NovelToon NovelToon

Unexpected Love

Kabar tak terduga

Langkah kaki pria dewasa terdengar menggema di lorong rumah sakit. Wajah tampannya terlihat bersinar walau umurnya sudah memasuki kepala tiga.

Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum sambil menenteng rantang makanan sederhana yang sudah disiapkan sang ibu untuk menantunya yang baru saja melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik.

Senyumnya merekah, menandakan bahwa dirinya dalam keadaan bahagia. Tatapannya tak sengaja melihat seorang suster berlari dengan wajah panik keluar dari ruangan istrinya.

“Sus, ada apa ? Apa yang terjadi dengan istri saya ??” tanya pria itu khawatir sekaligus panik.

Suster itu menghentikan langkahnya sebentar. “ Tuan, istri anda tidak ada di ruangannya !”.

“A-APA ?!”  Pria dewasa itu berlari masuk ke dalam ruangan istrinya. 

Brak ! Dia hanya menemukan seorang suster lainnya  menggendong putrinya  yang merengek pelan.

“Tuan….”

“Istri saya kemana, sus ?” tanya pria itu lagi.

Suster yang menggendong bayi menggelengkan kepalanya. Raut wajah pria dewasa itu terlihat khawatir. “Bagaimana bisa istri saya tidak ada di ruangannya,sus ? Sedangkan bayi kami ada disini ??” tanya pria itu kebingungan.

“Saya juga tidak tahu, tuan. Saya datang ke ruangan ini bersama rekan saya. Posisinya istri anda sudah tidak ada dan hanya meninggalkan putri tuan yang menangis,”.

Mario mengusap wajahnya kasar. Ada apa dengan istrinya ? Kemana tiba-tiba tidak ada di ruangannya ? Bagaimana istrinya bisa meninggalkan bayi mereka sendirian di ruangan itu.

“Kemarikan putri saya, sus.” pinta Mario lesu.

Namun, tiba-tiba saja bayi perempuan itu berhenti merengek sebelum Mario sempat mengambil alih. Kening Mario mengerut, dia menatap suster yang juga terdiam.

Tiba-tiba saja bayi itu nafas bayi itu terdengar seperti dengkuran membuat suster itu  panik. “Tuan ! Bayi anda sesak nafas ! Saya harus segera memanggil dokter anak agar bayi tuan segera  diperiksa !” pekik suster itu dan segera berlari keluar.  Saking paniknya Mario menjatuhkan rantang makanan itu dan menghampiri putrinya yang tergeletak di atas brankar.

“Dokter !!! Tolong bayi di ruangan xx, mengalami sesak nafas !!!” teriak suster itu kepada dokter yang baru saja selesai mencuci kedua tangannya. Dokter Molla segera mengajak suster berlari ke ruangan xx dimana bayi berada. Dia cukup terkejut melihat bayi yang baru lahir itu mengalami masalah kesehatan. 

“Dokterrr, tolong putri saya dok, tolong !” ucap Mario sebel dia keluar dari ruangan istrinya 

Mario menunggu diluar dengan wajah yang sembab, belum selesai masalah kepergian istrinya kini dia harus melihat putrinya yang baru lahir mengalami sesak nafas.

“Anak ayah, anak ayah harus kuat ya… jangan tinggalkan ayah hiks.. Ayah mohon,” ucapnya lirih.

Tak lama sepasang paruh baya datang menghampiri Mario dengan wajah khawatir.

“Rio, apa yang terjadi dengan Baby Iren ?” tanya Vion kepada putranya. “ dan dimana Dea ? Kenapa cuma kamu di sini ?”.

“Bu…” Vion menoleh ke arah suaminya. Narel menggelengkan kepalanya untuk tidak bertanya lebih jauh karena melihat situasi putra mereka yang terpuruk.

Dia juga penasaran dimana Dea. Kenapa menantunya tidak ada di ruangan. Keduanya cukup terkejut saat Mario menghubungi mereka jika Maureen cucu mereka tiba-tiba mengalami sesak nafas.

Bayi mungil itu tiba-tiba sesak nafas membuat keduanya sangat terkejut, ditambah lagi Mario mengatakan istrinya tidak ada diruangan hanya ada Maureen disana sendirian.

“ Dimana Dea ?”.

Sementara itu, wanita yang mereka cari tengah berada di mobil mewah bersama pria lain. Dia yang masih mengenakan pakaian rumah sakit merengek untuk dibelikan pakaian baru.

“ Perutku sakit sekali, kalau bukan paksaan kedua orang tua Mario. Aku tidak ingin mengandung ! Untungnya sesar. Kalau normal, aku akan meminta Mario untuk mengembalikannya secara mulus !” gerutu wanita itu kesal.

“Sudahlah Dea, jangan kamu membicarakan suami miskinmu itu ! Kita nikmati saja hidup ! Aku sangat membenci pria itu !”.

“ Kamu benar, kalau bukan karena ingin terbebas dari peraturan ibu panti. Aku akan menolak ajakan menikah dengan pria miskin itu, tapi sekarang aku sudah bisa bersama-sama denganmu. Tanpa peraturan ibu panti !”

“Aku benci dikekang !” rengek Dea dan memeluk lengan kekasihnya yang menyetir.

Tangan pria itu mengelus kepala kekasihnya. Ya, kekasihnya. Keduanya sudah berpacaran saat Dea berusia delapan belas tahun.  Namun, hubungan keduanya ditentang oleh ibu panti yang tidak menyukai kekasih Dea, yang bernama Noven.

Flashback 

“Jangan menginginkan pria kaya, tidak semua pria kaya dan berlimpahkan harta bisa meratukan wanitanya,”

“Tapi Noven, meratukan diriku bu !! Dea mau pacaran sama Noven, karena dia memberikan apa yang Dea mau !!”.

“Bahkan Dea akan menikah dengan Noven tanpa restu ibu !”

“Dea, ibu tetap tidak akan merestui hubunganmu dengan Noven !! Noven tidak baik untukmu ! Kalau kamu mau, ibu akan mencarikan pria yang baik untuk kamu,”

“Baik untuk aku ??? Ibu jangan mengekang diriku, seolah ibu adalah ibu kandungku !! Asal ibu tahu, Dea nggak suka sama ibu !! Ibu selalu mengatur Dea ini dan itu, Dea muak bu !!!” teriak Dea membuat anak-anak panti menatap ke arah mereka.

“Dea, tolong turunkan nada suaramu !” pinta ibu panti. Dia tidak mau pembicaraan mereka didengar oleh anak-anak asuhnya.

Bukannya mendengarkan, Dea berlalu pergi tanpa mengindahkan panggilan ibu panti.

Flash off.

Sementara itu, Mario dan kedua orang tuanya menunggu dokter dan suster selesai memeriksa Maureen. Tak henti-hentinya mereka berdoa untuk kesembuhan Maureen.

‘Ceklek !’ Pintu ruangan terbuka. Dokter keluar dengan peluh keringat. Mario dan kedua orang tuanya menghampiri dokter dengan wajah khawatir.

“Dok, bagaimana dengan keadaan cucu saya ?” Tanya Vion khawatir.

“Cucu ibu, sudah membaik. Dua jam kedepan kami akan kembali memeriksa cucu ibu,”.

“Dok, mengapa putri saya tiba-tiba sesak nafas ?” kali ini Mario yang bertanya.

Dokter Molla menghela nafasnya. “ Maaf tuan, putri anda memiliki alergi pada dingin. Hal itu membuat bayi anda kesulitan bernafas. Ditambah lagi suhu ruangan yang sangat dingin,”

“Hal itu yang memicu putri anda mengalami sesak nafas,” jelas Dokter Molla. “ Tolong hindari suhu ruangan yang dingin, agar putri anda tidak kembali mengalami sesak nafas”.

“Baik dok, terima kasih” kata Narel.

“ Apa kami boleh membawa cucu kami pulang ?” tanya Vion lirih.

“Boleh, “.

“ Terima kasih, dok !”

Setelah kepergian Dokter Molla, Vion bergegas masuk ke dalam ruangan dimana seorang suster menjaga Maureen yang sudah terlelap.

Sore harinya, setelah membayar lunas perawatan Maureen, Mario membawa putrinya pulang ke rumah orang tuanya karena Mario telah menjual rumah itu untuk biaya kehidupan mereka selanjutnya.

Mario memilih menjual rumah itu karena dia tak lagi memiliki simpanan setelah membayar tagihan persalinan Dea yang ingin melahirkan secara sesar.

“Tidak apa-apa, tinggallah bersama ayah dan ibu. Tidak perlu merasa tidak enak, kami senang bisa merawat Maureen,” kata Vion yang mengetahui bahwa putranya merasa tidak enak dengan mereka.

“Benar kata ibumu, Rio. Kita akan tinggal dirumah ini bersama. Rumah itu di jual juga tidak masalah”.

Walaupun rumah tidak mewah setidaknya harga jualnya masih bisa disimpan untuk kebutuhan Maureen.

“Sayang, kita tinggal sama nenek dan kakek ya. Ayah nggak tahu dimana ibumu,nak. Tapi ayah yakin ibumu pasti bakal balik lagi  sama kita.. “ lirih Mario yang entah hatinya merasa jika Dea benar-benar meninggalkan dirinya bersama putrinya.

“Dea, begitu teganya kamu meninggalkan putri kita yang masih kecil. Apa yang membuatmu setega itu,”  gumamnya dalam hati sembari menatap putrinya yang masih terlelap di kasur lantai miliknya.

...***...

Jangan lupa mampir, ya !

Baby Iren

‘Oekkk… oekkkk.. Oekkkk’ suara tangisan bayi terdengar sangat nyaring. Mario pria itu berusaha melepaskan pakaian putrinya. Dia akan belajar memandikan putrinya. Vion mantau gemas putranya yang terlihat sangat kaku.

‘Oekkk… Oekkkk… Oekkk…’

“Heeeehhh Rio ! Bukan begitu cara bukanyaaaaa.. Bisa memar tangan cucu ibu kalau kamu begitu pegang tangannya  !!” pekik Vion saat putranya memegang tangan Maureen untuk melepaskan baju yang dikenakan Maureen.

“Nggak kuat kok bu, udah lembut ini !” seru Mario kesal direcoki oleh ibunya sendiri.

“Aduhhhhhh… ngilu ibu liatnya. Sini ! Biar ibu yang lepasin. Ntar yang lepas bukan bajunya ..”

“Terus kalo yang lepas bukan bajunya, lalu apa bu ?” tanya Mario polos.

“Tangannya !” ketus Vion merasa gemes dengan pertanyaan putranya.

“Ya, jangan dong bu ! Gimana sih bu,” cebik Mario.

“Sudahlah, ibu saja yang mandiin. Kamu siapkan peralatan mandinya, handuk, pakaiannya dan alat dandannya Maureen !” perintah Vion.

“Alat dandan ? Untuk apa bu ??? Bayi Rio masih kecillll !!”.

“ Lihatlah, cu. Ayahmu itu udah b*d*h, kaku, hidup lagi !” adu Vion entah mengapa hal itu membuat Maureen tersenyum kecil.

“Wowwww cucu nenek senyummmmm, manis kaliiiiii…”

Mendengar perkataan Vion, Mario segera melihat putrinya yang ternyata tidak tersenyum. Mario mencebik kesal.

“Ibu ngadi-ngadi,” Namun, tanpa Mario sadari putrinya memang benar tersenyum hanya saja saat ayahnya ingin melihat dirinya tersenyum Maureen merubah ekspresinya. Mario memilih keluar rumah, hari ini dia meminta  ijin untuk tidak bekerja dan akan bekerja kembali di hari esok. Karena dia ingin menghabiskan waktu bersama putrinya dirumah.

“Ayahmu itu yang ngadi-ngadi,”.

Setelah Vion memandikan Maureen, wanita paruh baya itu memasang Maureen pakaian yang dipilih Mario untuk cucunya.

“ Wowwww, cucu nenek cantik sekali !”.

“Oaaaa…”

“Hahaha, senang ya dipanggil cantik.”

“Oaaaa…”

Tawa Vion menggema di ruang tamu. Dia membawa cucunya untuk duduk di luar rumah dimana putranya bersantai. Suaminya sudah berangkat ke toko tadi pagi untuk melihat stok barang disana.

“Ayah… Iren sudah mandi !” seru Vion menirukan suara anak kecil.

Suasana pagi di rumah orang tua Mario terlihat adem. Apalagi semalam baru saja turun hujan. Mario takut sesak nafas putrinya kambuh sehingga dia tidur memeluk putrinya agar tetap hangat.

“Anak ayahhh… cantiknyaaa” mendengar pujian ayahnya bayi cantik itu tersenyum manis dalam gendongan Vion.

“Ihhh, Iren senyum bu. Anak aku senyum !!” pekik Mario yang membuat Maureen terkejut.

“Kamu ini ! Anakmu sampai terkejut loh !!”.

“ Ya– Ya maaf bu,” ucap Mario mengusap tengkuknya yang tak gatal.

Vion mengajak putranya untuk membicarakan kemana Dea yang sudah dua hari tidak pulang. Vion sedikit merasa kesal kepada menantunya itu. Dia awalnya tidak menyetujui pernikahan putranya yang dadakan. Saat dirinya mulai ikhlas menerima pernikahan putranya, malah dirinya kembali dibuat kesal dengan hilangnya sang menantu.

“Istrimu benar-benar seperti, seperti jel4ngkung ! Tiba-tiba menghilang, “.

“ Bu….”

“Apa ? Kami mau bela istrimu itu ? Bahkan anakmu ini belum minum asi ibunya loh ! Kamu kira minum susu formula itu bagus ? “.

“ Kata dokter bagus kol, bu. Asal minum susu aja yg sesuai kebutuhan,” ucap Mario yang mana membuat kepala Vion mengembang.

“Punya anak laki, ot4knya ketiban jel4ngkung ?”.

“Waaaaahhhh, ada dedek bayiiiii !! ” seru seorang anak perempuan mengenakan seragam paudnya.  “ Mama, Balla mau liat dedek bental ya !” ijin  anak itu kepada ibunya yang dibalas anggukan.

“Eh,  Barra sudah pulang sekolah ?” ucap Vion kepada anak tetangganya.

“Sudah nek, “ jawab Barra. Anak itu menghampiri Vion dan Mario yang duduk di kursi bambu.

“Ini anak na om Malio ?” tanya Barra dengan nada lucu.

“Iya anak om Rio. Cantikkan ?” kata Mario membuat Barra mengangguk polos. Rambutnya yang lepek karena keringat terlihat begitu menggemaskan.

“Om, nanti Balla main cama dedek bayi boleh nda ?” tanya Barra pelan seraya memegang tangan Maureen yang tertutup sarung tangan.

“Boleh kok, tapi Barra ganti seragam dulu. Baru nanti, ke rumah om main sama dedek Maureen..”

“Ooo namanya dedek Ulin ya ?”

“Ureen, bukan urin..” ucap Mario memperbaiki pengucapan Barra.

“Ureeennnn.. E nya double…” kata Mario.

“Ih kamu ini, “ tepuk Vion kepada putranya. “ Barra panggilnya dedek Iren aja ya, biar mudah Barra manggilnya….”

Barra mengangguk. “ Dedek Ilen,”.

“Sayang, ayo ganti seragam dulu. Nanti baru main ke rumah nenek Vion..”

“Iya mama. Dedek Ilen, abang Balla pulang dulu ya, nanti abang ke lumah dedek. Kita main !” seru Barra lucu.

Setelah berpamitan, Barra dan ibunya berjalan ke rumah mereka yang hanya beberapa langkah dari rumah orang tua Mario.

*

*

*

*

*

“Maksud papi apa ?!!! Papi mau nikahin Marsha sama pria itu ??? Piii !!! Marsha masih muda, kenapa papi tega terima lamaran pria itu !!” 

“Umur kamu sudah dua puluh satu tahun, Marsha. Papi takut tidak ada pria yang mau menerima kamu !” seru Gilbert kepada putri bungsunya.

“ Kakak aja yang umurnya tiga puluh tahun, kenapa nggak didesak nikah ?? Kenapa harus Marsha pi ?”.

“Aduhhh, kamu nggak ngerti. Kalau papi bilang kamu nikah ya kamu harus mau !” seru Nella kesal karena putri bungsu suaminya tidak mau menuruti keinginan mereka.

“Kalau begitu, suruh saja putrimu yang menikah !” ucap Marsha tajak ke arah ibu tirinya.

“Marsha jaga ucapanmu ! Jangan tidak sopan kamu sama ibumu !!” bentak Gilbert membuat Marsha tersentak kaget.

“Dia bukan ibu Marsha, pi !”

“Ada apa sih kalian, berisik banget. Turutin aja deh, Marsha lagian umurmu dua puluh satu tahun. Takutnya nggak ada laki-laki yang mau sama kamu !” ketus Dora.

“Apa bedanya aku sama kamu ! Umur kita sama, kamu saja yang nikah !” marah Marsha. Lalu dia menatap papinya tajam.

“Kalau papi terus memaksa Marsha untuk menikah, lebih baik Marsha pergi dari rumah !” ucapnya tegas.

“Keluar kamu dari rumah ini jangan harap kamu bisa kembali dan ingat semua fasilitas yang papi berikan jangan ada satupun yang kamu bawa !!” ancam Gilbert.

Mendengar ancaman itu tak membuat Marsha takut. Dia mengangguk tegas. Berjalan naik ke lantai atas. Di kamarnya, Marsha mengambil kalung peninggalan ibu kandungnya. Kartu atm yang dirinya buat tanpa sepengetahuan papinya. Dia juga menyelipkan beberapa berkas, pakaian dan hadiah dari kakak kandungnya yang memilih tinggal di kota lain.

“Maaf mi, Marsha terpaksa keluar dari rumah ini,” ucapnya memeluk  bingkai foto mendiang ibunya. “Nenek gayung itam lope, bikin Marsha engap,”.

Marsha dengan langkah tegap keluar dari kamarnya. Dia hanya membawa tas ransel lama yang diberikan abangnya. Melewati Gilbert begitu saja.

“Ingat jangan pernah injakan kaki ke rumah ini lagi !”. Marsha memilih tidak menghiraukan. Dia pergi tanpa tahu mau kemana.

Sementara di rumah orang tua Mario. Barra berusaha menenangkan Maureen yang menangis. Bocah itu terlihat frustasi karena Maureen tak berhenti menangis.

“Janan nanis ! Janan nanis !” ucap Barra panik.

“Pok, Pok lepok.. Patah kayu lepok.. Lepokna dimakan api, api na keculupan. Bengkokna dimakan api, api na keculupan…”

“Dedek Ilen janan nanis, nanti dikaci ail cucu !” seru Barra berusaha membuat Maureen berhenti menangis.

“Oaaaaa…” Saat Barra menyebut air susu, ajaibnya Maureen berhenti menangis hal itu membuat Maureen melongo.

“Benelan mau cucu ? Tapi Abang Balla nda punya cucu, gimana dong ?” katanya sambil mer4b4 d4d4 tanpa kembungan.

“Mau cucu ya ?” kedua mata Maureen mengerjap lucu. “ Bental ya, Abang Balla nego dulu cama mama na Abang Balla. Cucuna mama abang cepeltina macih ada stok buat dedek..”

“Sabal ya,” Barra beranjak dari duduknya berjalan ke arah jendela kamar Mario yang menghadap keluar rumah. Dia melihat mamanya sedang mengobrol dengan Vion di teras rumah.

“MAMAAAAAA !!! DEDEK ILEN MAU CUCUUUUU NA MAMAAAAAA !! NEGO DIKIT BOLEH NDAAAA ???!!”

“Ha ?!”

Marsha Grey Gilbert

Bayi mungil itu berada dalam gendongan ibunya Barra. Tampak menikmati sumber nutrisi dari ibu tetangga mereka. Untungnya ayah dari Barra mengijinkan dan Mario serta kedua orang tuanya juga terpaksa mengiyakan dengan rasa bersalah.

Mereka merasa tidak enak, namun bagaimanapun juga Maureen membutuhkan asi. Rea yang memiliki asi full pun bersedia setelah mendapatkan izin dari suaminya. Jadilah mereka menganggap Maureen seperti putri mereka sendiri.  Rea juga merasa kehadiran putranya yang telah tiada sebulan lalu ada pada diri Maureen.

“Maaf ya, Rea. Bibi jadi nggak enak”.

“ Nggak papa kok bi, daripada ke buang kan sia-sia. Lagian Mas Roy, juga ngijinin kok” ucap Rea memperbaiki pakaiannya setelah Maureen melepaskan nutrisinya.

Kedua wanita beda usia itu berada dikamar dengan Barra yang menatap Maureen. Sementara laki-laki berada di teraa rumah sambil mengobrol ringan. Roy dan Mario duduk sambil menikmati gorengan. 

“ Maafkan putriku, Roy”

Roy menepuk pundak, Mario. “ Tidak masalah, lagi pula kami sudah menganggap Maureen seperti anak kami sendiri dan istriku memang lagi banyak asi.”

“Sayang kalau dibuang,”.

Mario menganggukkan kepalanya. Tatapannya lurus kedepan. Lingkungan mereka cukup ramai dengan rumah-rumah tetangga lainnya hanya saja jarang berkumpul bersama.

Keduanya tidak membahas kemana Dea, Roy tahu jika Dea tak pernah menganggap Mario. Setiap kali Dea diajak  Mario ke rumah,pasti Roy dan istrinya mendengar teriakan Dea yang tak suka ditegur oleh Vion, ibu dari suaminya sendiri.

Beberapa saat, Roy berpamitan kepada istrinya untuk kembali bekerja. Ia akan pulang pada sore hari. Pekerjaannya sebagai karyawan swasta mengharuskannya pergi.

Di sisi lain, Marsha melirik kanan dan kiri. Dia sedang menunggu seseorang untuk menjemputnya namun hingga siang hari temannya itu tak kunjung terlihat.

Baterai ponselnya juga sudah sekarat membuat Marsha menahan kesal. Dia harus mencari tempat untuk mencharger ponselnya. 

“Mana sih, Nensi katanya jemput gue. Ini sudah siang nggak nongol-nongol !” gerutunya kesal dan membuat dirinya harus jalan mencari tempat cafe.

Terik sinar matahari membuat Marsha kepanasan, dia sangat tidak suka berpanas-panasan. Hingga dia menemukan tempat cafe biasa dan ngadem di sana sambil mencharger ponselnya.

Dua jam berlalu, tidak ada tanda-tanda notif dari Nensi. Takut kemalaman, Marsha mencari kost-kostan murah untuk dirinya tinggali. Sepertinya dia tidak akan menghubungi Nensi lagi.

Setelah mencari, akhirnya Marsha menemukan tempat tinggalnya. Dia bersyukur bisa keluar dari rumah mewah papinya. Semenjak ibu kandungnya meninggal dan papinya menikah lagi, hidup Marsha seperti diatur tanpa memberikan akses sedikitpun.

“Nggak papa sederhana, yang penting nggak liat muka beruk di rumah. Suntuk banget gue !” ucap Marsha kesal mengingat bagaimana perlakuan papinya yang tidak adil kepada dia dan kakak kandungnya dengan anak tiri.

“Aku harus memulai hidup baru, harus berjuang dari nol.. Kira-kira kerja apa ya ??”

Marsha grey Gilbert, umurnya yang baru menginjak dua puluh satu tahun dipaksa ayah kandungnya untuk menikah. Hal itu sangat ditentang oleh Marsha karena dia tak ingin menikah diusianya yang masih muda.

“Kenapa nggak anaknya gayung itam lope sih yang disuruh nikah. Kenapa harus aku ?? Ini juga si Nensi. Punya temen tapi rasa nggak punya. Lebih sakit daripada nggak punya ayang,”.

“Hahhhh,” Marsha menghela nafasnya. Dia mengambil ponselnya yang ternyata sudah terisi full. Dia melihat ada notif dari aplikasi hijau. Melihat nama Nensi, Marsha segera membuka pesan tersebut dan seketika mata Marsha membulat sempurna.

“Acaaaaaaaaaa !!! Maaf nggak bisa jemput, hiks. Ibu gue Ca !! Ibu gue kambuh lagi !!”

“Kamu dimana? Aku susul ya ?” balas Marsha khawatir.

“Jangan ! Disini ada bapakku,”

Melihat pesan itu, Marsha menjadi sangat heran. “Kenapa tidak boleh kesana. Bukannya aku datang dengan niat baik bukan niat jahat ?” pikir Marsha.

“Sudahlah, lagian mending aku mandi habis itu makan” ucap Marsha bergegas membersihkan diri.

*

*

*

*

Malam harinya, suasana di rumah orang tua Mario terlihat sangat ramai. Baby Maureen kembali menangis tidak tahu kenapa. Sebelumnya Mario sudah mengecek popok putrinya, namun popok tersebut masih kering. 

Vion yang mendengar suara bayi menangis segera berjalan ke kamar putranya. “ Rio, kenapa Iren menangis ?”.

“Rio nggak tahu,bu. Iren tiba-tiba menangis, Rio takut Iren kesulitan bernafas karena menangis,”. Ucap Mario sendu dan khawatir.

“ Coba biar ibu yang nenangin. Sana, kamu salinin kerjaan ibu.”

“Ibu masak ??” Vion mengangguk. Mario yang juga bisa memasak segera ke dapur. Disana ternyata ada ayahnya yang baru kembali dari memancing.

“Ayah ? Banyak dapatnya ?” tanya Mario mendongak ember hitam kecil di tangan ayahnya.

“Lumayan nih,” kata Narel. “Eh, putrimu kenapa menangis ? Kenapa kamu tidak mendatanginya ??” tanya Narel panik. Dia pikir putranya itu membiarkan sang cucu menangis. Namun mendengar perkataan Mario membuat Narel mengusap dadanya.

“Sudahlah, ayah mau mandi dulu. “ Narel segera masuk ke dalam kamar mandi. Ember berisi ikan hasil mancing di kolam ujung diletakan di dekat tabung gas melon.

Rumah sederhana itu, terlihat sangat rapi karena Vion tak suka rumahnya berantakan. Ketika putra mereka membawa istrinya, sering kali Vion mengomel hanya karena Dea yang selalu menumpukkan barang kotor dan tidak pernah mau mencuci bekas miliknya yang makan paling lama. 

Ditambah lagi, Dea tipikal orang yang malas terjun ke dunia permasakan. Dia selalu menolak disuruh masak apa lagi memotong sayur. 

“Punya menantu pemalas. Apa kamu tidak pernah diajarkan untuk melakukan hal pekerjaan rumah ?” sentak Vion saat itu. Dia amat sangat kesal mendengar jawaban Dea yang mengatakan, “ Disini aku hanya tamu bukan pembantu. Walaupun aku istrinya, putramu. Tetap saja aku tidak mau menyentuh barang kotor yang menjijikan !”.

“Minimal kalau kamu sendiri kotor harusnya tau diri, jangan malah nggak tahu diri. Dasar wanita pemalas. Cuma tau uang dan uang !”.

“ Sewot banget ! Dahlah malas, sekalian ya bu pakaianku dicuci juga. Aku mau tidur, bye !”.

Perdebatan itu masih jelas di ingatan Narel. Dia yang kala itu sedang menyetor alam mendengar semua pembicaraan istri dan menantunya. Menantu ? Ya, Narel terpaksa. Dia juga tidak menyukai sifat Dea.

Di kamar Mario, terlihat Barra sedang memantau Maureen minum asi. Tadi dia disuruh mama nya untuk memberikan satu botol asi dan tiga plastik khusus penyimpanan asi kepada Vion. Ternyata di rumah Rea tengah memompa asinya. Dia tidak bisa ke rumah karena suaminya yang merasa tidak enak badan maka dari itu dia meminta putranya untuk mengantarkan asi miliknya.

“Dedek na haus ya ? Maafin abang Balla ya, tadi ngantal na ke lamaan, coalna lewat camping lumah gelap cekali. Bang Balla takut,”.

“Nda papa abang, dedek cudah minum cucuna kok !” balas Vion menirukan suara anak-anak.

“Loh, Barra ??” Vion dan Barra menoleh. Keduanya melihat Narel yang sudah terlihat segar.

“Kakek, balu mandi ?” tanya Barra mengerjapkan kedua matanya.

“Iya, habis mandi..”

“Segel ya, kek ?”. Narel mengangguk sambil menggosok kepalanya dengan handuk kecil.

“ Barra, sudah jam delapan. Biar kakek antar kamu ke rumah ya,” Barra mengangguk. Dia menatap Maureen sebentar.

“Dedek, bang Balla balik dulu ya. Besok abang ajak dedek main. Dedek janan nanis lagi ya,”.

“ Nenek ! Balla pulang dulu, ya !” pamit Barra sebelum akhirnya dia menghampiri Narel untuk diantarkan pulang.

“Cepatlah tumbuh besar, ya sayangnya nenek. Biar bisa main sama abang Barra..”

...***...

Langsung 3 ya, semoga aman ceritanya😌🤗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!