Kerasnya kehidupan kota, tidak membuatnya menyerah begitu saja. Pahit ditelannya seorang diri, demi memberikan kehidupan manis untuk si buah hati. Pekerjaan kasar pun ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya itu.
Dia Viona, seorang ibu tunggal yang berjuang melawan kerasnya kehidupan. Tak kenal lelah, tak kenal waktu dia bekerja demi mempertahankan senyum Merlia--anak semata wayangnya.
****
"Viona! Tolong, bersihkan toilet guru terlebih dahulu, ya! Biar Merlia yang membersihkan toilet anak-anak, akan ada kunjungan hari ini," titah kepala sekolah SMA Guna Bhakti kepada Viona saat hendak membersihkan toilet bersama anaknya.
Viona mengangguk tanpa banyak bicara, ia mendatangi sang putri yang turut bekerja membantunya di sekolah tersebut. Merlia harus melakukan itu agar tetap bisa bersekolah.
"Lia, Ibu harus membersihkan toilet guru. Jika sudah selesai sebaiknya kau segera pergi menuju kelas. Tak perlu menunggu Ibu," pamit Viona sembari mengusap kepala putrinya.
Entah mengapa, ia merasa berat membiarkan Merlia bekerja sendirian. Padahal, mereka berada di tempat yang sama.
"Baik, Bu. Ibu tidak perlu khawatir," katanya sambil tersenyum manis. Senyum yang selama ini hanya dia tunjukkan kepada sang ibu.
"Berhati-hatilah! Jika sesuatu terjadi kau harus berteriak atau berlari mendatangi Ibu. Kau mengerti?" ingat Viona sembari menggenggam tangan putrinya.
Merlia menganggukkan kepala pasti, mereka berpisah. Keadaan sekolah masih sepi, belum banyak siswa yang datang. Hal itu dilakukan oleh ibu dan anak setiap hari. Datang lebih awal untuk membersihkan lingkungan sekolah.
Merlia menoleh ke belakang, ia merasa beberapa pasang mata sedang mengawasi. Tak ada siapapun yang terlihat.
"Mungkin hanya perasaanku saja. Sudahlah, sebaiknya aku segera bekerja," katanya seraya berjalan menuju lorong kamar mandi siswa untuk dibersihkan.
Sekali lagi, Merlia merasakan kehadiran beberapa orang. Ia menghentikan langkah, menoleh ke belakang. Tetap sepi, tak ada siapapun di sana karena belum ada siswa yang datang.
Merlia menghela napas, melanjutkan langkah menuju gudang penyimpanan alat-alat kebersihan. Ia menggantung tas di sana, mengambil alat pel dan ember, kemudian pergi menuju toilet.
"Tidak boleh mengeluh, aku harus semangat!" katanya menyemangati diri sendiri.
Ia tersenyum saat bayangan kerja keras Viona melintas dalam ingatan. Tak hanya membersihkan kamar mandi, Merlia pun menyapu halaman sekolah.
"Merlia!" panggil seseorang dari teras kelas saat melihat Merlia sedang membersihkan bagian depan toilet.
Gadis itu tersenyum, melambaikan tangan saja. Kemudian buru-buru melanjutkan pekerjaan untuk menemui temannya itu. Hanya gadis itu yang berteman dengannya, sedangkan yang lain merasa jijik harus berada dekat dengan petugas kebersihan sekolah seperti Merlia.
"Desi! Kenapa kau kemari? Aku belum menyelesaikan pekerjaanku," tanya Merlia mendatangi Desi setelah membersihkan toilet. Dengan membawa sapu lidi di tangan, ia akan menyapu halaman sekolah.
"Hari ini, aku mau izin. Ada keperluan bersama orang tuaku di luar kota. Jadi, aku tidak sekolah. Kau jangan dekat-dekat dengan mereka! Apapun yang mereka katakan, kau sebaiknya menghindar. Aku hanya ingin mengatakan ini kepadamu. Kau harus berhati-hati, Merlia," ucap Desi sedikit berbisik di telinga Merlia.
Gadis berkulit sawo matang itu tertegun. Selama ini dia selalu ingin bergabung dengan kelompok populer di sekolah agar bisa mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Namun, tak pernah ada respon dari ketua gang tersebut. Merlia selalu dijadikan kacung oleh mereka sebagai syarat untuk bergabung.
Melakukan banyak pekerjaan, tapi terkadang Desi datang dan membawa Merlia pergi menjauh dari mereka.
"Mereka?" Dahi Merlia mengernyit, menatap bingung pada Desi.
"Iya, mereka!" Desi menegaskan, raut wajahnya tidak main-main. Serius dan ada sesuatu yang besar tersembunyi di sana.
"Baiklah, kali ini aku akan mendengar mu," ucap Merlia, keduanya duduk di bangku taman sekolah sebelum lanjut melakukan pekerjaan.
Desi berpamitan kepadanya saat melihat dua sosok paruh baya dengan penampilan berkelas keluar dari ruang kepala sekolah. Ia berlari sambil melambaikan tangan pada Merlia. Memperingati gadis itu sekali lagi dengan sebuah isyarat agar menjauh.
Merlia berdiri turut melambai, sambil tersenyum ia mengangguk kecil. Lalu, melanjutkan pekerjaannya menyapu halaman sekolah. Keadaan kembali hening, pukul enam tiga puluh pagi. Bunyi gerbang dibuka terdengar sampai ke tempatnya.
Merlia mengangkat wajah, menatap lorong kelas yang kosong. Suasana pagi itu terasa berbeda, padahal hal tersebut sudah biasa bagi dirinya. Ia melilau ke segala arah, tak ada siapapun. Di mana ibunya?
"Ibu!" Merlia membuang sapu dan berlari mencari ibunya ke gedung lain. Gedung khusus untuk para guru yang dipisahkan aula pertemuan.
Merlia berlari melewati lorong panjang kelas-kelas yang berderet. Entah mengapa hari itu semua siswa datang terlambat. Tak satu pun yang datang pagi sehingga sekolah menjadi menyeramkan. Ada ketakutan yang memenuhi ruang hatinya, Merlia berkali-kali menatap ke belakang seolah-olah sedang dikejar beberapa orang.
"Merlia!"
Sebuah panggilan cukup keras menghentak tubuh Merlia. Sontak langkahnya terhenti, ia membeku di tengah-tengah lorong yang panjang nan sepi itu. Desiran angin terasa seperti rayuan maut sang pencabut nyawa. Tirai-tirai kelas yang berterbangan, selayaknya kain yang akan membungkus tubuhnya.
"Ibu!" Suara Merlia bergetar, terlebih saat perlahan-lahan muncul beberapa bayangan dari balik dinding di ujung lorong. Kakinya gemetar, seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan.
"Tidak! Aku tidak ingin ikut dengan kalian!" lirih Merlia seraya mencoba menggerakkan kedua kaki untuk mundur ke belakang.
Tangannya meraba-raba mencari pegangan, matanya tak berkedip mengawasi sosok-sosok yang muncul dengan wajah menyeramkan itu.
"Tidak!" Merlia menggelengkan kepala, terus mencoba untuk pergi menghindari mereka.
Ia berbalik dan mengayuh kaki dengan cepat, tapi ketakutan membuatnya lemah. Sesuatu mencengkeram pergelangan tangan Merlia, membuatnya tak dapat berkutik. Ia dibanting cukup keras hingga kepalanya membentur lantai.
"Argh!" Merlia menjerit memegangi kepalanya yang berdenyut.
Samar ia melihat sosok itu menyeringai dengan kejam. Tangannya yang panjang dengan kuku-kuku yang mencuat tajam. Merlia menggeleng, menangis tanpa suara.
Namun, tangan panjang itu menarik kerah bajunya, menyeretnya di sepanjang lorong dan membanting tubuh Merlia di dalam sebuah bangunan terbengkalai.
"Argh! Di mana ini?" Merlia membuka mata, menatap sekitar. Tak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri.
"Hei!" Ia berteriak, berdiri tertatih mencoba meraih pintu.
"Buka!" Merlia berteriak sembari menggerakkan gagang pintu yang terkunci.
"Buka! Siapapun di sana, kumohon buka pintunya!" Teriakan Merlia menggema di kesunyian.
Brak!
Ia tersentak saat sebuah suara keras terdengar dari belakang tubuh. Merlia berbalik, lagi-lagi tidak ada apapun di sana. Ia kembali kepada pintu, mencoba membukanya.
"Ibu! Tolong Lia, Ibu! Ibu!" Merlia memanggil-manggil ibunya, tapi tak ada sahutan.
Entah di mana dia berada saat ini, ia sendiri tidak tahu.
"IBU!"
Apa yang terjadi pada Merlia?
****
Selamat datang di novel terbaruku, selamat membaca.
Dengan langkah kecilnya yang cepat, peluh membanjiri seluruh tubuh, tangannya berkali-kali menyeka air yang jatuh di wajah. Viona berkejaran dengan waktu di tepi jalan kota metropolitan. Berlomba dengan bus-bus besar, truck bermuatan barang, serta klakson yang saling bersahutan di sepanjang kemacetan.
Dia terlambat pulang karena pekerjaan paruh waktu yang dilakukannya setelah bekerja di sekolah. Langit sudah berubah warna, kegelapan nyaris menyentuh cahaya jingga yang bertabur. Teringat pada anak semata wayangnya yang akan duduk menunggu di tepi jalan. Di daerah tempatnya tinggal ada banyak preman iseng yang suka mengganggu para gadis lemah seperti Merlia.
"Aku harus cepat! Lia pasti sedang menungguku," katanya menambah laju kedua kaki.
Kantong keresek hitam berisi makanan kesukaan Merlia ikut berjibaku di tengah kebisingan sore itu.
Tin!
Suara klakson berbunyi keras dan panjang.
"Hei, hati-hati!" Seseorang dari dalam mobil berteriak saat ia menyebrang dan hampir tertabrak.
Viona berbalik dan membungkuk sopan sembari meminta maaf, kemudian kembali berlari secepat yang dia bisa. Melompati pagar pembatas tanpa ragu agar cepat sampai di kontrakan tempat mereka tinggal. Tubuhnya yang mungil dapat berlari dengan cepat dan menghindari segala rintangan dengan mudah.
"Merlia!" Viona memanggil anaknya ketika kaki menginjak gang sempit menuju rumah.
Biasanya Merlia ada di sana menunggu, bersembunyi di balik sebuah pohon besar di ujung gang. Menghindari pria-pria yang suka mengganggu para gadis.
"Merlia!" Sekali lagi Viona memanggil, tak ada sahutan.
Dia kembali berlari mendekati pohon besar itu, tak ada siapapun di sana. Viona bergegas menuju rumah kontrakan sembari mengeluarkan kunci. Merlia tidak pernah membawa kunci rumah. Para tetangga di sekitar mereka pun terlihat cuek saja. Mereka bahkan jangan bertegur sapa. Tak peduli satu sama lain, hidup dengan urusan masing-masing.
"Merlia!" Dia berteriak sembari membuka kunci rumah. Tetap tak ada jawaban. Suara manis Merlia menyambut panggilannya tak terdengar sore itu.
Brak!
Viona melempar kresek hitam ke sembarang arah. Ia masuk dengan segera mencari keberadaan anaknya. Di kamar, dapur, kamar mandi, dan bagian belakang rumah. Merlia tidak ada di sana.
"MERLIA!" Teriakan suaranya terdengar pilu lantaran bercampur dengan tangis.
Viona berlari keluar, menatap ke kanan dan kiri. Berlari ke Selatan berharap anaknya ada di sana bersama para tetangga, tapi tak satu pun orang terlihat.
"Merlia!" Dia kembali memanggil, air mata sudah menganak sungai membanjiri pipi.
Viona kembali setelah tidak menemukan keberadaan anaknya.
"Bu, ada apa teriak-teriak? Ini sudah hampir gelap, orang-orang tidak ada yang di luar rumah. Jangan berteriak, suaramu sangat mengganggu," tegur salah satu warga dengan judes.
Bukan marah, Viona justru merasa lega ada seseorang yang keluar dari rumah. Ia datangi rumah tersebut dengan harapan dapat menemukan keberadaan Merlia.
"Maaf, Bu. Apa Anda melihat anak gadis saya pulang? Dia tidak ada di rumah," tanya Viona sambil memaksakan senyum meski hati menjerit sakit.
"Anakmu? Sepertinya saya belum melihat dia datang. Hati-hati, nanti anakmu berteman dengan anak-anak nakal yang suka keluyuran malam-malam. Hidupmu itu sudah susah, jangan ditambah susah dengan mengurus anak yang anakl!" sengitnya seraya masuk ke rumah dan menutup pintu.
"Tidak! Anakku tidak seperti itu. Dia anak yang baik, tidak mungkin bermain-main di luaran sana. Tidak! Aku tidak percaya. Aku harus mencari Merlia," ucap Viona pada diri sendiri.
Ia berlari ke rumah, menutup pintu dan kembali menyusuri gang sempit keluar dari pemukiman. Mencari keberadaan Merlia yang entah di mana. Viona tak tahu pasti ke mana kakinya melangkah.
"Sekolah! Aku harus mendatangi sekolah," katanya.
Merlia tidak pernah ke mana pun sepulangnya dari sekolah. Biasanya menunggu Viona di depan sekolah, atau di pohon besar saat ia terlambat pulang. Viona berlari lebih cepat saat melihat penjaga keamanan sekolah berjalan di sekitar gerbang.
"Pak!"
"Ugh! Kau membuatku terkejut, Vi! Ada apa ke sekolah? Hari sudah gelap," katanya sembari menunjuk langit.
"Aku mencari anakku. Merlia ... apakah dia masih di sekolah?" tanya Viona sembari menyeka air mata di pipinya.
Ia berharap gadis itu masih di sekolah menunggunya.
"Maaf, Vi, tapi aku sudah memastikan tak ada siapapun di sini. Aku sudah memeriksa semua tempat, dan memang tidak ada siapapun lagi. Hanya aku dan Parta di sini," ucap penjaga keamanan tersebut dengan yakin.
"Tidak, kau yakin sudah memeriksa semua tempat? Sudah memastikan dengan benar?" tanya Viona lagi tak sabar, tangannya yang memegang besi gerbang menguat seiring hati yang kian dilanda kecemasan.
"Ayolah, Vi. Di waktu seperti sekarang ini kau tahu sekolah melarang siswa berada di sini. Lagi pula, aku tidak melihat Merlia sejak pagi. Ku kira dia tidak masuk sekolah hari ini," ungkapnya dengan dahi mengernyit.
Viona nampak bingung, debaran di dalam rongga dadanya terasa sakit dan sesak. Ia tidak menginginkan kabar buruk. Dia hanya ingin anaknya.
"Tapi Merlia datang ke sekolah bersamaku pagi tadi, dan dia belum kembali ke rumah sampai saat ini," ucap Viona penuh penekanan.
Penjaga keamanan menghela napas panjang. Ia menggeleng pelan karena Viona yang keras kepala.
"Saat aku datang ke sekolah pagi tadi, aku tidak melihatnya sama sekali sampai detik ini. Kau tidak percaya padaku?" Dia menunjuk diri sendiri.
"Tidak, bukan seperti itu. Buka gerbangnya dan biarkan aku masuk. Aku ingin memeriksa sendiri," katanya menatap penjaga keamanan penuh harap.
Laki-laki itu terpaksa membuka gerbang, melanggar aturan sekolah. Viona merangsek masuk, tak sabar ingin memeriksa setiap tempat di sekolah itu. Ia berlari menuju kelas anaknya.
Penjaga keamanan mengikuti dari belakang, tatapan matanya mencurigakan. Ia tidak melepaskan pandangan dari sosok Viona yang berlarian di depannya.
"Merlia!" Dia memanggil sembari membuka pintu kelas dan menyalakan lampu.
Kosong, tak ada siapapun di sana. Hanya ada bangku-bangku yang berbaris rapi di atas meja. Viona tertegun beberapa saat, memikirkan tempat-tempat yang mungkin saja didatangi anaknya.
Viona melirik ke belakang, tatapan aneh itu dia bisa merasakannya.
"Berhenti menatapku seperti itu, dan singkirkan pikiran kotor mu!" bentak Viona membuat si penjaga keamanan tersentak kaget.
Tak menduga jika firasat Viona begitu tajam sehingga bisa mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya.
Viona berbalik dan berlari menuju kamar mandi siswa. Di sanalah terakhir kalinya dia meninggalkan Merlia. Satu per satu pintu kamar mandi dibuka, memeriksa setiap kamar.
"Merlia! Sayang!" Suaranya bergetar setiap kali menyebut nama sang anak. Air mata pun turut luruh menghujani pipi.
Bahkan, kamar mandi siswa laki-laki pun tak luput dari pemeriksaannya. Viona membanting tubuh pada dinding, menumpahkan tangisan. Putus asa merundung hatinya.
"Merlia, di mana kau, sayang?" Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menangis layaknya seorang perempuan.
Tak ada hal yang lebih menyakitkan dari pada harus kehilangan sang anak. Dikhianati, diusir suami, Viona masih bisa menahan air mata dan menjadi sosok kuat untuk anaknya. Akan tetapi, kehilangan Merlia, meluruhkan seluruh kekuatan dalam dirinya.
"Aku menemukan ini di bangunan bagian belakang," ucap penjaga keamanan sembari menyodorkan sebuah jepit rambut milik Merlia.
Viona mengangkat wajah, laju tangisnya terhenti melihat benda itu. Ia meraihnya, menelisik dengan saksama.
"Merlia!"
****
Selamat membaca. Jangan lupa jempolnya, terima kasih banyak.
"Di mana kau menemukan ini?" tanya Viona seraya bangkit dari lantai. Semangatnya kembali datang menggebu, harapan kembali hadir memenuhi relung kalbu. Mereka pasti bertemu.
"Di bagian gedung paling belakang, tapi setahuku tempat itu sudah tidak boleh dikunjungi siswa," jawab si penjaga keamanan sembari menatap liar pada Viona.
Tanpa berpikir, wanita satu anak itu bergegas pergi ke gedung paling belakang dari lingkungan sekolah tersebut. Gedung terbengkalai yang tak pernah digunakan, berisi barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai. Kotor dan berdebu.
Langkah kaki wanita itu tidak terlihat ragu sama sekali. Sudah banyak bahaya yang dia hadapi di masa mudanya. Sekarang, demi si buah hati bahaya apapun akan dia hadapi seorang diri.
"Viona! Kau benar-benar bodoh!" Penjaga keamanan menyeringai jahat, menatap sekeliling memastikan tak ada orang lain di sekitar tempat tersebut sebelum menyusul Viona.
Brak!
Viona membuka pintu gudang, debu-debu berterbangan menyambut dirinya. Tempat yang gelap gulita, hanya mengandalkan cahaya-cahaya dari luar yang menyelinap lewat celah.
"Merlia!" Dia memanggil sang anak seraya masuk lebih dalam ke tempat tersebut.
Ada banyak tumpukan bangku dan meja rusak, papan tulis, juga segala macam peralatan yang sudah tak layak pakai. Viona menyusuri tempat tersebut jengkal demi jengkal. Melongo ke bawah, mendongak ke atas, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan keberadaan Merlia.
Namun, sepanjang mata memandang, tak ada siapapun di dalam sana. Mata Viona melebar ketika melihat tas sekolah milik Merlia yang tersembunyi di bawah tumpukan meja. Ia mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk penyambung tangan, meraih benda tersebut dan mendekapnya dengan linangan air mata.
"Merlia!" Viona bergetar, pikiran buruk pun memenuhi kepalanya.
Sekali lagi dia memastikan tempat tersebut, dan menemukan benda lainnya. Satu bagian sepatu Merlia yang terlempar di sudut ruangan. Viona berlari mengambil benda itu. Menyatukan ketiganya dengan hati yang pilu.
"Merlia, di mana kau, sayang?" Air matanya menganak sungai, dia berlari keluar setelah tidak menemukan sosok sang anak.
Tak ingin membuang waktu, Viona ingin mencari ke tempat lain. Namun, sosok bertubuh tinggi besar, menghadang di ambang pintu. Si penjaga keamanan tersenyum mencurigakan.
"Apa yang kau inginkan? Apa kau yang melakukan semua ini terhadap anakku?" hardik Viona dengan kobaran panas di dalam dadanya.
Tangannya mengepal kuat, kedua matanya yang sipit memancarkan kemarahan luar biasa. Viona tak akan pernah mengampuni mereka yang sudah berbuat jahat terhadap anaknya.
"Viona! Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi terhadap anakmu. Sudah aku katakan, sejak pagi dia tidak berada di sekolah. Mungkin pergi bersama teman laki-lakinya. Itu hal biasa, mereka sedang belajar caranya menjadi dewasa. Kau tak perlu secemas itu," ucap si penjaga keamanan sembari melangkah masuk mendekati Viona.
"Merlia diseret ke tempat ini. Jika bukan kau, siapa lagi yang datang pagi-pagi setelah kami?" selidik Viona tanpa beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri meski tahu bahaya sedang mengintai.
"Ayolah, Viona! Merlia datang atau tidak ke sekolah, hanya kau yang tahu. Lagi pula selama ini bukankah kau tidak pernah meninggalkannya? Kenapa hari ini kau bisa kehilangan dia?" tanya penjaga keamanan sembari terus mengikis jarak antara mereka.
Kepalan tangan Viona semakin menguat, selama ini penjaga keamanan itu cukup bersikap baik terhadap mereka. Entah apa yang terjadi hari ini, yang pasti Viona akan menyelidiki nya sampai tuntas.
"Viona, sudah lama sekali aku memendam rasa terhadapmu, tapi kau sangat menjaga jarak. Malam ini, izinkan aku menyentuhmu sedikit saja. Aku berjanji akan bersikap lembut terhadapmu," katanya merayu.
Viona memicingkan mata tak senang, dia sudah tidak mempercayai laki-laki dan bersumpah untuk tidak menikah lagi seumur hidupnya.
Melihat Viona yang tidak bergerak menjauh, dia mengira wanita itu pun menginginkannya. Sebagai seorang janda yang sudah lama tak merasakan sentuhan, dia yakin Viona merindukan semua itu. Senyumnya bertambah lebar seiring jarak yang kian menipis.
Dengan berani, dia menjulurkan tangan hendak menyentuh Viona. Namun, hal yang tak terduga dari respon wanita itu, Viona meraih tangannya. Meremas jemari besar itu hingga membuatnya memekik kesakitan.
"Argh! Le-lepaskan tanganku!"
Viona memutar tangan tersebut ke belakang tubuh penjaga keamanan. Ia yang dikuasi amarah dan rasa cemas melampiaskan semuanya kepada laki-laki itu. Viona menghantam punggung si penjaga keamanan cukup keras hingga tubuhnya menabrak kursi-kursi yang bertumpuk.
"Argh!"
Tak puas, Viona menerjang, menendang sekali lagi. Dia tidak suka terhadap laki-laki yang memandang lemah wanita. Tubuh besar laki-laki itu terjatuh di lantai, darah merembes dari sela-sela bibirnya. Viona berjalan mendekat, kali ini dia terlihat bagai malaikat pencabut nyawa yang akan melenyapkannya dari muka bumi ini.
"Jangan! Maafkan aku, Viona. Tolong, aku benar-benar meminta maaf kepadamu," ucapnya mengangkat tangan ke depan menolak kedatangan Viona.
Namun, bukan persetujuan, tapi Viona justru menginjak kaki laki-laki itu dengan sangat keras.
"Argh!"
Sendi-sendi yang terasa sakit karena hantaman tadi, bertambah ngilu ketika Viona menginjaknya.
"Di mana anakku?" tanyanya dengan rahang mengeras dan gigi-gigi yang saling beradu satu sama lain.
"Ti-tidak tahu. Sungguh, aku tidak tahu di mana Merlia. Aku tidak melihatnya sama sekali hari ini. Kumohon percaya padaku," ucapnya lagi memohon.
Apa yang dia katakan memanglah benar. Dia tidak bertemu dengan Merlia hari itu. Viona menelisik wajah berjanggut itu dengan teliti. Ia beranjak dan tanpa mengatakan apapun, pergi dari tempat tersebut. Dia berjalan cepat keluar sekolah, bahkan tidak menyapa Parta, penjaga keamanan yang lain.
"Viona!" Parta memanggil, tapi Viona terus berjalan tanpa menoleh.
Semua orang mencurigakan baginya dan tak ada siapapun yang dapat dipercaya. Viona hanya mempercayai diri sendiri. Ia menyusuri jalan sembari menggendong tas sekolah Merlia. Malam semakin larut, tak ada bintang di langit. Awan hitam bergumpal-gumpal, menghalangi cahaya rembulan. Jalanan sudah mulai lengang, dan kejahatan baru saja akan dimulai.
Duar!
Petir menyambar, rintik hujan turun membasahi bumi malam itu, tapi langkah Viona sama sekali tidak surut. Ia terus berjalan menyusuri tepian, berharap akan melihat sosok Merlia di jalan pulang.
Hujan semakin deras, dan langkah Viona tetap berlanjut sembari menatap ke semua tempat. Di kejauhan, dia melihat keramaian. orang-orang mengerubungi sesuatu di tepi jalan sepi itu.
Deg!
Jantung Viona berpacu dengan prasangka. Dia berlari mendekati kerumunan itu, berharap bukan anaknya di sana. Ia menyingkirkan satu per satu orang-orang yang menghalangi jalannya. Seorang gadis tergeletak tak berdaya di sana dengan pakaian yang compang camping dan ada banyak luka di sekujur tubuhnya.
"Merlia!" lirih Viona dengan hati bergetar.
Air mata berlomba dengan hujan, ia mendekat ingin memastikan penglihatannya tak salah. Viona jatuh berlutut di samping gadis tersebut, menelisik dengan saksama wajah yang hampir tak dikenali itu.
"Merlia!" panggilnya sekali lagi dengan suara yang lirih.
Merlia membuka mata, menatap ibunya.
"Ibu!" katanya lemah.
Viona meraung, meraih tubuh sang anak dan mendekapnya. Menjerit tanpa suara.
"Merlia! Anakku!" katanya dengan hati yang menjerit sakit.
Desas-desus orang-orang yang berkerumun tak ia pedulikan.
"Ibu, aku kedinginan," bisik Merlia.
Viona mengangguk-anggukkan kepala, ia beranjak mengangkat tubuh Merlia seorang diri tanpa meminta bantuan warga. Tak ada siapapun yang dapat menolongnya. Jika mereka ingin menolong, sudah sejak tadi Merlia tidak dibiarkan di sana.
Apa yang terjadi hari ini padamu, akan Ibu cari pelakunya walau harus ke penghujung dunia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!