"Davis antarkan segera adikmu ke sekolah. Sebentar lagi katanya harus kumpul, karena hari ini merupakan hari perpisahan dan kelulusan sekolah," titah sang mama kepada Davis yang sudah rapi dengan seragam PDL nya.
Harum parfum dari tubuh Davis sudah tercium dan menguar di udara.
"Kapan kamu mau memperkenalkan seorang calon mantu untuk mama? Kamu sudah 26 tahun lho, teman-teman seangkatan kamu sudah banyak yang menikah. Bahkan sejak dua tahun masa dinas, mereka berlomba-lomba mengajukan nikah ke kantor. Bukankah tahun lalu kamu punya gandengan seorang Kowad?" singgung mama Verli, tidak tahan melihat anak keduanya betah membujang padahal teman-teman satu letingnya sudah banyak yang menikah.
"Nanti, Ma. Davis belum ada yang srek. Davis masih mencari. Tenang saja, Davis juga belum 30 tahun. Dan mengenai Kowad yang Mama bilang tadi, Davis mohon jangan bahas lagi, sebab dia sudah menikah dengan seorang anggota Polisi," tukas Davis membungkam mulut sang mama karena dinilainya terlalu bawel masalah jodoh Davis.
"Apa, Bella sudah menikah?" Mama Verli menganga tidak percaya.
"Iya, makanya Davis tidak banyak bercerita lagi tentang dia. Dia sudah kepincut sama Polisi. Lagipula Davis memang kurang suka dengan dia."
"Lalu, kamu sukanya yang seperti apa sih? PNS wanita yang masih fresh juga banyak, bukan, di kantor kamu itu, masa tidak satu orang pun yang naksir kamu?" tukas mama Verli lagi tidak sabar.
"Banyak, Ma. Tapi Davis memang tidak sedang mencari orang yang satu kantor, tolong masalah jodoh, Mama jangan bawel lagi. Biar Davis cari sendiri," balas Davis seraya berlalu menuju kamar Silvani.
"Bilang sama adikmu, katanya harus kumpul di sekolah, tapi masih belum siap juga. Memangnya jam berapa kumpulnya? Kalau masih siang, lebih baik kamu pergi duluan, nanti kembali lagi ke rumah untuk antar dia," ujar Mama Verli masih saja ngedumel.
Davis tidak menyahut, ia segera menaiki tangga untuk menghampiri kamar Silvani.
"Dek, kamu sudah siap belum? Kakak masuk, ya?" teriak Davis sembari mengetuk pintu. Sebelum dipersilahkan, Davis memang suka masuk sembarangan, mungkin karena kamar adiknya sendiri, jadi ia tidak ragu-ragu lagi masuk ke dalam kamar adiknya itu.
"Kak Davis, Kakak sudah siap, ya?" Silvani sedikit terkejut karena Davis sudah ada di kamarnya. Dengan berlilitkan handuk, Silvani keluar dari kamar mandi menuju ranjangnya. Dengan santai, Silvani menuju lemarinya, membuka lemari itu, lalu meraih satu set dalaman baru yang seminggu lalu dibelikan mama Verli via offline. Padahal Silva senangnya beli dalaman via online, katanya bisa dapat banyak karena sedang harga promo.
"Kalau beli dalaman, jangan via online, salah-salah kamu nanti kena tipu. Lebih baik beli offline, nanti biar mama belikan di toko langganan mama, yang bagus sekalian," ujar sang mama suatu hari.
Davis duduk di sofa seraya memperhatikan adiknya yang masih sibuk itu. Seperti kebiasaannya dia memang selalu menunggu Silva di dalam kamarnya.
Sambil bernyanyi lagu yang ceria layaknya anak remaja, Silvani kini mulai melepas handuknya dan memakai satu per satu pakaian dalamnya dengan santainya.
Tanpa sengaja, Davis justru melihat semua dari pantulan cermin meja rias di kamar Silva yang memantul menuju lemari milik Silva. Tubuh Silva bagian atas terpampang nyata, membuat Davis menelan saliva seketika. Matanya tidak berkedip, karena baginya ini kali pertama melihat tubuh remaja yang sangat menantang dan tentunya masih belum terjamah, terlihat jelas dari bentukannya.
Wajah Davis segera melengos, saat Silvani mengakhiri ritualnya. Dia kini sudah menggunakan kaos dalam. Tanpa rasa malu, ia berjalan di depan Davis hanya dengan bra dan kaos dalam, bahkan renda-renda dari bra itu masih terlihat sehingga sembulan sesuatu di dalamnya masih bisa dilihat Davis.
Davis sempat bergetar tadi, saat ia melihat jelas pemandangan alam sang gadis remaja yang masih asli perawan.
"Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota ...."
"Dek, cepat dong, jangan sambil nyanyi dandannya, lama tahu," protes Davis memotong senandung lagu yang dinyanyikan Silva.
"Sabar, dong, Kak. Belum jam setengah delapan, Kakak apel pagi juga belum mulai," balas Silva seraya meraih kemeja putih dipadukan dengan rok rempel panjang warna hitam.
Setelah itu ia memoles tipis wajahnya dengan skin care dan make up, seketika wajahnya berubah merona merah muda, semakin menambah kecantikan wajah Silvani. Pada dasarnya Silvani memang cantik, apalagi kalau sudah dipoles make up.
"Lihat Kak, bibir aku, apakah nggak pink banget. Terus blush on nya nggak tebal, kan?" ucapnya meminta penilaian Davis seraya mengulum bibirnya satu sama lain untuk meratakan pemerah bibir yang sudah dipolesnya tadi.
Melihat Silva berkali-kali mengulum bibir, ada desiran aneh dalam dada Davis, Davis menatap bibir sensual itu, rasanya ingin dia coba lalu dipagutnya.
"Sialan otak ini, kenapa tiba-tiba mesum?" tepisnya dalam hati, heran dengan pikirannya yang tiba-tiba aneh begini.
"Kakak, aku sedang meminta pendapat Kakak, kenapa bibirnya ikut mengulum juga?" sentak Silva membuat Davis tersadar.
"Ya ampun, kaget. Sudah, kamu sudah cantik paripurna. Sekarang, segera keluar," ajak Davis seraya meraih lengan Silva keluar dari kamar.
Satu langkah dari pintu, tiba-tiba tangan Davis ditarik sang mama. "Silva, kamu turun duluan," titah Mama Verli terlihat galak. Silva tersentak dan heran, tapi tak ayal dia patuh juga. Silva segera menuruni tangga.
"Apa yang tadi kamu lihat, Dav?" tanya sang mama dengan mata nyalang.
"Lihat apa, Ma? Davis kan sedang menunggu Silva berdandan."
"Lain kali, jangan berani masuk kamar adikmu tanpa ijin. Kamu harus bisa menjaga privasinya. Kamu paham!" peringat sang mama sembari melotot. Davis heran karena biasanya dia tidak pernah apa-apa jika masuk ke dalam kamar adiknya.
Mama Verli segera turun setelah memperingatkan Davis tadi. Kini giliran Silva yang dicegat.
"Silva, lain kali pintu kamar harus dikunci kalau kamu sedang mandi. Jangan biarkan kakakmu masuk kamar sembarangan. Ingat pesan mama," peringatnya sambil mengacungkan telunjuknya.
Silva bengong, karena baru kali ini mamanya melarang kakaknya untuk masuk kamar.
"Memangnya kenapa, Ma? Kan selama ini Kak Davis selalu masuk kamar Silva?" tukas Silva tidak mengerti.
"Pokoknya ikuti perintah mama. Kamu itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Jadi, jangan sembarangan kamu umbar aurat kamu di depan kakakmu, apalagi dia kakak laki-laki. Kamu juga pakai hijab, harusnya kamu lebih paham tentang aurat," tegur mama Verli tegas.
"Ih, Mama. Tidak apa-apa dong Kak Davis masuk kamar juga. Orang di kamar Silva nggak ada rahasia. Bukankah bagus kalau seorang adik perempuan bisa dekat sama kakaknya? Kak Davis juga masuk ke kamar Silva tidak mengganggu Silva, lagian Kak Davis sengaja masuk kamar Silva, biar dia percaya kalau Silva tidak main pacar-pacaran," sergah Silva membuat mama Verli meradang.
"Diam kamu, mulai sekarang jangan bantah ucapan mama. Kamu patuhi kata-kata mama. Sudahlah, sekarang kamu sebaiknya segera berangkat. Diantar kakakmu," ucap Mama Verli sembari meninggalkan Silva yang kini siap diantar Davis.
"Cepatlah sedikit, nanti kakak yang kesiangan, sebentar lagi apel pagi."
Jam satu siang acara perpisahan di sekolah Silva baru saja selesai. Silva mulai keluar dari gerbang sekolah dengan memegang buket bunga di tangannya, sebagai simbol bahwa Silva merupakan lulusan terbaik sekolah itu.
"Silva, kamu mau langsung pulang? Aku antar, ya," sapa seseorang menawarkan tumpangan. Silva menolehkan wajah ke arah orang itu.
"Ramon! Aku mau naik grab saja, aku baru mau pesan grab," jawab Silva sembari meraih Hp nya dalam tasnya.
"Nggak usah, biar aku antar sampai rumah." Anak lelaki seusia Silva itu terus memaksa untuk mengantar Silva pulang.
Silva jadi serba salah, tapi tangannya sibuk membuka aplikasi grab.
"Gimana?" lanjut Ramon lagi meminta kepastian.
"Tapi, aku sudah mau pesan grab. Kamu duluan saja, aku tidak apa-apa kok," tolak Silva. Silva masih teguh pada pendiriannya, karena ia selalu ingat kata Davis yang melarangnya untuk menolak jika diajak orang lain pulang bersama.
"Ya, sudah, aku tungguin kamu sampai kamu dapat grab saja. Tidak apa-apa, kan?" Ramon meminta persetujuan Silva.
"Nggak apa-apa. Terserah kamu saja, Ram," balas Silva.
"Mon, ngapain lu di sini? Mau nemenin anak pungut? Percuma pandai kalau asal usul tidak jelas," ejek salah satu teman Ramon tiba-tiba.
Silva terhenyak, dia tidak mengerti kenapa Ardo salah satu teman Ramon tiba-tiba mengejeknya anak pungut. Tapi benarkah Ardo bicara seperti itu ditujukan padanya? Untuk meyakinkan, Silva menoleh ke kiri dan kanan depan dan belakang, barangkali Ardo sedang berbicara pada orang lain.
Anehnya, tidak ada seorang pun selain dirinya, Ramon dan Ardo.
"Elu anak pungut, kata mamanya si Risa, elu itu sebenarnya anak pungut. Anak dapat nemu dari pembuangan sampah," tunjuk Ardo ke arah Silva tanpa rasa bersalah.
"Anak pungut?" herannya bingung.
"Iya, elu anak pungut atau anak dapat mulung dari sampah. Emangnya elu tidak dapat cerita dari nyokap sama bokap elu kalau elu anak pungut?" tekan Ardo lagi berapi-api seakan ingin puas.
"Do, apaan sih lu? Siapa yang elu kata anak pungut? Silva? Omong kosong? Dasar tukang gosip," hardik Ramon balik marah pada Ardo yang sudah mengata-ngatai Silva anak pungut.
"Tanya saja sama mamanya si Risa. Tuh, tanya. Mumpung mereka mau lewat sini," tunjuk Ardo menuju pada iringan Risa dan teman-temannya serta mamanya.
Silva menatap ke arah Risa dan mamanya Risa. Benaknya bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba mamanya Risa menyebarkan gosip kalau dirinya anak pungut.
"Tante Riana," panggil Silva seraya menghalangi jalan mereka.
Risa dan teman-temannya serta Tante Riana, alias mamanya Risa menghentikan langkahnya, lalu menatap Silva dengan tatapan tidak biasa.
"Tante Riana ...."
"Ayo, Ma. Kita cepat pulang saja. Aku sudah muak dengan sekolah ini, sekolah kok memihak pada anak yang nggak jelas asal-usulnya. Masa juara umum selalu saja si anak pungut," bisik Risa masih terdengar oleh Silva.
"Risa, apa maksudnya?" Silva ingin mengejar Risa untuk meminta penjelasan, tapi Risa dan mamanya keburu pergi.
Ardo pun demikian, dia pergi sebelum Silva mencari tahu kenapa tiba-tiba mereka mengejeknya anak pungut.
"Silva, gimana, grabnya sudah ada yang nyangkut?" Ramon tiba-tiba bertanya setelah melihat drama ejek anak pungut tadi.
"Belum Ram," jawab Silva mendadak murung.
"Silva, kamu pasti sedih gara-gara diejek anak pungut, kan? Sepertinya mereka itu iri melihat kamu juara umum terus, lalu mereka dengan dengkinya menyebar gosip kalau kamu anak pungut," hibur Ramon.
"Aku juga bingung Ram, kenapa mereka tiba-tiba mengatai aku anak pungut?"
"Biarkan saja. Mereka memang iri sama kamu, karena kamu setiap tahun selalu mendapat juara umum. Selamat, ya, Silva. Kamu memang keren. Lalu, setelah ini kamu mau ambil kuliah di mana? Kamu dapat beasiswa, kan?"
"Entahlah, Ram. Aku juga masih bingung. Biar nanti aku diskusikan sama mama dan papa aku di rumah," jawab Silva dengan pikiran yang masih melayang pada ejekan Risa tadi.
"Dek, ayo." Tiba-tiba sebuah motor berbody besar berwarna hitam berhenti di depan Silva dan Ramon. Silva tersentak, karena kedatangan Davis tidak disadarinya. Pria berseragam loreng itu menatap Ramon kurang suka. Ramon menunduk, lalu memilih mengalah dan menyalakan motornya, kemudian meninggalkan Davis dan Silva setelah ia sempat berpamitan pada Silva.
"Silva aku duluan, ya," pamit Ramon seraya memacu kuda besinya.
"Siapa dia, sepertinya perhatian banget sama kamu?" curiga Davis terdengar posesif.
"Teman aku. Emangnya kenapa? Kakak curiga dia pacar aku?" Silva balik kesal dengan kecurigaan sang kakak.
"Lagian, cara menatap kamu, sangat berbeda. Dia sepertinya menyukaimu," ujar Davis cemburu.
"Biarkan saja, kalau Ramon suka sama aku, itu artinya aku masih menarik di mata cowok," tepis Silva membuat Davis muak, karena Silva seperti membela Ramon.
"Ayo, naiklah. Kamu masih mau membahas teman kamu itu dan tinggal lebih lama di depan gerbang sekolah ini? Ya, sudah, kakak tinggal."
"Kak Davis ih, kejam banget. Nanti bilangin mama, lho," rajuk Silva dengan bibirnya maju beberapa senti. Hal ini membuat Davis gemas ingin mencubit bibir Silva.
"Naiklah. Kita pulang ke rumah," ajaknya kembali lembut. Silva menaiki motor Davis di belakangnya dengan kaki mengangkang.
"Pegangan yang erat," perintah Davis. Silvani memegang besi belakang motor sangat erat sesuai perintah Davis.
"Dek, dengar apa kata kakak, nggak? Pegangan yang kuat, kakak takut kamu jatuh," tegur Davis karena Silva belum juga memegang pinggangnya.
"Aku udah pegangan kok. Kakak, kan nggak lihat," ujar Silva.
"Bukan pegang besi belakang, tapi pinggang kakak. Ayo, pindahkan tangannya," titah Davis tidak mau dibantah.
"Ih, kakak ini. Yang penting sudah pegangan. Ngapain aku harus pegangan di pinggang kakak, aku nggak mau seperti kemarin. Motornya kakak kejut-kejut, dada aku jadi sakit karena membentur punggung kakak," ungkapnya kesal.
"Kamu tidak paham artinya romantis, sih, Dek."
"Apa? Coba ulang sekali lagi?" pinta Silva seperti ada yang janggal dengan ucapan Davis barusan.
"Huh, kakak ini memang omes alias otak mesum. Masa adiknya dikerjain? Nanti tahu rasa kalau tiba-tiba ceweknya cemburu gara-gara lihat aku dibonceng kakak, bisa-bisa aku dituding selingkuhan kakak, padahal bukan," dumelnya. Davis kecewa mendengar omelan Silva barusan.
Davis mempercepat laju motornya mirip orang kesetanan, membuat Silva di belakangnya ketakutan dan terpaksa berpegangan erat pada pinggang Davis. Davis pun senang karena memang itu yang ia inginkan.
Tiba di rumah, kepulangan Silva dan Davis disambut mama Verli yang kebetulan baru pulang juga dari butik miliknya.
"Silva, cepat turun, ngapain pelukan begitu?" sambut Mama Verli dengan mata melotot, karena tidak suka melihat tangan Silva melilit di pinggang Davis.
Silva segera turun dan menyambut tangan sang mama, lalu diciumnya. Mereka bertiga masuk ke rumah membawa pikirannya masing-masing.
Silva segera menuju kamarnya, lalu meletakkan buket bunga dan map yang berisi rapot serta ijasah kelulusan, di atas meja rias.
Silva belum mau membagi kebahagiaannya bersama sang mama yang baru pulang dari butik. Untuk sejenak, Silva membaringkan tubuhnya di kasur. Tubuhnya tiba-tiba merasa lelah.
Ketika terbaring, pikiran Silva kembali terngiang kalimat ejekan yang dilontarkan Ardo maupun Risa tadi. Tiba-tiba Silva merasa sedih, saat membayangkan kalau dirinya benar-benar anak pungut yang diambil dari pembuangan sampah.
"Jika benar aku anak pungut, lalu anak siapakah aku? Tapi itu tidak mungkin. Kata Ramon, Risa hanya iri sama aku sehingga mereka menyebarkan gosip kalau aku anak pungut. Terus kenapa Tante Riana bisa-bisanya menyebar gosip kalau aku adalah anak pungut? Sepertinya meraka memang iri dan tidak suka karena aku selalu dapat juara umum," bisiknya dalam hati. Sejak tadi Silva belum berhenti berbicara di dalam hatinya tentang ejekan yang ditujukan padanya.
Silva pun lamat-lamat terlelap dan larut dalam mimpi indah di siang bolong.
"Ya ampun Silva, sudah mau menjelang Maghrib, kamu masih tidur, pamali anak gadis tidur menjelang Maghrib. Bangun, kamu juga belum ganti baju sejak pulang tadi," omel Mama Verli, saat dirinya sudah berada di dalam kamar Silva.
Mama Verli mencoba menggoyah tubuh Silva yang masih terbujur dan belum bergerak.
"Ampun dah, anak gadis," omelnya lagi seraya menoleh ke arah meja rias di dalam kamar itu. Mama Verli melihat buket bunga serta map besar. Kemudian perempuan paruh baya itu menghampiri meja rias dan meraih buket bunga yang bertuliskan ucapan selamat karena Silva kembali terpilih sebagai murid terbaik dan mendapatkan juara umum di sekolahnya.
Ada sunggingan senyum di bibir Mama Verli, dia bangga dengan Silva yang memang selalu meraih juara umum sejak SMP sampai sekarang. Lalu tangannya kini beralih menuju map yang isinya raport dan laporan prestasi lainnya milik Silvani. Di sana juga ada lembaran bea siswa untuk Silva.
Lagi-lagi Mama Verli dibuat bangga dengan Silva, karena nilai laporan di raportnya bagus-bagus.
"Tidak sia-sia aku sekolahkan ke sekolah yang bagus, ternyata otak Silvani cerdas. Sekarang tinggal mencari universitas yang cocok untuk dirinya," bisik Mama Verli senang.
"Ughhhh."
Lenguhan terdengar dari mulut Silva, menandakan Silva mulai tersadar dan bangun. Tubuhnya meregang merelaksasi setiap otot tubuh yang baru saja diistirahatkan.
"Hoammm." Sepertinya Silva masih ngantuk sampai suara nguapnya terdengar keluar kamar. Dari luar kamar, sudah ada Davis mengintip ke dalam. Tadinya Davis mau masuk ke kamar Silva, akan tetapi urung karena Davis melihat sang mama di dalam.
"Mama. Sejak kapan Mama di kamar Silva?" Silva sedikit terkejut saat melihat sang mama sudah berada di dalam kamarnya.
"Sejak 10 menit yang lalu. Mama sengaja melihat kamu, ternyata kamu sedang tertidur pulas. Sekarang bangunlah, bersihkan diri kamu. Mandi, sholat Maghrib dan makan malam," titahnya. Sementara Silva merasakan matanya masih ngantuk.
"Silva, kamu mendapatkan juara umum lagi dari sekolah? Keren kamu. Lalu, kamu mau kuliah di mana? Kamu pilih salah satu universitas yang memberikan kamu beasiswa saja," saran Mama Verli.
"Iya, Ma. Silva juga masih bingung untuk menentukan. Tapi kalau Mama sudah memilihkan salah satunya, Silva pasti akan memilih salah satu yang Mama pilih."
"Selamat, ya, Silva. Kamu memang tidak pernah mengecewakan jadi anak mama. Mama bangga sama kamu," ujarnya memeluk Silva. Silva terharu, lalu tiba-tiba ucapan Risa maupun Ardo di gerbang sekolah tadi, terngiang kembali membuat Silva kembali sedih.
"Ma, ada yang pengen Silva bicarakan sama Mama, boleh?" Silva bertanya dulu karena merasa ragu.
"Apa? Boleh. Tapi, nanti saja. Kamu bersihkan diri dulu, nanti setelah makan malam kita bicara dan sekalian mendiskusikan kemana kamu akan melanjutkan kuliah," tukas Mama Verli sembari keluar dari kamar Silva.
Silva bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi. Untuk sementara kesedihan mengenai ejekan kedua temannya yang tidak mendasar itu, sedikit terlupakan.
Silva kini sudah wangi dan bersih, tubuhnya sudah segar kembali. Di depan pintu kamar Davis mengetuk pintu dua kali.
"Kak Davis, ada apa Kak? Aku sudah sholat Maghrib kok. Pasti disuruh mama bilangin aku, kan?" tebak Silva sok tahu.
"Nggak, kakak sengaja datang ke kamar kamu untuk memberikan ucapan selamat, karena kamu kembali juara umum di sekolah," ungkap Davis seraya memberikan satu bungkus kado yang dalamnya coklat dan sekuntum bunga mawar.
"So sweet. Kenapa Kakak bisa seromantis ini? Harusnya Kakak memberikan bunga hanya untuk pacar Kakak, bukan sama aku," protes Silva seraya meraih kotak yang isinya coklat.
"Wihhh, coklat matcha. Aku suka aku suka," girangnya, tidak lupa tubuhnya sedikit melompat saking girangnya.
"Terimakasih Kak Davis kesayangan, muach." Silva mencium coklat matcha kesukaannya pemberian Davis.
"Selamat, ya." Tiba-tiba Davis meraih Silva dan merangkulnya lalu mencium kening Silva.
Silva segera menjauhkan tangan Davis dari bahunya. Dia memang biasa dicium keningnya oleh Davis, dan menganggap itu biasa. Tapi, bagi Davis ciuman itu berbeda. Davis merasakan getaran lain. Dia ingin memiliki Silva dan menjadikan bagian hidupnya.
Jika ditanya sejak kapan Davis memiliki rasa yang berbeda terhadap Silva, tentu saja jawabannya sejak Silva beranjak remaja. Silva selalu menggemaskan bukan hanya sekedar gemas kakak terhadap adiknya, melainkan gemasnya seorang laki-laki yang mengagumi atau menyukai seorang perempuan. Sayangnya Silva seakan belum sadar kalau Davis menyimpan sebuah rasa.
"Kita keluar, sebentar lagi mama memanggil. Lagian, papa juga sudah pulang," ajaknya seraya menarik lengan Silva menuruni tangga.
Tiba di meja makan, kedatangan mereka berdua mendapatkan tatap tajam dari Mama Verli. Mama Verli menatap ke arah tangan Silva yang dipegang erat oleh Davis.
"Lepaskan tangan kalian, kalian mau makan atau mau berpegangan tangan?" cegahnya sembari menatap ke arah Silvani tajam.
Silvani dan Davis buru-buru melepaskan tangan mereka masing-masing, lalu menduduki salah satu kursi makan.
"Oh, ya, Ma, Pa. Tadi di sekolah, Ardo teman Silva bilang kalau Silva adalah anak pungut dapat mungut dari tempat sampah. Ardo bilang tahu dari Tante Riana mamanya Risa," celoteh Silva membuat suasana meja makan mendadak panas padahal AC sudah dinyalakan.
Mama Verli dan papa Vero serta Davis kompak saling lempar tatap. Mereka heran kenapa ada orang lain yang berani mengungkap siapa Silva sebenarnya.
"Tidak, jangan dengar ocehan sampah mereka. Sepertinya mereka memang iri saja sama kamu, karena kamu selalu menjuarai juara umum di sekolah," tukas Mama Verli, mencoba mengalihkan kesedihan dan rasa curiga Silva.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!