NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi CEO Lumpuh

Episode 1

Langit mulai berwarna orange di kota metropolitan yang sibuk itu. Jalanan dipadati oleh lautan kendaraan dan pejalan kaki di trotoar, yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah setelah selesai bekerja seharian.

Sedangkan Kristal, gadis cantik berkulit putih itu baru saja akan berangkat bekerja karena mengambil jadwal shift malam.

Kristal melaju dengan motor bututnya, membela jalanan yang padat dengan kecepatan tinggi. Sesekali, dia menatap ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dengan panik. Waktu sudah menunjukkan pukul 17:10, sedangkan jadwal pergantian shift malam pukul 17:00. Yang artinya dia sudah terlambat sekitar sepuluh menit.

Semua ini terjadi karena dia ketiduran. Akhir-akhir ini, dia memang sering merasa kelelahan karena terlalu memaksakan diri.

Kristal menggigit bibir bawahnya dengan panik. Selama enam tahun bekerja di cafe itu, dia tidak pernah datang terlambat karena dia adalah karyawan teladan yang selalu datang tepat waktu.

Decakan kesal keluar dari pemilik bibir pink alami itu. Dia sudah sangat terlambat, tapi harus menunggu sampai lampu merah selesai. Lampu merah di perkotaan memang terkenal memakan waktu lama. Bahkan, pengendara bisa menunggu sambil membeli keripik atau makanan ringan lainnya dari pedagang keliling yang beroperasi di sekitar persimpangan.

Kristal menatap ke sekeliling, netra hitam berbulu mata lentik itu mencari keberadaan polisi di sekitar.

Setelah merasa aman, dengan jantung yang berdetak tak karuan, Kristal melaju menerobos lampu merah dengan gesit tanpa berpikir dua kali. Para pengendara lainnya terkejut dengan keberaniannya, namun ada juga yang mencibir gadis itu karena tidak tahu aturan.

Dia menatap kaca spionnya dengan gugup, ini pertama kalinya dia menerobos lampu merah. Karena sibuk menatap ke arah kaca spion sebab takut dikejar oleh polisi yang sedang bertugas, Kristal tidak menyadari sebuah mobil mewah sedang melaju ke arahnya.

Mata gadis itu membulat lebar saat motornya hampir bertabrakan dengan mobil itu. Namun, sebelum kedua kendaraan itu bertemu, mobil itu langsung membanting stir ke arah kiri dan menabrak pembatas jalan.

Dentuman keras terdengar. Kecelakaan lalu lintas terjadi di jalan itu.

Kristal langsung menghentikan motornya dan menoleh ke arah mobil yang sudah mengeluarkan asap dengan bagian depan yang hancur. Wajahnya melongo karena terkejut. Dengan panik, dia turun dari motor dan berlari menghampiri mobil itu.

Seketika terjadi kemacetan di jalan tersebut. Beberapa orang menghentikan kendaraan mereka dan membantu korban kecelakaan, bahkan ada yang sudah memesan ambulance.

Dalam kurun waktu lima belas menit ambulance tiba di tempat kejadian, membawa korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat.

Kristal, yang merasa bersalah karena menjadi penyebab kecelakaan itu, akhirnya memilih untuk ikut naik ke dalam ambulance. Dia memutuskan untuk bertanggung jawab atas tindakannya, daripada melarikan diri. Dua orang korban kecelakaan terluka parah dalam keadaan pingsan.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, dia tidak berhenti berdoa dan memohon agar kedua korban dapat di selamatkan.

Saat ini Kristal sedang menunggu di IGD dengan cemas, berkali-kali dia merutuki dirinya yang bodoh karena menerobos lampu merah. Andai saja dia tidak menerobos, pasti kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi. Sekarang, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu kabar tentang kedua pasien itu.

Empat puluh menit berlalu, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan akhirnya keluar. Kristal langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri dokter itu.

"Dokter, bagaimana keadaan mereka?" tanyanya, menatap dokter itu dengan intens, sambil menunggu jawabannya.

"Pasien hanya mengalami kecelakaan ringan. Mereka akan baik-baik saja dan kembali pulih setelah menjalani pengobatan." Jelas sang dokter dengan ramah.

Kristal bernapas lega. "Terima kasih banyak, Dok," ujarnya dengan senyuman manis di bibirnya.

"Sama-sama, sudah tugas saya. Apa anda keluarga pasien?"

Kristal menggeleng. "Saya bukan keluarga pasien, Dok. Saya hanya mengantar," jawabnya dengan sopan.

Dokter itu kemudian mengangguk. "Kalau begitu saya akan meminta perawat untuk mengurus proses administrasi sementara. Kita akan menunggu pasien sadar terlebih dahulu."

"Baik dokter."

Saat ini Kristal sedang duduk manis di dalam ruangan pasien yang sederhana. Dia tidak beranjak sedikitpun dari sana setelah kedua pasien itu dipindahkan ke dalam ruangan, yang dilengkapi dengan dua kasur berdampingan.

Meski takut akan dilaporkan, Kristal tetap menunggu mereka sampai siuman. Dia berniat meminta maaf secara langsung, berharap mereka akan memaafkannya dan tidak melaporkannya.

Dua jam berlalu, Kristal yang hampir tertidur di kursi ruangan langsung membuka matanya saat mendengar suara. Matanya berbinar ketika salah satu korban kecelakaan itu sadar. Dia segera memanggil dokter untuk memeriksa pasien. Dan menunggu sampai pemeriksaan selesai.

Setelah dokter keluar Kristal langsung mendekati pasien itu dengan perasaan bersalah. "Pak, saya minta maaf, tadi saya buru-buru," sahutnya sambil menundukkan wajahnya. Dia tidak berani menatap pria itu. Berbagai macam umpatan mungkin saja akan dia terima dari sosok di depannya ini.

Pria itu tampak diam beberapa saat. Dia menyipitkan matanya. Mengamati penampilan gadis yang ada di depannya, dari atas kepala sampai ujung kaki.

"Anak kecil rupanya."

Ucapannya yang terdengar seperti ejekan itu membuat Kristal meremas ujung bajunya dengan kesal. Namun, dia berusaha menahan kekesalannya, karena dia tahu diri dan menyadari kesalahannya.

Kristal memberanikan diri mengangkat wajahnya. Dia menatap pria itu dengan senyuman yang sangat di paksakan. "Pak, umur saya dua puluh empat tahun, saya sudah dewasa," ucapnya memberi penekanan di akhir kalimat.

Sesaat Kristal tertegun menatap wajah pria itu. Meskipun wajahnya pucat dengan perban di dahi, ketampanannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya juga sebelas dua belas dengan para aktor korea, aura "old money" terpancar kuat dari dirinya.

"Sudah dewasa tapi masih menerobos lampu merah. Kalau tidak bisa menyetir dengan benar jalan kaki saja. Jangan membahayakan nyawa pengendara lainnya!"

Ucapan pedas yang di lontarkan oleh pria itu membuat mood Kristal seketika anjlok.

"Maaf, pak. Saya janji akan ganti rugi, tapi kasih saya waktu ya. Saya akan cicil biaya perbaikan mobilnya," Kristal menatap pria itu dengan tatapan memohon.

"Kamu keluar." Sahut pria itu dengan datar, raut wajahnya tampak malas menatap wajah Kristal lama-lama.

Kerutan halus muncul di dahi Kristal. Apa dia baru saja di usir? Pria di depannya ini sebenarnya waras atau tidak? Padahal Kristal sudah berbaik hati ingin bertanggung jawab.

"Saya nggak perlu ganti rugi, Pak? Apa Nggak masalah?" tanya Kristal lagi.

Pria itu tidak menjawab dan malah memilih kembali berbaring sambil membelakangi gadis itu. Dia bahkan terang-terangan menganggap seolah Kristal tidak ada di sana.

Kristal menganga saat ucapannya di acuhkan begitu saja. Mulutnya diam, tapi hatinya berisik. Rasanya Kristal ingin menelannya hidup-hidup, tapi dia harus sabar karena dari awal memang dialah penyebab tragedi ini terjadi.

Episode 2

"Pak, saya beneran tulus minta maaf. Saya janji nggak akan terobos lampu merah lagi. Jadi, tolong jangan laporin saya, ya? Bapak nggak kasian apa sama saya?" Sahut Kristal lagi dengan nada memelas, berharap pria itu sedikit berbaik hati dan mengampuninya. Dia masih terlalu muda untuk mendekam di balik jeruji besi.

"Keluar dan berhenti panggil saya, Bapak. Saya bukan Bapak kamu." Nada datarnya tidak berubah, begitupun dengan posisinya yang tetap membelakangi Kristal.

Pria itu menutup matanya, malas meladeni gadis yang telah membawa kesialan itu. Lagi pula dia juga tidak berniat melaporkan gadis ingusan sepertinya.

Bibir Kristal komat kamit tanpa mengeluarkan suara. Dia benar-benar kesal menghadapi pria menjengkelkan ini, tapi tidak melayangkan protes sedikitpun.

Kristal akhirnya memilih pamit dengan sopan sebelum keluar dari ruangan pasien.

"Itu orang bikin emosi, SHIBAL!" Kristal berteriak di akhir kalimat. Untunglah tidak ada perawat atau pasien yang melewati lorong itu. Bisa-bisa dia di tegur karena membuat keributan di rumah sakit.

"Orang itu tidak waras. Ditawarin ganti rugi nggak mau, sudah begitu wajah dan cara bicaranya ketus sekali. Dasar sok tampan, lebih tampan juga Kim Taehyung! Gadis yang menikah dengan dia pasti sial tujuh turunan!" Omel Kristal tanpa henti.

"Huh! Mimpi apa si aku semalam? Sudah terlambat bekerja, menerobos lampu merah, hampir di tabrak pula. Untunglah aku dan motorku selamat." Langkah Kristal terhenti, mulut dan matanya melebar sempurna setelah menyadari sesuatu.

"Astaga, motorku! Motorku masih ada disana! HUAAAAAA!"

Kristal mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi sambil berlari keluar rumah sakit dengan langkah cepat. Dia sangat ceroboh. Handphone dan dompetnya tertinggal di bagasi motor, bahkan kuncinya pun tidak dia bawa karena panik dan langsung naik ke ambulance.

Tidak punya pilihan lain, Kristal pun terpaksa kembali ke lokasi kecelakaan dengan berjalan kaki.

Sedangkan pria yang sedang beristirahat di dalam kamar pasien itu tampak sedikit kesal. Perkataan kurang ajar dari gadis itu terus terputar di benaknya. Bagaimana tidak? Dia mendengar dengan jelas setiap ucapan tidak sopan yang gadis itu lontarkan padanya. Bahkan suara cemprengnya itu menggema di sepanjang lorong.

"Gadis itu tidak waras."

...•••...

Tuan besar, saya mendapat telepon dari rumah sakit. Tuan muda dan tuan Leo mengalami kecelakaan saat pulang dari kantor!" Pak Tomo berlari masuk ke dalam ruang tamu dengan tergesa-gesa.

"Apa?!" Pria paruh baya itu bangkit dari duduknya dengan panik saat mendengar perkataan dari supir pribadinya.

"Rumah sakit mana? Kita, kita kesana-" Belum selesai dia berbicara, nyeri hebat menghantam dadanya.

Pria tua itu terdiam, memegangi dadanya dengan erat.

"T-tuan besar! Tuan! Pengawal! Tuan besar pingsan!" Pak Tomo berteriak, panik, sambil berusaha mengangkat tubuh tuannya yang terjatuh.

...•••...

"Kay, kata resepsionis, biaya pengobatan kita sudah di bayar oleh gadis yang datang bersama kita," sahut Leo, teman sekaligus asisten pribadinya.

Kay Lyxander, pria tampan berusia tiga puluh lima tahun itu, tertawa sinis. Gadis aneh itu ternyata benar-benar bersikeras untuk bertanggung jawab. Padahal, tanpa bertanggung jawab juga, Kay tidak akan membuang-buang waktu berharganya hanya untuk melaporkan gadis aneh itu.

"Kamu sudah bertemu dengannya?" tebak Leo saat melihat raut wajah Kay yang nampak biasa saja.

Kay mengangguk singkat, pandangannya fokus pada MacBook yang ada di hadapannya. Jari-jemarinya yang kekar sibuk membalas beberapa email penting dari para klien.

Leo mendekat dengan wajah penasaran. "Bagaimana?" tanyanya.

"Rapat besok tetap dilaksanakan, tapi ditunda setelah jam makan siang."

"Ck, bukan itu! Yang aku maksud adalah gadis yang ikut bersama dengan kita ke rumah sakit. Apa dia gadis yang membawa motor itu?" tanya Leo lagi.

Kay kembali mengangguk singkat sebagai balasan.

"Anak itu memang punya nyali yang besar. Kau melihatnya, kan? Dia tanpa takut menerobos lampu merah. Jika saja aku tidak bertindak cepat, nyawanya pasti sudah melayang." Leo menggeleng kepalanya sambil terkekeh geli.

"Tapi, dia cukup tahu diri juga. Dia mengantar kita ke rumah sakit dan membayar biaya pengobatannya. Hm, bagaimana perawakannya? Apa dia masih muda? Dia bilang apa saja padamu?" tanya Leo lagi dengan antusias. Dia cukup penasaran dengan gadis itu.

Kay membanting MacBook miliknya ke atas meja dan menatap Leo dengan tajam. "Lebih baik sekarang kau telpon supir di rumah untuk menjemput kita, daripada membahas gadis itu!" ucapnya dengan kesal. Telinganya sudah panas dari tadi, mendengar mulut cerewet Leo yang tidak berhenti berkicau.

Leo terkekeh. "Aku sudah menelpon supir tadi, Pak Tomo akan tiba sebentar lagi." Tepat setelah ucapan Leo selesai, sebuah panggilan masuk dari handphonenya.

Leo merogoh saku celananya, mengambil handphone lalu mengangkatnya. "Halo? Bapak sudah sampai?"

"Tuan Leo, saya sudah di rumah sakit. Tapi saya bersama tuan besar, tuan besar pingsan setelah mendengar kecelakaan tuan muda!" ujar Pak Tomo di seberang sana.

"Apa?!"

Suara nyaring Leo sontak membuat Kay langsung menatapnya dengan rasa penasaran.

"B-baiklah, kami akan segera kesana." Leo mematikan teleponnya lalu segera menghampiri Kay.

"Ada apa?"

"Tuan besar pingsan setelah mendengar kabar kecelakaan kita. Aku rasa beliau mengalami serangan jantung," jelas Leo dengan khawatir, wajahnya penuh kecemasan.

Kenapa kau mengatakan kecelakaan kita?!" Kay bertanya dengan nada tinggi.

"Aku tidak tahu kalau Pak Tomo akan mengatakannya. Ayo, kita kesana, tuan besar ada di ICU sekarang," jawab Leo, kemudian langsung memasukkan handphonenya ke dalam saku dan mendorong kursi roda Kay.

Kay mengusap wajahnya dengan kasar. Mata obsidian yang tenang itu seketika memancarkan ketakutan. Mendengar Leo yang mengatakan kakek ada di ICU, Kay bisa memastikan kondisinya memburuk.

Keheningan menerjang selama menuju ruang ICU, hanya terdengar bunyi kursi roda yang didorong di sepanjang lorong.

"Bagaimana keadaan kakek?" tanya Kay setelah tiba di depan ICU.

"T-tuan Kay, Anda baik-baik saja?" Pak Tomo bangkit dari duduknya, dia menatap Kay dari atas sampai bawah dengan ekspresi khawatir.

"Kami hanya mengalami kecelakaan ringan. Harusnya Pak Tomo jangan memberi tahu tuan besar mengenai kecelakaan ini!" Ujar Leo menyalahkan.

Pak Tomo menunduk dengan perasaan bersalah. "M-maafkan saya, tuan. Saya panik saat mendengar kalian mengalami kecelakaan, jadi tanpa sadar saya langsung memberitahu tuan besar."

Kay menghela nafas kasar. Menyalahkan Pak Tomo juga bukan pilihan yang tepat. "Kita tunggu saja, semoga kakek baik-baik saja."

Pak Tomo dan Leo mengangguk. Mereka akhirnya duduk, menunggu dokter keluar dari ruang ICU dengan harapan kabar baik tentang kondisi tuan besar.

Leo mencuri pandang ke arah Kay, meski sikap dan wajahnya terlihat tenang, Leo tahu dengan jelas bahwa Kay adalah orang yang paling mencemaskan keadaan tuan besar sekarang.

Satu jam berlalu, seorang dokter akhirnya keluar dari ruang ICU. Sontak semua yang ada di sana langsung berdiri, kecuali Kay.

"Bagaimana keadaan tuan besar?" Tanya Pak Tomo dengan nada khawatir.

Mereka semua diam, menunggu jawaban dari sang dokter dengan wajah cemas.

"Syukurlah kalian membawanya tepat waktu sehingga pasien bisa melewati masa kritisnya. Untuk sementara pasien akan rawat inap sampai masa pemulihan selesai," jelas dokter.

Mendengar kondisi tuan besar dari sang dokter ketiga pun bernapas lega. Hampir saja musibah kembali terjadi.

"Kalian bisa menjenguk pasien setelah dipindahkan. Salah satu dari anggota keluarga boleh ikuti saya," tambah dokter.

Leo menatap ke arah Kay dan langsung dibalas dengan anggukan singkat oleh pria itu.

"Saya yang akan mewakili pasien," ucap Leo.

"Baiklah, mari," jawab dokter.

Kay menatap kepergian Leo dan sang dokter dengan diam. Disaat seperti ini memang Leo lah yang sering mengambil alih karena Kay sulit untuk bergerak menggunakan kursi rodanya.

"Tuan muda, ayo kita ke ruangan tuan besar," ajak Pak Tomo, kemudian mendorong kursi roda Kay dengan kecepatan sedang, menuju ruangan VVIP yang sudah disediakan.

Episode 3

"Paman, maaf Kristal nggak bisa masuk kerja hari ini. Kristal tiba-tiba nggak enak badan."

"Yasudah, jaga kesehatan kamu. Kalau besok masih nggak enak badan cuti aja dulu, anak-anak lain bisa gantiin kamu sementara."

"Nggak usah paman, palingan besok Kristal udah sembuh. Jadwal shift pagi besok siapa aja?"

"Kalau kamu masuk, shift pagi kamu sama julia, shift malam Abram sama Vano."

"Oh, oke paman. Kalo gitu kristal tutup dulu ya."

"Baiklah, jaga kesehatan. Kalau besok masih sakit jangan masuk kerja dulu."

"Iya, paman. Selamat malam."

Kristal menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur setelah memutuskan panggilan dengan Paman Wiliam.

Paman Wiliam, adalah pemilik cafe tempat Kristal bekerja. Dialah yang mengajarinya cara meracik kopi di umurnya yang baru menginjak delapan belas tahun. Setelah training tiga bulan di cafe yang belum lama beroperasi itu, Kristal akhirnya resmi jadi karyawan tetap hingga saat ini dia berusia dua puluh empat tahun.

Kristal sudah menganggap pemilik cafe itu sebagai pamannya sendiri, begitu juga dengan Wiliam yang sudah menganggap Kristal sebagai keponakannya.

"Uang tabunganku habis," keluhnya sambil menatap plafon kosannya dengan hampa. Kosan dengan ukuran 3X3 itu sudah menjadi tempat tinggal Kristal selama enam tahun belakangan.

Setelah mengambil motornya di tempat kecelakaan tadi, Kristal langsung kembali ke rumah sakit dan membayar biaya pengobatan kedua korban menggunakan tabungan simpanannya. Siapa sangka, biaya pengobatan mereka ternyata mampu menghabiskan tabungannya selama setahun.

"Empat jutaku." Kristal merenung sambil memegang kartu ATM nya dengan murung. Dia selalu menyisipkan sedikit uang dari gajinya setiap bulan, jaga-jaga bila dia membutuhkan uang di saat mendesak. Dan siapa sangka uangnya itu lenyap hanya karena dia menerobos lampu merah. Musibah memang tidak ada yang tahu.

Hidup sendirian di kota besar memang sangat sulit, mengingat dirinya yang hanya lulusan SMA, sudah pasti tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Bekerja sebagai barista di sebuah cafe sudah menjadi pencapaian terbesarnya selama ini, namun tidak bisa di pungkiri bila gajinya itu memang tidak cukup untuk membayar kosan, makan, dan keperluan lainnya di kota yang serba mahal ini. Bahkan motor bututnya itu diberikan oleh Paman Wiliam.

Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Kristal memilih untuk segera masuk ke alam mimpi. Dia harus kembali bekerja besok pagi.

"Semoga kesialanku berakhir di hari ini."

...•••...

Pria paru baya itu membuka matanya dengan perlahan. Cahaya lampu yang menyilaukan menusuk matanya. Dia menatap sekeliling dengan pandangan buram.

"Kakek sudah bangun. Leo panggil dokter."

Leo beranjak dari duduknya dan langsung menekan tombol yang ada di samping kasur.

"Kay..."

"Aku disini."

"Kamu baik-baik saja?" Tanya pria paru baya itu dengan suara seraknya.

"Aku tidak apa-apa."

"Dokter sudah datang," ucap Leo saat melihat kedatangan sang dokter.

Kay segera menyingkirkan tangannya agar dokter bisa memeriksa kakeknya dengan leluasa.

"Maaf, aku sudah menghawatirkan kakek."

Saat ini di ruangan hanya tersisa Kay dan kakeknya. Dokter sudah keluar sekitar sepuluh menit yang lalu, sedangkan Leo dan Pak Tomo sedang mengurus administrasi.

"Sepertinya waktu kakek sudah tidak lama lagi, Kay. Segeralah menikah dan punya anak, pria tua ini ingin melihat anakmu sebelum meninggal."

Kay, pria berusia matang itu terdiam. Sudah enam kali kakeknya menyuruhnya menikah dalam setahun, dan sudah enam kali juga dia menolak mentah-mentah. Sekarang, bagaimana dia harus menolak permintaan kakeknya?

Tidak ada alasan istimewa kenapa Kay belum juga menikah di usianya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun. Pria itu hanya tidak menyukai wanita. Dia engan dan benci bersentuhan dengan wanita manapun. Bahkan, ada rumor beredar di perusahaan bahwa CEO Eclipse Group itu seorang impoten.

"Kay, kakek hanya ingin melihatmu hidup bahagia dan melupakan masa lalu." Pria berumur tujuh puluh tahun itu kembali membuka suara.Dia begitu mengkhawatirkan masa depan Kay. Pasalnya dari keempat cucunya, hanya cucu pertamanya ini yang belum berkeluarga.

Kay tersenyum kecut. Pria itu kemudian mengangguk sebagai jawaban. "Aku akan menikah dalam waktu dekat, kakek fokus saja pada penyembuh kakek."

"Baguslah, banyak putri kenalan pembisnis yang bisa kakek kenalkan-"

"Aku akan mencari istriku sendiri. Kakek tidak perlu sudah payah menjodohkan aku," sela Kay.

Kakek Frans akhirnya mengangguk. "Baiklah, selagi kamu mau menikah kakek akan mendukung apapun keputusanmu."

...•••...

"Kau benar-benar akan menikah?!"

Leo hampir saja tersedak minumannya sendiri, saat mendengar ucapan Kay yang mengatakan bahwa dia akan menikah dalam waktu dekat ini.

Pagi ini mereka baru saja keluar dari toko roti karena Kakek Frans berpesan untuk membelikannya roti sebelum berangkat ke perusahaan. Dan disinilah mereka berdua sekarang, menunggu Pak Tomo datang mengambil titipan Kakek Frans. Mereka tidak bisa mengantarnya ke rumah sakit karena berbeda arah tujuan.

Awalnya semua baik-baik saja, sebelum akhirnya Kay membuka suara soal pernikahannya yang membuat Leo shock berat.

Pasalnya pria di sebelahnya ini anti dengan yang namanya berpacaran atau berdekatan dengan lawan jenis, bahkan Leo hampir berpikir kalau Kay itu menyukai pria. Membayangkannya saja sudah membuatnya merinding.

"Aku tidak bisa menolak kalau sudah menyangkut pautkan dengan nyawanya." Kay kembali membuka suara. Netra obsidiannya menatap datar jalan raya yang ada di depan.

"Kasihan sekali," ucap Leo memasang tampang iba.

"Aku tidak butuh belas kasihmu!"

"Ck, aku tidak mengasihani mu, sejak kapan kau butuh belas kasihan? Aku kasihan pada calon istrimu!"

Kay menatap Leo dengan datar, dia diam, memilih tidak menggubris perkataan bodoh Leo.

"Siapa calon istrimu? Apa putri tuan Wilie? Dia terlihat sangat mengagumimu. Kurasa kalian cocok, Miya juga cantik dan pintar."

"Aku tidak suka wanita gila uang."

Leo terkekeh. "Yang benar adalah Aku tidak suka wanita."

Kay melirik Leo dengan tajam. "Sepertinya kau sedikit segang akhir-akhir ini. Aku akan mengubah jadwal mu, untuk bertemu klien di New York besok."

Mata Leo membulat sempurna saat Kay mulai mengotak atik ponselnya. "B-bos! Aku bercanda!"

"Tiket pesawat sudah di pesan."

Leo meneguk salivanya dengan kasar. Bibirnya mulai bergetar dengan panik, wajahnya pucat pasi. Siapa juga yang mau bertemu dengan klien yang berjumlah puluhan itu, tentu saja Leo tidak menginginkannya. Dia bisa mati berdiri disana.

"Bos, anda bercanda, kan?" lelaki itu mulai berkeringat dingin, dia mencoba merebut ponsel yang ada di tangan Kay.

"Kapan aku bercanda denganmu?" sahut Kay dengan datar.

"Aku hanya bercanda! Jangan mengirimiku kesana sendirian. Bukankah aku juga harus hadir di pernikahan mu?" ujar Leo dengan nada putus asa, tangannya masih berusaha meraih benda persegi panjang yang ada di tangan Kay.

"Kau tidak hadir juga pernikahanku tetap berjalan," balas Kay dengan santai, berusaha menjauhkan ponselnya dari tangan Leo.

Aku bahkan duduk di kursi roda tapi kau masih tidak bisa mengambilnya?" Ejek Kay sambil tersenyum miring.

Mendengar ucapan Kay yang seperti tantangan bagi dirinya, Leo dengan gesit mulai mencoba mengambil handphone yang ada di genggaman Kay.

Keduanya sibuk berebutan handphone seperti anak kecil di pinggir jalan.

"PENCURI!"

Teriakan gadis itu membuat kedua pria itu menoleh. Kay langsung melotot menatap Leo yang tersungkur di pinggir jalan akibat tendangan gadis itu.

"Kau! Berani sekali kau merampok orang lumpuh!"

Gadis pemilik bulu mata lentik itu menatap Leo dengan garang, tangannya berkacak pinggang dengan kaki yang terbuka selebar bahu.

Kristal melotot dengan tajam, dia menunjukkan ke arah Leo dengan penyaring kopi yang ada di salah satu tangannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!