...Pov Marlin...
La’ Grande, sebuah dunia impian tempat dimana aku ingin mewujudkan mimpiku menjadi seorang ahli desain interior.
Sebuah perusahaan raksasa dengan orang-orang hebat dan berkelas di dalamnya.
Sayangnya, semua itu hanya khayalanku saha.
Aku tak mampu jadi seorang desain interior, karena aku bukan dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan ku dibidang itu.
Karena itulah, aku menulis cerita, dimana dunia idealku berada dengan semua hal yang aku inginkan. La’ Grande.
Tapi, aku tidak se-narsis itu menjadikan diriku sendiri sebagai pemeran utamanya.
Aku lebih suka menjadi pengamat, NPC, makhluk tak terlihat atau apalah, yang serba tahu dan bisa mengubah jalannya cerita sesuai keinginanku.
Hahaha... tentu saja itu hanya dalam cerita.
Inilah juga, alasan kenapa aku memutuskan menjadi seorang penulis amatir.
Karena dengan menulis, aku bisa mengekspresikan diriku yang sesungguhnya, yang aku tak mampu lakukan di dunia nyata.
...Pov end
...
Siang terik di pinggiran kota Metropolis, debu dan asap kendaraan yang pekat menyatu, membuat paru-paru manusia sesak.
“Permisi... Maaf, permisi...,” ucap seorang gadis.
Dia memakai topi baseball berwarna mauve, yang dipenuhi beberapa pin dengan karakter lucu.
Rambut ikalnya dikuncir satu, dengan helaian anak rambut yang menjuntai di sisi kedua telinganya.
Peluh nampak keluar dari pelipis, hingga menetes di dagunya. Membuat gadis bermata bulat itu terganggu, dan sesekali menyekanya dengan punggung tangan.
Dia berlari menyusuri koridor stasiun bawah tanah distrik Aster, sambil memeluk erat sebuah binder map hijau, seolah itu adalah harta berharga baginya.
Gadis tersebut melihat bahwa keretanya hampir berangkat, dan pintunya pun nyaris menutup.
“Pak, tunggu!” pekiknya.
Dia pun melompat dengan segera, dan masuk tepat sebelum pintu benar-benar tertutup.
Meski nafasnya terlihat tersengal, namun bibirnya terus mengukir lengkung indah yang membuat dia semakin cantik dan juga ceria.
Terlebih pembawaannya yang supel, menyapa siapapun orang yang ditemui.
“Marlin,” panggil seseorang dari dalam kereta.
Gadis itu pun menoleh dan melambaikan tangannya.
“Viona, kau disini?” tanya Marlin sembari menghampiri temannya.
Mereka pun bercakap-cakap sambil bergelantungan di dalam kereta yang penuh sesak oleh manusia.
“Apa itu naskahmu?” tanya Viona.
“Ehm... Sudah ku perbaiki sesuai yang diinginkan editorku. Semoga saja kali ini bisa diterima,” sahut Marlin.
“Tuan Yue itu benar-benar ketat. Kau harus sabar dengannya,” ujar Viona.
“Kau benar. Aku harus tahan banting menghadapi makhluk itu,” cibir Marlin.
Keduanya pun terkekeh, dan membuat suasana semakin renyah.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Beberapa saat kemudian, di sebuah kantor penerbit tempat Viona bekerja.
Plak!
Sebuah naskah tebal terbang dan nyaris tepat mengenai wajah Marlin. Tumpukan kertas itu pun jatuh dan beberapa darinya nampak tercecer di lantai.
Dia saat ini sedang menghadapi kemarahan Editor Yue yang bertanggung jawab atas tulisannya.
“Kau bilang sampah ini adalah naskah terbaikmu?” bentaknya.
Marlin berusaha menjelaskan, namun belum juga berucap, dia kembali disela oleh sang editor.
“Tulisanmu itu terlalu murahan, dan kau dengan percaya diri bilang itu akan jadi best seller? Mimpi saja sana,” lanjut Editor Yue.
Pria paruh baya berperawakan kurus dengan kacamata tebal bertengger di tulang hidungnya itu, benar-benar terlihat sangat tidak puas dengan hasil karya Marlin.
Tatapan tajamnya ke arah Marlin yang sedari tadi tertunduk, kini beralih ke Viona yang duduk tak jauh dari tempat sang editor.
“Apa tidak ada penulis berbakat lain yang bisa kau rekomendasi kan kepadaku, hah?!” bentuknya.
Viona pun segera bangun, dan buru-buru menghampiri sambil membungkuk.
“Maaf, Editor Yue. Tapi menurut ku, cerita Marlin cukup bagus, dan...,” bela Viona.
“Cukup!” potong Editor Yue.
Sontak keduanya kembali terkejut hingga nyaris melompat mundur.
“Bawa temanmu ini keluar. Aku tak mau lagi melihatnya. Biar dia cari editor lain saja,” titah Editor Yue.
“Tapi...,” sahut Marlin.
Namun, Viona yang tahu bagaimana situasinya, meminta Marlin untuk segera menjauh dari tempat tersebut.
“Kau keluar dulu saja. Naskahmu biar aku yang bereskan,” bujuk Viona.
“Tapi aku harus menjelaskan alur ceritaku agar dia paham,” sahut Marlin.
Viona tak menyahut, dan terus menarik temannya itu pergi hingga di depan lift.
“Tunggu aku di kantin bawah. Akan ku bawakan naskahmu ke sana. Menurutlah, oke,” seru Viona.
Marlin pun dengan lemas masuk ke dalam lift yang terbuka. Namun saat dia berbalik hendak menekan tombol tutup, seseorang terlihat berdiri di depannya.
“La' Grande, yah. Aku pernah iseng membaca tulisanmu itu. Kurasa, yang harus kau lakukan adalah merubah sudut pandangmu,” ucap seorang wanita usia sekitar tiga puluhan.
Marlin yang mendengar itu, sontak hendak melangkah keluar, namun dengan cepat wanita tersebut melangkah masuk dan menekan tombol tutup, dan kembali melangkah keluar.
“Jika sudah kau ubah, bawalah padaku,” ucapnya tepat sebelum pintu lift tertutup, lengkap dengan sebuah kedipan sebelah matanya.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
“Apa menurutmu sudut pandangku ini salah?” tanya Marlin.
Dia tengah berbaring di ranjang kamarnya, sembari menempelkan ponsel ke telinga.
“Aku tidak begitu tau yang dimaksud Editor Liu padamu, tapi sepertinya ucapannya perlu kau lakukan. Dari yang ku tau, beliau sangat jeli dalam memberi penilaian, tapi juga mau memberi masukan dengan cara yang benar,” jelas Viona dari seberang sambungan.
“Kalau dia begitu bagus, kenapa kau memberikan naskahmu pada Editor Yue yang galak itu? Kau ini temanku bukan sih?” keluh Marlin.
“Hei, bukan begitu. Editor Liu itu eksklusif. Direktur tidak akan mengijinkan beliau menangani penulis pemula seperti mu,” sanggah Viona.
“Apa benar begitu?” tanya Marlin.
“Hei, Marlin. Kau tidak sedang mencurigai ku yang tidak-tidak bukan? Ingat, kita ini sudah berteman sejak lama. Apa aku pernah berbuat curang padamu, hah?” terka Viona.
“Entahlah. Mungkin aku hanya sedang merasa begitu lelah hari ini,” elak Marlin.
“Hehm... Baiklah. Sebaiknya kau beristirahat sekarang,” seru Viona.
“Kalau begitu, ku tutup teleponnya. Selamat malam,” sahut Marlin.
“Selamat malam,” ucap Viona, tepat bersama bunyi telepon terputus.
Marlin nampak menjatuhkan tangannya yang sedari tadi terus menempel di pipi.
Helaan nafasnya terdengar jelas, dan terasa begitu berat.
“Sudut pandang? Bagian mana memangnya yang salah?” gumamnya.
Dia pun memejamkan mata, sampai perlahan dengkuran halus mulai terdengar dari mulut gadis tersebut.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Keesokan paginya, mentari nampaknya tak mau kompromi dengan sosok gadis yang masih terlihat nyaman di tempat tidur dan enggan beranjak.
Silau seolah sengaja mengusik mata Marlin yang masih rapat terpejam.
Terdengar suara ketukan keras di pintu, dan seketika membuat Marlin mau tak mau membuka matanya dengan malas.
“Marlin, cepat bangun! Kau akan tertinggal jadwal wawancara nanti,” teriak seorang wanita dari balik pintu.
“Sebentar lagi, Bu. Aku masih mengantuk,” sahut Marlin malas sambil kembali menarik selimutnya, menutupi hingga kepala.
Namun sedetik kemudian, sontak Marlin pun membuka matanya lebar-lebar dan membuka selimut yang menutupi wajahnya.
Ibu? Bukankah aku tinggal sendiri di kota ini? Batin Marlin.
Dia pun segera bangun dan hendak keluar kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melewati lemari pakaian.
Marlin pun lalu menoleh perlahan, dan mencoba melihat dengan jelas apa yang sekilas ia lihat.
Gadis itu nampak terpaku melihat pantulan dirinya di cermin, hingga membuatnya membeku sesaat. Dan tiba-tiba...
AAARRRHHGGGGG.....
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰
Suara pekikan Marlin benar-benar keras menggema di seluruh rumah itu, hingga ketukan kembali terdengar dan seseorang memanggilnya.
“Marlin, kau sedang apa teriak seperti itu, hah? Cepat keluar dan bersiaplah. Sarapan hampir siap,” seru wanita di luar.
“I... Iya.... Iya, Bu,” sahut Marlin yang masih tergagap.
Dia kembali memandangi dirinya di cermin. Tangannya menjulur meraih wajahnya, dan mulai meraba kepalanya tersebut.
Dia mencoba berpaling ke kanan dan kiri, meringis, dan bahkan melihat lubang hidungnya, seolah memastikan bahwa itu adalah dirinya.
“Sejak kapan rambutku keriting begini? Ini lebih mirip mie. Dan gigiku... Ah... Kenapa tiba-tiba ada pagar besi di sini? Tinggal ditambah kaca mata tebal, sudah sangat sempurna sekali menjadi si culun dalam cerita,” gumamnya sembari terus menelusuri wajahnya.
Marlin pun lalu berjalan gontai keluar kamarnya, dan mendapati sang ibu benar-benar ada di sana sedang membuatkannya sarapan.
“Bu, sejak kapan ibu datang?” tanya Marlin seraya menghampiri sang ibu di dapur.
Namun bukannya dijawab, dia justru mendapatkan serangan sendok sayur di kepala.
Peletak!
“Aawwww....,” pekik Marlin.
“Ada apa denganmu? Pagi-pagi sudah aneh. Apa kau lupa kalau ibu tinggal di sini sejak lama, hah?” sahut Ibu Marlin kesal.
“Tidak mungkin, Bu. Jelas-jelas aku ingat kalau aku pindah ke kota sendirian. Aku...,” oceh Marlin.
“Sudah cukup. Ini sudah sangat siang dan kau harus segera berangkat untuk wawancara di La' Grande Inc. Mengerti?” sela Ibu Marlin.
“What?!” pekik Marlin.
Dia terkejut bukan main mendengar nama perusahaan tersebut.
“Tu... Tunggu dulu, Bu. Apa kata Ibu tadi? La' Grande?” tanya Marlin memastikan.
“Kau juga kaget bukan? Jarang ada lulusan sekolah menengah seperti mu lolos seleksi awal. Jadi, bergegaslah karena ini kesempatan yang sangat langka,” tutur Ibu Marlin
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
“ Ini gila. Aku pasti bermimpi” gumamnya.
Dia tengah berdiri memandangi sebuah gedung pencakar langit dengan logo mahkota Julius Caesar yang sangat besar di atasnya.
“Ehm... permisi, Nona. Apa benar ini La’ Grande? Perusahaan desain interior terbesar di Metropolis?” tanya Marlin memastikan.
Namun, bukannya langsung mendapatkan jawaban, dia justru mendapatkan tatapan aneh dari wanita yang ia tanyai.
Marlin pun sontak ikut memandangi dirinya, dan menatap orang itu kembali dengan kebingungan.
“Semua orang tahu logo di atas gedung itu,” ucapnya kemudian.
Dia pun berjalan begitu saja meninggalkan marlin, sambil menggumamkan sesuatu.
“Dasar orang aneh” ucapnya.
Marlin pun seketika terkesiap mendengar hal tersebut. Dia kembali mengeluhkan penampilannya yang berubah sangat drastis hingga nyaris tak terlihat seperti dirinya.
“Ada apa denganku? Penampilan ini benar-benar membuatku terlihat sangat aneh,” keluhnya.
Dengan kesal dan enggan, Marlin pun kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung.
Rasa penasarannya membuat gadis itu melanjutkan untuk mengikuti wawancara, sambil melihat kondisi di dalam sana. Meskipun sebenarnya dia masih bisa menerima keadaannya saat ini.
Saat memasuki lobi, dia dibuat begitu takjub dengan interior di dalam gedung itu.
“Benar-benar sempurna. Ini persis seperti yang ku tulis di ceritaku,” gumam Marlin.
Tatapannya terus mengedar, mengelilingi setiap sudut area tersebut.
Hingga seseorang memberi pengumuman, bahwa peserta wawancara perusahaan harus segera menuju ke tempat tes.
Nampak beberapa orang dengan mengenakan setelan jas maupun blazer hitam dengan kemeja putih di dalamnya, berjalan menuju ke arah yang sama.
Semua nampak duduk mengantri di depan ruang tes. Raut wajah tegang dan penuh harap terlihat jelas dari masing-masing kandidat.
Kecuali Marlin. Dia ingat betul siapa manajer personalia di La’ Grande, dan itu membuatnya justru sangat antusias dan penasaran.
“Jika benar ada orang itu di dalam sana, fix, aku benar-benar sedang bermimpi dan harus segera bangun,” gumamnya.
Tak lama, nomor tes Marlin disebut. Gadis itu kemudian masuk dengan beberapa kandidat lain yang juga disebut.
Marlin kebetulan masuk di urutan terakhir, dan itu bisa membuatnya bisa melihat orang-orang yang ada di dalam sana diam-diam.
Ada sekitar lima orang penanya, dan satu orang pemandu wawancara. Namun, tatapan Marlin terhenti pada salah satu pewawancara yang mengenakan kemeja merah maroon tanpa dasi, lengan yang digulung sedikit keatas, dengan gaya rambut menyamping dan sedikit ber-layer pirang.
Apa mungkin itu Daanish? Batin Marlin saat melihat sosok yang terasa familier dipikirannya.
Dia yang tak fokus dengan jalannya pun, tak sengaja membentur punggung kandidat lain yang berhenti tiba-tiba di depannya, dan membuat dia sedikit terpental mundur sembari mengaduh kaget.
“Aduh,”keluhnya sembari mengusap hidungnya yang sedikit terasa nyeri.
Sontak semua orang pun menoleh ke arah gadis yang membuat gadis tersebut.
“Nomor tiga puluh tiga, ada apa ribut-ribut?” tanya pemandu wawancara.
Marlin yang tersadar dari pikirannya pun seketika berdiri sejajar dengan kandidat lain dan berusaha menjelaskan.
“Maafkan saya. Saya sedikit gugup hingga tak memperhatikan jalan,” ucap Marlin mencoba sealami mungkin.
Semuanya pun kembali diam dan satu persatu kandidat ditanya mengenai motivasi dan juga keunggulan apa yang mereka miliki untuk kemajuan perusahaan.
Saat para kandidat menjawab satu persatu, Marlin nampak berpikir keras akan alasan apa yang bisa dia buat agar bisa melewati tahap tersebut.
Namun rupanya, gerak gerik Marlin diperhatikan seseorang dari seberang sana.
Hingga tibalah giliran gadis itu menjawab.
“Nomor tiga puluh tiga, silakan perkenalkan dirimu, dan berilah jawaban mu sendiri,” seru si pemandu wawancara.
Marlin terlebih dulu membetulkan posisi dan juga blazer hitamnya. Sebuah tarikan nafas diambilnya sebelum memulai gilirannya.
“Terimakasih atas kesempatan yang sudah diberikan kepada saya. Perkenalkan nama saya Marlin Yang. Pendidikan saya seperti yang sudah tertera di sana, hanya lulusan sekolah menengah atas dan mengambil kursus desain serta jahit. Motivasi Sa...,” ucap Marlin penuh percaya diri.
“Hanya lulusan sekolah menengah dan pendidikan informal, tapi kau berani mendaftar kemari, bersaing dengan lulusan terbaik universitas? Apa ini tidak terlalu merendahkan kami sebagai perusahaan besar?” tanya seorang pewawancara.
Marlin nampak tersenyum dan menatap ke arah pemandu.
“Bolehkah saya ambil sesuatu dari dalam tas?” tanya gadis itu.
“Maaf, tapi Anda tidak diperbolehkan menyerahkan dokumen tambahan saat tes berlangsung,” ucap si pemandu.
“Tenang saja. Ini bukan dokumen tambahan, tapi jawaban atas pertanyaan tadi,” jawab Marlin tegas.
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰
“Bu, aku pulang,” seru Marlin saat masuk ke dalam rumah.
“Kau sudah pulang? Makanlah. Kau pasti lapar,” ucap sang Ibu.
Gadis tersebut menanggalkan tas yang dia bawa dan meletakkan map binder yang juga ia tenteng sedari pagi ke sana kemari di atas sofa ruang tamu.
Ibu Marlin menyodorkan semangkuk penuh nasi hangat, dan beberapa lauk di atas meja makan.
Dia pun lalu ikut duduk berhadapan dengan sang putri yang baru saja pulang wawancara.
“Bagaimana tesnya? Kau tidak membuat kesalahan saat menjawab bukan?” tanya Nyonya Yang penasaran.
Marlin nampak kesulitan menelan karena ibunya terus bertanya. Dia cepat-cepat meraih segelas air yang sudah tersedia dan meneguknya hingga tandas.
“Ah... Leganya,” gumamnya.
Dia pun meletakkan lagi gelasnya ke atas meja.
“Bu, aku sedang makan. Pertanyaan mu itu banyak sekali,” lanjut Marlin mengeluh.
“Ish... Anak ini. Ibu kan hanya penasaran saja. Dasar pelit,” keluh Nyonya Yang balik.
“Belum ada pengumuman, Bu. Katanya nanti akan diinformasikan melalui E-mail masing-masing,” jawab Marlin.
Dia kembali mengambil lauk yang ada, dan menyuapkannya ke mulut sendiri.
Ibu Marlin tidak lagi bertanya dan membiarkan anak gadisnya menghabiskan makan malamnya.
Namun, saat Ibunya hendak bangun dari tempat makan, Marlin teringat akan sesuatu dan membuat Ibunya kembali duduk.
“Bu, sejak kapan La' Grande ada?” tanya Marlin.
“Maksudmu berdiri?” tanya Ibu Marlin balik.
“Ehm... Itu maksudku,” sahut Marlin.
“Entahlah. Setahu ibu, sudah sejak dulu. Bahkan saat ibu masih kecil, perusahaan itu sudah ada, walaupun belum sebesar sekarang. Memang ada apa? Bukannya kau yang sangat tertarik dengan perusahaan itu. Harusnya kau yang lebih tahu dari pada ibu. Aneh sekali,” jawab sang Ibu.
“Benarkah? Hehehe... Sepertinya memang seharusnya begitu,” sahut Marlin yang justru membuat ibunya semakin bingung.
“Sudahlah. Kau makan saja, nanti keburu dingin,” seru sang Ibu.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Sementara di tempat lain, di dalam sebuah kantor dengan dinding sekat kaca, tampak seorang pria dengan kemeja merah Maroon dan rambut ber-layer pirang, tengah duduk di kursinya sambil memandangi sebuah kertas berisi profil calon pegawai.
Disamping profil calon pegawai itu, ada juga sebuah gambar desain tiga dimensi yang dibuat manual dengan pensil.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuat dia menoleh dan mengalihkan perhatian dari atas meja.
“Br*ngsek! Tua b*ngka itu selalu saja ingin membuatku tinggal. Jelas-jelas aku sudah mu*k dengan semua yang ada di sini!” keluh seorang pria yang langsung membanting tubuhnya ke atas sofa, begitu dia datang.
Pria dengan abu-abu dengan celana jeans biru, serta rambut hitam legam nampak begitu kesal akan sesuatu.
“Ada apa lagi memangnya? Apa rencana kakek kali ini? Apa kau akan dijodohkan?” tanya si pria kemeja Maroon iseng.
“Benar-benar si*l! Alasan yang sangat klise hanya agar anak-anak mau tetap tinggal,” sahut pria tadi.
“Really? Dengan siapa? Siapa yang akan menjadi wanita paling beruntung itu, hah? Hahaha...,” kelakar si pria Maroon.
“F*ck you, Daanish!” umpat si pria tadi.
“Hahahaha....,” Daanish justru semakin terbahak mendengar umpatan pria itu.
Dia berjalan menuju sofa dan duduk di hadapan si pria berkaus abu-abu tadi.
“Camilla,” ucap pria tadi.
Hal itu sontak membuat Daanish terdiam, dengan wajah terkejut. Dia bahkan sampai mencondongkan tubuhnya ke arah pria tersebut, seolah menuntut penjelasan.
“Dominic yang memberi tahu ku. Dia selalu menjadi orang yang menyebalkan setelah kakek,” lanjut pria tadi.
“Tunggu dulu, Aiden. Setahuku Camilla itu dekat dengan Ethan. Apa kakekmu tau hal itu?” tanya Daanish.
Pria tadi yang ternyata bernama Aiden, tidak lagi menjawab dan hanya diam sembari merebahkan punggungnya di sandaran sofa, dengan mata yang rapat terpejam.
Sementara Daanish, dia kembali bersandar di sofa, dengan kedua tangannya terentang di atas sandaran.
“Tapi, sepertinya tak ada ruginya jika dengan Camilla. Dia tipe wanita idaman semua pria. Aku rasa itu mungkin jadi pertimbangan kakekmu juga,” Lanjut Daanish.
“Heh... Wanita idaman,” ucap Aiden dengan senyum mengejek.
Dari ekspresinya, nampak ketidak tertariknya pada wanita yang tengah mereka bicarakan.
Tiba-tiba, Aiden membuka mata dan bangun dari duduknya, membuat Daanish ikut menegakkan badan yang sedari tadi bersandar.
"Aku kemari ingin menitipkan ini padamu," ucap Aiden yang meletakkan sebuah amplop coklat di atas meja.
"Apa ini?" tanya Daanish.
"Lihat saja sendiri. aku pergi," sahut Aiden yang melangkah hendak pergi.
“Mau kemana kau?” tanya Daanish.
“Mencari badut,” sahut Aiden asal.
Dia pun pergi meninggalkan Daanish yang hanya bisa geleng kepala dengan sikap pria itu.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Tiga hari telah berlalu, dan kehidupan terus berjalan. Marlin yang saat ini tengah berada di kamarnya, nampak mencoret-coret buku catatan miliknya.
“Hah....,” helaan nafas yang terdengar begitu berat ke luar dari mulut gadis tersebut.
Dia merasa frustasi dengan kondisinya.
“Sampai kapan aku harus ada di sini? Ini memang Metropolis, tapi La' Gande... itu hanya khayalan ku. Sama sekali tidak nyata,” ucapnya sembari mengusap wajah hingga rambutnya ke belakang tengkuk.
Marlin mengangkat kedua kakinya naik ke atas kursi, lalu memeluk kedua lututnya erat.
Tatapannya tertuju pada buku catatan yang baru saja ia tinggalkan.
Rupanya, sudah beberapa saat lalu dia kembali mengingat hal-hal apa saja yang ia tulis dalam ceritanya.
Dia ingin memastikan apakah kondisi aneh ini benar-benar adalah cerita yang dia buat sendiri.
Terlebih, Marlin tak ingin ikut campur dalam jalan utama cerita ini. Bahkan dia sampai berdoa kebalikan dari harapan sang ibu.
Gadis itu tak ingin dirinya diterima di La' Grande, tapi sang Ibu justru sebaliknya.
Tiap hari, bahkan tiap mereka bertemu, Ibu Marlin selalu menanyakan soal pengumuman tes itu.
Di tengah lamunannya, terdengar denting pemberitahuan dari ponsel Marlin.
Gadis itu pun dengan malas meraih benda pipih tersebut, lalu melihat apa yang tertera di layar.
Matanya seketika membola dan dia nyaris terjungkal jatuh dari kursi.
“A... Apa... Tidak mungkin... Ini... Bu.... Ibu...,” ucap Marlin tergagap.
Dia pun bergegas keluar kamar dan mencari keberadaan ibunya.
“Bu... Ibu... Kau dimana?” panggil Marlin keras.
Terlihat ibunya baru saja keluar dari ruang laundry sambil mengelap kedua tangannya yang tampak basah.
“Apa? Ada apa?” tanya sang ibu menghampiri.
“Bu, coba kau baca. Apa ini sungguhan?” tanya Marlin.
Dia pun memberikan ponselnya kepada sang ibu. Wanita paruh baya itu pun lalu memeriksa hal apa yang membuat sang putri bertingkah aneh sampai berteriak.
“Selamat, Anda diterima di La' Grande... Ini berita bagus, Nak,” ucapnya sambil terus membaca keseluruhan e-mail yang dikirimkan perusahaan.
Wajahnya nampak bahagia, karena akhirnya sang anak tidak lagi menjadi pengangguran, yang kesana kemari membawa sketsa desainnya.
Berbeda dengan Marlin yang nampak kurang senang dengan berita ini.
“Kita harus cari pakaian yang bagus untukmu berangkat ke kantor senin depan,” ucap sang Ibu antusias.
“Tidak usah berlebihan, Bu. Dari pada pakaian baru, sepertinya yang aku perlukan saat ini adalah udara segar,” sahut Marlin.
Gadis itu berbalik dan berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan sang ibu yang masih terus memperhatikan isi e-mail tadi.
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!