyikan sesuatu.
Dan dia akan mencari tahu.
Malam itu, Adrian tidak bisa tidur nyenyak. Dia terus memikirkan Evelyn, pria asing itu, dan bagaimana ekspresi Evelyn tampak sekilas berubah.
Siapa pria itu?
Apa yang dia katakan pada Evelyn?
Adrian mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Lucas Reed, sahabat sekaligus kepala keamanannya.
"Cari tahu siapa pria yang bertemu dengan Evelyn malam ini. Aku ingin semua informasi tentang dia dalam waktu 24 jam."
Tak lama kemudian, Lucas membalas.
"Mengerti, tapi kau benar-benar terobsesi dengan sekretarismu, ya?"
Adrian hanya menghela napas. Dia tidak akan menyangkalnya—ada sesuatu tentang Evelyn Carter yang membuatnya tertarik. Bukan hanya kecerdasannya, bukan hanya dedikasinya sebagai sekretaris, tetapi misteri yang mengelilinginya.
Dan semakin dia mencoba memahami Evelyn, semakin dia merasa bahwa wanita itu memiliki sisi yang tidak ia perlihatkan pada siapa pun.
Pagi itu, ketika Adrian tiba di kantor, Evelyn sudah ada di sana seperti biasa. Duduk tegak, mengetik sesuatu di laptopnya, dan wajahnya seperti biasa—tenang, tanpa ekspresi yang berlebihan.
Namun, Adrian menyadari satu hal kecil yang tidak biasa.
Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya.
Evelyn tidak tidur nyenyak.
Dia ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, tetapi dia tahu Evelyn tidak akan menjawab dengan jujur. Jadi, dia hanya mengamati gerak-geriknya sepanjang hari.
Dan semakin dia mengamatinya, semakin dia yakin—Evelyn sedang gelisah.
Ketika waktu makan siang tiba, Adrian mengajaknya makan di restoran dekat kantor. Evelyn, seperti biasa, menolak dengan sopan, tetapi Adrian memaksanya.
"Kau sudah bekerja keras. Anggap ini sebagai penghargaan," katanya santai.
Akhirnya, Evelyn mengalah.
Mereka duduk di meja VIP yang jauh dari keramaian. Adrian sengaja memilih tempat ini agar bisa berbicara lebih bebas.
Saat mereka sedang menunggu makanan, Adrian akhirnya membuka suara.
"Evelyn, aku ingin bertanya sesuatu," katanya, memperhatikan reaksi wanita itu.
Evelyn meletakkan gelas airnya dengan tenang. "Silakan, Tuan Lancaster."
Adrian menyilangkan tangannya di atas meja. "Pria yang menemuimu tadi malam. Siapa dia sebenarnya?"
Untuk sesaat, Evelyn terdiam. Tatapannya tetap tenang, tetapi Adrian menangkap keraguan di balik matanya.
"Kupikir saya sudah menjawabnya semalam," katanya akhirnya.
"Kau bilang dia teman lama," Adrian mengangguk. "Tapi ekspresimu berkata lain."
Evelyn menghela napas. "Dia memang seseorang dari masa lalu saya, tapi bukan seseorang yang penting."
Adrian menatapnya lekat-lekat. "Kalau dia tidak penting, kenapa kau terlihat tidak nyaman saat bertemu dengannya?"
Evelyn terdiam.
Adrian tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban yang lebih jelas dari Evelyn hari ini. Tetapi dari ekspresi dan sikapnya, dia sudah mendapatkan sesuatu—Evelyn takut pada pria itu.
Pertanyaannya adalah, kenapa?
Malam harinya, ketika Adrian kembali ke apartemennya, Lucas akhirnya menghubunginya.
"Aku sudah menemukan informasi tentang pria itu," kata Lucas.
Adrian duduk di sofa, mendengarkan dengan seksama. "Siapa dia?"
Lucas menghela napas sebelum menjawab, "Namanya Damian Rook. Dulu dia mantan agen intelijen."
Adrian mengernyit. "Mantan agen?"
"Ya. Dia keluar dari dunia itu sekitar lima tahun lalu. Sejak itu, jejaknya hampir tidak ada."
Adrian berpikir sejenak. "Apa hubungannya dengan Evelyn?"
"Itu bagian yang menarik," kata Lucas. "Aku menemukan sesuatu dalam data lama. Lima tahun lalu, ada sebuah operasi rahasia yang melibatkan Evelyn Carter dan Damian Rook."
Adrian menegang. "Operasi rahasia?"
"Ya. Tidak ada catatan detail, tapi dari apa yang bisa kutemukan, Evelyn dulunya bukan hanya sekadar sekretaris biasa. Dia pernah terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap."
Adrian terdiam. Jadi dugaannya benar. Evelyn bukan wanita biasa.
Lucas melanjutkan, "Dan sepertinya, Damian Rook adalah seseorang yang berhubungan dengan masa lalunya. Aku belum tahu apa yang terjadi di antara mereka, tapi satu hal yang pasti—pria itu bukan seseorang yang bisa diremehkan."
Adrian mengeratkan genggamannya.
Sekarang, pertanyaannya adalah: Apakah Evelyn dalam bahaya?
Dan jika iya, apa yang harus ia lakukan?
Keesokan harinya, Adrian memperhatikan Evelyn lebih intens. Wanita itu masih bekerja dengan sempurna, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tampak sedikit berbeda.
Dia tampak sedikit lebih gelisah.
Ketika mereka bertemu di ruangannya untuk membahas jadwal minggu depan, Adrian akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Evelyn," panggilnya.
"Ya, Tuan Lancaster?"
Adrian menatap matanya dalam-dalam. "Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa memberitahuku."
Untuk sesaat, Adrian melihat sesuatu dalam ekspresi Evelyn. Seolah-olah wanita itu ingin mengatakan sesuatu, tetapi menahannya.
Akhirnya, Evelyn tersenyum tipis. "Terima kasih, tapi saya baik-baik saja."
Adrian tidak percaya, tetapi dia tidak mendesak.
Namun, dalam hatinya, dia berjanji satu hal:
Apa pun yang terjadi, dia akan mencari tahu rahasia Evelyn Carter.
Dan dia akan memastikan bahwa wanita itu aman.
Malam itu, Adrian Lancaster duduk di kantornya, menatap kosong ke layar laptop yang penuh dengan laporan bisnis. Biasanya, dia bisa dengan mudah menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, tetapi kali ini pikirannya tidak bisa lepas dari satu hal—Evelyn Carter.
Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?
Lucas sudah memberinya informasi bahwa Evelyn pernah terlibat dalam operasi rahasia lima tahun lalu, tetapi tidak ada detail spesifik. Siapa dia sebelum menjadi sekretaris?
Dan lebih penting lagi, mengapa dia meninggalkan kehidupan lamanya?
Adrian menghela napas, lalu menutup laptopnya. Dia meraih ponselnya dan mengetik pesan kepada Lucas.
"Cari tahu lebih dalam tentang operasi rahasia lima tahun lalu yang melibatkan Evelyn. Aku ingin semua detailnya."
Butuh beberapa detik sebelum Lucas membalas.
"Mengerti. Tapi kau yakin ingin masuk terlalu dalam? Ini bisa berbahaya."
Adrian tersenyum tipis. Aku tahu.
Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak peduli pada risikonya.
Dia ingin tahu segala sesuatu tentang Evelyn Carter.
Sementara itu, di apartemennya, Evelyn Carter berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri.
Matanya yang selalu tampak tajam kini dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang kembali mengusiknya.
Damian Rook kembali.
Dia seharusnya tidak pernah muncul lagi. Semua sudah selesai lima tahun lalu. Dia sudah mengubur masa lalunya, meninggalkan semuanya, dan membangun hidup baru.
Menjadi seorang sekretaris mungkin tampak seperti pekerjaan biasa bagi orang lain, tetapi bagi Evelyn, itu adalah kebebasan.
Dia tidak lagi harus melihat darah, tidak lagi harus berlari dalam kegelapan, tidak lagi harus membunuh.
Tetapi Damian muncul dan mengingatkannya bahwa dia tidak bisa lari dari masa lalunya.
Pikirannya melayang ke operasi terakhir mereka. Misi yang gagal.
Seseorang mengkhianati mereka.
Dan Evelyn hampir mati karena itu.
Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu.
Sekarang bukan waktunya untuk mengingat masa lalu. Dia harus tetap fokus pada pekerjaannya. Adrian Lancaster tidak boleh tahu.
Lalu, ponselnya bergetar.
Dia mengambilnya dan melihat nama di layar: Damian.
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Dia tidak ingin mengangkatnya, tetapi dia tahu jika dia mengabaikannya, Damian hanya akan semakin mendesaknya.
Akhirnya, dengan napas panjang, dia menekan tombol jawab.
“Apa yang kau inginkan, Damian?”
Di ujung telepon, suara Damian terdengar tenang, tetapi ada ketegangan di baliknya.
“Kau tahu aku tidak akan datang tanpa alasan. Kita harus bicara.”
Evelyn mengepalkan tangannya. “Kita tidak punya urusan lagi. Aku sudah keluar.”
“Tapi masa lalumu belum selesai, Evelyn. Ada seseorang yang mencarimu.”
Napas Evelyn tertahan. “Siapa?”
Damian terdiam sejenak sebelum menjawab, “Orang yang mengkhianati kita.”
Evelyn membeku.
Lima tahun lalu, ada seseorang yang menjebak tim mereka dalam misi terakhir. Akibatnya, hampir semua anggota tim terbunuh—hanya dia dan Damian yang berhasil bertahan.
Si pengkhianat itu hilang begitu saja.
Dan sekarang, dia kembali?
Evelyn menggigit bibirnya. “Aku tidak ingin terlibat lagi.”
“Kau tidak punya pilihan, Evelyn. Dia tahu kau masih hidup, dan dia akan mencarimu.”
Sebuah keheningan panjang mengisi udara.
Akhirnya, Damian berkata, “Temui aku besok malam. Ada sesuatu yang harus kau lihat.”
Lalu, telepon terputus.
Evelyn berdiri diam, masih memegang ponselnya.
Dia tahu dia tidak bisa mengabaikan ini.
Tetapi yang lebih buruk dari itu adalah…
Bagaimana jika Adrian Lancaster ikut terseret ke dalam semua ini?
Keesokan harinya, Adrian memperhatikan Evelyn dengan lebih cermat.
Wanita itu tampak seperti biasa—tenang, profesional, dan selalu efisien dalam pekerjaannya. Tetapi ada sesuatu yang berbeda.
Matanya tidak setajam biasanya. Seolah-olah dia memikirkan sesuatu yang mengganggunya.
Adrian tahu ada sesuatu yang salah.
Saat makan siang, dia memutuskan untuk mengajaknya berbicara.
"Evelyn, ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyanya langsung.
Evelyn terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tidak, Tuan Lancaster. Saya baik-baik saja."
Adrian menatapnya tajam. "Kau tahu kau bisa memberitahuku jika ada masalah, kan?"
Untuk sesaat, dia melihat keraguan di mata Evelyn.
Tetapi kemudian, wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk. "Tentu. Terima kasih atas perhatian Anda."
Namun, Adrian tahu dia berbohong.
Dan dia bertekad untuk mencari tahu kebenarannya.
---
Malam itu, Lucas akhirnya mengirim laporan terbaru padanya.
"Aku menemukan sesuatu yang menarik. Evelyn Carter bukan hanya mantan agen biasa. Lima tahun lalu, dia terlibat dalam misi berbahaya yang menyebabkan kematian banyak agen. Misinya melibatkan pengkhianatan dari dalam. Seseorang di timnya menjebak mereka, dan hanya dia serta satu orang lain yang selamat."
Adrian membaca laporan itu dengan ekspresi serius.
Lucas melanjutkan, "Dan sekarang, pengkhianat itu sepertinya kembali."
Adrian mendongak.
Jadi ini alasan Evelyn tampak gelisah?
Jika pengkhianat itu masih hidup dan sedang mencari Evelyn…
Maka itu berarti Evelyn dalam bahaya.
Dan jika Evelyn dalam bahaya…
Maka dia tidak akan membiarkannya menghadapi ini sendirian.
Adrian memejamkan mata sejenak, lalu bangkit dari kursinya.
Dia harus mencari Evelyn.
Dan dia harus memastikan bahwa wanita itu tetap hidup.
.
.
Adrian melangkah keluar dari kantornya dengan langkah cepat. Langit malam yang gelap dan dingin tidak menghentikannya. Ada satu tujuan dalam pikirannya—Evelyn.
Dia tidak tahu apakah wanita itu masih di apartemennya atau tidak, tetapi dia tidak bisa menunggu. Dia harus bertindak sekarang sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Saat dia memasuki mobilnya, ponselnya bergetar. Lucas.
Adrian langsung menjawab.
“Apa yang kau temukan?”
Suara Lucas terdengar sedikit tegang. “Aku menelusuri lebih dalam tentang operasi lima tahun lalu. Dan aku menemukan sesuatu yang mungkin tidak ingin kau dengar.”
Adrian menggenggam kemudinya erat-erat. “Katakan saja.”
Lucas menghela napas. “Pengkhianat yang menghancurkan tim Evelyn… tidak hanya ingin menghabisinya lima tahun lalu, tetapi juga masih terus mencarinya hingga sekarang.”
Adrian mengepalkan rahangnya.
“Siapa orang itu?”
Lucas terdiam sejenak sebelum menjawab. “Kami belum tahu pasti siapa identitasnya. Tapi ada satu hal yang bisa kupastikan—Evelyn tidak hanya menjadi target. Dia adalah satu-satunya saksi yang masih hidup dari pengkhianatan itu. Jika pengkhianat itu kembali, maka nyawanya dalam bahaya besar.”
Adrian tidak ragu lagi. Dia menyalakan mobilnya dan melaju ke apartemen Evelyn.
Di dalam apartemennya, Evelyn berdiri di depan jendela besar, memandangi cahaya kota yang berkelap-kelip.
Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan buruk.
Damian mengatakan bahwa pengkhianat itu kembali. Tetapi siapa?
Dia telah mencoba melupakan semua itu. Mencoba hidup normal. Tetapi masa lalunya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Dia menutup matanya sejenak, lalu menghela napas panjang.
Tidak ada gunanya melarikan diri.
Kalau memang seseorang mengincarnya, maka dia harus bersiap.
Dia berjalan menuju lemari pakaian dan membuka laci paling bawah. Di sana, tersembunyi di balik tumpukan pakaian biasa, ada sebuah kotak logam kecil.
Evelyn mengangkatnya dan membukanya perlahan.
Di dalamnya, ada sebuah pistol kecil berwarna hitam.
Sentuhan dinginnya terasa familiar di tangannya.
Sementara jari-jarinya melingkar di sekitar gagangnya, suara ketukan di pintu menginterupsi pikirannya.
Siapa itu?
Jantungnya berdegup cepat. Dia tidak pernah menerima tamu. Dan setelah telepon dari Damian, dia tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa ini bisa saja jebakan.
Dengan hati-hati, dia mengambil pistolnya, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengintip melalui lubang intip dan melihat Adrian Lancaster berdiri di sana.
Kejutan menyelimuti dirinya.
Apa yang dia lakukan di sini?
Evelyn menghela napas sebelum akhirnya membuka pintu.
"Tuan Lancaster? Apa yang Anda lakukan di sini?"
Adrian menatapnya dalam. "Kita perlu bicara."
Evelyn mempersilakan Adrian masuk. Dia menutup pintu di belakangnya, tetapi tidak pernah melepaskan pistol yang masih disembunyikannya di balik tubuhnya.
Adrian memperhatikan sekeliling apartemen Evelyn. Tempat itu bersih, rapi, tetapi… terlalu kosong.
Tidak ada hiasan pribadi, tidak ada foto keluarga, tidak ada yang benar-benar mencerminkan kepribadian pemiliknya.
Seolah-olah ini hanya tempat singgah sementara, bukan rumah.
Dia berbalik dan menatap Evelyn yang masih berdiri di dekat pintu, sorot matanya tajam, seolah siap menyerang kapan saja.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Evelyn."
Evelyn tidak menunjukkan ekspresi. "Saya tidak mengerti maksud Anda."
Adrian menyilangkan lengannya. "Aku tahu tentang masa lalumu."
Untuk pertama kalinya, ekspresi Evelyn berubah.
Matanya sedikit membesar, dan meskipun dia segera kembali memasang wajah tanpa ekspresi, Adrian sudah melihat cukup banyak untuk tahu bahwa dia telah menyentuh titik sensitifnya.
Evelyn menelan ludahnya, lalu berkata dengan suara datar, "Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan."
Adrian mendekatinya perlahan.
"Lima tahun lalu, kau adalah bagian dari operasi rahasia yang gagal. Seseorang mengkhianatimu. Dan sekarang, orang itu kembali."
Tangan Evelyn menegang di balik tubuhnya.
Dia tahu Adrian cerdas, tetapi tidak menyangka dia bisa mengungkap begitu banyak dalam waktu sesingkat itu.
"Aku tidak akan bertanya bagaimana kau tahu semua itu," katanya akhirnya. "Tetapi itu bukan urusan Anda."
"Salah." Suara Adrian dingin. "Sekarang itu urusanku. Karena seseorang mengincarmu, dan aku tidak akan membiarkan orang itu menyentuhmu."
Mata Evelyn menatapnya, penuh dengan emosi yang sulit diartikan.
"Mengapa Anda peduli?" tanyanya akhirnya.
Adrian menatap langsung ke dalam matanya.
"Karena aku tidak akan membiarkan seseorang yang berarti bagiku terluka."
Kata-kata itu membuat Evelyn membeku.
Seseorang yang berarti baginya?
Evelyn bukan orang yang mudah terkejut, tetapi saat itu, dia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya.
Sesuatu yang seharusnya tidak dia rasakan.
Tetapi sebelum dia bisa merespons, ponselnya bergetar.
Dia melirik layar. Damian.
Adrian melihat reaksi Evelyn dan menyadari ada sesuatu yang salah.
"Siapa itu?"
Evelyn menatapnya tajam. "Ini bukan urusan Anda, Tuan Lancaster."
Adrian tidak membiarkan jawabannya begitu saja.
"Kalau itu tidak penting, kenapa kau tampak begitu tegang?"
Evelyn mengabaikannya dan akhirnya mengangkat teleponnya.
"Katakan, Damian."
Suara di ujung telepon terdengar tegang.
"Evelyn, kau harus pergi sekarang juga. Mereka menemuk—"
DOR!
Suara tembakan menggema dari telepon.
Evelyn membelalakkan matanya.
"Damian? Damian?!"
Tidak ada jawaban.
Hanya keheningan yang menegangkan.
Evelyn menggenggam ponselnya erat-erat.
Dan Adrian melihat sesuatu yang jarang dia lihat dalam mata wanita itu—
Ketakutan.
Dia tahu saat itu juga—apa pun yang sedang terjadi, ini jauh lebih besar daripada yang ia duga.
"Kita harus pergi sekarang."
Evelyn mengangguk tanpa banyak bicara.
Untuk pertama kalinya, dia tidak menolak bantuan Adrian.
Karena dia tahu—
Musuhnya akhirnya menemukan dirinya.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!