Bandung, SMA Tunas Utama, bulan kelima semester dua, tahun ajaran pertama.
"Permisi! Permisi!" Mara berusaha menerobos para pejalan kaki yang menghalangi jalannya. Ia mempercepat langkahnya setelah berhasil melewati kerumunan orang-orang itu.
Setengah berlari, ia melewati pagar sekolahnya. Buru-buru ia menuju lokernya. Sambil terengah-engah ia mengambil kunci dari dalam tas dan segera membuka loker itu. Dengan wajah panik ia mencari sesuatu di antara tumpukan buku-buku.
"Ketemu!" seru Mara.
"Hampir aja gue bakal digantung sama guru fisika karena gak ada ini!" Mara tersenyum lega. Ia memegang erat-erat makalah fisikanya yang nyaris hilang itu.
"Isi loker lo kelihatan tuh!"
Mara tertegun ketika mendengar seseorang bicara tentang sebuah loker. Dia ngomong sama gue? Mara mengernyitkan alisnya.
"Isi dan dekorasinya warna pink kan?" Orang itu tertawa.
Mara terperangah. Ia kesal. Seperti dugaannya, orang itu memang berbicara dengannya. Mara pun membanting pintu lokernya dengan keras, menimbulkan bunyi berdebam dan langsung menarik perhatian beberapa siswa yang sedang melintas.
Tuh cowok ngajak ribut yah? Oke! Gue ladenin! Seru Mara di dalam hati.
Mara pun berbalik badan. Tanpa basa-basi, Mara melayangkan tinjunya pada seorang siswa yang berdiri tepat di belakangnya. Mara menyunggingkan senyum tipis sesaat ketika melihat laki-laki yang ditinjunya itu terkulai di lantai. Ia bahkan tak merasa bersalah sedikit pun.
"Rasain! Itu pelajaran buat orang yang gak punya sopan santun kayak lo. Sembarangan aja lihat-lihat loker orang lain. Gak bisa baca apa tulisan segede gini di pintu loker?"
Mara menunjuk tulisan yang dibuatnya sendiri di atas secarik kertas yang ditempelnya di pintu loker. Tulisan yang berbunyi :
Dilarang Mengintip bahkan Melihat Isi Loker!!!
Mara menatap tajam lelaki yang masih terkulai di lantai itu sejenak, sebelum akhirnya ia melangkah dengan cepat meninggalkannya bersama kerumunan siswa yang menyaksikan kejadian tersebut.
● ● ●
Asta mengelap darah yang keluar dari hidungnya. Ia tak menyangka seorang gadis bisa meninjunya seperti itu. Bahkan hidung Asta nyaris bengkok karena pukulannya.
Asta menatap Dimas yang baru keluar dari tempat persembunyiannya. Asta hanya diam saja melihat Dimas mendekatinya sambil terkekeh.
"Makasih yah udah gantiin gue makan tinju tuh cewek!" Dasar sahabat tak tahu diri, Dimas tertawa dengan keras sambil membantu Asta berdiri.
Ya, jika saja sahabatnya itu tidak menggoda gadis tadi, mungkin Asta tak akan mendapat tinjunya, dan hidung Asta akan baik-baik saja saat ini.
Mungkin memang Asta sedang bernasib sial hari itu. Sebenarnya ia hanya kebetulan berdiri tepat di belakang gadis itu untuk membaca tulisan di pintu lokernya. Namun bagaimana lagi? Asta telah menjadi korban 'pukulan salah sasaran' gadis itu.
"Mantap juga tinju tuh cewek! Kapan-kapan gue ajak adu tinju deh sama gue!"
Asta hanya diam sambil menatap Dipa, orang yang berbicara barusan.
"Parah lo, Dip! Adu tinju sama cewek! Harga diri men!" Kali ini Dimas ikut berkomentar. Ia bahkan masih tertawa.
Asta mengalihkan pandangan dari kedua sahabatnya yang ajaib itu. Matanya fokus menatap lorong yang tadi sempat dilalui gadis yang meninjunya.
"Udah tau tuh cewek kelakuannya kayak preman. Malah lo godain, Dim!" Asta mendengar suara Damar, sepertinya laki-laki itu tergerak untuk masuk ke dalam perbincangan dua sahabatnya.
"Iseng!" Dimas tertawa lagi.
"Woi!" Asta akhirnya angkat bicara.
"Cewek tomboy yang bikin hidung gue bengkok tadi, apa kalian kenal?" Asta berbicara dengan datar dan matanya masih terpusat pada lorong.
"Hah?" Ketiganya terlihat kaget.
"Gue sih cuma tau aja. Soalnya dia satu kelas sama gue waktu SMP." Dimas menjawab dengan santai.
Asta tersenyum simpul mendengar penjelasan singkat dari Dimas, dan jika Asta sudah mengeluarkan ekspresi seperti itu, hanya ada satu hal yang akan terjadi yaitu masalah.
"Bagus!" ujarnya.
● ● ●
"Lo sakit, Ra?"
Lamunan Mara pecah ketika seseorang telah berdiri di hadapannya. Laki-laki itu menatapnya heran.
"Hah? Engga! Apaan sih Fachri?! Gue baik-baik aja kok! Alias sehat wal'afiat!" bantah Mara sambil mencondongkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan.
Mara tahu alasan laki-laki bernama Fachri itu tiba-tiba berkata begitu. Pasti tadi Fachri melihat dirinya sedang memainkan dua buah pensil sambil berkomat-kamit sendiri. Salah satu kebiasaan Mara jika dia sedang kesal. Ingin hati bercerita tentang kekesalannya pada seseorang, tapi yang ditemukannya hanya dua batang pensil. Yap! Keadaannya di kelas itu masih sepi. Mara datang terlalu pagi gara-gara makalah fisikanya.
Mara mendapati Fachri tersenyum sesaat, sebelum mengubah wajahnya kembali menjadi serius. Tuh kan!
"Emang sih fisiknya baik-baik aja!" Laki-laki itu mengamati Mara yang masih duduk di bangkunya dengan cemberut.
"Tapi, gak tau deh jiwanya gimana!" Fachri tertawa dengan keras meninggalkan Mara yang melongo sambil memelototinya.
"Maksud lo? Gue sakit jiwa?" protes Mara yang dijawab gelakan keras dari laki-laki itu.
● ● ●
"Sst! Denger!"
Mara menatap Fajar, ketua kelasnya, sedang memandang sebuah pengeras suara yang terpasang di atas papan tulis. Mara dan teman sekelasnya pun mengikuti apa yang dilakukan ketua kelasnya itu.
"Pengumuman! Mulai hari ini, Naigisa Amaranth dari kelas 10-D adalah pacar Semesta Udaraja dari kelas S. Pengumuman selesai dan tidak dapat diganggu gugat. Terima kasih."
Mara melongo mendengar namanya disebut. Ia tak tahu harus berkata apa untuk mengomentari pengumuman yang membuat seluruh isi sekolah menjadi heboh seketika.
Mara yang semula duduk di bangkunya, langsung berdiri dan menatap sekelilingnya. Ah, tatapan-tatapan berbagai arti terlempar ke arahnya, membuat Mara tertekan dan terintimidasi.
Mara sungguh kebingungan. Ia tak tahu sama sekali mengenai pengumuman barusan. Terlibat saja tidak. Namun, seluruh penghuni sekolah tetap berdatangan menuju kelasnya sambil melempar tatapan menyeramkan, menuntut penjelasan.
"Ini gak seperti yang kalian pikirin! Serius! Gue gak kenal sama yang namanya Semesta ... Semesta apalah itu! Please percaya sama gue!"
Mara memasang wajah memelas, berharap orang-orang yang berkumpul di sekitarnya mengerti akan keadaannya saat ini. Tapi ... nihil.
● ● ●
Bandung, SMP Pratama Jaya, bulan pertama semester dua, tahun ajaran ketiga.
Pintu loker terbuka. Chia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia jatuh tersungkur di lantai. Puluhan surat menimpali kepalanya. Semuanya berserakan begitu saja.
"Lagi?" Chia menghela napas.
Ia mengambil sebuah surat dengan amplop berwarna merah muda yang menutupi wajahnya. Ditatapnya surat itu dengan heran. Ia beralih pada surat-surat beramplop merah muda lainnya. Ia menghela napas panjang.
Chia bangun dari posisinya. Lalu mulai memunguti surat-surat yang berserakan itu satu persatu. Keterlaluan! Pikirnya.
Chia bahkan lupa kapan terakhir kali loker itu ia buka. Namun setiap kali membuka lokernya, ia akan dibanjiri surat-surat beramplop merah muda yang jumlahnya lebih dari lima puluh. Surat yang bahkan sama sekali bukan ditujukan kepadanya.
Setelah semua surat sudah terkumpul, Chia berjalan meninggalkan lokernya. Langkahnya terhenti di depan ruang kelas 9-9. Ruang kelasnya sendiri.
Diamatinya setiap sudut ruangan itu sebelum ia masuk ke dalam. Ruang kelas itu telah kosong. Tentu saja, bukan hal yang aneh jika kelasnya telah kosong. Karena bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Namun masih ada satu siswa yang tertinggal di sana.
Seorang siswa yang seumur dengannya. Siswa yang sudah tak asing lagi baginya. Penampilannya yang mencolok, dengan warna rambut dan bola mata berwarna coklat, membuatnya mudah teridentifikasi.
Wajahnya yang mirip aktor terkenal membuatnya makin mudah dikenali. Sikapnya yang dingin dan angkuh, dimata Chia, membuat gadis itu berpikir dua kali ketika harus bicara dengannya.
Chia masuk ke dalam ruang kelasnya. Ia berdiri tepat di samping siswa itu. Ia terdiam sambil menatap orang yang tidak mengacuhkan kedatangannya.
"Bisa gak sih, lo gak bikin mereka kesel?" Chia meletakkan surat-surat di tangannya di atas meja. Tepat di depan siswa bernama Utaraka Meteoriga. Namun, tampaknya Riga hanya diam saja. Ia masih berkutat dengan sesuatu di atas meja.
"Please, jangan bikin loker orang lain penuh gara-gara surat dari cewek-cewek itu! Kalo lo emang mau numpuk surat-surat ini, tumpuk aja di loker lo sendiri. Ngapain sih ngaku-ngaku sama mereka, kalo loker gue itu loker lo?"
Chia menghela napas ketika tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu.
"Apa lo gak kasihan sama mereka? Mereka nunggu jawaban dari lo sampai berhari-hari. Bahkan surat dari beberapa bulan yang lalu aja masih ada. Tau gak sih mereka tuh butuh kepastian! Apa lo gak tau sampe ada yang ngirim berkai-kali? Kalo lo emang mau tolak mereka semua, jawab dong surat-surat ini! Jangan lo diemin kayak gini aja. Percuma!"
Chia terdiam. Ia masih menatap Riga lekat-lekat. Ia merasa usahanya itu sia-sia saja. Berbicara dengan Riga sama saja berbicara dengan tembok. Itu artinya ia tak akan mendapat jawaban apa pun dari laki-laki itu.
"Kalo lo udah selesai ngomong, mendingan lo keluar. Jangan lupa tutup pintunya."
Chia membuka mulutnya lebar-lebar. Ditatapnya Riga dengan geram. Ia melangkah menuju pintu keluar dengan kesal, lalu menoleh ke arah Riga sebentar, sebelum akhirnya ia membanting dan menutup pintu itu.
● ● ●
Chia tampak sedang menerawang sambil bersandar di lokernya. Ah, ujian nasional akan segera diadakan. Namun, ia belum menentukan pilihannya untuk bersekolah di mana. Banyak pertimbangan yang akhirnya membuat Chia tampak ragu untuk melangkah.
"Lagi mikirin apa, Kak? Mikirin dosa-dosa lo sama kita semua?"
Lamunan Chia buyar. Ia menatap dengan datar pada beberapa gadis yang telah mengerumuninya. Chia tampak mengenali salah satu dari beberapa adik kelasnya itu, Agnes, pemimpin kelompok gadis-gadis itu.
"Kenapa diem, Kak? Lo pura-pura polos atau pura-pura bego? Dasar cewek munafik! Gak tau diri! Kita tau kok apa yang Kakak lakuin di belakang kita-kita!"
"Apa?" Chia bertanya dengan nada datar.
Gadis yang bernama Agnes itu tiba-tiba melempar sekumpulan amplop berwarna merah muda tepat ke wajah Chia.
"Cewek gak tahu diri tuh bukan di sini tempatnya! Tapi di tempat sampah! Dasar ular licik!" Gadis itu meninggikan nada bicaranya.
Chia mengerutkan dahinya. Ia terdiam sambil menatap amplop-amplop yang berceceran di lantai dengan datar. Oh, jadi karena ini mereka marah-marah sama gue? Sekarang Chia tahu kalau Agnes dan teman-temannya juga ikut andil dalam menulis surat cinta untuk Riga itu.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Chia. Tampaknya gadis bernama Agnes itu begitu marah padanya.
"Muak gue lihat muka lo yang sok gak berdosa itu!" Agnes masih berkata dengan nada tinggi.
"Aw!" erang Chia ketika rambutnya ditarik sekuat tenaga ke bawah oleh adik kelasnya itu.
"Kenapa ngelihatin gue? Marah sama gue? Mau bales nampar gue?"
Chia menatap ke dalam bola mata Agnes. Ia bisa melihat kilatan kebencian di dalam pancaran gadis itu. Chia pun tersenyum kecil sesaat, sebelum ia mengerang lagi karena Agnes menguatkan tarikannya.
"Cepet minta maaf!" Agnes nyaris berteriak.
"Gue gak ngelakuin apa-apa. Jadi gue gak akan minta maaf." Chia masih berkata dengan nada khasnya yang tak berintonasi itu.
"Berhenti atau mau gue laporin ke guru?"
Chia menoleh pada seseorang yang tiba-tiba hadir di antara mereka, ketika Agnes tanpa sadar mengendurkan cengkeramannya pada rambut Chia.
"Kak Riga!" Agnes tampak terkejut. Bicaranya gelagapan dan tak jelas. Yang benar-benar terdengar dengan jelas di telinga Chia adalah sebuah pertanyaan.
"Kakak kok malah nolongin dia?"
"Kenapa? Dia pacar gue." Riga berbicara dengan santai, meski tatapan matanya sangat tajam saat menatap Agnes.
"Udah cepetan sana pergi! Sebelum lo gue laporin ke guru." Riga masih berkata.
Chia menatap Agnes ketika gadis itu melepaskan rambutnya. Sepertinya gadis itu menahan tangis sambil berlalu pergi meninggalkan Chia.
"Kenapa lo harus ngomong kayak gitu sama mereka?" Chia menatap Riga yang sedang berjalan melewatinya dengan 'cuek'.
"Bisa gak sih lo ngucapin makasih setelah ditolong orang?" tanya Riga tanpa menoleh sama sekali.
Chia memutar kedua bola matanya. "Makasih buat pertolongannya. Tapi gue gak suka cara lo! Ngaku-ngaku gue pacar lo segala lagi. Gue kan bukan pacar lo!" Chia masih protes.
Ia terkejut ketika Riga menghentikan langkahnya. Laki-laki itu berbalik badan sambil menatap lurus-lurus ke arah Chia.
"Suka gak suka, mulai sekarang lo pacar gue. Titik!" Riga tersenyum tipis sambil berbalik badan dan berjalan kembali meninggalkannya.
Chia terpaku. Ia menghela napas sebentar. Rasanya tekanan darahnya naik seketika. Ia kesal.
"Gue gak boleh satu sekolah sama cowok itu lagi! Gue gak akan pernah satu sekolah sama orang itu lagi! Huh!"
● ● ●
Bandung, SMA Tunas Utama, bulan pertama semester dua, tahun ajaran kedua.
Chia terbangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk di atas kasur. Wajahnya dipenuhi dengan keringat yang bercucuran. Napasnya tersengal-sengal. Ia menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia berusaha menenangkan diri.
Masih dalam posisi duduk, ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul 3 pagi. Chia menghela napas. Ia beralih pada kalender yang tergantung di samping jam dindingnya. Ia menatapnya lekat-lekat.
● ● ●
Mara berjalan dengan cepat melewati koridor. Perasaannya berkecamuk. Setengah berlari, ia melewati orang-orang yang sedang memerhatikannya. Masa bodoh jika orang-orang itu akan bergosip lagi tentangnya, Mara tak peduli.
Bayang-bayang Fachri terus melekat dibenaknya. Mara bahkan masih ingat dengan jelas dimana saja letak luka pada tubuh sahabatnya itu.
Asta brengsek! Awas lo! Gumam Mara sambil mempercepat langkahnya.
Ya, jika saja laki-laki bernama Asta itu tak berulah lagi, mungkin Mara tak akan menemukan Fachri dalam keadaan seperti dua jam yang lalu. Saat Mara menemukannya di dalam kelas dengan kondisi menyedihkan.
"Fachri," lirih Mara sambil terisak. Mara berdiri di depannya. Ia masih memandangi luka-luka di sekujur tubuh laki-laki itu. Dada Mara makin terasa sesak.
"Gue gak apa-apa, Ra," ucap Fachri pelan.
"Bohong!" Mara terisak sambil menggelengkan kepalanya.
"Gak ada yang baik-baik aja dengan kondisi lo yang kayak gini," lirih Mara.
Ia memandangi luka disekujur tubuh Fachri. Baju seragamnya pun telah dipenuhi darah.
"Siapa yang ngelakuin ini? Apa salah lo? Kenapa mereka tega ngelakuin ini sama lo?" tanya Mara masih terisak.
Ia memerhatikan laki-laki yang duduk di bangkunya itu tak menjawab sama sekali. Mara tahu, pasti laki-laki itu sedang merasakan sakit disekujur tubuhnya. Apa yang harus gue lakuin buat bantuin lo, Fachri? Lirih Mara di dalam hatinya.
Ah, saat ini Mara merasa menjadi seseorang yang tak berguna. Mara merutuki dirinya yang hanya bisa terdiam sambil menangis, ketika melihat Fachri berdiri dan berjalan melewatinya.
"Fachri," lirih Mara. Ia masih memerhatikan Fachri yang tidak mengacuhkan panggilannya. Laki-laki itu tetap berjalan menuju pintu.
"Fachri!" panggil Mara lagi sambil menatap Fachri dengan pandangan sayu.
"Fachri!" isak Mara. Suaranya tercekat. Rasanya ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun air matanya menahan suaranya untuk keluar.
Suara sepatu Fachri terhenti. Mara melihat laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum di depan pintu.
"Lebih baik, lo gak deket-deket sama gue lagi. Gue gak mau nantinya malah lo yang terluka. Gue gak mau lihat lo terluka lebih dari ini." Fachri tersenyum lagi padanya. Kali ini senyuman itu lebih lebar dan lebih tulus. Laki-laki itu pun melangkah keluar dan meninggalkan Mara sendirian.
Mara menyeka air matanya yang tak ia sadari telah mengalir sejak tadi. Ia membuang kesedihannya, lalu beralih menatap dengan tajam pada gedung yang terpisah dari gedung utama. Ruang kelas S.
Mara menendang pintu ruang kelas S dengan keras. Beberapa orang di dalam ruangan itu seraya menatap ke arahnya.
"Kenapa lo lakuin ini Asta?" teriak Mara tiba-tiba sambil melenggang masuk ke dalam ruangan itu.
"Siapa yang ngijinin lo masuk hah?" Dipa, salah satu sahabat Asta, tiba-tiba berdiri di depan Mara dan memblokir jalannya.
"Gue gak ngomong sama lo! Gue mau ngomong sama Asta. Mana cowok brengsek itu?" Mara nyaris membentak.
"Minggir lo!" Mara berusaha menerobos pertahanan Dipa. Ia berjalan melewati laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.
"Jangan mentang-mentang lo ceweknya Asta, lo bisa seenaknya di sini! Gak sembarang orang bisa nginjakin kaki di kelas ini. Termasuk lo! Asal lo tau! Gue gak segan-segan buat ngelakuin apa aja supaya lo pergi dari sini. Ngerti lo?" ancam Dipa yang telah berdiri dan menghalangi Mara lagi.
"Terserah! Gue gak takut! Gue juga bisa ngelakuin apa aja sama lo, kalo lo ngehalangin gue buat ketemu sama Asta! Bahkan lebih! Mana Asta?!"
"Lo berani sama gue? Lo tau kan gue gak pernah main-main sama omongan gue?"
"Gak peduli! Mana Asta?!" bentak Mara. "Perlu gue teriak? MANA ASTA?!!!"
"Lo ...."
Mara membelalakan matanya ketika Dipa mengangkat tangannya ke udara. Laki-laki itu hampir menamparnya, jika saja Dimas dan Damar tak buru-buru mencegah. Mara menarik ujung bibirnya. Ia tersenyum tipis sambil menatap sekeliling.
"Gak yakin gue kalo ini kelas paling elit di sekolah!" Mara menatap sekelilingnya.
"Kelas ini lebih pantes disebut kelas berandalan!" tambah Mara ketika mengamati tongkat pemukul yang dipegang beberapa orang di ruangan itu.
"Dasar tukang biang onar! Selalu ngerampas apa yang seharusnya jadi milik orang lain, dan berbuat sesukanya atas kuasa Asta. Kalo Asta bukan cucu dari Kepala Sekolah, gue yakin kalian gak akan ada di sini." Mara menyeringai.
"Berani banget lo ngomong kayak gitu! Tau apa lo tentang kita?!"
Mara memutar kedua bola matanya ketika Dipa mengangkat tangannya lagi ke udara.
"Dipa!"
Mara melihat Damar memelototi laki-laki yang telah menurunkan kembali tangannya itu.
"Asal lo tahu yah! Gue gak akan ke sini kalo bukan karena ulah lo semua! Apa salahnya Fachri sih sampe kalian tega kayak gitu? Banci tahu gak!" Mara mendecakkan lidah. Ia kesal.
"Kalo kalian pengen ganggu gue, gentle dong! Datang ke gue langsung! Bukan dengan cara ngusir orang-orang yang deket sama gue satu persatu!" Mara hampir menangis. Matanya berkaca-kaca sambil menatap tajam ke arah Dipa.
"Lo tuh berisik banget yah!"
Mara terdiam. Ah, suara itu jelas bukan suara asing yang baru didengarnya. Buru-buru ia menoleh ke belakang.
"Jadi, akhirnya lo keluar juga? Si raja udara penguasa semesta? Kayaknya nama lo kebagusan deh buat cowok semacam lo." Mara menatap tajam pada laki-laki yang tiba-tiba muncul entah dari mana itu.
"Gue gak suka sama orang yang berisik." Laki-laki itu menjawab dengan santai.
Mara menahan napasnya ketika lelaki itu mendekatkan wajah mereka. Bisa dirasakan embusan napas Asta mengalir pada wajah Mara.
Mau ngapain sih nih cowok? Mara geram.
"Udah selesai bikin kekacauan di kelas gue? Balik ke kelas lo sana!" Laki-laki itu berbisik tepat ke telinga Mara.
Mara mengepalkan kedua tangannya ketika laki-laki itu berjalan menjauhinya. Sejak awal Mara sudah tahu bahwa usahanya itu akan sia-sia. Pemimpin kelas S itu tak akan pernah mau mendengarkannya.
"Eh cowok brengsek! Denger yah! Gue gak pernah sekalipun ngemis-ngemis buat jadi pacar lo! Gue bahkan gak pernah menginginkan gelar sebagai pacar lo!" Mara mulai meneteskan air matanya.
"Gue sama sekali gak suka punya status apa pun sama lo! Selama tujuh bulan ini gue berusaha sabar sama kelakuan gak waras lo! Gue pengen hubungan ini selesai! Denger gak lo?"
Mara menatap Asta yang terdiam sesaat sebelum berjalan meninggalkan kelas bersama teman-temannya. Ia benar-benar tak dipedulikan. Uh menyebalkan!
"Eh Asta! Gue pengen kita putus! SEKARANG!!!!" Mara menangis dengan setengah menjerit. Ia terduduk lemas di lantai.
Mara sangat putus asa saat ini. Ia tahu, sampai kapan pun ia tidak akan pernah menang dari Semesta. Apa pun yang dia lakukan, apa pun yang dikatakanya, Asta tak akan pernah mengindahkannya. Ia kalah lagi.
● ● ●
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!