Hujan turun dengan deras malam itu, seakan langit ikut menangisi takdir Zea Callista. Gadis itu berdiri di depan dua makam yang masih basah, tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
Orangtuanya telah pergi. Dibunuh dengan kejam di depan matanya.
Dulu, Zea adalah gadis biasa. Ia memiliki keluarga yang hangat, orangtua yang mencintainya, dan hidup yang meskipun sederhana, penuh dengan kebahagiaan. Namun, semua itu berakhir di sebuah malam yang gelap-malam yang akan terus menghantuinya seumur hidup.
Saat itu, ia baru pulang dari sekolah. Dia masih mengenakan Seragam taekwondo, ketika ia memasuki rumah dengan langkah ringan. Tapi kegembiraannya lenyap seketika saat mendengar sebuah suara tembakan di tengah gelapnya rumah kala itu.
Dan di sana dengan kilatan petir yang cahayanya menerangi rumah, terbaring dua tubuh yang begitu dikenalnya.
"Ayah... Ibu..."
Dunia Zea runtuh dalam sekejap. Lututnya melemas, air mata mengaburkan pandangannya. Ia ingin berlari mendekat, ingin mengguncang tubuh kedua orangtuanya agar mereka bangun dan mengatakan bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Namun, sebelum ia sempat bergerak, seseorang menarik lengannya dengan paksa.
"Kita harus pergi!" suara itu tajam dan mendesak.
Seorang pria yang dikenalnya sebagai rekan bisnis ayahnya menyeretnya keluar rumah, memaksanya untuk tidak menoleh ke belakang. Zea berusaha meronta, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat.
"Tidak! Lepaskan aku! Aku harus menyelamatkan mereka!" Zea menjerit, air matanya bercampur dengan hujan yang turun deras.
Namun, tidak ada yang bisa diselamatkan. Kedua orangtuanya sudah mati.
Dan malam itu, Zea Callista kehilangan segalanya.
Setelah kematian orangtuanya, Zea dikirim ke rumah satu-satunya keluarga yang tersisa-pamannya, Richard Moreau, dan bibinya, Vivian Moreau.
Namun, harapan Zea untuk mendapatkan perlindungan sirna begitu ia menginjakkan kaki di rumah mereka.
Rumah megah itu terlihat indah dari luar, tetapi bagi Zea, itu adalah penjara tanpa jeruji. Sejak hari pertama, paman dan bibinya memperlakukannya bukan sebagai keponakan, tetapi sebagai beban yang harus mereka tanggung.
"Kau pikir kami akan mengurusmu secara cuma-cuma?" ujar bibinya dengan nada sinis. "Mulai sekarang, kau harus bekerja untuk mendapatkan makananmu."
Sejak saat itu, Zea bukan lagi seorang keponakan-ia hanyalah seorang pembantu.
Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia harus bangun untuk membersihkan rumah, memasak sarapan, mencuci pakaian, dan memastikan segalanya berjalan sempurna. Jika ada satu kesalahan kecil, hukuman sudah menunggunya.
Tamparan, makian, atau kelaparan-itu semua sudah menjadi bagian dari kesehariannya.
Namun, bukan hanya paman dan bibinya yang menyiksanya. Celine Adrienne Moreau, putri satu-satunya pasangan itu, menjadi momok lain dalam hidupnya.
"Lihatlah dia," Celine sering tertawa bersama teman-temannya. "Anak yatim piatu yang menyedihkan!"
Bagi Celine, Zea adalah sasaran empuk. Ia sering menjambak rambut Zea, menumpahkan makanan ke lantai agar Zea harus membersihkannya, bahkan terkadang menyiramkan air ke tempat tidur Zea hanya untuk melihat gadis itu kedinginan sepanjang malam.
"Kau tidak akan pernah menjadi seperti aku, Zea," bisik Celine suatu hari, mencengkeram dagu Zea dengan jari-jari yang dipenuhi cincin mahal. "Kau hanyalah sampah yang terdampar di rumah ini."
Dan Zea hanya bisa menggigit bibirnya, menahan air mata dan kebenciannya. Hari demi hari berlalu dalam belenggu penyiksaan, bulan demi bulan hingga tahun berlalu. Saat usia Zea mencapai 20 tahun. Dia mendengar sebuah perdebatan di ruang tamu antara Richard sang paman dan seseorang yang suaranya asing untuk Zea.
Akhirnya Zea memutuskan untuk mengintip dari balik pilar pintu. Dia menyaksikan seorang Pria dengan perut buncit. Usianya sekitar akhir 50-an atau awal 60-an, dengan rambut yang mulai menipis dan beruban, tapi tetap tertata rapi. Wajahnya dihiasi kerutan, terutama di sekitar mata dan dahi.
Pria itu mengenakan setelan mahal yang sedikit ketat di perutnya, Namun, meskipun tubuhnya tampak melebar, auranya tetap menekan-tatapannya tajam, suaranya berat dan serak, menunjukkan dia masih punya kuasa. Jari-jarinya sering kali menggenggam cerutu mahal atau cincin emas besar, simbol kekayaannya.
Zea berdiri gemetar di balik pintu dapur, jari-jarinya mencengkeram kayu tua yang dingin. Jantungnya berdentum kencang, hampir menenggelamkan suara napasnya sendiri. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, matanya menangkap sosok pria itu.
"Lima puluh juta euro, Richard. Kau pikir aku bercanda soal ini?" Suaranya menggelegar, membuat Zea hampir mundur selangkah.
Paman Richard berdiri di hadapannya, tubuhnya menegang. "B-beri aku waktu. Aku pasti bisa melunasi-"
Suara dentuman keras menggema saat pria itu menghantam meja dengan kepalan tangannya bahkan sebelum paman Richard selesai bicara. "Waktu? Aku sudah memberimu lebih dari cukup." Matanya menyipit, penuh ancaman. "Kau pikir bos ku bisa menunggu lebih lama, huh? Atau kau ingin mati dibawah penyiksaannnya?" Mata lelaki itu memelototi Richard yang gemetaran.
Bi Vivian seketika berlari ke ruang tamu dan memeluk suaminya-Richard. "Ampunilah kami, tuan. Jangan bunuh kami. Kami pasti akan membayar hutangnya, beri kami waktu."
"Bos sudah terlalu banyak bersabar menunggu, satu bulan, dua bulan hingga genap 1 tahun dan kalian masih belum membayar juga. Bahkan bunganya sudah dua kali lipat lebih banyak dari hutang kalian. Menjual organ kalian saja sepertinya tidak cukup untuk membayarnya,"tukas tegas dan tajam dari pria itu-namanya Gin.
Membuat Richard dan Vivian seketika gemetaran mendengar ancaman itu. Tangisan Vivian pecah. "Tolong maafkan kami, maafkan kami, Tuan. Tolong beritahukan bos anda jika ... Jika kami akan benar-benar membayarnya jika kalian memberi kami waktu. Sungguh."
Tak lama kemudian, terdengar suara Celine melangkah masuk dengan santai. Wajahnya masih memancarkan senyum tipis setelah menghadiri pesta foya-foya dengan teman-temannya, Celine masih terbawa oleh euphoria itu, seolah tak menyadari betapa tegangnya udara di ruang tamu antara kedua orangtuanya dan Gin-sosok berperut buncit yang ikut menatap tajam ke arah Celine.
"Apa yang kalian ributkan?" katanya dengan nada ceria, sembari berjalan mendekati meja. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap ekspresi Paman Richard yang pucat pasi dan Gin yang menatapnya dengan tajam.
Senyumnya memudar. Matanya berkedip beberapa kali, mencoba memahami situasi. Napasnya tercekat ketika ia melihat kepalan tangan pria itu masih bertumpu di meja, seperti baru saja menghantam permukaannya dengan kasar.
"Oh..." Celine menelan ludah, perlahan menyadari bahwa dia telah masuk ke dalam sesuatu yang seharusnya tidak dia ganggu. Tatapannya beralih ke Richard yang masih berusaha menjaga ketenangannya, lalu ke pria tua itu yang kini mengamati dirinya dengan mata penuh perhitungan.
Sesaat, suasana berubah sunyi. Bahkan Zea yang mengintip dari balik pintu bisa merasakan ketegangan yang semakin mencekik.
Gin menyandarkan tubuh buncitnya ke kursi, tatapannya berpindah dari Richard ke Celine yang masih berdiri kaku. Bibirnya yang tebal melengkung dalam seringai samar, seolah baru saja menemukan solusi yang menyenangkan.
Dia menepuk-nepuk perutnya perlahan, lalu berkata dengan nada santai tapi mengandung bahaya, "Kau bilang butuh waktu, Richard. Tapi menurutku, ada cara lebih cepat untuk melunasi hutangmu."
Richard menegang. "A-apa maksudmu, Gin?"
Gin mengangkat alis, matanya beralih ke Celine, menatapnya seperti barang yang bisa dinegosiasikan. "Putrimu sudah besar dan cantik. Aku yakin Bos ku akan menyukainya."
Celine tersentak, wajahnya memucat. "Tunggu... apa maksudmu-"
Gin tertawa kecil, tetapi suaranya dingin. "Kau mengerti maksudku, Sayang. Jika Richard dan Vivian tak bisa membayar dengan uang, mereka bisa membayarnya dengan sesuatu yang lebih... berharga."
Gin lalu menambahkan, "Bos ku pasti senang jika aku membawa seorang gadis dari keluarga ini untuknya."
"Tidak, aku tidak mau, aku tidak sudi."
"Bos ku sangat kaya dan bergelimang harta, tidak ada satupun wanita yang menolaknya, harusnya kau merasa terhormat."
"Terhormat?? Huh? Yang benar saja." Celine berkacak pinggang, mengamati rupa Gin yang berbadan besar dan buncit, dalam pikiran Celine pasti bos nya tidak jauh beda dan Celine jijik dengan pria seperti itu. "Tipe ku seperti Giovanni Alteza yang sangat tampan dan seksi! Aku yakin bos mu itu buruk rupa seperti mu, aku tidak Sudi!"
"Beraninya kau menghina bosku seperti itu!"pekik Gin.
Ruangan terasa membeku. Paman Richard membisu, wajahnya kehilangan warna, sementara Celine mundur selangkah, seolah ingin menjauh dari tatapan pria tua itu.
Gin mengangkat alis saat melihat ekspresi Richard dan Vivian yang langsung berubah drastis. Wajah Richard memerah, sementara Vivian mencengkeram tangan suaminya dengan erat, matanya berkilat marah.
"Tidak! Celine bukan untuk dijual!" Richard membentak, suaranya keras dan penuh ketegasan.
Vivian segera mengangguk setuju. "Dia putri kami, Gin! Kami tak akan menyerahkannya begitu saja!"
Gin mendengus, jelas tak terkesan dengan perlawanan itu. Dia menyandarkan tubuh beratnya ke kursi, menatap mereka dengan mata penuh perhitungan. "Kalau begitu, bagaimana kalian akan membayarnya?"
Hening sejenak. Richard dan Vivian saling pandang, napas mereka memburu. Lalu, seolah mendapatkan ide yang bisa menyelamatkan putri kesayangan mereka, Richard tiba-tiba berkata, "Bagaimana kalau Zea?"
Zea yang masih mengintip dari balik pintu sontak membelalak.
Gin mengangkat kepalanya sedikit, tertarik. "Zea?" ulangnya, seolah ingin memastikan dia mendengar dengan benar.
Vivian langsung menyambung, suaranya lebih tenang seolah ini adalah keputusan terbaik. "Ya, dia bukan anak kandung kami, hanya keponakan yang menumpang. Lagipula, dia tidak punya siapa-siapa." Ada seringai licik di bibirnya. "Dan ya, Zea hanyalah beban di rumah ini. Kami membiayainya hidup di sini, jadi sudah sepatutnya dia membayarnya."
Jantung Zea mencelos. Tangannya mencengkeram pintu lebih erat, tubuhnya mulai gemetar.
Gin memperhatikan mereka beberapa detik sebelum akhirnya menyeringai lebar. "Menarik," gumamnya. "Sangat menarik."
Zea ingin berlari. Ingin kabur sejauh mungkin. Tapi kakinya terasa berat, seolah tubuhnya telah dipaku ke lantai. Dia tahu hidupnya tidak pernah mudah, tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa keluarganya sendiri akan menjualnya untuk menyelamatkan anak mereka dan juga hutang-hutang mereka.
"Zea,"panggil Vivian.
Zea merasakan tubuhnya membeku saat mendengar namanya dipanggil. Vivian berdiri dengan anggun di samping Richard, matanya berkilat penuh kelicikan, seolah ini bukanlah pengkhianatan, melainkan keputusan yang sudah seharusnya terjadi.
"Zea, kemarilah," suara Vivian terdengar lembut, namun mengandung paksaan.
Zea tetap diam di balik pintu dapur, hatinya berdebar keras. Napasnya tersengal saat tatapan Gin beralih kepadanya, senyumnya menyeringai penuh kemenangan.
Vivian melipat tangan di dadanya dan mendesah dramatis. "Zea, ini cara terbaik bagimu untuk membalas budi. Kami telah merawatmu selama ini, memberimu tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Sekarang saatnya kau melakukan sesuatu untuk kami."
Darah Zea mendidih. Dia menggertakkan giginya, lalu melangkah maju dengan tatapan penuh perlawanan. "Aku manusia, bukan barang! Kalian tidak bisa menjualku begitu saja!" suaranya gemetar, tapi penuh kemarahan.
Gin tertawa kecil, suara beratnya bergema di ruangan. "Gadis ini punya nyali," katanya dengan nada puas. "Tapi percuma melawan, Sayang. Kesepakatan sudah dibuat."
Zea menggeleng kuat, tubuhnya menegang. "Aku tidak mau!"
Vivian mendesah kesal. "Tidak ada penolakan. Kau seharusnya sadar diri kalau keberadaan mu di sini hanyalah beban keluarga. Keluarga kami jadi banyak hutang karena mengasuhmu. Kau punya kebutuhan yang banyak hingga membuat kami berhutang banyak ke bos mafia."
Zea terkejut dengan penuturan Vivian, selama ini Zea hidup dengan uang peninggalan orangtuanya dan sesekali juga berjualan kecil-kecilan untuk makan. Justru Celine, anak mereka yang sering berpesta fora setiap malam dan pulang saat pagi, hidup Hedon dan tidak menoleh bagaimana ekonomi keluarganya. "Bukan aku yang membuat anda memiliki banyak hutang! Lantas kenapa harus aku yang membayar nya?!"
Celine merengut kesal lalu berjalan mendekati Zea dan menjambak rambut gadis itu. "Oh, kau pikir aku yang harus menjadi jaminan untuk membayar hutang ayah dan ibu? Begitu?"
Zea menggertakkan giginya kesal. Tidak suka dengan cara buruk Celine menindasnya. Selama ini dia hanya diam dan menerimanya. Tapi, sekarang semuanya telah keterlaluan. Zea segera mendorong Celine yang menjambak rambutnya. "Tidak ada yang berhak menjadi jaminan. Aku sudah muak dengan kalian semua."
Celina terbelalak saat Zea mendorong dan membuatnya mundur beberapa langkah. "Berani-beraninya kau mendorong ku seperti itu?!"
"Memang kenapa? Aku berhak melakukannya karena kau telah menjambak rambutku!"pekik Zea dengan keberanian penuh, matanya berkilat penuh kesungguhan. "Kau tidak punya hak memperlakukanku dengan buruk hanya karena aku tinggal di sini."
"Ayah, Ibu, lihat Zea ... dia berani sekali padaku,"rengek Celine yang berjalan dan memeluk lengan Vivian, bersikap seolah korban yang harus dikasihani.
"Dasar anak kurang ajar. Kau seharusnya bersyukur kami bersedia mengasuhmu di sini, dasar anak tidak tau terimakasih,"sinis Vivian memberikan tatapan tidak suka.
"Lagipula untuk apa lagi kau hidup? Kau hanya menyusahkan saja, kau juga tidak memiliki orangtua. Setidaknya jadilah berguna sedikit."
Zea mengepalkan tangannya. Dia ingin membalas sampai tiba-tiba Paman Richard angkat bicara.
"Tidak ada lagi perdebatan. Aku telah menandatangani surat pelunasan hutang dengan Zea sebagai bayarannya,"ucap Richard dengan nada santai dan dingin, seolah benar-benar tidak peduli lagi dengan Zea.
"Paman ... kenapa kau tega melakukan ini padaku?" Amarah berkobar dalam diri Zea tiba-tiba runtuh, berubah menjadi kekecewaan yang dalam.
Zea pikir Pamannya Richard masihlah menyayanginya karena Richard tidak pernah menyiksanya secara fisik. Walaupun tidak juga mengentikan perilaku Vivian dan Celine. Tapi, Zea tetaplah menaruh harapan besar pada Paman Richard yang dia pikir dapat membelanya. Zea menghampiri paman Richard dan menyentuh bahu Richard dengan gemetar. "Kenapa Paman?"
"Tidak ada pilihan lain, Zea. Kami benar-benar sedang terlilit hutang yang kami bahkan merasa tidak akan bisa membayarnya. Dan aku juga tidak mungkin mengorbankan anakku sendiri."
"Lalu kau mengorbankan ku?"
"Tentu saja."
"Kenapa?"
"Sudah jelas kan? Kau bukan siapa-siapa di sini, kau tak lebih hanya hama yang akan menyusahkan." Richard berkata dengan wajah datar dan suara dingin yang sadis. "Terimalah fakta itu, dan anggaplah ini sebagai caramu membalas budi pada kami."
Gin mendesah seolah bosan, lalu bersandar di kursinya. "Dengar, bocah. Ini bukan soal mau atau tidak mau. Hutang harus dibayar. Dan kau-kau adalah pembayaran itu."
Zea menelan ludah, kakinya terasa lemas.
"Jadi, aku akan menyerahkanmu pada bosku," lanjut Gin dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti ancaman. "Dan percayalah, dia tidak suka jika sesuatu yang sudah menjadi miliknya mencoba melawan."
Zea merasa udara di ruangan itu semakin menipis. Tubuhnya mulai gemetar, bukan hanya karena marah, tapi juga karena ketakutan yang mulai merayap di dadanya.
Bosnya?
Jika Gin saja sudah sekejam ini, seperti apa orang yang menjadi atasannya?
Zea mencoba melawan ketika dua pria berbadan kekar mendekatinya, masing-masing mencengkeram lengannya dengan kuat. Dia menjerit dan meronta, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman mereka seperti besi, tak tergoyahkan.
“Lepaskan aku!” Zea berteriak, matanya liar mencari bantuan, tetapi Richard dan Vivian hanya berdiri diam.
Vivian bahkan tersenyum tipis dan sinis. “Sudahlah, Zea. Jangan buat semuanya lebih sulit. Tidak perlu banyak drama, ikut saja dengan mereka.”
Gin berdiri dengan malas, tubuh buncitnya berguncang sedikit saat dia berjalan mendekat. “Jangan buang energi, Sayang. Semakin kau melawan, semakin menyakitkan akibatnya.” Gin mencengkram dagu Zea.
Seketika itu Zea menoleh-tolehkan kepalanya untuk melepaskan tangan Gin, mata penuh kilatan amarah yang menggebu-gebu. “Jangan sentuh aku!”
“Oh, sungguh. Wanita ini benar-benar punya nyali, bos pasti akan sangat menyukaimu.”
Gin lalu memindai Zea dari atas sampai bawah lalu membasahi bibirnya dengan lidah. “Paras dan tubuhmu juga sangat indah.”
“Berhenti menatapku!!”pekik Zea.
Gadis itu merasa risih dengan tatapan mesum Gin, dia sangat tidak nyaman, lalu Zea menatap Richard dengan tatapan penuh kebencian. “Kalian kejam,” suaranya bergetar. “Aku bukan barang! Aku keluargamu!”
Richard mengalihkan pandangannya tidak peduli bahkan berjalan masuk ke dalam dapur, enggan melihat. Sementara Vivian tersenyum sinis. Merasa puas, beban hidupnya telah sirna. Walaupun dia sadar kalau beban hidup keluarga itu sebenarnya bukanlah Zea.
Gin menepuk bahu salah satu anak buahnya. “Bawa dia ke mobil.”
Zea menjerit lagi saat tubuhnya ditarik kasar. Kakinya menendang udara, tangannya berusaha mencakar siapa pun yang bisa dia raih, tetapi sia-sia. Dia diseret keluar rumah seperti seekor binatang yang akan dikorbankan.
Udara malam yang dingin menusuk kulitnya saat dia dilempar ke dalam mobil hitam yang sudah menunggu di depan rumah. Pintu mobil dibanting, mengurungnya dalam kegelapan.
Gin naik ke kursi depan, menyalakan cerutunya sambil menyeringai ke arah Zea melalui kaca spion. “Bersiaplah, Sayang,” katanya dengan nada penuh kesenangan. “Bosku pasti akan sangat senang melihatmu.”
Zea menggigit bibirnya, dadanya naik turun cepat. Ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Tapi saat mobil mulai melaju, meninggalkan rumah yang selama ini dia tinggali, Zea tahu—tidak ada jalan kembali.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang gelap dan terbengkalai. Zea menggigit bibirnya, tubuhnya menegang saat Gin turun lebih dulu, menghembuskan asap cerutunya dengan santai.
“Bawa dia masuk,” perintahnya.
“Tempat apa ini?!” Zea memberontak.
“Kau lihat saja nanti.”
Dua pria bertubuh kekar menarik Zea keluar, menyeretnya ke dalam bangunan itu. Udara di dalam terasa lembap dan berdebu, cahaya remang dari lampu jalan nyaris tak mampu menembus jendela yang kotor. Jantung Zea berdebar kencang, firasat buruk menyelimuti pikirannya.
Gin menatapnya dengan seringai puas. “Bosku pasti suka padamu, tapi sebelum itu … kupikir aku harus mencobamu dulu,” katanya dengan nada licik, matanya mengamati Zea seperti predator melihat mangsanya.
Napas Zea tersentak. “Kau gila!” Dia meronta, mencoba mundur, tetapi Gin melangkah maju dengan penuh percaya diri.
Namun, Zea bukan gadis lemah. Dalam sekejap, dia mengangkat lututnya tinggi dan menghantam perut Gin sekuat tenaga.
“Ugh!” Gin mengerang kesakitan, tubuh buncitnya terhuyung mundur.
Zea mengambil kesempatan itu. Dengan cepat, dia menendang salah satu anak buah Gin yang mencoba menangkapnya, lalu melayangkan siku ke wajah pria lainnya.
Tapi perlawanan Zea tidak bertahan lama. Salah satu anak buah Gin berhasil menarik lengannya dengan kasar, memutarnya hingga punggungnya membentur dinding keras.
Gin menyeka mulutnya yang berdarah, wajahnya merah padam karena amarah. “Dasar gadis liar,” geramnya. “Aku akan membuatmu menyesal telah melawan.”
Zea berusaha melepaskan diri, tetapi kekuatan mereka terlalu besar. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan Gin yang semakin mendekat.
Tiba-tiba—
DOR!
Suara tembakan menggema di dalam gedung kosong itu.
Zea menahan napas saat salah satu anak buah Gin roboh ke lantai, darah merembes dari bahunya.
Gin membelalak. “Siapa—”
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, seorang pria muncul dari kegelapan. Langkahnya tenang, tapi aura mengintimidasi menyelimuti setiap gerakannya. Mata tajamnya menatap Gin dengan dingin, pistolnya masih terangkat.
“Lepaskan dia,” perintah pria itu, suaranya dalam dan berbahaya.
Zea menatap sosok penyelamatnya dengan mata membesar. Dia tidak tahu siapa pria itu, tapi satu hal yang pasti—dia baru saja diselamatkan dari neraka.
Gin membeku di tempatnya, napasnya memburu saat matanya menangkap sosok pria yang baru saja muncul dari kegelapan. Giovanni Alteza.
Bosnya.
Aura dominasi yang dingin menyelimuti pria itu saat ia melangkah mendekat, sepatu kulitnya berdetak pelan di lantai beton yang berdebu. Pistol di tangannya masih terarah dengan santai, seolah dia tidak tergesa-gesa—karena dia tidak perlu.
Giovanni Alteza tidak pernah terburu-buru. Dia adalah pemilik kekuasaan di ruangan ini, dan semua orang mengetahuinya.
Gin menelan ludah, tangannya yang gemetar terangkat sedikit seolah ingin menjelaskan. “Bos… aku—aku hanya memastikan gadis ini dalam kondisi baik sebelum kau menerimanya.”
Zea terengah berusaha menormalkan detak jantungnya. Tubuh Zea masih menempel di dinding, tetapi matanya menatap Giovanni dengan penuh waspada.
Giovanni mengangkat alisnya sedikit, ekspresinya datar tapi penuh tekanan. “Benarkah?” tanyanya dingin. “Kondisi baik?”
Gin tersenyum canggung, keringat mulai bercucuran di dahinya. “Tentu saja! Aku hanya—”
DOR!
Gin tersentak dan menjerit saat peluru melesat dan menghantam lantai hanya beberapa inci dari kakinya. Zea pun tersentak kaget, napasnya tercekat.
Giovanni masih berdiri santai, seolah tidak peduli baru saja menembakkan pistol di dalam ruangan sempit ini. Dia menghela napas pelan, seolah bosan. “Aku benci kebohongan, Gin.”
Gin tergagap, tubuhnya sedikit gemetar. “Sumpah, Bos! Aku—aku hanya berpikir…”
Giovanni mendekat, dan setiap langkahnya membuat Gin semakin terdesak. Tatapan hitamnya tidak lepas dari bawahannya yang kini tampak seperti tikus ketakutan.
“Aku memberi tugas padamu untuk membawa gadis ini padaku,” Giovanni berkata perlahan, suaranya rendah tapi mengancam. “Bukan untuk menyentuh sesuatu yang bukan milikmu.”
Gin mengangkat kedua tangannya dengan panik. “Aku tidak—Aku tidak menyentuhnya, Bos! Sungguh!”
Giovanni tidak bereaksi seketika. Dia hanya menatap Gin selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
Lalu, dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, Giovanni menendang perut Gin dengan keras.
“UGH!” Gin terhuyung ke belakang, jatuh berlutut di lantai sambil terbatuk kesakitan.
Giovanni menghela napas muak. “Aku mulai bosan berbicara dengan orang bodoh.” Dia menoleh sedikit ke arah anak buahnya. “Bawa Gin pergi. Aku akan mengurus gadis ini sendiri.”
Anak buahnya segera bergerak, menarik Gin yang masih mengerang kesakitan menjauh.
Zea yang masih berdiri di sudut ruangan merasa tubuhnya kaku. Dadanya naik turun cepat, pikirannya kacau. Dia baru saja lepas dari Gin, tapi sekarang dia berada di hadapan seseorang yang jauh lebih berbahaya.
Giovanni akhirnya mengalihkan pandangannya ke Zea. Dengan tatapan tajam penuh penguasaan, seperti seseorang yang baru saja mendapatkan mainan baru.
“Sekarang,” kata Gio dengan lebih tenang, tapi tetap mengintimidasi. “Apa kau akan melawan, atau kau akan ikut denganku dengan tenang?”
Zea merapat ke dinding, tubuhnya gemetar saat Giovanni Alteza menatapnya dengan mata hitam pekat yang dingin. Dadanya naik turun cepat, pikirannya berteriak untuk lari, tapi tubuhnya terasa berat, seolah kehadiran pria itu saja sudah cukup untuk merenggut seluruh tenaganya.
"Tidak," Zea berbisik, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku tidak mau ikut denganmu."
Giovanni mengangkat alis, ekspresinya tetap datar, tapi ada kilatan ketidaksabaran di matanya. "Menolak?" gumamnya, seolah kata itu sendiri adalah sesuatu yang asing baginya.
Zea menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku bukan barang yang bisa kau bawa sesuka hati!"
Hening sejenak.
Lalu, dalam sekejap mata, Giovanni bergerak.
Zea tersentak saat pria itu tiba-tiba berada tepat di hadapannya, begitu dekat hingga ia bisa mencium aroma maskulin yang tajam dan dingin dari tubuhnya. Sebelum Zea bisa bereaksi, lengan Giovanni melingkar di pinggangnya dan dengan mudah mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan.
"Apa—Lepaskan aku!" Zea meronta, tangannya menghantam dada pria itu, tapi Giovanni bahkan tidak bergeming.
Pria itu hanya mendesah pelan, seolah kesal dengan usahanya yang sia-sia. "Aku benci ditolak, Zea Calista." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi mengandung ancaman yang tak bisa diabaikan.
Zea semakin panik. "Aku bisa jalan sendiri!"
"Terlalu banyak bicara," gumam Giovanni sebelum melangkah keluar dari gedung, membawa Zea dengan mudah di lengannya seperti dia tidak lebih dari boneka kain.
Udara malam menusuk kulit Zea, tapi yang lebih mengerikan adalah kenyataan bahwa dia benar-benar dibawa pergi oleh pria ini. Seorang mafia kejam yang sangat dominan.
Di depan gedung, sebuah mobil mewah berwarna hitam sudah menunggu. Anak buah Giovanni segera membuka pintu untuk bos mereka.
Zea meronta lagi, berusaha kabur, tapi Giovanni hanya mengeratkan cengkeramannya. "Diam." Suaranya datar, tapi cukup membuat Zea membeku.
Tanpa repot-repot menunggu, Giovanni memasukkan Zea ke dalam mobil dengan paksa, lalu duduk di sampingnya. Pintu mobil ditutup dengan bunyi nyaring.
Zea terperangkap.
Jantungnya berdegup kencang saat mobil mulai melaju, membawa dirinya semakin jauh dari kehidupan yang selama ini ia kenal—dan masuk ke dalam dunia milik Giovanni Alteza.
“Kau mau membawaku kemana?!” Zea melihat ke kanan dan kiri saat mobil Lamborghini Aventador itu terus melaju kencang.
Aroma parfum seorang Giovanni Alteza begitu semerbak tapi tetap saja tak mengalahkan rasa takut Zea yang membuncah. Bahkan saat ditanya, pria itu masih diam saja.
“Aku bertanya padamu, jawab! kau bisu?!”sentak gadis itu.
“Diam atau aku akan membuatmu pingsan di sini.” Gio berkata dengan dingin.
Zea terbelalak dengan ancaman Gio. “Kau ..!”
“Tutup mulutmu.” Gio kini menatap tajam Zea.
Gadis itu seketika menelan ludahnya kasar mendapatkan tatapan mengerikan dari pria yang entah mau membawanya kemana. Dia kembali mengamati wajah Gio dari samping, nampak tidak asing.
“Kau ... Giovanni Al—" belum sempat menyelesaikan kata-katanya Gio telah memotongnya.
“Turun.”
Zea terkejut.
Giovanni berdecak dan langsung berjalan keluar mobil dan membukakan pintu mobil bagian Zea. Gio menyeret paksa Zea keluar .
Langkah-langkah cepatnya nyaris terseret di atas lantai marmer mansion mewah yang luas, dikelilingi dinding kaca raksasa yang memperlihatkan pemandangan hutan lebat di luar sana. Udara malam terasa dingin, tetapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar—melainkan tatapan dingin pria yang kini menyeretnya tanpa belas kasihan.
Mansion nya bukan sekadar rumah biasa. Ini adalah benteng. Tingginya menjulang dengan arsitektur modern yang didominasi kaca dan beton hitam elegan. Lampu gantung kristal besar menggantung di langit-langit tinggi, menciptakan bayangan tajam di lantai marmer hitam yang berkilau.
Beberapa anak buah pria itu berdiri di sepanjang lorong, mengenakan setelan hitam rapi, tetapi aura mereka jelas bukan sekadar asisten atau pelayan biasa. Mereka menundukkan kepala saat pria itu melintas, memberikan hormat seolah ia adalah raja di kerajaan ini.
Gio Alteza.
Nama itu bergema di kepala Zea, membuat dadanya berdegup semakin kencang. Gio Alteza, CEO Alza Grup. Pria yang dikagumi banyak wanita, pebisnis sukses yang sering menghiasi majalah ekonomi. Bagaimana mungkin dia juga seorang mafia?
Zea ingin berhenti berjalan, ingin memberontak dan berteriak bahwa semua ini pasti salah. Tetapi genggaman tangan pria itu terlalu kuat. Tatapan matanya begitu dingin, seolah ia hanyalah pemilik barang yang sedang mengatur asetnya, bukan manusia yang baru saja membeli seorang gadis seperti dirinya.
Zea berusaha menarik tangannya. "Lepaskan aku! Aku bukan barangmu!"
Namun, bukannya menjawab, Gio justru mempererat cengkeramannya dan terus menyeretnya ke lantai atas mansion. Suara sepatu kulit pria itu bergema di tangga marmer, dentingan besinya terasa mengancam.
Sampai akhirnya, sebuah pintu besar terbuka.
Gio mendorong Zea masuk ke dalam kamar yang luas. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung modern. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan abstrak mahal, dan sebuah ranjang king-size dengan seprai hitam berada di tengah ruangan. Aroma kulit dan kayu cendana menyebar, khas ruangan yang dimiliki pria berkelas.
Namun, sebelum Zea bisa bereaksi, tubuhnya didorong ke atas kasur.
"Ugh!" Zea terhuyung, punggungnya menekan kasur empuk itu. Namun, sebelum ia bisa bangkit, Gio sudah di atasnya, satu tangan mencengkeram pergelangan tangannya, dan tangan lainnya bertumpu di sisi wajahnya.
Tatapan mengerikan Gio mengintimidasi penuh ancaman.
"Jangan pernah mencoba kabur," suara Gio rendah, nyaris seperti bisikan yang menyeramkan. "Aku tidak suka memburu sesuatu yang sudah menjadi milikku."
Zea menelan ludah. Nafasnya tercekat saat wajah pria itu semakin dekat.
"Dan kalau kau berani melawan…" Gio mempererat cengkeraman tangannya, menekan Zea lebih dalam ke kasur. "Aku pastikan kau akan menyesal, Zea Calista."
Zea memejamkan mata, tubuhnya bergetar. Ia tidak tahu apa yang akan pria ini lakukan. Zea bisa merasakan deru nafas Gio di lehernya.
“Kau milikku sekarang, mengerti?”ucap Gio dengan nada rendah dan serak, suara baritonnya yang seksi membuat Zea merinding.
“Milikmu?! Aku bukan barang yang bisa kau sebut sebagai milikmu.”
“Lantas apa? Kau tak lebih hanya seonggok daging yang dijadikan bayaran untuk menebus hutang paman dan bibimu. ” Gio menyeringai. “Malang sekali nasibmu,"ucap Gio dingin.
“Lepaskan aku!”
“Jika aku tidak mau?” Gio berseringai lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Zea, dia berbisik pelan. “Aku bisa melakukan apapun pada barang milikku.”
Zea mencoba meronta-ronta untuk lepas dari genggaman Gio tapi tidak bisa, tenaganya tidak sebanding dengan Gio. “Sudah kubilang berapa kali kalau aku bukan barangmu!!!” Zea menggigit leher Gio agar lelaki itu menjauh.
Tapi, yang terjadi justru Gio tertawa di lekuk leher Zea. “Kau pikir itu sakit, huh? Hahaha, tidak sama sekali.”
Zea terbelalak.
“Kau benar-benar bernyali melakukan itu padaku, Zea Calista.” Gio tambah mengeratkan genggaman tangannya pada Zea. “Kau sebut itu gigitan, hm? Ini gigitan yang sebenarnya.”
Giovanni menggigit daun telinga Zea membuat gadis itu tersentak dan merintih. “Akh. Sakit.”
“Bagaimana rasanya, huh? Maka dari itu, berpikirlah sebelum bertindak.”
Gio menjauhkan tubuhnya lalu menatap raut kesakitan Zea dengan seringai. “Wajah ketakutan dan kesakitan mu, aku menyukainya.” Lelaki itu membelai pipi Zea dengan lembut namun segera Zea mengelak.
“Masih saja bernyali.” Gio akhirnya mencengkram dagu Zea. “Propertiku tidak boleh melawan pada tuannya.”
“Lepaskan aku.. lepas!”
“Tidak sebelum kau faham posisimu.”
“Cih.”
“Kenapa? Masih mau melawanku?”ucap Giovanni dengan tatapan dingin. “Harusnya kau tau, di sini kau hanya sebagai barang ku, propertiku ... ”
Zea mengepalkan kedua tangannya yang ditahan oleh Gio. Dia ingin sekali marah dan mengamuk di depan Gio, ingin menghajar lelaki itu tapi kala itu Zea tidak berdaya.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya itu, Gio akhirnya melepaskan cengkraman tangannya pada Zea.
Pria itu bangkit dari atas kasur setelah menindih Zea. “Lihatlah dirimu yang begitu kecil seperti lidi. Aku bahkan bisa menghancurkanmu dengan sekali remasan tanganku,”ucap Giovanni sembari menggenggam tangannya sendiri.
Zea lantas terbelalak. “Kau benar-benar kejam!”
“Aku kejam karena aku memiliki kekuasaan dan kekuatan. Semua bisa kulakukan. Termasuk membelimu.” Giovanni bersmirk. “Dalam satu jentikan jari pun aku bisa memberikan surga dunia padamu, Zea Calista. Tapi, properti seperti mu harus dilatih dulu bagaimana cara tunduk ke tuannya.”
Zea terbelalak.
Sementara Giovanni berjalan, melangkah dengan angkuh, pergi meninggalkan Zea dalam kesendirian.
Pintu itu tertutup dengan suara ‘klik’ yang keras, mengunci Zea di dalam kamar luas itu.
Seketika, kesunyian terasa lebih menakutkan dibanding ancaman pria itu. Zea meringkuk di kasur king size itu. Sendirian dalam dinginnya malam. Zea hanya bisa menggigit bibir bawahnya ketakutan.
Apa yang akan terjadi padanya nanti? Bagaimana nasib akan membawanya bersama Giovanni Alteza? Zea memejamkan matanya, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Telah diseret ke mansion besar di tengah hutan ini saja telah membuat nyalinya terombang-ambing. Ingin melawan tapi tidak mampu. Mengingat bagaimana Gio dengan mudah mengintimidasinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!