NovelToon NovelToon

Menjadi Ibu Pengganti Putra Presdir

MIPPP 01 — Prolog

Suara-suara sumbang tetangga kembali mengusik telinganya. Membuat Davira kian gemas dan tak habis pikir. Mereka makin gencar mencibirnya dengan sebutan perawan tua saat berita kegagalan pernikahannya kembali terulang. Belum lagi membandingkannya dengan anak tetangga yang baru saja melahirkan.

Bukan kali ini saja Davira mendengar cibiran dan hinaan, tapi hampir setiap hari label perawan tua itu sering terdengar. Rasa-rasanya para tetangganya itu tak pernah bosan membicarakan dirinya dan keluarganya.

"Davira tuh terlalu pemilih, makanya gagal nikah terus!"

"Iya, ih! Jadi perempuan kok pemilih, sok jual mahal, ngapain ngejar sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya cuma di dapur."

"Iya, kan! Buat apa kuliah tinggi-tinggi, nanti malah gak ada pria yang mau."

Davira masih memerhatikan ketiga ibu-ibu seusia Ibunya dari jendela kamarnya. Ia masih diam dan bersabar karena Ibunya — Rika masih terlihat tenang menghadapi para ibu-ibu itu, sambil sesekali menanggapi ucapan mereka dengan ringan.

Rika hanya bisa tersenyum mendengar celotehan para ibu-ibu yang tak ada habis-habisnya membicarakan anak sulungnya. Rasanya lelah juga menghadapi gunjingan mereka, ibu mana yang rela anaknya terus digosipkan ini dan itu?

Tetapi Rika sadar betul bahwa ia tak bisa menutup mulut mereka satu-persatu. Selain tersenyum paksa dan bersabar, Rika tak bisa melakukan hal lain. Sudah menjadi kebiasaan mendarah daging bagi ibu-ibu untuk bergosip.

"Bu Rika! Kasih tahu anaknya tuh jangan pemilih jadi perempuan, udah dua puluh delapan tahun tapi masih belum nikah juga. Anak saya padahal udah punya anak dua, lho!"

Rika tampak menggelengkan kepalanya pelan. "Terima kasih Bu Ratih atas perhatiannya, tapi anak saya bukan perempuan yang pemilih, kok. Davira cuma lebih selektif aja memilih suami," terang Rika masih dengan senyuman yang sama.

"Selektif apanya! Yang ada dia telat nikah, tuh! Saya malah curiga, jangan-jangan anaknya Buat Rika tuh auranya ketutup! Makanya susah dapetin jodoh," kata Bu Ratih dengan pedasnya, bahkan diangguki oleh beberapa ibu-ibu yang lainnya.

"Astaghfirullah, Bu Ratih! Ini sudah zaman apa masih percaya dengan hal-hal seperti itu," ucap Rika sabar sambil mengelus dada.

Davira selalu mengingat dengan baik bahwa Bu Ratih adalah orang yang selalu memprovokasi para ibu-ibu desa untuk menggunjingnya. Tidak ingatkah Bu Ratih bahwa anaknya — Ratna Rengganis sering meminjam uang padanya untuk membeli susu?

Davira benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran Bu Ratih. Yang menganggap bahwa anak perempuan yang sukses adalah perempuan yang bisa menikah dengan keluarga berada. Sedangkan anak perempuan yang mengejar pendidikan dan karir dianggap tidak menguntungkan apa-apa.

Davira beranjak dari duduknya di tepi jendela. Telinganya terasa berdengung mendengar celotehan Bu Ratih. Davira membuka pintu rumahnya dan berjalan mendekati kerumunan ibu-ibu yang tadi sedang mengobrol.

Ketiga ibu-ibu tersebut tampak terkejut dengan kehadiran Davira. "Kenapa, Bu-Ibu? Udahan gosipnya? Lanjutin aja, Davira dengerin, kok!" sindir Davira sambil tersenyum. Bu Rika menyikut lengannya pelan, memperingatkan anaknya untuk tidak memedulikan omongan ibu-ibu itu.

"Eh, Davira. Tu-tumben banget ke luar." Salah seorang Ibu berdaster biru menyapanya.

Davira tersenyum, berusaha untuk ramah. "Iya, nih, Bu Eli. Sekalian aja mau say halo sama ibu-ibu di sini yang ramah-ramah banget," sindirnya halus.

"Ibu-ibu semua udah masak belum?"

Bu Rika tampak menyikut siku Davira lagi, kali ini memintanya untuk masuk saja. Sebelum ibu-ibu itu kembali menanyainya hal yang macam-macam.

Bu Hani mendekati Davira, penasaran dengan Davira yang jarang dilihatnya. "Kemarin katanya kamu mau nikah sama pengusaha, ya? Katanya gak jadi? Ih, kenapa?"

Davira memaksakan senyumnya. "Bukan gak jadi, Bu Hani. Tapi saya batalkan pernikahannya karena dia selingkuh," jawab Davira sedikit malas.

Mendengar jawaban Davira, Bu Hani tampak antusias untuk kembali menanyainya. "Serius? Seharusnya jangan kamu batalin, Dav! Pasti orang kaya, kan? Kamu kalau nikah sama dia pasti bahagia, tuh!" tutur Bu Hani panjang.

Davira tampak menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tak habis pikir dengan anggapan Bu Hani. "Kekayaan bukan tolak ukur Davira untuk menikah, Bu Hani. Kaya dan gelar pengusaha belum tentu jadi patokan bahwa pernikahan akan berjalan dengan bahagia," sangkal Davira.

Bu Hani mendecih, dan terdengar lagi ujaran tak menyenangkan. Davira hanya bisa mengusap dadanya pelan. Rika memintanya untuk kembali masuk ke rumah dan menutup telinganya rapat-rapat.

Yang mereka tahu hanyalah bahwa pria itu seorang pengusaha dan kaya, mereka tak tahu fakta bahwa pria itu telah berbohong sebagai duda padahal sudah memiliki istri. Davira jelas menolak menjadi istri kedua. Meski harus ia akui, ia cukup terkesan dengan pria yang mendekatinya sebulan lalu.

Tetapi Davira cukup waras untuk tidak merusak kebahagiaan perempuan lain apalagi sampai menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Davira memasuki kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam. Ia mulai terisak dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal.

Siapa yang tak terluka hatinya saat dihina dan digunjing tetangga? Sebenarnya, Davira cukup kuat menghadapi itu semua. Tapi ia hanyalah perempuan yang hatinya rapuh. Dua kali gagal menikah jelas menorehkan luka dan trauma tak biasa dalam dirinya.

Salahkah jika Davira menjadi perempuan yang menolak lelaki yang ia tahu telah beristri? Salahkah jika Davira menunda waktu menikah demi mendapatkan seorang pria baik yang bisa mencintainya?

Dan, bisa apa Davira di hadapan takdir? Sekuat apapun ia mencoba, jika Tuhan belum berkehendak, Davira hanya bisa memangku doa-doa di tengadah tangan dan tetap bersabar dengan harapan yang tenang.

Sambil memulihkan luka dan traumanya, Davira memilih untuk fokus pada karir dan berusaha lebih mencintai dirinya sendiri. Karena hanya dengan begitu, perihnya luka tak akan membasuhnya berulang kali.

MIPPP 02 — Sebuah Permintaan

Davira melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya saat tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Anak kecil itu nampak terkejut karena menabrak seseorang, meski sempat terjatuh, anak kecil tersebut lantas terbangun dan membantu Davira untuk bangkit.

Davira melihat anak kecil itu membungkukkan kepalanya sedikit dan mengucap kata, "Sorry. Zein tidak hati-hati." Matanya mengerjap beberapa kali saat Davira berjongkok dan mengangkat kepalanya.

Davira melihat name tag yang ada pada bagian kiri seragam anak kecil itu. "Tidak apa-apa. Miss it's okay, kok," kata Davira pada anak kecil yang baru ia tahu bernama Zein itu dengan penuh senyuman.

"Zein kelas berapa, Nak? Kok belum masuk kelas?" tanya Davira yang hendak memasuki kelasnya beberapa saat itu. Ia berjongkok demi menyeimbangkan pandangannya dengan anak kecil bernama Zein itu.

Zein tampak berpikir sambil memegang erat tas jinjing makan siangnya. Sementara itu, seorang pria tampak melirik ke sana ke mari, mencari keberadaan sang putra semata wayangnya yang baru saja mendaftar di Kinder School ini.

Saat eksistensi anaknya terlihat, ia lantas berteriak. "Zein!" Sambil berlari kecil menghampiri sang putra semata wayangnya.

Baik Zein maupun Davira sama-sama langsung menoleh. Menatap sesosok pria yang tinggi tegap di hadapan mereka.

"Papa!" sahut Zein senang melihat sang ayah menghampirinya. Davira berdiri dan sedikit menundukkan kepalanya saat pria itu berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kavindra juga melakukan hal yang sama dengan sedikit perasaan canggung.

Kavindra membaca name tag yang terpasang di sebelah kanan hijab Davira. "Maaf, Miss Davira. Ini putra saya, Zein Al-Malik. This is his first day school, dia terlalu bersemangat sampai lari-lari di koridor," kata Kavindra memperkenalkan diri dan alasan mengapa Zein berada di sini.

Davira tersenyum. "Ah! Pantas saja saya baru melihatnya," kata Davira menanggapi dengan tersenyum sungkan. Zein yang berada di antara mereka tampak memandangi kedua orang dewasa itu bergantian.

"Maaf, Pak?"

"Kavindra, Miss."

Keduanya tampak bercengkrama selama beberapa saat.

"Cocok," gumam Zein sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali, menatap Kavindra dan Davira sekali lagi.

"Mohon bantuannya untuk menjaga Zein, Miss. Zein seharusnya masuk kelas A1," jelas Kavindra yang sejak tadi bingung mencari-cari kelasnya Zein.

Pria tinggi tegap, bermata cokelat dengan pakaian rapi itu jelas bukan seorang pria yang memahami dunia anak-anak. Tapi hari ini ia dipaksa sang ibu untuk mengantar putra semata wayangnya itu bersekolah.

Davira memakluminya. "Wah, kalau begitu Zein masuk kelasnya Miss Dav ... Zein pasti senang banget ya hari ini?" tanya Davira berpaling pada Zein, ia mengingat tadi Zein berlari-lari kecil di koridor yang berakhir menabraknya.

Zein yang baru berusia empat tahun itu mengangguk beberapa kali, matanya yang kecil dan hidungnya yang mancung persis seperti Kavindra tampak menggemaskan di mata Davira.

Kavindra mengulum senyumnya. Kemudian, bel pertanda kelas dimulai pun berbunyi, menghentikan obrolan mereka. Davira cepat-cepat mengajak Zein untuk masuk ke kelas. Sedangkan Kavindra, setelah memastikan Zein masuk ke kelasnya, langsung melenggang pergi dari sana untuk kembali ke kantornya.

Davira tersenyum bahagia saat dua puluh lima anak berdiri serentak menyambutnya di dalam kelas. "Good Morning, Miss," kata mereka hampir bersamaan.

"Morning too ... Anak-anak ayo coba lihat. Kita kedatangan teman baru, lho!" seru Davira dengan antusias.

Beberapa anak muridnya terlihat berbisik-bisik, menanyakan kepada teman duduknya sendiri akan siapakah anak kecil yang berdiri di samping guru mereka itu.

"Zein, teman-teman pasti mau tahu, so let introduce yourself, bisa?" pinta Davira dengan wajah berbinar.

Zein mengangguk kecil dan melangkah ke depan kelas dengan berani. "Hello everyone!" sapanya yang langsung disambut meriah.

Beberapa anak bahkan sampai berteriak kecil meja dan bertepuk tangan saking senangnya dengan kehadiran Zein.

"Namaku Zein Al-Malik Danishwala. Call me, Zein. Only Zein, okay? Sekarang usiaku 4 tahun 11 bulan. Nice to meet you," kata Zein dengan campuran bahasa Inggris yang cukup fasih. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke depan kelas.

Tepuk tangan kembali menggema di udara, pertanda bahwa anak-anak itu terkesan dengan Zein.

"Terima kasih, Zein. Nanti Zein bisa kenalan sama teman-teman yang lain, ya. Sekarang Zein boleh duduk dulu di sana," ujar Davira menunjuk sebuah kursi kosong di bagian depan sebelah kanan. Zein mengangguk dan berjalan ke arah mejanya sendiri.

Kemudian, Davira berjalan ke depan. Bertanya apa kabar, bernyanyi sebagai pembuka kelas hari itu dan memulai pelajaran seperti biasa.

Anak-anak di Kinder School bukanlah anak-anak biasa. Mayoritas yang bersekolah di Kinder School merupakan anak-anak konglomerat dengan didikan tinggi dan ketat sejak kecil.

Kinder School sendiri adalah lembaga pendidikan anak pra-sekolah dengan menerapkan sistem pendidikan ala Eropa yang metode pembelajarannya mengikuti kurikulum internasional.

Kinder School tidak hanya berfokus pada materi dasar akademik, tetapi juga sangat tertuju pada pembelajaran berdiferensiasi, pengembangan karakter, leadership, etika-etika dasar, kursus wajib dan bahasa.

Maka, tak heran jika anak-anak di Kinder School lebih unggul dan lebih fasih berbahasa Inggris. Di setiap kelas, Kinder School menerapkan aturan billingual area yang mewajibkan tiap anak untuk berkomunikasi dalam dua bahasa. Indonesia dan Inggris.

Davira tersenyum bahagia saat anak-anak didiknya dengan antusias belajar dan aktif bertanya. Baginya, melihat anak-anak yang tersenyum ceria dan bersenda gurau seperti yang dilihatnya sekarang bisa sedikit mengobati luka hatinya.

Tiba-tiba, di tengah-tengah pelajaran menggambar mereka, Zein datang ke hadapannya. "Miss!" panggil anak kecil bermata cokelat itu setengah berbisik.

"Iya, Zein. Ada yang bisa Miss bantu?" tanya Davira setengah membungkuk.

"No, Miss. Zein a genius kid, Zein bisa sendiri," gumam Zein lucu. Satu tangannya menunjukkan hasil kerjanya barusan. "Lihat! Bagus, kan!" katanya seraya tersenyum lebar.

Davira terkekeh karena tingkahnya. "Lalu, Zein mau apa kalau gitu?" tanyanya lagi penasaran. Menurutnya, Zein lebih lucu dibanding anak seusianya.

Alih-alih bertanya atau meminta bantuan, Zein justru secara terang-terangan memberitahu hasil kerjanya dan memuji dirinya sendiri.

"Zein punya permintaan. Tapi Miss keberatan tidak?" tanya Zein ragu-ragu. Davira mengangguk singkat.

"Nggak, dong, Zein. Apa ada yang bisa Miss bantu untuk Zein?" tanya Davira, membuat Zein mengembangkan senyumnya kian lebar hingga menampilkan deretan giginya yang rapi dan putih.

"Please be my mom, Miss!" pinta Zein tanpa ragu-ragu lagi, matanya terbelak indah. Pernyataan Zein yang tiba-tiba itu sontak saja membuat Davira terkejut dan langsung menegakkan punggungnya.

"Zein bilang apa tadi, Nak?" tanya Davira masih tak percaya dengan yang didengarnya.

"Miss Dav sangat cocok sama papa Zein. Kenapa Miss tidak jadi ibunya Zein?" tanya Zein dengan polosnya. Kemudian, secara spontan, Zein memeluk Davira dengan erat.

Sejak kecil, Zein tidak memiliki ibu, membuat anak sekecil itu tumbuh tanpa tahu bagaimana hangatnya pelukan ibu. Dan kini, saat ia memeluk Davira. Zein merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Davira tidak tahu apa yang terjadi dengan anak muridnya yang satu itu, tapi melihat Zein memeluknya dengan erat, tangan lembut Davira pun mulai mengusap punggung Zein seperti seorang ibu.

"Zein? Zein tidak apa-apa, Nak?" tanya Davira lembut, merasakan bahu Zein yang bergetar.

MIPPP 03 — Merindu Kasih Sayang

Pukul sebelas siang, Kavindra secara sengaja menghentikan semua aktivitasnya saat itu juga. Padahal ia tengah diburu sebuah project yang sangat penting dan tenggat waktunya sudah sangat dekat.

Tapi, apa boleh buat, demi memenuhi keinginan sang ibu tercinta, Kavindra harus rela membagi waktunya antara kerja dan menjemput Zein dari sekolah barunya.

Sebenarnya, mudah saja bagi Kavindra untuk menyuruh sopir ataupun mempekerjakan seorang baby sitter khusus untuk mengantar-jemput Zein. Namun, usulan itu ditolak mentah-mentah oleh ibunya.

Ibunya itu mengatakan bahwa bonding antara Kavindra dan Zein kurang dekat. Seringnya, Zein bermain dan bermanja dengan pamannya sementara Kavindra sibuk bekerja dan bekerja.

Bukan tanpa alasan Kavindra terus sibuk dengan pekerjaan dan mengurusi perusahaan multinasional miliknya. Semenjak bercerai dengan Lauren empat tahun silam, Kavindra seolah menarik diri dari dunia Zein dan memilih sibuk pada pekerjaannya.

Melihat Zein, Kavindra selalu merasa ingat dengan bagaimana Lauren mencampakkannya dahulu. Karena hal itu, Zein kehilangan kasih sayang dari orangtuanya.

Tetapi, syukurnya, Zein adalah anak yang patuh dan pengertian. Meski Kavindra jarang menghabiskan waktu dengan Zein, tetapi anak kecil itu tetap menyayangi Kavindra sebagaimana mestinya.

Kavindra menghela napas saat mobilnya terjebak macetnya Ibukota. Ia berdecak kecil dan memukul stir kemudi mobilnya pelan. "Da*n! Kenapa harus macet di jam seperti ini," gumamnya merasa kesal.

Di Kinder School, Zein tampak berdiam diri di area parkir, tepatnya di sebuah tempat tunggu khusus anak-anak. Kaki kecilnya menendang kerikil-kerikil di tanah merasa kesal dengan ayahnya sendiri.

"Papa bohong lagi sama Zein," gumamnya merasa sedih.

Pada saat itu, Davira secara kebetulan baru saja keluar dari ruang guru. Menangkap bayangan kecil di area parkir, matanya memicing, merasa mengenali sosok kecil yang berjongkok di sana.

"Zein?" panggilnya ragu. Kepala anak kecil itu menoleh dan memandang Davira sedih. "Zein belum pulang, Nak? Di mana Papa Zein?" tanya Davira seraya meraih tangan kecil anak itu.

Secerdas apapun Zein menyembunyikan air matanya, Davira tetap bisa melihat genangan air menumpuk di bawah pelupuk mata anak itu. Zein menatapnya sendu, hatinya berkata ingin menangis, tapi otaknya berkata anak laki-laki tak boleh cengeng.

"Zein, mau Miss peluk?" tawar Davira iba melihat Zein yang diam menahan tangis sedari tadi. Mengangguk kecil, Zein lalu menghambur ke dalam pelukan Davira dan menuang tangisnya di sana.

Davira sedikit terkejut dengan aksi Zein yang tiba-tiba itu, namun tangannya tetap mengusap punggung Zein dengan pelan dan penuh kasih sayang. Sedetik kemudian isakan kecil Zein terdengar.

"Papa jahat, Miss. Papa bohong lagi sama Zein," adu Zein. Tangan kecilnya merangkul bahu Davira. Dengan sabar, Davira menunggu sampai isakan Zein mereda.

"Zein sudah selesai nangisnya?" tanyanya saat Zein melepas pelukan pada bahunya. 

Anak kecil itu mengangguk kemudian mengusap pipinya yang basah. 

"Mau cerita sama Miss?" tanya Davira lagi.

Zein kembali mengangguk, lalu Davira mengajaknya untuk duduk di sebuah kursi tunggu. Zein mengikutinya dengan patuh, padahal Zein bukanlah tipe anak kecil yang bisa langsung menurut apalagi jika ia baru mengenal orang tersebut.

Tetapi, tampaknya Davira tidak termasuk. Sebab, meskipun mereka baru bertemu tadi pagi, Zein sudah langsung merasa aman dan nyaman berada di dekat Davira.

"Zein, Miss mau tanya, boleh?" tanya Davira setelah mereka menemukan tempat duduk yang lebih nyaman.

Zein tampak mengangguk kecil di sampingnya. Davira tersenyum melihat Zein dari samping. Ia berpikir, Zein itu anak yang lucu dan unik. 

Bayangkan saja bagaimana Davira dibuat tak bisa berkata saat tadi pagi Zein secara terang-terangan memintanya menjadi Ibu untuknya.

"Kenapa Zein menangis tadi? Zein sedih karena belum dijemput Papa Zein?" tanya Davira dengan hati-hati.

Zein tampak merengut, bibirnya mengerucut dan melipat tangannya di depan dada. "Zein kesal sama Papa, Miss! Papa janji mau jemput Zein tapi sampai sekarang Papa belum juga datang!" adu Zein yang membuat Davira terkekeh.

"Oh, begitu. Papa Zein mungkin masih dalam perjalanan, sebentar lagi pasti sampai, kok," bujuk Davira lembut. 

Zein kemudian mendongak menatap Davira. Memandangi sosok perempuan dengan hijab putih yang menutupi kepalanya itu.

"Miss belum jawab pertanyaan Zein tadi pagi, lho." Zein mengangkat kepalanya, memandang Davira dengan intens.

"Pertanyaan Zein yang mana, ya, yang belum Miss jawab?" tanya Davira pura-pura lupa. Zein kembali mengerucutkan bibirnya.

"Ish, Miss! Yang ituloh, Miss mau gak jadi Ibunya Zein? Soalnya Miss itu cocok sama Papa," cetus Zein penuh kejujuran yang sontak membuat Davira tak habis pikir.

"Kenapa Zein tanya kayak gitu?" Davira balik bertanya. Belum sempat Zein menjawab, sebuah mobil Mercedes berhenti tepat di pelataran parkir. Melihat mobil itu, Zein langsung memasang raut wajah bahagianya.

"Papa!" pekiknya senang sambil berdiri dan melompat senang. 

Lalu, seorang pria dengan setelan jas lengkap keluar dan menghampiri keduanya. Melihat Kavindra datang, akhirnya Davira tersenyum lega.

"Papa kenapa baru jemput Zein?" tanya Zein dengan melipat kedua tangannya di dada.

"My bad, little boy. Papa kena macet tadi," jawab Kavindra setengah membujuk. "Maaf, ya? Zein sudah lama menunggu?"

Melihat interaksi ayah dan anak itu, hati Davira mendadak menghangat. Ia berandai, jika ia sudah menikah dan memiliki anak, pemandangan seperti inilah yang akan sering dilihatnya.

Kavindra menatap Davira sedikit canggung. "Selamat siang, Miss. Sebelumnya terimakasih sudah menjaga Zein," kata Kavindra tak enak hati. Davira hanya menanggapi dengan senyum.

"Oh, tidak apa-apa, Pak Kavindra. Zein anak yang baik," jawab Davira tak kalah canggung. Setelah itu, Kavindra mengajak Zein untuk pulang bersamanya. Zein tampak melambai-lambaikan tangannya pada Davira.

"Miss, besok aku tunggu jawabannya, ya!" teriaknya sebelum memasuki mobil. Mengundang tanya Kavindra akan hal apa yang Zein tanyakan sampai-sampai harus menunggu besok.

"Jawaban apa yang Zein minta dari Miss Dav?" tanya Kavindra saat keduanya telah duduk di dalam mobil. Kini, Kavindra sibuk memakaikan safety belt pada tubuh mungil Zein.

Anak kecil itu mengangguk dengan antusiasnya. "Zein cuma minta Miss Dav jadi Mami Zein," jawab Zein dengan polosnya. Mendengar jawaban itu Kavindra sontak menepuk keningnya sendiri.

"Oh, Zein. How can you asking someone to be your mother?" tanya Kavindra tak habis pikir. "Zein tidak boleh seperti itu, Nak." Kavindra memperingatkan Zein sambil menghela napas panjang. 

Sedangkan di sampingnya, Zein memandang ayahnya tak berkedip. Zein hanyalah anak-anak yang kadang rindu kasih sayang seorang ibu.

Pria tiga puluh dua tahunan itu hanya menghela napasnya panjang kemudian menyalakan mobilnya lalu meninggalkan area parkir Kinder School. Saat melewati gerbang, Kavindra tak sengaja melihat Davira selama beberapa saat.

"Siapa yang ajarin Zein kayak gitu?" tanya Kavindra di tengah-tengah perjalanan mereka. Zein yang semula menatap ke arah jalanan mendadak memandang papanya yang sibuk menyetir itu.

"Uncle," jawab Zein singkat yang membuat Kavindra menggerutu dalam hati.

"Uncle? Uncle yang bilang kayak gitu?" ulang Kavindra memastikan. Lalu, Zein mengangguk mantap. 

"Awas saja dia nanti, akan kuhajar dia karena sudah mengajari anakku hal yang macam-macam!" gerutu Kavindra pelan, kemudian mulai mengemudikan mobilnya ke jalanan. 

Yang menjadi pikiran Kavindra sekarang adalah bagaimana ia harus menjelaskan tingkah Zein kepada guru barunya itu? 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!