NovelToon NovelToon

Serunai Cinta Santriwati

#1 awal kisah

Ustadz Pahlevi terlihat masih sibuk membolak-balik lembaran demi lembaran buku absen di depannya. Satu persatu santriwati yang telah selesai melaksanakan shalat ashar berjamaah, mulai berdatangan ke kelasnya tapi ia belum juga mengangkat kepalanya. Cuaca siang yang begitu terik,masih menyisakan hawa panasnya di lantai maupun di atas atap ruang belajar yang terbuat dari asbes. Suasana menjadi gerah. Memaksa peluh-peluh berhamburan keluar di sekujur tubuh.

Para santriwati kompak menatap ke arah Ustadz Pahlevi yang masih saja seperti tidak peduli dengan kedatangan mereka. Beberapa diantara mereka bahkan ada yang terlihat melukis wajah ustadz Pahlevi. Sesekali diringi canda kecil dari bisik-bisik mulut mereka.

Ustadz Pahlevi mendesah panjang sambil menutup absensi di tangannya. Diusapnya pelan keringat yang mengali r di sela-sela tepi kopiahnya. Satu persatu ia mulai memandangi wajah santriwati di depannya. Ustadz Pahlevi meperbaiki posisi kopiahnya.

"Udaranya panas sekali ya," Ustadz Pahlevi tersenyum. Kitab di tangannya mulai dibukanya. Para santriwati serempak membuka kitabnya.

"Halaman berapa?" Tanya Ustadz Pahlevi. Para santriwati saling pandang. Yang lain mulai sibuk membolak-balik lembaran kitabnya. Belum juga ada jawaban dari mereka. Itu membuat Ustadz Pahlevi menghela nafas panjang dengan wajah memperlihatkan ketidaksenangannya sebab para santri di depannya belum juga menjawab pertanyaannya.

"Ini ciri-ciri santri yang setelah pulang dari kelas,kitab-kitabnya langsung dimasukkan lemari. Gak diulang-ulangi pelajarannya," kata Ustadz Pahlevi.

"Halaman dua puluh satu,Ustadz,"

Ustadz Pahlevi melirik. Suara serak Fahira Hidayati membuyaran keheningan setelah untuk beberapa saat para santri hanya terdiam menundukkan kepala mereka mendengar kata-kata Ustadz Pahlevi.

"Nah, ini dia santri favorit saya. Tapi sayang jawabnya telat." Fahira Hidayati tersenyum malu sembari menundukkan kepalanya.

"Ok, kalau begitu, buka halaman dua puluh satu. Dan ingat selanjutnya saya tidak mau kalian lupa lagi halaman pelajaran kalian. Saya tidak suka," sambung Ustadz Pahlevi.

"Minimal kalian bisa tandai batas pelajaran kalian dengan bolpoin. Terus terang, saya merasa tersinggung dan merasa tak dihargai."

Suasana masih terasa menegangkan. Imbas dari kata-kata Ustadz Pahlevi, membuat santri hanya bisa terdiam. . Suasana yang menurut Ustadz Pahlevi tidak akan mendukung suasana taklim di kelas itu. Dia harus segera mencairkan suasana.

Ustadz Pahlevi mendesah panjang. Ia menatap satu persatu wajah-wajah santri di depannya. Mereka terlihat tegang menundukkan kepala mereka.

"Emh....., tapj kayaknya ada yang kurang ya. Tenggorokanku seperti terasa gatal. Kira-kira ada yang tahu penyebabnya?" kata Ustadz Pahlevi mencoba mencairkan suasana. Para santri yang menyadari nada bicara Ustadz Pahlevi mulai terdengar santai, mulai berani mengangkat kepala mereka. Mereka juga segera mengerti maksud dari Ustadz Pahlevi. Mereka sudah mengerti betul karakter Ustadz Pahlevi. Seorang yang humoris dan menyenangkan. Tapi jika sudah marah, ia tak segan-segan mengeluarkan santri dari kelasnya dan tak memperbolehkannya lagi masuk ke kelasnya.

"Kopi pahit,Ustadz!" jawab mereka serempak. Mereka serempak bangkit hendak ke dapur untuk membuatkan Ustadz Pahlevi kopi. Ustadz Pahlevi tersenyum.

"Ya jangan semuanya dong. Bagaimana kalau saya yang memilih," kata Ustadz Pahlevi memberikan penawaran. Mereka semua menganggukkan kepala sambil melirik ke arah dua orang teman mereka yang selalu menjadi langganan Ustadz Pahlevi ketika ingin dibuatkan kopi. Mereka yakin, dua orang itulah yang akan dipilih Ustadz Pahlevi.

"Karna hanya kamu yang ingat pelajaran pada hari ini, maka saya minta kamu yang akan membuatkan saya kopi," kata Ustadz Pahlevi. Serempak mereka meoleh ke arah Fahira Hidayati. Ternyata kali ini pilihan Ustadz Pahlevi jatuh pada Fahira Hidayati. Merekapun kemudian duduk kembali.

Fahira tersenyum malu. Mukanya memerah. Jantungnya berdegup kencang ketika namanya disebut Ustadz Pahlevi. Dengan langkah pelan dan kepala yang tertunduk, Fahira Hidayati melangkah menuju pintu.

"Eh, tunggu sebentar,"

Fahira Hidayati menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya perlahan dengan kepala tetap tertunduk.

"Ingat, gulanya sedikit saja ya. Seukuran ujung sendok," kata Ustadz Pahlevi sambil mempraktikkannya dengan dua jarinya tanpa melihat ke arah santriwati itu. Santriwati itu tersenyum menganggukkan kepala dan segera melangkah ke dapur.

"Baik, selagi menunggu teman kalian yang lagi buat kopi, silahkan kalian berdoa,"

Merekapun mulai berdoa. di ruangan lain juga mulai terdengar bersahut-sahutan doa yang sama.

Sementara di dapur, Fahira Hidayati masih tertegun sendiri menatap gelas di depannya. Jantungnya masih berdegup kencang. Akhirnya hijab yang selama ini menutupinya dari pandangan Ustadz Pahlevi tersingkap juga. Harapannya untuk dikenal Ustadz idamannya akhirnya menjadi kenyataan. Dia berharap, mulai hari ini, dialah yang akan sering disuruh Ustadz Pahlevi membuatkannya kopi.

Sebelumnya ia dan teman-temannya yang lain selalu merasa kecewa dan iri. Setiap kali Ustadz minta dibuatkan kopi, selalu saja yang disuruh adalah orang yang sama. Kalau tidak Baiq Arini, pasti pilihannya jatuh pada Emi. Kata teman-temannya yang lain, Ustadz Pahlevi selalu meminta keduanya membuatkannya kopi, selain karna keduanya cantik, keduanya juga punya mental di atas rata-rata santri yang lain. Dan yang tak kalah penting adalah keduanya bisa membuat kopi sesuai keinginan Ustadz Pahlevi. Dia tak menapikan bahwa keduanya memang memiliki paras yang cantik. Tapi jika hanya terkait rasa kopi, dia juga bisa membuatnya.

Terdengar langkah kaki seperti menuju ke arah dapur . Fahira Hidayati terbuyar dari lamunannya dan buru-buru menyeduh kopi di depanya.

"Kopinya sudah selesai?" Terdengar kata-kata setengah berbisik dari arah belakang. Fahira Hidayati menoleh. Tampak Amelia, teman dekatnya berdiri di doan pintu dapur.

"Sudah," Jawab Fahira Hidayati sambil meletakkan gelas di atas nampan. Ia kemudian menarik tangan Amelia agar mendekat ke arahnya.

"Ada apa sih," kata Amelia setengah kaget. Fahira Hidayati meletakkan jari telunjuknya di bibirnya memberi isyarat agar Amelia diam. Fahira Hidayati kemudian mengambil sendok dan memberikannya kepada Amelia.

"Cicipilah sedikit. Aku takut rasanya gak sesuai permintaan Ustadz," kata Fahira Hidayati setengah berbisik. Takut terlalu lama di dapur, Amelia segera meraih gelas dan mengambil seukuran satu sendok dn mencicipinya.

Amelia mengangguk, meletakkan gelas dan mengacungkan jempolnya ke arah Fahira Hidayati.

"Bagus! Mantap!" kata Amelia. Setelah itu ia langsung mengangkat gelas dan memberikannya kepada Fahira Hidayati. Fahira Hidayati hanya tersenyum walaupun degup jantungnya masih terasa keras membayangkan reaksi Ustadz Pahlevi ketika nanti mencicipi kopi buatannya.

"Ayo, cepatlah! Ustadz sudah terlalu lama menunggu," kata Amelia sambil melangkah lebih dulu di depan Fahira Hidayati.

Keringat bercucuran dari sela-sela jilbab Fahira Hidayati saat langkah kakinya mulai memasuki ruang kelas.

Melihat itu, Ustadz Pahlevi menyingkirkan beberapa kitab di atas meja untuk memberi sedikit ruang untuk segelas kopi yang dibuatkan untuknya. Setelah itu ia mempersilakan Fahira Hidayati untuk meletakkannya.

"Aku kira kamu sudah jadi bubuk kopi," kata Ustadz Pahlevi sambil melirik ke arah jam di tangannya. Fahira Hidayati hanya tersenyum sambil menyeka keringat yang berkumpul di bawah hidungnya. Setelah itu ia membalikkan badannya hendak duduk.

"Sebentar dulu. Aku mau mencoba kopi buatanmu." Ustadz Pahlevi memperbaiki posisi duduknya. Fahira Hidayati membalikkan tubuhnya pelan dan segera menundukkan kepalanya.

"Kamu santri baru ya di kelas ini," Kata Ustadz Pahlevi." Fahira Hidayati tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil sesekali melirik ke arah teman-temannya. Berharap teman-temannya membantunya menjawab pertanyaan Ustadz Pahlevi.Ditambah lagi dengan serak yang terasa di kerongkongannya membuat ia tidak percaya diri menjawab pertanyaan Ustadz Pahlevi.

"Sudah lama Ustadz," Serempak para santri menjawab. Fahira Hidayati menghela nafas pelan dan Ustadz Pahlevi menatap wajah santriwati yang masih menundukkan kepalanya. Ustadz Pahlevi mengernyitkan dahinya.

"Santri lama." Ustadz Pahlevi memperhatikan Fahira Hidayati dengan seksama. Dia merasa heran karna selama ini tidak pernah melihat gadis itu.

"Berapa tahun kamu ikut kelasku," Tanya Ustadz Pahlevi.

"Sudah dua tahun, Ustadz." Lagi-lagi para santriwati serempak menjawab. Fahira Hidayati yang ditanya lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

Ustadz Pahlevi menganggukkan kepalanya. Ia kemudian mengambil kopinya dan mulai menyeruputnya perlahan.

"Aaagh....Sudah dua tahun ikut kelas ini? kemana saja kamu, kenapa aku tidak pernah melihat kamu. Jangan-jangan kamu duduknya paling belakang terus ya," Desah Ustadz Pahlevi sebelum menyeruput kopinya untuk kedua kalinya. Ia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Fahira Hidayati.

"Kamu tahu kenapa aku menyuruhmu membuat kopi dengan sedikit gula?" Fahira Hidayatii tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Karna senyummu sudah terlalu manis. Nanti kalau gulanya terlalu banyak, kopinya kemanisan."

Tiba-tiba suara riuh terdengar dari mulut para santriwati. Sedangkan Fahira Hidayati semakin menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat memerah. Beberapa kali ia mengusap peluh di wajahnya.

"Sst.....,sudah,sudah..., bercanda sedikit biar gak tegang. Tapi jangan terlalu ribut, takut kelas sebelah terganggu," Ustadz Pahlevi menoleh ke arah Fahira Hidayati di sampingnya.

"Maaf ya, ayo kamu boleh duduk," kata Ustadz Pahlevi mempersilahkannya duduk.

Suasana yang tadinya riuh perlahan menjadi sepi.Ustadz Pahlevi kembali membuka absensi di samping kitabnya.

"Oh ya, nama kamu siapa?" tanya Ustadz Pahlevi kepada Fahira Hidayati.

"Fahira Hidayati," kata Fahira Hidayati dengan suara pelan hingga nyaris tak terdengar. Ustadz Pahlevi lebih memajukan telinganya. Tapi tetap tak bisa mendengar dengan jelas ketika Fahira Hidayati itu mengulang menyebut namanya.

"Fahira Hidayati, Ustadz," kata santriwati serempak. Ustadz Pahlevi menganggukkan kepalanya sambil memperhatikan deretan nama di dalam absen. Satu persatu nama di dalam absen ditandainya dengan bolpoin hingga terhenti pada nama Fahira Hidayati. Melihat ke kolom yang lain, nama Fahira Hidayati termasuk daftar santri di kelasnya yang nilainya di atas rata-rata. Ustadz Pahlevi pun merasa heran dengan dirinya sendiri karna seharusnya, santri yang nilainya bagus akan selalu jadi topik ingatan bagi siapapun guru yang mengajarnya.

Ustadz Pahlevi kemudian mulai membuka pelajaran. Para santri khidmat mengikuti pelajaran.

Tak terasa matahari sudah tinggal separuh di ufuk barat. Suara lantunan shalawat penanda datangnya waktu maghrib sudah terdengar dari arah masjid pesantren. Ustadz Pahlevi pun mengakhiri pengajiannya. Para santriwati segera bergegas kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap melaksanakan shalat magrib berjamaah.

Fahira Hidayati terkejut. Di pintu utama asrama, Ustadz Pahlevi, dengan langkahnya yang penuh wibawa seperti sedang menuju ke arah mushalla. Para santri yang lainpun mulai terdengar riuh dengan kedatangan Ustadz Pahlevi yang tak biasanya. Tapi dengan teratur mereka segera turun dari mushalla dan berbaris memberi penghormatan kepada Ustadz Pahlevi. Mereka saling pandang ketika Ustadz Pahlevi naik ke atas mushalla.

"Loh, kalian kok masih di bawah. Kalian sudah shalat?" tanya Ustadz Pahlevi ketika menyadari para santriwati masih ada di bawah.

"Belum, Ustadz!" kata mereka serempak.

"Terus, apalagi yang kalian tunggu. Ayo naik, ntar waktu keburu habis,"

Merekapun segera naik masih berbisik satu sama lain. Baru kali ini Ustadz Pahlevi masuk asrama putri dan mengimami shalat santri putri.

****

Waktu terus berlalu. Para santri pun telah menyelesaikan rutinitas mereka melakukan shalat isya berjamaah. Beberapa santri yang bertugas mengambil makanan untuk makan malam santri, sudah meletakkan keranjang-keranjang plastik besar berisi kotak makanan di teras mushalla. Para santri mulai berkerumun memeriksa keranjang-keranjang menurut kamar masing-masing.

Amelia masih berdiri di teras mushalla. Dia nampak sedang memperhatikan sekelilingnya. Tinggal satu kotak makanan yang masih tersisa di dalam keranjang. Itu milik Fahira Hidayati. Tak biasanya ia pergi sebelum mengambil jatah makanannya.

"Hadijah!" Amelia memanggil seseorang yang lewat tak jauh di depannya. Orang yang dipanggil Hadijah datang menghampiri.

"Apa kamu melihat Fahira?" tanya Amelia.

Hadijah mengernyitkan dahinya. Seperti sedang mengingat-ingat.

"Kayaknya di kamar deh. Tadi aku lihat dia buru-buru turun dari mushalla. Coba kamu cek, mungkin saja dia lagi kurang sehat," kata Hadijah. Amelia menganggukkan kepalanya. Ia kemudian mengambil jatah makanan Fahira Hidayati dan melangkah menuju kamar Fahira Hidayati.

#2

Fahira Hidayati masih menatap ke langit-langit kamar dengan tubuh masih terbaring. Entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin segera ke kamarnya dan berbaring. Ada sebuah perasaan yang membuatnya tidak nyaman terlalu lama di mushalla sehabis shalat isya tadi. Dia merasa ingin segera membaringkan tubuhnya dan mengajaknya hanyut merasakan perasaan tak menentu dalam hatinya.

Fahira Hidayati menghela nafas panjang dengan pelan. Seolah-olah ingin sedikit melonggarkan rasa sesak dan degup jantungnya. Suara riuh santri yang sedang menikmati makan malam di teras masing-masing kamar sama sekali tak mengalihkan pandangan dan pikirannya dari menatap langit-langit kamar.

"Benarkah ini jatuh cinta atau hanya sekedar luapan kebahagiaan hanya karna bisa ditegur Ustadz Pahlevi? Batinnya. Hanya teguran biasa, yang biasa dilakukan seorang Ustadz. Hanya disuruh buat kopi. Itupun hadiah karna dia seorang yang mengingat pelajaran pada hari itu. Mungkin malam atau cicak yang bertengger di plafon akan menertawainya kalau dia tahu apa yang ia pikirkan saat ini.

Tapi baginya ini berbeda. Sangatlah berbeda. Sudah terlalu lama ia tersiksa sebagai pengagum rahasia. Walaupun ia sedikit kecewa sang ustadz selama ini tidak menyadari keberadaannya selama dua tahun ia ikut kelasnya. Ia pun sangat sadar diri, Ustadz Pahlevi sudah berkeluarga. Tapi melihat Ustadz Pahlevi dan membayangkan ia menjadi kekasihnya merupakan kenikmatan yang besar. Ia malah tak pernah memikirkan hasil akhirnya. Apakah Ustadz Pahlevi akan tahu perasaannya atau tidak. Menjadi pengagum rahasia membuat dunianya seperti pelangi.

"Fahira?" Astaghfirullah Aladzim..., Aku cari kemana-mana ternyata kamu ada di sini." Amelia berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat Fahira Hidayati terbaring terlentang sendiri i dl dalam kamar. Fahira Hidayati tersenyum walaupun tadi ia sedikit kaget dengan kemunculan tiba-tuba Amelia. Namun ia tetap berbaring. Melihat itu, Amelia meletakkan kotak makanan di samping pintu dan melangkah mendekati Fahira Hidayati.

"Kamu sakit?" Tanya Amelia sambil menempelkan telapak tangannya di kening Fahira Hidayati. Fahira Hidayati menghalau pelan tangan Amelia dari keningnya.

"Enggak. Aku cuma pingin berbaring saja. Badanku pegel semua," kata Amelia. Ia bangkit dan melangkah mengambil kotak makanan dan meletakkannya di dekat Fahira Hidayati.

Fahira Hidayati mendesah.

"Aku masih kenyang, Mel. Bisa minta tolong taruhkan di atas lemari? Atau, kalau kamu masih lapar, gak apa-apa, kamu bisa ambil jatah makananku,"

"Aku sudah kenyang. Aku simpankan saja dulu. Siapa tahu nanti kamu lapar," kata Amelia. Ia meraih kotak makanan dan meletakkannya di atas lemari.

"Ya, udah, Aku ke kamarku dulu ya. Ingat, jangan lupa makan," kata Amelia sambil membalikkan badannya dan keluar dari kamar. Fahira Hidayati tersenyum.

Fahira Hidayati kembali mendesah panjang. Jatungnya kembali berdegup. Wajah Ustadz Pahlevi kembali hadir dalam pikirannya. Kembali mengulang saat-saat mengesankan sore tadi saat taklim. Kali ini ia menyembunyikan seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia tak ingin teman-teman sekamarnya mengganggunya saat mereka masuk ke dalam kamar. Ia ingin menghabiskan waktu bersama bayangan Ustadz Pahlevi. Ia ingin mengucapkan sendiri dengan pelan kata-kata indah yang diucapkan Ustadz Pahlevi kepadanya. "Kopinya tak perlu pakai gula karna senyum manismu yang akan membuat kopinya manis". Terserah. Apakah kata-kata itu hanya sekedar guyonan atau mungkin diucapkan juga oleh Ustadz Pahlevi untuk Baiq Arini atau santri lain. Yang jelas, kata-kata itu untuknya hari itu. Dan malam ini, ia tak ingin membatasi dirinya dengan waktu. Selama matanya belum diserang ngantuk, malam ini akan menjadi sajak panjang percintaan imajinya dengan Ustadz Pahlevi. Ia berharap, hayalan dan ingatannya yang panjang tentang sosok Ustadz Pahlevi, akan terbawa sampai ke alam mimpi.

Malam beranjak larut. Suara lolongan anjing terdengar menggema di keheningan malam, beradu dengan suara ngorok di dalam ruangan. Bintang gemintang begitu leluasa menebarkan kilaunya di langit tak berawan. Fahira Hidayati masih tetap terjaga. Kantuknya tak kunjung datang memaksa matanya untuk benar-benar terpejam lelap. Tubuhnya pun sudah tak nyaman lagi di bolak-balikkan kesana kemari sejak isya tadi. Kini ia memilih bangun dan melangkah keluar kamar.

Fahira Hidayati memejamkan matanya ketika angin spoi-spoi mencium lembut rambut dan wajahnya. Hatinya semakin syahdu. Lebih-lebih saat memandang jauh ke atas sana. Ke arah bintang gemintang yang berserakan seperti mutiara di atas kaca. Sungguh indah. Semuanya seperti menerobos ke dalam hatinya dan menambah rasa syahdu yang ia rasakan. . Fahira Hidayati tak henti-henti tersenyum. Ia tak sadar. Kini bibirnya bergerak membisikkan sajak-sajak indah gubahan hatinya.

Duhai....Adakah rasa yang pernah aku rasakan

selain rasa indah ini?

Bahkan, malam yang gelap inipun

seperti istana Ratu Bilqis.

Tapi aku ini adalah jelmaan Zulaikha

yang terkesima dengan ketampanan Yusuf.

yang merasa mustahil mendapatkan cintanya dan memilih jalan maksiat.

namun, Duh, berutungnya Zulaikha

karna pada akhirnya berhasil mendapatkan Yusuf.

Lantas, bagaimana aku dengan Pahlevi?

Sampaikanlah isyarat perasaanku ini padanya, Wahai Penguasa langit. Sampaikanlah..,walau hanya lewat mimpi.

Suara jam dinding berdentang nyaring menunjukkan pukul empat. Bersamaan dengan itu, terdengar kresek suara speaker dari arah mushalla santri putra. Tak beberapa lama kemudian suara khas KH Muammar tedengar mengalun merdu menyentak hening malam. Tak berselang lama, Suara keras bagian keamanan pondok, mulai terdengar membangunkan para santri.

Satu persatu penghuni kamar terbangun dengan berat. Fahira Hidayati terlihat menutup mulutnya beberapa kali saat uap kantuknya mulai menyerang. Hari ini akan menjadi hari terberat baginya karna sejak isya tadi ia belum juga bisa tidur.

Fahira Hidayati menoleh ke arah samping. Beberapa teman kamarnya masih terlelap dalam tidurnya. Mereka sama sekali tak terusik dengan suara para pengurus asrama yang terdengar ribut memukulkan tongkat kayu ke pintu-pintu kamar asrama. Fahira Hidayati bangkit dan dengan pelan mulai membangunkan mereka satu persatu.

Adzan subuh terdengar berkumandang. Para santri sudah berkumpul di Mushalla untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah. Fahira Hidayati yang ada di shaf paling depan terlihat beberapa kali mengangguk-angguk kecil menahan kantuknya. Salah satu pengurus asrama berjalan mendekatinya. Ia terlihat menepuk-nepuk pundak Fahira Hidayati.

"Fahira, kamu yang memimpin shalat," kata salah satu pengurus itu.

"Saya minta ijin untuk diganti, Ustadzah. Hari ini saya kurang sehat," jawab Fahira Hidayati. Mendengar jawaban Fahira Hidayati, salah satu pengurus itu mendekat ke arah Amelia dan menyuruhnya memimpin shalat berjamaah.

Suasana terlihat hening ketika para santri memulai shalat berjamaahnya. Angin berhembus spoi-spoi. Suara burung-burung gereja yang sudah terjaga dari tidurnya, mulai terdengar riuh bersahut-sahutan. Menyambut datangnya pagi.

#3

"Mau kemana lagi aku carikan kamu uang, Nak. Belanja sekolah kamu saja sepuluh ribu. Pulang sekolah tadi kamu minta lagi lima ribu. Gaji ayahmu di pondok cuma tujuh ratus ribu,Nak. Belum lagi untuk bayar utang di pegadaian setiap bulannya. Ya Allah!"

Terdengar suara tangisan merengek di luar kamar. Ustadz Pahlevi yang baru saja selesai berdoa dari shalat dhuhanya, hanya bisa menghela nafas. Curhatan istrinya yang hampir setiap pagi ia dengar. Selalu saja terdengar saat ia selesai melaksanakan shalat dhuha. Ia yakin ini tidak kebetulan. Istrinya mungkin saja mengintipnya dari celah pintu kamar dan menunggunya selesai berdoa. Ia tahu istrinya sengaja menyindirnya. Tapi ia tidak pernah mau meresponnya. Selain karna ia tidak mau ribut. Ia juga sadar diri dengan keadaannya saat ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengabdi di pesantren milik almarhum gurunya. Dengan gaji yang hanya tujuh ratus ribu setiap bulannya, ditambah lagi dengan kebutuhan rumah tangga yang begitu banyaknya, juga bahan pokok yang terus naik, jelas jumlah itu jauh dari kata mencukupi. Berbagai usaha pernah ia lakukan. Termasuk memelihara ayam petelur dalam jumlah besar dengan modal pinjaman dari dana KUR pegadaian. Namun sayang, hasil penjualan telur habis untuk menyetor hutang setiap bulannya. Kini ayam itupun sudah dia jual dengan harga sangat murah. Sedangkan setoran ke pegadaian setiap bulannya masih tersisa satu tahun lagi.

Tapi ia bersyukur, Zulaikha, istrinya, tak pernah marah. Ia hanya menginginkannya untuk mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Tapi lagi-lagi, tak ada pekerjaan yang cocok buatnya selain mengajar. Sawah pun ia tak punya. Lama-lama ia mulai goyah. Tak ada uang yang datang begitu saja walaupun berdoa atau wirid sepanjang malam di setiap malamnya. Semuanya mesti diiringi dengan usaha.

Ustadz Pahlevi melipat sajadahnya dan meletakkannya di atas meja. Setelah menggantung kopiahnya pada paku yang menancap di pinggir lemari, ia melangkah pelan keluar kamar. Suara tangis anaknya masih terdengar walaupun pelan. Dilihatnya Zulaikha sedang duduk di kursi ruang tamu. Pandangannya tak berkedip memandang tembok di depannya. Ustadz Pahlevi memperhatikan dengan seksama bola mata Zulaikha. Kedua matanya terlihat berbinar-binar.

Ustadz Pahlevi mendesah panjang. Dilihatnya, Winda, putri semata wayangnya dalam keadaan berbaring telungkup di lantai. Ustadz Pahlevi mendekat dan menggendongnya. Dia kemudian duduk di dekat Zulaikha.

Ustadz Pahlevi melirik ke arah Zulaikha. Zulaikha tetap tak bergeming. Tatapan matanya pun tak pernah beralih. Tapi saat Ustadz Pahlevi menyentuh pundaknya pelan, air mata yang telah lama tertahan akhirnya tumpah. Ia mulai sesenggukan.

Ustadz Pahlevi memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya. Ada selembar dua ribu rupiah sisa beli bensin tadi pagi. Ia kemudian mempermainkan uang kertas itu di depan wajah Winda.

"Ayo, kamu beli coklat dulu di warungnya bu Sahirah," kata Ustadz Pahlevi sambil membantu Winda bangun dari pangkuannya. Anak itu menganggukkan kepalanya. Setelah mengambil uang dari tangan Ustadz Pahlevi, ia pun segera berhamburan keluar rumah.

Ustadz Pahlevi kembali mendesah. Kepala Zulaikha diusapnya lembut. Ditatapnya Zulaikha dengan penuh kasih sayang dan menciumnya lembut. Kepala Zulaikha kemudian ia sandarkan di bahunya sembari tangannya terus mengusapnya lembut. Air mata Zulaikha kembali tumpah.

"Sudah, Dik. Bersabarlah, dan maafkan aku yang belum bisa membahagiakanmu," kata Ustadz Pahlevi. Perlahan air matanya berlinang dan mengalir di pipinya. Zulaikha masih sesenggukan dalam tangisnya.

"Sesusah apapun kita, jangan sampai Winda melihatnya. Biarkan dia ceria tanpa harus bertanya-tanya dengan keadaan kita yang sebenarnya. Yang penting kita masih bisa makan. Winda pun kalau sekolah kantungnya tidak pernah kosong. Malah, ia tetap masih bisa nabung setiap harinya", kata Ustadz Pahlevi mencoba menenangkan istrinya.

"Tapi aku malu sama tetangga. Malu sama kak Zubaedah. Hutang kita sudah satu tahun belum juga bisa kita bayar. Padahal dialah tempat terakhir yang bisa kita minta bantuan. Dia memang kakakku, tapi dia juga punya keluarga. Dia juga butuh uang itu," kata Zulaikha dengan sesenggukan.Ustadz Pahlevi kembali mendesah panjang. Tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan lagi. Zulaikha tentu tidak akan percaya jika dia kembali menenangkannya dengan kata-kata yang telah berulangkali dan selalu ia katakan jika Zulaikha mulai menangis.

Dia juga sebenarnya sudah tidak bisa menyembunyikan perasaan malunya kepada kakak ipar dan juga mertuanya. Setiap kali kehabisan beras, Zulaikha selalu meminjam kepada mertuanya. Begitupun saat Winda tak ada belanja buat sekolah, mereka berdua selalu mengirimnya berkunjung ke rumah kakak iparnya. Dengan maksud, kakak iparnya memberikan Winda uang jajan. Syukurlah, kakaknya bukan seorang yang pelit. Tapi seperti yang dikatakan Zulaikha, perasaan malu sudah tidak bisa disembunyikan lagi.

"Insya Allah, nanti malam aku akan pergi ke rumah Ustadz Hamdani. Semoga saja beliau mau memberikan honor mengajarku lebih awal," kata Ustadz Pahlevi sambil tersenyum. Dia berharap kata-katanya itu bisa membuat hati Zulaikha lebih tenang.

"Tapi kita tidak punya beras lagi. Berasnya hanya untuk besok saja. Setoran pegadaian juga sudah jatuh tempo. Jangan sampai petugas mereka mendatangi kita," kata Zulaikha. Suaranya terdengar serak.

Ustadz Pahlevi mengernyitkan dahinya sambil memejamkan matanya keras. Seolah-olah ingin mengusir keruwetan dalam pikirannya.

"Ya Allah, cobaan apa ini yang tidak henti-hentinya. Apa dosa yang pernah aku lakukan sehingga masalahku tak kunjung berakhir, Ya Allah." batin Ustadz Pahlevi menjerit.

Zulaikha mengangkat tubuhnya dari sandaran bahu Ustadz Pahlevi. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap Ustadz Pahlevi dalam. Tangannya juga terlihat meraih tangan Ustadz Pahlevi dan memegangnya erat.

"Ijinkan aku bekerja. Ini satu-satunya jalan keluar kita. Jika hutang kita sudah selesai dan ada sedikit modal untuk usaha, aku berjanji, aku akan berhenti bekerja," kata Zulaikha. Tatapan matanya yang lekat seperti mengunci pandangan Ustadz Pahlevi. Terlihat sekali besarnya harapannya Ustadz Pahlevi mengabulkan permintaannya.

Ustadz Pahlevi melepaskan pegangan tangan Zulaikha. Tatapan matanya penuh binar-binar kekecewaan. Ustadz Pahlevi membuang pandangannya keluar jendela rumah.

"Aku kira kamu adalah wanita yang penyabar. Wanita yang tak bosan memberikan kesempatan pada suaminya untuk mendatangkan kesuksesan suatu hari nanti," kata Ustadz Pahlevi. Nada suaranya bergetar. Antara marah dan kecewa.

"Tapi kapan, Kak. Kapan. Waktu yang tak bisa kakak pastikan itu membuat beban kita semakin menggunung. Sekali saja, jangan perdengarkan aku dengan kata-kata "suatu hari nanti". Itu kata-kata yang selalu keluar dari bibir orang-orang yang terlalu banyak menghayal,"

Belum sempat habis kata-katanya, sebuah tempelengan mendarat di pipi putih Zulaikha. Zulaikha meringis memegang pipinya. Keningnya mengerut. Seperti tidak percaya suaminya tercinta, yang telah ia temani selama kurang lebih sepuluh tahun baru kali ini menamparnya.

 .

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!