Bu Fitri, dengan suara yang lembut namun bersemangat, menjelaskan alur cerita novel yang berjudul "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata. Para siswa mendengarkan dengan seksama, sesekali mencatat poin-poin penting yang disampaikan oleh guru mereka.
"Anak-anak, novel ini menggambarkan perjuangan yang luar biasa dari sekelompok anak-anak di sebuah desa terpencil di Belitung," ujar Bu Fitri. "Mereka, dengan segala keterbatasan yang ada, tidak pernah menyerah untuk meraih mimpi-mimpi mereka."
Salah satu siswa, seorang gadis bernama Rina, mengangkat tangannya. "Bu, saya ingin bertanya. Apa yang membuat novel ini begitu istimewa?"
Bu Fitri tersenyum. "Pertanyaan yang bagus, Rina. Novel ini istimewa karena mengandung nilai-nilai luhur seperti persahabatan, kegigihan, dan semangat untuk terus belajar. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan oleh penulis juga sangat indah dan mudah dipahami."
Setelah itu, Bu Fitri memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau menyampaikan pendapat mereka mengenai novel tersebut. Beberapa siswa aktif berpartisipasi, sementara yang lain tampak masih malu-malu.
Saya sangat terkesan dengan tokoh Ikal dalam novel ini, Bu," kata seorang siswa bernama Budi. "Dia adalah sosok yang sangat gigih dan tidak pernah menyerah meskipun menghadapi banyak kesulitan."
"Betul sekali, Budi," timpal Bu Fitri. "Ikal adalah contoh yang baik bagi kita semua. Dia mengajarkan kita untuk tidak pernah menyerah pada keadaan dan selalu berjuang untuk meraih apa yang kita inginkan."
Diskusi terus berlanjut hingga bel masuk berbunyi. Bu Fitri menutup pelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa untuk membuat resensi novel "Laskar Pelangi".
"Anak-anak, tugas ini bertujuan untuk menguji pemahaman kalian tentang novel ini," kata Bu Fitri. "Kerjakan dengan sungguh-sungguh dan jangan lupa untuk memperhatikan struktur dan kaidah penulisan resensi yang baik dan benar."
Para siswa mengangguk tanda mengerti. Mereka kemudian membereskan buku dan alat tulis mereka sebelum meninggalkan kelas.
****
Fitriyani Nurjannah, atau yang akrab disapa Bu Fitri, adalah sosok guru yang luar biasa. Di usianya yang menginjak 38 tahun, ia masih berstatus sebagai guru honorer di SMA 2 tempatnya mengabdi selama 15 tahun terakhir. Namun, status tersebut tidak pernah mengurangi semangatnya untuk mendidik para siswa.
Setiap pagi, Bu Fitri selalu datang lebih awal ke sekolah. Ia mempersiapkan materi pelajaran dengan seksama dan selalu berusaha untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di kelas. Ia tidak pernah membeda-bedakan siswa dan selalu berusaha untuk memberikan perhatian yang sama kepada semua anak didiknya.
Meskipun gaji yang ia terima sebagai guru honorer tidak seberapa, Bu Fitri tidak pernah mengeluh. Ia tetap bersemangat mengajar karena ia percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah masa depan anak-anak. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk para siswanya, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada.
Di luar jam sekolah, Bu Fitri juga aktif dalam kegiatan sosial. Ia sering membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk belajar di rumah. Ia juga aktif dalam kegiatan komunitas di lingkungannya. Bu Fitri adalah sosok yang peduli terhadap sesama dan selalu berusaha untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Suatu sore, setelah selesai mengajar, Bu Fitri duduk di ruang guru sambil memeriksa tugas-tugas siswa. Ia tersenyum melihat hasil kerja keras para siswanya. Tiba-tiba, seorang rekan guru menghampirinya.
"Bu Fitri, saya dengar ada lowongan CPNS untuk guru bahasa Indonesia," kata rekan guru tersebut.
Bu Fitri terkejut. Ia sudah lama menantikan kesempatan untuk menjadi seorang PNS. Namun, ia juga merasa ragu karena ia tahu bahwa persaingan untuk mendapatkan status PNS sangat ketat.
"Saya akan coba mendaftar," kata Bu Fitri dengan semangat. "Saya berharap ini adalah kesempatan saya untuk bisa mengabdi lebih baik lagi."
****
Sore itu, Fitri melajukan motor maticnya dengan hati-hati menyusuri jalanan kota yang mulai ramai. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, ia akhirnya sampai di depan rumahnya. Rumah sederhana dengan cat yang mulai pudar itu adalah tempat ia berlindung bersama keluarganya.
Fitri memarkirkan motornya di halaman rumah dan kemudian masuk ke dalam. Ia melihat suaminya, Dito, sedang duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Dito adalah seorang pegawai swasta di bidang periklanan. Mereka telah menikah selama 16 tahun dan dikaruniai dua orang anak.
"Assalamualaikum, Mas," sapa Fitri sambil mencium tangan suaminya.
"Waalaikumsalam," jawab Dito sambil tersenyum. "Sudah pulang, Bu?"
"Sudah," kata Fitri. "Anak-anak mana?"
"Kenzi sedang belajar di kamar, Mega sedang bermain di luar," jawab Dito.
Fitri kemudian pergi ke kamar Kenzi untuk melihat anaknya. Kenzi adalah anak sulung mereka yang kini sudah berusia 15 tahun dan akan masuk SMA. Ia adalah anak yang rajin dan pintar. Fitri sangat bangga dengan Kenzi.
Setelah itu, Fitri pergi ke halaman belakang rumah untuk mencari Mega. Mega adalah anak bungsu mereka yang masih berusia 12 tahun dan akan masuk SMP. Ia adalah anak yang periang dan aktif. Fitri sangat menyayangi kedua anaknya.
Fitri menghampiri Mega yang sedang bermain dengan teman-temannya. Ia mengusap rambut Mega dengan lembut. "Sudah sore, Nak. Ayo pulang," kata Fitri.
Mega mengangguk dan kemudian berpamitan dengan teman-temannya. Ia berjalan bersama Fitri menuju rumah.
****
Kenzi, anak sulung Fitri dan Dito, adalah seorang remaja yang ambisius. Ia memiliki cita-cita untuk masuk ke SMA favorit di kota ini. Oleh karena itu, ia belajar dengan sangat giat setiap hari. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang telah bersusah payah membesarkannya.
Fitri dan Dito sangat bangga dengan Kenzi. Mereka melihat Kenzi sebagai anak yang mandiri dan bertanggung jawab. Mereka tidak pernah memaksa Kenzi untuk belajar terlalu keras. Mereka hanya ingin Kenzi belajar sesuai dengan kemampuannya dan tidak melupakan waktu istirahatnya.
Fitri dan Dito juga tidak pernah memberikan dorongan secara langsung kepada Kenzi untuk belajar giat. Mereka percaya bahwa motivasi belajar harus datang dari diri sendiri. Mereka hanya memberikan dukungan moral dan material kepada Kenzi.
Fitri juga tidak memiliki niat untuk membantu Kenzi masuk ke sekolah tempat ia mengajar. Ia tidak ingin memanfaatkan posisinya sebagai guru untuk kepentingan pribadi. Ia ingin Kenzi masuk ke sekolah favorit dengan kemampuan dan usaha sendiri.
Fitri tahu bahwa banyak teman sesama guru yang melakukan praktik "titip-menitip" siswa ke sekolah tempat mereka mengajar. Namun, ia tidak ingin mengikuti jejak mereka. Ia ingin menjadi contoh yang baik bagi para siswanya.
Suatu malam, Fitri melihat Kenzi sedang belajar di kamarnya. Ia menghampiri Kenzi dan duduk di sampingnya.
"Kenzi, kamu sudah belajar dari tadi. Istirahat dulu, Nak," kata Fitri.
"Tidak apa-apa, Bu. Aku masih ingin belajar lagi," jawab Kenzi.
"Iya, Ibu tahu kamu ingin masuk SMA favorit. Tapi, jangan lupa istirahat juga. Kesehatan itu penting," kata Fitri.
Pagi itu, mentari pagi mulai menyinari Kota tempat Fitriyani tinggal. Ia sudah siap dengan seragamnya dan motor matic kesayangannya. Tak lupa, ia berpamitan kepada suami dan anak-anaknya sebelum berangkat kerja.
"Assalamualaikum, Mas, Kenzi, Mega," ucap Fitri sambil mencium tangan suami dan kedua anaknya.
"Waalaikumsalam," jawab Dito dan anak-anaknya serentak.
"Hati-hati di jalan, Bu," pesan Dito.
"Iya, Mas," jawab Fitri.
Fitri kemudian melajukan motor maticnya menuju sekolah tempat ia mengajar. Ia adalah salah satu guru yang paling rajin datang di sekolahnya. Hampir setiap hari ia datang bersamaan dengan siswa-siswi yang baru datang.
Sesampainya di sekolah, Fitri langsung menuju ruang guru. Ia menyapa teman-teman sejawatnya dan kemudian mempersiapkan materi pelajaran yang akan ia ajarkan hari itu.
"Selamat pagi, Bu Fitri," sapa seorang guru.
"Selamat pagi juga," jawab Fitri sambil tersenyum.
"Rajinnya Ibu hari ini," kata guru tersebut.
"Harus semangat dong," jawab Fitri. "Kita harus memberikan contoh yang baik untuk para siswa."
Bel masuk pun berbunyi. Fitri segera menuju kelas untuk memulai pelajaran. Ia mengajar dengan penuh semangat dan sabar. Ia berusaha untuk membuat para siswa tertarik dengan materi yang ia sampaikan.
"Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang cerita novel," kata Fitri.
Para siswa mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Fitri. Mereka terlihat antusias dengan materi yang akan mereka pelajari.
Fitri kemudian memberikan contoh cerita novel yang menarik. Ia juga memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bertanya atau menyampaikan pendapat mereka.
Pelajaran hari itu berjalan dengan lancar. Para siswa terlihat senang dan termotivasi untuk belajar.
****
Namun, di balik semua kebaikan dan kerajinan Fitri, ternyata ada saja orang yang tidak menyukainya. Salah satunya adalah Bu Ida, sesama guru bahasa Indonesia yang sudah senior. Bu Ida sudah berstatus sebagai PNS dan telah mengajar selama 28 tahun.
Bu Ida memiliki suami seorang perwira polisi. Hal ini membuatnya seringkali bersikap angkuh dan suka memamerkan kekayaannya. Ia sering terlihat mengenakan gelang dan cincin emas yang mahal, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang kaya.
Bu Ida tidak menyukai Fitri karena Fitri dianggap terlalu cari muka dan terlalu bersemangat dalam mengajar. Bu Ida juga iri dengan Fitri karena Fitri lebih disukai oleh para siswa.
"Fitri itu terlalu sok cari muka," kata Bu Ida kepada teman-temannya. "Dia pikir dia yang paling benar saja."
"Iya, Bu," timpal seorang guru. "Dia juga terlalu bersemangat. Saya jadi merasa malu kalau tidak semangat seperti dia."
"Sudahlah, biarkan saja dia dengan idealismenya itu," kata Bu Ida. "Nanti juga dia akan capek sendiri."
Namun, Fitri tidak pernah menghiraukan omongan pedas dan nyinyir dari Bu Ida. Ia tetap fokus pada pekerjaannya dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi para siswanya.
Suatu hari, Bu Ida melihat Fitri sedang berbicara dengan seorang siswa yang terlihat murung. Bu Ida kemudian menghampiri mereka.
"Ada apa ini?" tanya Bu Ida.
"Ini, Bu," kata siswa tersebut. "Saya sedang ada masalah dengan keluarga saya."
"Sudah, jangan bersedih," kata Fitri kepada siswa tersebut. "Semua masalah pasti ada jalan keluarnya."
Bu Ida kemudian pergi meninggalkan mereka. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Fitri yang selalu berusaha untuk membantu orang lain.
****
Di ruang guru, Bu Ida, Bu Vivi, Bu Nur, dan Bu Nilam sedang asyik bergosip tentang Fitri. Mereka berempat memang sudah lama membentuk semacam geng di sekolah tersebut.
"Fitri itu sok cari muka dengan siswa," kata Bu Ida dengan sinis. "Dia selalu saja berusaha untuk terlihat baik di depan mereka."
"Iya, Bu," timpal Bu Vivi. "Dia juga sok baik. Semua yang dia lakukan harus dipuji."
"Dia juga sok pintar," kata Bu Nur. "Dia selalu saja ingin memberikan yang terbaik untuk siswa, padahal kita juga sama saja."
"Sudahlah, biarkan saja dia dengan kesokannya itu," kata Bu Nilam dengan jutek. "Nanti juga dia akan sadar sendiri."
Mereka berempat tertawa puas setelah membicarakan Fitri. Mereka merasa senang karena telah berhasil "menjatuhkan" Fitri.
Namun, tanpa mereka sadari, Fitri mendengar semua yang mereka bicarakan. Ia tidak menyangka bahwa teman-teman sejawatnya sendiri ternyata tidak menyukainya.
Fitri merasa sedih dan kecewa. Ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikan dan ketulusannya justru dianggap sebagai sesuatu yang negatif oleh orang lain.
Namun, Fitri tidak ingin larut dalam kesedihan. Ia tetap berusaha untuk menjadi dirinya sendiri dan memberikan yang terbaik bagi para siswanya.
"Biarlah mereka berkata apa saja," kata Fitri dalam hati. "Aku akan tetap menjadi diriku sendiri dan melakukan yang terbaik untuk para siswa."
****
Pagi itu di kelas XII IPA 1, suasana terasa tegang dan mencekam. Bu Vivi, guru matematika yang terkenal galak, baru saja memberikan soal-soal yang sulit kepada para siswa. Namun, setelah beberapa menit berlalu, tidak ada satu pun siswa yang mampu menjawab soal-soal tersebut dengan benar.
Bu Vivi pun naik pitam. Ia mulai mengomeli para siswa dengan kata-kata yang kasar dan merendahkan.
"Kalian ini bagaimana, sih?" bentak Bu Vivi. "Soal-soal seperti ini saja tidak bisa kalian kerjakan. Apa kalian tidak belajar semalam?"
"Sudah kelas XII masih saja bodoh," lanjut Bu Vivi. "Kalian ini mau jadi apa nanti kalau tidak bisa matematika?!"
Para siswa hanya bisa terdiam dan menundukkan kepala. Mereka merasa malu dan takut dengan kemarahan Bu Vivi.
Alih-alih memberikan penjelasan atau bimbingan, Bu Vivi terus saja mengumpat dan merendahkan para siswa. Ia bahkan membanding-bandingkan mereka dengan siswa dari kelas lain yang dianggap lebih pintar.
"Lihat itu kelas XII IPA 2," kata Bu Vivi. "Mereka semua bisa mengerjakan soal-soal seperti ini. Kenapa kalian tidak bisa seperti mereka?"
Para siswa semakin merasa putus asa. Mereka merasa bahwa Bu Vivi tidak lagi peduli dengan mereka sebagai manusia. Bu Vivi hanya melihat mereka sebagai objek yang harus bisa mengerjakan soal-soal matematika.
Setelah puas mengomeli para siswa, Bu Vivi pun meninggalkan kelas dengan wajah masam. Para siswa masih terdiam dan menundukkan kepala. Mereka merasa sedih dan kecewa dengan sikap Bu Vivi.
****
Setelah Bu Vivi keluar dari kelas dengan wajah masam, Fitri masuk dengan senyum hangat dan tatapan penuh kasih sayang. Ia melihat wajah-wajah murung para siswa dan merasakan kesedihan yang mereka rasakan.
"Anak-anakku, Ibu tahu kalian sedang kecewa dan sedih," kata Fitri dengan lembut. "Tapi, jangan biarkan kekecewaan dan kesedihan itu menguasai diri kalian."
Fitri kemudian memberikan dorongan moral dan semangat kepada para siswa. Ia mengatakan bahwa mereka semua adalah anak-anak yang hebat dan memiliki potensi yang luar biasa.
Setelah Bu Vivi keluar dari kelas dengan wajah masam, Fitri masuk dengan senyum hangat dan tatapan penuh kasih sayang. Ia melihat wajah-wajah murung para siswa dan merasakan kesedihan yang mereka rasakan.
"Anak-anakku, Ibu tahu kalian sedang kecewa dan sedih," kata Fitri dengan lembut. "Tapi, jangan biarkan kekecewaan dan kesedihan itu menguasai diri kalian."
Fitri kemudian memberikan dorongan moral dan semangat kepada para siswa. Ia mengatakan bahwa mereka semua adalah anak-anak yang hebat dan memiliki potensi yang luar biasa.
"Setiap kalian memiliki kelebihan dan keistimewaan masing-masing," kata Fitri.
"Jangan pernah merasa rendah diri atau merasa bodoh. Kalian semua adalah anak-anak yang pintar dan berbakat."
Fitri juga memberikan contoh tentang bagaimana cara menghadapi kesulitan dan kegagalan. Ia mengatakan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar dan tidak boleh membuat seseorang menyerah.
"Kegagalan itu bukan berarti kalian tidak bisa," kata Fitri. "Kegagalan itu adalah pelajaran yang berharga untuk kita bisa menjadi lebih baik lagi."
Fitri tidak menghardik atau merendahkan para siswa. Ia justru memberikan dukungan dan motivasi agar mereka bisa bangkit kembali dan meraih kesuksesan.
"Ibu percaya kalian semua pasti bisa," kata Fitri. "Kalian adalah generasi penerus bangsa yang hebat. Jangan pernah menyerah pada impian kalian."
Para siswa mendengarkan kata-kata Fitri dengan penuh perhatian. Mereka merasa terharu dan termotivasi dengan semangat yang diberikan oleh guru mereka.
****
Popularitas Fitri di kalangan siswa SMA 2 memang tidak terbantahkan. Ia menjadi idola, sosok guru yang kehadirannya selalu dinantikan. Kelas yang ia ajar tak pernah sepi. Bahkan, ketika guru lain masuk kelas, banyak siswa yang memilih untuk bolos. Namun, pemandangan berbeda terlihat di kelas Fitri. Semua siswa seolah enggan beranjak dari tempat duduk mereka. Mereka betah berlama-lama belajar bersama Fitri, menikmati setiap ilmu yang ia bagikan.
Berlangsung sepanjang hari. Mereka tidak ingin waktu belajar bersama Fitri berakhir. Bagi mereka, Fitri bukan hanya sekadar guru, tapi juga sosok inspiratif yang mampu membangkitkan semangat belajar. Fitri selalu memberikan motivasi, dorongan, dan perhatian kepada setiap siswa. Ia juga memiliki cara mengajar yang menyenangkan dan mudah dipahami. Tak heran, jika para siswa sangat menyukai Fitri.
Fenomena ini tentu saja menjadi perhatian bagi guru-guru lain. Ada yang merasa iri, ada pula yang merasa kagum. Namun, Fitri tidak pernah merasa tinggi hati atau memanfaatkan popularitasnya. Ia tetap rendah hati dan terus berusaha untuk menjadi guru yang lebih baik lagi.
Suatu hari, kepala sekolah memanggil Fitri ke ruangannya. Ia ingin mengetahui lebih lanjut tentang metode mengajar Fitri yang begitu disukai oleh para siswa. Fitri pun menceritakan pengalamannya dan berbagi tips tentang bagaimana cara menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan efektif. Kepala sekolah sangat terkesan dengan penjelasan Fitri. Ia pun memberikan apresiasi atas dedikasi dan kinerja Fitri selama ini.
****
Fitri dengan senang hati menjabarkan semua yang ia lakukan pada kepala sekolah. Ia menceritakan bagaimana ia berusaha untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, memberikan motivasi kepada siswa, dan membantu mereka memahami materi pelajaran dengan mudah. Kepala sekolah mendengarkan dengan penuh perhatian dan sesekali mengangguk-angguk tanda setuju.
"Saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak, Pak," kata Fitri dengan tulus. "Saya ingin mereka merasa senang belajar dan termotivasi untuk meraih cita-cita mereka."
Kepala sekolah sangat terkesan dengan penjelasan Fitri. Ia memuji Fitri sebagai guru yang berdedikasi dan inspiratif. "Anda adalah contoh yang baik bagi guru-guru lain," kata kepala sekolah. "Saya berharap semakin banyak guru yang mengikuti jejak Anda."
Fitri merasa senang dan terharu dengan pujian kepala sekolah. Ia berjanji akan terus berusaha untuk menjadi guru yang lebih baik lagi.
Namun, di balik semua itu, Bu Ida dan gengnya tidak berhenti untuk mencari celah kesalahan Fitri. Bagi mereka, apa yang dilakukan Fitri tidak lebih dari sekadar cari muka. Mereka tidak percaya bahwa Fitri melakukan itu dengan tulus.
"Dia itu cuma cari muka saja," kata Bu Ida dengan sinis. "Dia ingin terlihat baik di depan kepala sekolah dan siswa."
"Iya, Bu," timpal Bu Vivi. "Dia juga sok lugu. Semua yang dia lakukan harus dapat sorotan!"
"Sudahlah, biarkan saja dia dengan kesokannya itu," kata Bu Nilam dengan jutek. "Nanti juga dia akan sadar sendiri."
Mereka bertiga terus saja bergosip tentang Fitri, mencari-cari kesalahan dan kekurangan Fitri. Mereka tidak pernah lelah untuk merendahkan Fitri di belakangnya.
****
Hari itu, SMA 2 kedatangan guru magang dari sebuah universitas swasta ternama. Beberapa mahasiswa dari fakultas keguruan akan menjalani masa praktik mengajar di sekolah tersebut. Bu Ida, sebagai guru senior, ditunjuk sebagai pamong bagi para guru magang.
Namun, sikap Bu Ida terhadap para calon guru itu tidak seperti yang diharapkan. Ia terlihat jutek dan merendahkan mereka. Bu Ida bahkan mengatakan bahwa mereka bisa mengambil alih kelasnya dan menggantikannya mengajar sementara ia bisa bersantai di ruang guru yang ber-AC.
"Kalian ini mahasiswa atau anak TK?" kata Bu Ida dengan sinis."
Bu Ida mengatakan itu karena para mahasiswa itu dandanannya sangat tidak sesuai dengan apa yang dibayangannya sebagai seorang guru.
"Kalian ini calon guru, tapi tidak tahu apa-apa," lanjut Bu Ida. "Bagaimana nanti kalian mau mengajar anak-anak kalau tidak punya pengetahuan?"
Para guru magang hanya bisa terdiam dan menundukkan kepala. Mereka merasa malu dan tidak percaya diri dengan perlakuan Bu Ida.
"Sudahlah, kalian ini memang tidak ada harapan," kata Bu Ida. "Kalian bisa ambil alih kelas saya saja. Saya mau istirahat dulu di ruang guru."
Para guru magang masih terdiam dan saling berpandangan. Mereka merasa sedih dan kecewa dengan sikap Bu Ida.
"Bagaimana ini, teman-teman?" kata seorang guru magang. "Kita baru saja datang, tapi sudah diperlakukan seperti ini."
"Saya juga tidak tahu," jawab guru magang yang lain. "Saya jadi tidak semangat untuk mengajar."
Mereka berdua kemudian mencoba untuk menenangkan diri dan saling memberikan semangat. Mereka berjanji akan membuktikan kepada Bu Ida bahwa mereka adalah calon guru yang berkualitas.
****
Melihat para guru magang yang murung dan tidak bersemangat, Fitri tidak bisa tinggal diam. Ia segera menghampiri mereka dan memberikan dukungan serta motivasi.
"Adik-adik, jangan berkecil hati dengan apa yang dikatakan Bu Ida," kata Fitri dengan lembut. "Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Yang penting, kita terus belajar dan berusaha untuk menjadi lebih baik."
Fitri kemudian menceritakan pengalamannya sendiri sebagai guru honorer yang seringkali diremehkan oleh orang lain. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah menyerah pada keadaan dan selalu berusaha untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi guru yang berkualitas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!