Tubuh pemuda itu terkapar lemas di lantai yang dingin dan dibasahi oleh darah yang menggenang dimana-mana. Pandangannya buram dan telinganya seakan memblokir segala suara yang mengarah padanya. Sebilah pedang tajam tetap dipegang erat olehnya meskipun ia sudah berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertarung lagi.
Saat menatap atap dengan pandangan yang samar-samar, ia melihat siluet orang yang datang dan berlutut di sampingnya. Orang itu seakan memeriksa kondisinya, namun sentuhannya hampir tidak terasa sama sekali di kulitnya. Ia hanya bisa merasakan sedikit rasa sakit dibarengi dengan rasa gatal di pahanya seakan ada nyamuk yang menggigit.
Perlahan-lahan, ia dapat mendengar suara keributan di sekitarnya. Buram yang menyelimuti matanya juga perlahan menghilang. Ia kini bisa melihat sosok yang berada di sampingnya dengan jelas. Seorang pemuda dengan kulit sawo matang dan wajah tersenyum yang mengejek sedang berlutut di sebelahnya. Orang itu adalah Luthfi, sahabat sekaligus tangan kanannya.
"Indra, harus diakui aksimu ngelawan puluhan orang tadi emang keren, sih. Minusnya cuma berakhir digebukin aja, sih." Ejek Luthfi sambil membantu Indra untuk duduk.
"Halah, bacot! Udah kubilang buat tetap dalam formasi dan jangan ngumpul di satu titik, kalian malah ngumpul kaya bocah-bocah STM yang lagi tawuran. Ujung-ujungnya aku juga yang kena keroyok." Balasnya dengan suara yang agak serak sambil berusaha untuk duduk.
Luthfi terkekeh melihat tingkah Indra yang kesal.
"Ngomong-ngomong kau nemu adrenaline injector ini dimana, Fi?" Tanya Indra pada Luthfi sambil memegang adrenalin injeksi di tangannya.
"Yah, di luar dugaan, mereka ternyata menyimpan pasokan senjata dan obat juga di sana." Jawab Luthfi sambil menunjuk tempat dimana ia mengambilnya. "Jadi aku ambil satu untuk diberikan padamu. Ngga perlu ngomong makasih, ndra."
"Dih, ge-er banget si anjing."
Sejenak mereka terdiam dan mengamati situasi sekitarnya. Mall Bali Galeria, salah satu tempat favorit turis dan masyarakat Bali untuk berbelanja, kini berubah menjadi arena tempur yang sangat mengerikan. Puluhan orang tergeletak dimana-mana dengan darah yang menggenang hingga menetes dari lantai atas menuju lantai bawah.
"Siapa sangka suatu hari aku akan menjarah tempat ini untuk bertahan hidup." Gumam Indra dengan nada getir sambil mengamati kekacauan yang disebabkan olehnya.
"Iya." Jawab Luthfi singkat.
"WOI! UDAHAN BENGONGNYA! BURUAN BANTU NGANGKUT BARANG JARAHANNYA SEBELUM ORANG-ORANG DATENG KE SINI!" Tiba-tiba suara teriakan wanita yang mirip seperti raungan Banshee terdengar dari arah belakang.
Luthfi dan indra tahu persis siapa pemilik dari suara itu. Suara itu adalah milik Kiara, wanita cantik dan berotot yang merupakan sahabat dari mereka berdua. Dia merupakan salah satu wanita yang terlibat dalam operasi penjarahan ini.
"Santai dong, Kiara, bantuin dulu nih ngebopong jagoan kita ke truk." Ujar Luthfi ke Kiara dengan cengengesan sambil menunjuk Indra.
Kiara terlihat kesal mendengar perkataan Luthfi kepadanya. Pasalnya, ia saat ini sedang membawa banyak sekali kotak dan barang-barang di tangannya. Meskipun perempuan, nampaknya tenaga yang dimiliki melebihi kedua laki-laki yang ada di depannya. Selain kesal, tatapan Kiara juga nampak sinis dan merendahkan saat menatap kondisi Indra yang begitu malang.
"Indra..." Kiara menghembuskan nafas kesal, lalu kemudian- "BURUAN BANGUN DAN PERGI KE TRUK, JANGAN MANJA! LUTHFI, BURUAN BANTU NGANGKUT BARANG-BARANG DI BELAKANG KE TRUK KITA. CEPETAN!"
Kedua pemuda langsung bergerak cepat merespon auman kemarahan Kiara. Indra dengan langkah pincang berusaha pergi ke truk yang terparkir di luar secepat yang ia bisa, sementara Luthfi langsung berlari ke arah belakang Kiara untuk mengangkut barang-barang jarahan yang tersisa. Dengan kesal, Kiara melangkah cepat untuk membawa barang-barang di tangannya menuju truk dan menyusul Indra yang ada di depannya.
...***...
Di bawah langit malam yang kelam, pasukan Monasphatika berkumpul di area parkir Mall Bali Galeria. Dua truk besar terparkir di sana, penuh dengan hasil jarahan. Total jumlah pasukan penjarah itu berjumlah lima puluh orang, termasuk Indra, Luthfi, dan Kiara. Banyak dari mereka yang terluka akibat pertempuran sengit selama penjarahan—mulai dari luka sayatan ringan hingga tusukan yang cukup parah. Namun, beruntungnya, tidak ada satu pun nyawa yang melayang.
"Oke, ini yang terakhir." Ucap salah satu dari dua orang yang membawa sebuah peti besar hasil jarahan ke truk.
Dengan tubuh yang sudah lemah, Indra dibopong oleh Luthfi ke tengah kerumunan pasukannya. Wajahnya tampak tegas seperti seorang pemimpin sejati, meski tubuhnya sedang menahan rasa sakit. Dia memandang satu per satu wajah prajurit-prajuritnya dengan penuh rasa bahagia.
"Teman-teman semuanya," suara Indra menggelegar, memecah keheningan. "Makasih banyak atas kerja keras kalian hari ini. Walaupun banyak diantara kita yang terluka, aku yakin luka-luka ini sepadan dengan baju hangat, senjata, peledak dan persediaan obat untuk bertahan di musim dingin berkepanjangan ini."
Indra berhenti sejenak dan melihat ke seluruh pasukan yang mengelilinginya.
"Maka dari itu, operasi penjarahan kita, kelompok Monasphatika dari Singaraja, hari ini sukses besar!" Seru Indra sambil mengangkat pedang yang ada di tangan kanannya.
Sorak-sorai kegirangan langsung memecah kesunyian. Semua Prajurit Monasphatika saling merangkul, melompat-lompat, dan mengangkat senjata mereka ke udara. Suasana penuh euforia, seolah mereka baru saja memenangkan pertempuran terbesar dalam hidup mereka.
"Akan tetapi," Indra menyela selebrasi riang pasukannya. Serentak mereka semua terdiam dan memperhatikan Indra dengan seksama.
"Setelah dicek oleh Luthfi, masing-masing dari truk kita hanya memiliki bahan bakar yang cukup untuk sampai ke Puncak Wanagiri." Lanjut Indra memberikan arahan kepada pasukannya.
Beberapa orang saling memandang satu sama lain, dengan kekhawatiran tersirat di wajah mereka.
"Karena itu, untuk mengefisiensikan bahan bakar, kalian yang bertugas sebagai supir, jangan berhenti apapun yang terjadi. Jika ada seseorang atau sesuatu yang melintas, turunkan kecepatan dan hindari. Tapi jika tidak memungkinkan..." Indra berhenti sejenak, matanya menyiratkan ketegasan, "menabraknya bukanlah masalah. Saat kita sudah melewati puncak, manfaatkan jalur turunan sebaik mungkin agar truk tetap melaju."
Dua orang yang menjadi supir truk Monasphatika mengangguk, mengisyaratkan bahwa mereka telah memahami instruksi Indra.
"Dan bagi kalian yang ada di bak truk," tambah Indra dengan suara yang semakin tegas, "Aku minta kalian tetap siaga. Pegang crossbow dan panah kalian erat-erat sampai kita memasuki wilayah Buleleng. Jika ada yang menyerang, jangan ragu untuk menembaknya. Mengerti?"
"Siap, mengerti!" Jawab pasukan Monasphatika serentak dengan suara mereka penuh keyakinan dan kesiapan.
"Oke, kalau begitu ayo kita berangkat!"
...***...
Perjalanan mereka berjalan dengan lancar. Selama perjalanan tidak ada satu pun hambatan yang menghalangi mereka, kecuali kabut tebal yang menurunkan jarak pandang. Sesekali terlihat beberapa hewan di pinggir jalan, seperti anjing liar dan juga kawanan monyet.
Sesuai prediksi, bahan bakar truk mereka habis tepat setelah melewati Puncak Wanagiri. Namun, dengan arahan Indra, mereka memanfaatkan jalan turunan untuk terus melaju menuju kota Singaraja.
Sesampainya di kota pada pagi hari, para warga menyambut kedatangan mereka dengan sukacita. Begitu melihat dua truk mogok itu, sekumpulan bapak-bapak langsung berbondong-bondong membantu pasukan Monasphatika mendorongnya menuju taman kota. Tempat itu akan menjadi lokasi pembagian barang-barang hasil jarahan.
"Hei, hei! Mereka sudah datang! Monasphatika sudah datang!" Seru anak-anak yang sedang bermain di sekitar taman kota dengan mata yang berbinar ketika melihat kedatangan mereka.
Setelah truk berhenti, Indra dan pasukannya turun satu per satu. Mereka mulai membagikan barang-barang hasil jarahan kepada warga yang datang dengan antusias.
"Oke, harap tenang semuanya! Berbarislah dengan rapi karena setiap orang akan mendapatkan pakaian hangat." Indra mengarahkan para warga dengan nada penuh suka cita.
"Mereka kelihatan bahagia banget hahaha." Luthfi tertawa sambil membagikan pakaian hangat kepada para warga.
"Iya, dong. Setelah hampir empat tahun, akhirnya mereka bisa mendapatkan pakaian hangat baru yang lebih bagus dari sebelumnya. Wajar lah mereka jadi senang banget." Balas Kiara tersenyum melihat antusiasme warga.
...***...
Di bawah langit sore yang dihiasi cahaya jingga, para warga dan juga pasukan Monasphatika berkumpul bersama di taman kota Singaraja. Suasana riang tercipta saat mereka bersenda gurau dan membuat api unggun untuk merebus kentang.
Di salah satu api unggun, Indra sedang duduk dikelilingi oleh anak-anak. Dengan penuh semangat, ia menceritakan kisah penjarahan mereka tadi. Anak-anak itu mendengarkan dengan mata berbinar, terpesona oleh cerita Indra yang dibuat jauh lebih heroik daripada kenyataannya.
"Indra, kalau sudah besar nanti aku mau gabung sama Monasphatika dan ikut perang bareng kalian, ya!" Seru salah satu anak penuh kegirangan.
Anak-anak lain pun tak mau kalah. Mereka saling berebut menawarkan diri untuk bergabung dengan Monasphatika saat dewasa nanti.
"Hahaha, oke, oke. Nanti kalau kalian sudah besar, ya." Jawab Indra sambil tersenyum, menanggapi antusiasme anak-anak itu.
"Indra, Indra..." panggil seorang anak perempuan kecil, mencoba menarik perhatiannya. "Mama bilang, dulu dunia itu benar-benar bagus. Katanya, udaranya nggak dingin, sering turun hujan, dan ada lampu yang nyala di malam hari. Emang beneran kayak gitu?"
Indra memandang anak perempuan itu dengan tatapan yang sedikit penasaran.
"Umur kamu berapa, cantik?" Tanya Indra pada gadis kecil itu.
"Udah mau enam tahun!" Jawab si gadis kecil dengan semangat.
"Oalah, pantes kamu nggak ingat sama kondisi dunia dulu. Kamu masih kecil banget waktu itu." Bocah perempuan itu pun mengangguk-angguk.
"Yaudah, kalau begitu aku ceritain ya. Kaya yang dibilang sama Mama kamu, dahulu dunia adalah tempat yang menyenangkan. Bagian yang paling menyenangkan adalah lampu masih bisa nyala, jadi malam hari tidak gelap dan seram kayak sekarang." Cerita Indra, mencoba menggambarkan masa lalu yang indah.
"Tapi, sayangnya, dulu ada dua orang egois yang bertengkar. Orang egois dari timur ngebom orang egois dari barat dengan bom raksasa. Lalu, BOOM! Dunia menjadi dingin seperti sekarang ini." Jelas Indra dengan gaya bercerita yang menarik dan mudah dipahami.
Di sela-sela sesi storytelling itu, Kiara tiba-tiba datang menghampiri untuk membicarakan sesuatu pada Indra.
"Halo, adik-adik. Maaf ya, kakak ganggu sebentar. Kakak mau ngobrol sama Kak Indra, boleh nggak?" Tanya Kiara dengan ramah.
"Oke, kalau gitu kami main di sebelah sana dulu, ya. Dadah!" Seru anak-anak itu sebelum berlari ke sisi lain taman kota.
Indra meletakkan alas kain tipis di tanah untuk mempersilakan Kiara duduk di sampingnya.
"Ada apa?" Tanya Indra singkat sambil meniriskan kentang rebusnya.
"Ini tentang Azmi. Kau ingat perjanjian kita untuk menukarkan beberapa pakaian hangat dengan daging ayam, kan?" Ucap Kiara mengingatkan.
"Ah, iya. Pak tua itu." Indra tersentak karena teringat oleh perjanjian yang ia buat dengan Azmi, seorang pemimpin wilayah Buleleng barat.
"Baiklah, aku akan tulis suratnya dulu. Suruh Luthfi menyiapkan pembawa pesan untuk mengantarkan suratku ke Azmi."
Ilustrasi Tokoh:
...Indra Bhupendra...
...Luthfi Putra Efendi...
...Alicia Kiara ...
Di perbatasan antara Buleleng Barat dan Jembrana, sekelompok orang bersembunyi di balik dahan pohon yang rimbun. Mereka mengenakan jubah berwarna gelap yang menyatu sempurna dengan bayangan pekat yang ditimbulkan oleh dedaunan. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah dan daun kering, menambah kesan misterius di sekitar mereka.
Orang-orang ini sedang dalam misi pengintaian untuk mengonfirmasi laporan warga tentang gerak-gerik mencurigakan di wilayah tersebut. Kekhawatiran utama mereka adalah kemungkinan adanya penjarah dari Jembrana yang berusaha mencuri ayam-ayam ternak milik warga Buleleng Barat. Ketegangan terasa menggantung di udara, seolah alam sendiri sedang menahan napas saat menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah berjam-jam bersiaga di atas pohon, akhirnya sebuah pergerakan tertangkap oleh mereka. Suara gemerisik dedaunan dan langkah kaki yang hati-hati mulai terdengar samar.
"Azmi, mereka mendekat!" Bisik salah satu anggota pasukan pengintai nyaris tidak terdengar. Matanya tak lepas dari sekelompok bayangan yang bergerak perlahan di bawah mereka.
Azmi, pemimpin mereka, mengangkat tangan dengan gerakan halus, memberikan isyarat kepada para pemanah di belakangnya untuk bersiap. Jantung mereka berdegup kencang saat membidik para penjarah yang sedang berjalan mendekat. Perlahan-lahan, para penjarah mulai terlihat jelas. Mereka terlihat membawa senjata tajam serta crossbow rakitan. Wajah-wajah mereka terlihat begitu waspada terhadap lingkungan sekitarnya.
Awalnya, para penjarah itu tidak menyadari keberadaan pasukan Azmi yang bersembunyi di atas pohon. Namun, tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh ke atas. Matanya membelalak saat melihat siluet manusia di antara dedaunan.
"ADA PEMANAH DI ATAS POHON!" Teriaknya histeris memecah kesunyian malam.
Namun, segalanya sudah terlambat. Para penjarah itu sudah berada dalam jarak tembak yang mematikan. Sebelum mereka sempat bergerak, tangan Azmi sudah melambai ke bawah sebagai isyarat untuk menembak.
Swoosh!
Belasan anak panah melesat dengan kecepatan yang mengerikan, menembus udara dingin yang menusuk. Suara teriak kesakitan para penjarah itu seketika mengisi kesunyian hutan di malam hari. Beberapa penjarah langsung roboh, sementara yang lain berusaha melarikan diri dengan anak panah tertancap di tubuh.
Namun, Azmi tidak memberikan mereka kesempatan. Tangannya kembali terangkat, memberikan isyarat untuk tembakan kedua. Kali ini, panah-panah itu menghujam dengan akurasi yang mengerikan.
Suara teriakan para penjarah itu semakin berkurang sedikit demi sedikit, sebagai tanda bahwa satu per satu dari mereka telah tewas. Hanya satu penjarah yang masih bertahan, tubuhnya terkapar dengan anak panah menancap di bahu dan kaki.
Dengan gerakan gesit, Azmi dan pasukannya melompat turun dari pohon. Mereka melangkah pelan namun penuh intimidasi, seolah setiap menegaskan siapa yang berkuasa di situasi ini. Azmi mendekati penjarah yang masih hidup itu. Tatapan matanya seolah-olah sedang mengamati kondisi dari pemuda yang terkapar ketakutan di hadapannya.
"Lukamu tidak fatal," ujarnya dengan suara dingin. "Kau hanya terkena panah di bahu dan kaki. Seseorang tidak akan mati dengan mudah hanya karena ini."
Penjarah itu hanya bisa mengerang, wajahnya dipenuhi rasa sakit dan ketakutan. Azmi memandanginya sejenak sebelum berbalik ke arah pasukannya.
"Bawa dia ke desa," perintahnya dengan suara tegas. "Dia akan menjadi sumber informasi kita."
...***...
Para warga desa memandang dengan tatapan ngeri saat melihat pemuda yang dibawa oleh Azmi dan pasukannya. Sejak dibawa keluar dari hutan, pemuda itu terus mengerang kesakitan. Darah segar menetes dari lukanya, meninggalkan jejak merah yang mengalir di sepanjang jalan aspal yang mereka lalui. Setiap langkahnya diiringi oleh erangan yang memilukan, membuat beberapa warga menutup telinga serta memalingkan muka.
"BUNUH AKU, BUNUH SAJA AKU! SAKIT SEKALI!" Teriak pemuda itu dengan suara yang putus asa, memohon untuk diakhiri penderitaannya.
Salah satu prajurit Azmi mengerutkan keningnya karena merasa jengkel.
"Azmi, orang ini terlalu berisik! Haruskah kita melakukan sesuatu agar dia diam?" Tanyanya dengan suara yang terdengar kesal.
Azmi, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti. Langkahnya yang tegas membuat seluruh pasukan ikut berhenti. Ia berbalik dengan wajah yang dingin dan sedikit kesal. Tanpa berkata-kata, ia menghampiri tawanannya yang terus mengerang itu.
BUAK!
Azmi menghantam wajah pemuda itu dengan satu pukulan keras. Suara pukulannya menggema dengan keras dan tubuh pemuda itu langsung pingsan seketika. Suara erangan itu pun berhenti, digantikan oleh keheningan yang datang tiba-tiba.
"Hah..." Azmi menghela napas panjang yang mewakili rasa kesalnya. "Akhirnya, sedikit ketenangan untuk kita semua." Ujarnya dengan nada datar, seolah baru saja menyelesaikan tugas kecil yang menjengkelkan.
"Harusnya kau lakukan itu lebih awal." Celetuk sarkas salah satu prajurit yang membopong tubuh tawanannya itu.
Tiba-tiba, dari ujung jalan di arah timur, terlihat seorang penunggang kuda yang mendekat dengan cepat.
Penunggang kuda itu melambaikan tangan kanannya dengan gerakan yang khas, sebagai tanda bahwa ia bukan ancaman. Seketika, Azmi dan pasukannya yang melihat isyarat tangan itu pun menyadari bahwa penunggang kuda di hadapan mereka adalah salah satu prajurit Monasphatika milik Indra.
Azmi mengangkat tangannya dengan isyarat yang sama, sebagai tanda bahwa situasi di antara mereka sudah aman.
Penunggang kuda itu segera menghentikan kudanya di depan Azmi dan turun dengan gesit. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tetapi ia tetap menunjukkan sikap yang profesional.
"Selamat pagi, Azmi." Ucapnya sambil menawarkan jabat tangan.
"Selamat pagi. Kau dari Monasphatika?" Tanya Azmi sambil menjabat tangan pemuda itu.
"Iya, ini surat dari Indra. Dia baru saja pulang dari Denpasar kemarin sore." Jawab si prajurit sambil mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya.
Azmi mengambil surat itu dan membacanya dengan cepat. Matanya menyapu setiap kata yang tertulis, lalu ia mengangguk pelan. "Dia bilang akan berkunjung kesini sehari sejak surat ini diantarkan. Itu artinya ia akan datang besok." Gumam Azmi.
Dengan senyum ramah, Azmi menepuk bahu prajurit itu. "Baiklah, kalau begitu, ayo sarapan bersama kami! Kau pasti kelelahan setelah perjalanan jauh."
Prajurit Monasphatika itu tersenyum sungkan. "Ah, ngga apa-apa, mereka sudah membekaliku dengan beberapa kentang rebus dan air. Aku bisa memakannya saat perjalanan pulang."
Azmi menggeleng, wajahnya menunjukkan sikap tegas. "Ayolah, nggak usah sungkan. Indra bilang di surat ini untuk memberimu makanan dan tempat beristirahat sampai dia datang." Ujarnya sambil menunjukkan paragraf terakhir surat itu.
Akhirnya, prajurit itu pun mengalah. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Azmi."
...***...
Seperti yang tertulis dalam suratnya, Indra tiba di Buleleng Barat tepat sehari setelah Azmi menerima kabar tersebut. Sore itu, ia datang dengan menunggangi kuda, diikuti oleh dua anak buahnya yang mengendarai kereta kuda sederhana tanpa atap. Kereta itu dipenuhi dengan pasokan pakaian hangat dan senjata untuk Azmi serta pasukannya.
Azmi, yang sejak pagi sudah menunggu di alun-alun desa, menyambut kedatangan Indra dengan senyum lebar. Wajahnya terlihat lega sekaligus antusias melihat sosok yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba.
"Yo, Nak Indra! Wajahmu kacau banget, ya, setelah pulang dari Denpasar." Sapa Azmi sambil menjabat tangan Indra. Tangannya yang kasar menggenggam erat tangan Indra dengan penuh semangat.
Indra tertawa lepas dengan wajah yang babak belur akibat pertarungan di Mall Bali Galeria beberapa hari yang lalu.
"Hahaha, yah, begitulah. Tapi setidaknya wajahku jadi jelek karena pertarungan yang epik. Bukan karena bulu yang tumbuh tanpa henti di wajah seperti brewokmu itu." Balasnya sambil menunjuk brewok Azmi yang sudah semakin panjang dan terlihat tidak terurus.
Azmi mengelus-elus brewoknya sembari tertawa. "Hahaha. Hei, jangan gitu, dong. Aku masih berkabung atas kepergian istriku, tau." Ujarnya dengan nada setengah bercanda.
Azmi menghela napas setelah tertawa lepas bersama Indra. "Ngomong-ngomong, ikuti aku sebentar. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu. Biarkan saja keretanya di sini, anak buahku akan mengurus barang-barangnya." Ucap Azmi.
"Lalu dua temanku ini?" Tanya Indra menunjuk dua prajurit yang ikut bersamanya.
Ia kemudian menunjuk ke arah gazebo yang berada di tepi alun-alun desa. "Mereka bisa beristirahat sejenak di gazebo itu. Di sana ada matras untuk rebahan. Nanti akan kusuruh anak buahku membawakan mereka makanan."
"Oke deh!" Jawab Indra singkat sebelum mengikuti Azmi.
...***...
Azmi membawa Indra menuju Puskesmas Desa. Suasana di dalam puskesmas itu sepi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong-lorong kosong.
Azmi menuntun Indra ke sebuah ruangan kecil yang terhubung dengan ruangan lain. Kedua ruangan itu dipisahkan oleh pintu kayu geser dengan kaca tebal di bagian atasnya, memungkinkan siapapun yang berada di luar untuk melihat ke dalam.
Di dalam ruangan itu, terlihat seorang pemuda berambut cepak sedang duduk di kasur yang terletak di pojok ruangan. Wajahnya penuh luka dan memar, matanya kosong seolah sudah menyerah pada nasibnya. Pemuda itu tidak bisa bergerak dengan bebas akibat luka yang diderita pada kaki dan bahunya.
Indra mengerutkan kening karena kebingungan. "Apa maksudnya ini? Kau mengurung orang ini karena dia punya virus menular?" Tanyanya dengan nada skeptis.
Azmi menggeleng. "Nggak, dia adalah tawanan. Aku jadikan dia sumber informasi untuk mengulik sebuah komplotan dari Jembrana yang mau menjarah hasil ternak kami."
Indra memandang pemuda itu dengan lebih cermat. "Damn, wajahnya jauh lebih bonyok daripada aku. Kalian pasti habis mukulin dia, kan?" Komentarnya sambil menyeringai.
Azmi menghela napas. "Itu dia masalahnya. Kami telah mencoba berbagai cara untuk menginterogasinya, tapi dia tetap nggak mau buka mulut mengenai komplotannya. Dia bahkan nggak ngasih tahu namanya sama sekali."
Indra mengangguk pelan, lalu duduk di sebuah kursi panjang di dekatnya. Ia menopang dagunya dengan tangan, seolah sedang memikirkan sesuatu dengan serius. "Kalian udah nyoba buat motong jarinya satu per satu?" Celetuknya dengan nada bercanda.
Azmi tertawa kecil. "Andai kami bisa sekejam dirimu, Nak Indra, aku yakin dia pasti sudah berbicara sebelum kau datang ke sini."
Indra tersenyum tipis. "Itu artinya kau memintaku untuk melakukan pekerjaan ini, kan, Pak Tua?" Ucapnya mencoba menebak niat Azmi.
Azmi tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Kau selalu bisa membaca pikiranku, Nak."
Indra bangkit dari kursinya, lalu merangkul Azmi dengan erat. "Oke, kalau begitu serahkan ini padaku. Tapi ini nggak gratis, ya." Ujarnya sambil menjentikkan jarinya.
Azmi mengangguk dengan ekspresi yang sedikit malas. "Iya, aku ngerti. Apa yang kau mau sebagai imbalannya?"
Indra mengernyitkan dahi, seolah sedang berpikir sejenak. "Aku masih belum bisa memutuskan apa yang aku mau. Mungkin akan kuberitahu saat semuanya sudah beres."
Ia kemudian menuntun Azmi keluar dari ruangan dengan tangan yang masih merangkul bahu Azmi. Pandangannya sempat melirik kembali ke arah ruangan yang berisi tawanan itu untuk beberapa saat.
"Tapi tenang aja," Azmi melirik Indra yang terlihat sudah menemukan cara untuk membuat tawanan itu berbicara. "aku jamin lantai puskesmasmu yang masih bagus ini tidak akan terkena darah setetes pun hanya untuk membuatnya bicara." Ucap Indra dengan nada penuh keyakinan.
Ilustrasi Tokoh:
...Azmi Ibrahim...
Di tengah pekatnya malam, seorang lelaki berlari kencang di tengah hutan belantara. Obor di tangannya nyaris padam, diterpa angin malam dengan dingin yang menusuk. Cahaya redupnya hanya cukup untuk menerangi langkahnya yang terburu-buru, melewati pepohonan rindang yang ada di kanan kirinya.
Keringat dingin terus mengucur dari tubuhnya, membasahi baju yang sudah compang-camping. Napasnya tersengal-sengal, tapi ketakutan yang mendera dirinya memaksanya untuk terus berlari. Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat setitik cahaya. Tanpa berpikir panjang, ia mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk menuju ke arah cahaya itu.
Cahaya itu ternyata berasal dari sebuah perkemahan. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia berteriak sekuat tenaga dengan suara yang melengking penuh kepanikan. "TOLONG! TOLONG AKU!" Tangannya melambai-lambaikan obor, berusaha menarik perhatian orang-orang di perkemahan itu.
Mendengar teriakannya, beberapa orang keluar dari tenda dengan sigap. Senjata mereka terhunus, siap menghadapi ancaman apa pun. Namun, ketika mereka melihat wajah lelaki itu, ekspresi mereka berubah dari kewaspadaan menjadi keheranan.
"JANGAN SERANG! INI AKU, ARI!" Teriak pemuda itu dengan suara tercampur lega dan ketakutan.
Mata orang-orang di perkemahan itu terbelalak. "A-Ari?" gumam salah satu dari mereka, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"ARI!" Seru yang lain.
Dalam sekejap, mereka semua berlari mendekati Ari, mengerumuninya dengan wajah-wajah penuh kelegaan dan keheranan.
Salah seorang pria berkumis tebal, yang tampak sebagai pemimpin kelompok itu, memeluk Ari erat-erat. "Oh, nak, aku pikir kau sudah mati bersama yang lain. Aku tidak menemukanmu di antara mayat-mayat itu kemarin. Syukurlah kau masih bisa melarikan diri dan bertahan hidup!"
Ari mengangguk lemah, air matanya mulai menetes. "Aku... aku tidak melarikan diri. Mereka menangkapku... orang-orang Buleleng. Mereka memukuliku, mencoba mendapatkan informasi tentang kalian." Ucapnya dengan suara yang gemetaran.
Wajah-wajah di sekelilingnya berubah. Keheranan berubah menjadi kemarahan yang membara. "Mereka memukulimu?" Tanya pria berkumis tebal itu, suaranya terdengar dipenuhi dengan kekesalan. Tangannya memegang wajah Ari, matanya menyala dengan amarah dan kepedihan.
"Iya," jawab Ari lirih. "Mereka membiarkanku pergi... untuk menyampaikan pesan."
Mata pria-pria yang mengelilingi Ari pun terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Buleleng itu.
"Pesan apa?" Tanya salah satu anggota kelompok penuh rasa penasaran.
Ari menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Mereka bilang... kita harus pergi dari sini. Jika tidak, mereka akan membunuh kita semua... Menggunakan sebuah senjata yang tidak kita miliki."
Suasana langsung berubah. Kemarahan pria-pria itu, yang tadinya terpendam, kini meledak. Tangan-tangan mereka mengepal, serta wajah-wajah mereka memerah. "Mereka berani mengancam kita seperti itu?!" Teriak pria berkumis tebal itu menggema di tengah kesunyian malam.
"Tolong, dengarkan aku!" Ari berseru, matanya penuh ketakutan. "Mereka bisa membunuh kita saat ini juga! Kita harus pergi dari sini!" Ari mencoba melerai para pria yang mengerumuninya itu.
"TIDAK BISA, ARI!" Teriak seorang pria jangkung di sampingnya. "Kita sudah berjanji pada desa untuk mendapatkan daging ayam agar para wanita dan anak-anak bisa makan makanan yang lebih layak daripada dedaunan saja!" Ujarnya dengan penuh kemarahan.
"Dan ingat, saudara-saudara kita sudah ada yang mati untuk memperjuangkan ini!" Tambah yang lain dengan seruan kemarahan.
Suasana semakin memanas. Anggota kelompok itu mulai saling bersahutan, masing-masing mengeluarkan pendapatnya.
"Kita harus serang mereka! Bakar desa mereka dan ambil ayam-ayam itu!" Teriak salah satu dari mereka.
"BETUL!" sahut yang lain.
Ari mencoba menyela untuk melerai keributan itu dan membuat membuat mereka mendengarkannya terlebih dahulu. "Tolonglah, kalian harus—" Kling... Klik
Tiba-tiba, suara logam yang berdentum di tanah memotong ucapannya. Semua mata tertuju pada benda kecil yang menggelinding di antara mereka. Granat.
BOOM!
Ledakan dahsyat mengguncang perkemahan. Dalam sekejap, seluruh kelompok penjarah itu tewas, terbaring tak bernyawa di tengah hutan yang gelap. Hanya keheningan yang tersisa, menyelimuti malam pembantaian yang kelam.
...***...
Sang surya mulai menyapa dunia dengan menyinari bumi yang masih diselimuti kabut tipis dari ufuk timur. Indra, bersama tiga anak buahnya, sibuk menyusun peti-peti berisi daging ayam ke dalam kereta kuda mereka.
Mereka dibantu oleh beberapa orang dari kelompok Azmi, yang dengan sigap mengangkut peti-peti itu. Suara gesekan kayu dan derap langkah kaki menciptakan irama pagi hari yang sibuk.
Setelah meletakkan peti terakhir, Indra mengusap keringat di dahinya, lalu membersihkan tangannya dengan sehelai kain. Matanya tertuju pada Azmi, yang sejak tadi hanya duduk tenang di gazebo, menikmati secangkir air hangat sambil memandangi keriuhan di depannya. Dengan langkah santai, Indra menghampiri Azmi.
"Sepertinya masalahmu dengan para penjarah itu sudah selesai, Pak Tua." Ujar Indra sambil duduk di sebelah Azmi. "Kalau mereka berani balik lagi, pakai saja senjata-senjata yang udah aku kasih."
"Terima kasih atas bantuanmu." Ucap Azmi kepada Indra.
Azmi menyeruput air hangatnya sedikit demi sedikit. Matanya tertuju pada cakrawala yang mulai terang, dihiasi oleh kawanan burung terbang dari berbagai arah.
"Membunuh orang dengan granat..." Indra seketika melirik Azmi yang bergumam. "Sudah lama sekali aku tidak melihat hal seperti itu sejak kerusuhan Buleleng dulu." Ada sedikit tawa kecil yang masam dalam ucapan Azmi, seolah ia teringat pada masa lalu yang kelam.
Indra tersenyum kecil. "Hei, setidaknya aku ngasih mereka kesempatan untuk mundur, lho. Mereka sendiri yang kekeh nggak mau pergi."
Azmi mengangguk pelan, lalu memandang mata Indra. Kini mereka berdua saling berhadapan satu sama lain. Mata Azmi yang bijak menatap Indra dengan penuh pertimbangan.
"Kau sudah memutuskan apa yang ingin kau dapatkan sebagai imbalannya?" Tanyanya dengan suara yang santai namun tetap berwibawa.
Indra tersenyum sumringah, seolah sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini sejak tadi.
"Sudah, dong." Ucap Indra sambil melipat tangan di depan dadanya.
"Sebagai imbalan atas usahaku membunuh para penjarah tadi, aku ingin kau memasok warga dan pasukanku dengan daging ayam setiap tiga bulan sekali. Sebagai gantinya, aku akan memberimu kentang sebagai sumber karbohidrat pengganti beras yang sudah langka." Ia berhenti sejenak, memastikan Azmi menangkap setiap kata yang diucapkannya.
"Aku tidak meminta banyak, hanya 20 persen dari hasil ternakmu saja. Aku juga akan memberimu 20 persen dari hasil panenku supaya adil." Lanjutnya.
Azmi terdiam sejenak. Matanya menatap jauh ke arah ladang kentangnya yang terlihat tidak terlalu subur. Lalu, dengan ekspresi yang sudah membulatkan keputusan, ia mengangguk.
"Baiklah. Aku setuju. Bahkan, untuk pasokan pertama, aku akan memberi 25 persen dari hasil ternakku sebagai imbalan tambahan atas pakaian dan senjata yang kau berikan kemarin." Ia mengulurkan tangannya, menawarkan jabat tangan.
Indra tersenyum lebar, lalu menjabat tangan Azmi dengan erat. "Deal!"
Mereka berdua berdiri di sana dengan menggoyangkan tangan yang masih berjabat, seolah mengukuhkan perjanjian yang baru saja mereka buat.
Matahari pagi semakin tinggi, menyinari wajah mereka yang penuh harapan.
Ini bukan sekadar perjanjian dagang. Ini adalah langkah awal untuk memperkuat kepercayaan di antara dua kelompok yang sama-sama berkuasa di Buleleng.
Indra kemudian berpaling dan melangkah menuju kereta kudanya yang sudah penuh dengan peti-peti berisi daging ayam.
Ia merasa sangat puas. Perjanjian pangan jangka panjang ini jauh lebih baik daripada sekadar menukar pakaian hangat dengan beberapa peti daging ayam, seperti yang ingin dia lakukan pada awalnya.
Ini adalah suatu hal yang bagus. Indra yakin, perjanjian ini akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak.
Dengan langkah mantap, ia memimpin anak buahnya meninggalkan Buleleng Barat, membawa serta harapan baru untuk bertahan hidup di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.
...***...
Pagi itu, udara musim dingin yang menusuk tulang menyelimuti desa Pancasari. Kabut tipis masih menggumpal di udara, menciptakan suasana sunyi dan tenang yang sangat cocok untuk menyantap minuman hangat. Namun, ketenangan itu tidak dirasakan oleh Kertih dan putranya, Adi.
Keduanya sibuk mengairi kebun kentang mereka. Tangan-tangan kasar mereka bekerja keras untuk memastikan setiap tanamannya mendapatkan cukup air. Setiap tetes air yang mengalir membawa harapan akan panen yang melimpah, harapan yang bisa menyelamatkan masyarakat sekitar dari kelaparan.
Setelah selesai, mereka duduk di pinggir kebun untuk membuat kentang rebus sebagai sarapan. Uap hangat dari kentang itu menyembul ke udara dingin, memberikan sedikit kehangatan di tengah musim yang tak bersahabat.
"Sepertinya di pertengahan tahun keempat nanti, langit akan mulai cerah kembali." Ujar Adi sambil menatap awan debu tebal yang menyelimuti langit. Matanya penuh harap, seolah mencoba menembus lapisan awan kelabu yang telah menutupi dunia selama hampir empat tahun lamanya.
Kertih mengangguk sembari mengunyah kentang rebusnya dengan perlahan. "Iya. Dengan begitu, sinar matahari akan masuk lebih banyak, sehingga kita bisa mulai menanam padi lagi." Balasnya dengan suara yang penuh harap.
Tiba-tiba, Kertih mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah langit yang bercampur antara warna biru dan kelabu.
"Orang-orang tolol!" Gerutunya penuh kegeraman. "Gara-gara keegoisan mereka, seluruh dunia harus menanggung akibatnya. Perang Dunia Ketiga sialan!"
Adi hanya melirik ayahnya dan tak berkata apa-apa. Ia tahu betul betapa kesalnya Kertih sebagai seorang mantan dosen Hukum Internasional yang pernah bekerja dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika melihat situasi dunia saat ini.
Setelah menghabiskan sarapannya, Adi membersihkan tangannya dan bersiap untuk pergi ke kebun strawberry. Meski hanya buah-buahan kecil, strawberry adalah salah satu komoditas berharga di tengah krisis pangan yang melanda.
"Aku duluan ke kebun strawberry. Kalau ayah ingin langsung pulang, tidak masalah. Aku bisa kerjakan sendiri." Ujar Adi sambil berdiri.
Namun, sebelum ia sempat melangkah, suara teriakan memecah keheningan pagi.
"AYAH! AYAH! AYAH! WILAYAH KITA DISERANG PENJARAH!" Teriak Ayu, putri kecil Kertih, yang berlari kencang menuju mereka. Wajahnya panik dan napasnya tersengal-sengal.
Kertih langsung berdiri dan membuang makanannya. Jantungnya berdebar kencang mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya. "Apa? Penjarah?" Tanya Kertih panik.
"Iya, mereka datang dari arah selatan! Banyak sekali!" Jawab Ayu sambil menunjuk ke arah datangnya ancaman.
Adi segera berpaling ke ayahnya dengan penuh kepanikan. "Ayah, kita harus minta bantuan Monasphatika! Mereka satu-satunya yang bisa membantu kita sekarang!"
Kertih mengangguk cepat. "Benar. Cepat, ambil kudamu dan pergi ke Singaraja. Laporkan apa yang terjadi di sini kepada Indra. Minta dia datang secepat mungkin!" Perintahnya tegas, tapi sedikit gemetaran.
Adi mengangguk, lalu berlari menuju kandang kuda. "Aku pergi sekarang! Tolong jaga diri Ayah dan Ayu juga!" Teriaknya sebelum menghilang di balik kabut pagi.
Kertih menatap ke arah langit. Tangannya mengepal erat seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ancaman yang segera datang.
"Tuhan, lindungi kami." Bisiknya, sebelum memegang tangan Ayu dan bersiap menghadapi ancaman yang semakin mendekat.
Ilustrasi Tokoh:
...Gede Kertih...
...Putu Adi Tama...
...Made Ayu Ningsih...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!