NovelToon NovelToon

Black World

The Start of The Endless Nightmares

Hujan rintik-rintik membasahi jalanan Kota Bandung yang sunyi. Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Lampu-lampu jalanan menerangi genangan air yang membentuk cermin-cermin kecil, memantulkan cahaya redup yang hampir tak mampu menembus kabut tipis. Bau tanah basah bercampur aroma kopi dari warung-warung kaki lima yang sudah tutup memenuhi udara dingin malam. Di tengah kesunyian itu, Bacin, seorang polisi muda dengan rambut hitam pendek yang rapi dan wajah tampan yang sedikit tegang, duduk di balik kemudi mobil patroli polisi. Matanya, meskipun lelah, tetap tajam mengamati jalanan.

Jas hujannya yang hitam mengkilap memantulkan cahaya samar lampu mobil. Di usia 25 tahun, Bacin sudah melewati banyak kasus, dari pencurian kecil hingga perkelahian antar geng, tapi bayangan wajah ibunya yang hilang 13 tahun yang lalu masih menghantui pikirannya. Ia masih ingat jelas senyum ibunya, kehangatan pelukannya, dan aroma parfum mawar yang selalu melekat padanya. Hilangnya ibunya tanpa jejak, saat Bacin masih berumur 12 tahun, menjadi luka yang tak pernah sembuh. Keinginan untuk menemukan ibunya, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, adalah alasan utama Bacin memilih menjadi polisi. Mobil patroli melaju perlahan, lampu rotator biru dan merahnya berputar-putar, menerangi jalanan yang gelap.

Bacin mengerutkan kening, sesuatu terasa janggal. Ada ketegangan di udara, lebih dari sekadar kesunyian malam. Sebuah firasat buruk mulai menjalar di hatinya. Hujan semakin deras, dan angin bertiup lebih kencang, seolah-olah berbisik tentang misteri yang belum terpecahkan. Di radio, suara samar-samar siaran berita tentang serangkaian kasus hilangnya beberapa wanita muda di daerah pinggiran kota terdengar sayup-sayup. Kasus ini memang belum menjadi tanggung jawabnya secara langsung, tapi ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang mengingatkannya pada hilangnya ibunya.

Itulah kenapa Bacin memilih menjadi polisi, untuk mencari keadilan dan mencari ibunya, meskipun dia tahu pencarian itu mungkin seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Malam ini terasa berbeda, jauh lebih mencekam daripada biasanya. Mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah tua yang terbengkalai, tampak menyeramkan dalam kegelapan. Ia merasa perlu untuk memeriksa lokasi tersebut. Dan dalam satu sudut pikirannya, ada sebuah panggilan tugas yang tak bisa ia abaikan, sebuah panggilan yang terkait dengan kasus yang mungkin tersembunyi dibalik kesunyian malam ini. Suatu panggilan yang mungkin akan membawanya lebih dekat pada jawaban yang selama ini ia cari.

Bacin mengeluarkan senter dari holster di pinggangnya, cahaya putih terang menerobos kegelapan. Sinar senter itu menari-nari di dinding-dinding rumah tua yang lapuk, menyingkapkan detail-detail mengerikan: bata-bata yang retak dan hampir runtuh, jendela-jendela yang pecah dan kosong, dan bayangan-bayangan yang aneh yang berkelap-kelip di setiap sudut ruangan. Pistol dinas di tangan kanannya terasa dingin dan berat. Ia melangkah perlahan, hati berdebar-debar, kaki menginjak lantai kayu yang berderit setiap kali ia melangkah. Udara di dalam rumah terasa lembap dan dingin, bau apak dan tanah menyeruak ke hidungnya. Suasana mencekam itu semakin diperparah oleh suara-suara aneh yang samar-samar terdengar dari dalam kegelapan—desisan angin, atau mungkin… sesuatu yang lain?

Bacin terus melangkah maju, senternya menyinari setiap sudut ruangan. Rumah itu tampak kosong, kecuali beberapa perabotan tua yang berserakan dan berdebu. Di tengah ruangan, ia menemukan sebuah foto keluarga yang terjatuh dan setengah terkubur debu. Bacin mengambilnya; gambar itu menunjukkan sebuah keluarga bahagia, seorang wanita cantik dengan senyum ramah—wanita yang sangat mirip dengan ibunya—bersama seorang pria dan seorang anak perempuan kecil. Di balik foto itu, tersembunyi sebuah kartu pos usang. Bacin membaliknya. Tulisan tangan yang samar-samar terlihat, tertanggal 13 tahun yang lalu—waktu yang sama saat ibunya menghilang. Ada sebuah alamat di kartu pos itu, alamat sebuah desa terpencil di luar kota.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Langkah kaki itu pelan tapi pasti, semakin mendekat. Bacin merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Ia merapatkan pegangan pistolnya, senternya tetap terarah ke atas, menunggu siapa atau apa yang akan muncul dari kegelapan. Ia berbisik, "Siapa di situ?" Keheningan. Hanya suara angin dan derit rumah tua yang menjawabnya. Namun, suara langkah kaki itu masih terdengar, mendekati Bacin. Ia merasakan hawa dingin yang luar biasa dan sesuatu yang menyeramkan. Ia harus segera menemukan jawabannya dan mengerti apa yang sedang terjadi. Ini bukan hanya sebuah panggilan tugas, tetapi juga petunjuk yang mungkin membawanya lebih dekat pada kebenaran tentang hilangnya ibunya. Aroma tanah basah dan mawar kembali menyeruak ke indra penciumannya, mirip sekali dengan aroma yang dulu selalu melekat pada ibunya.

Langkah kaki itu berhenti tepat di atas kepala Bacin. Keheningan yang mencekam mencengkeramnya. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar di tengah keheningan itu, bercampur dengan suara desiran angin yang menerobos celah-celah dinding rumah tua. Bacin mengangkat senternya, cahaya putih menerangi tangga yang terbuat dari kayu lapuk. Di puncak tangga, di balik bayangan gelap, sesuatu bergerak. Sebuah bayangan samar, tinggi dan kurus, menghilang secepat munculnya. Bacin menggeram pelan, merasa bulu kuduknya berdiri. Ia perlahan menaiki tangga, setiap langkahnya diiringi derit kayu yang nyaring dan menggema.

Di lantai atas, ia menemukan sebuah ruangan kecil yang terkunci. Bacin mencoba membuka pintu, tetapi terkunci rapat. Ia mengeluarkan kunci pas dari saku celananya, dan dengan hati-hati mencoba membuka paksa gembok yang berkarat. Bunyi logam bergesekan terdengar nyaring di ruangan senyap itu, menambah rasa tegang yang sudah mencekam. Setelah beberapa saat berjuang, gembok itu akhirnya terbuka. Bacin mendorong pintu perlahan, cahaya senternya menerangi ruangan yang gelap dan berdebu. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kayu tua yang di atasnya tergeletak sebuah buku harian tua dan sebuah kotak kayu kecil yang terukir dengan simbol-simbol aneh. Di sudut ruangan, ia melihat sebuah foto, foto wanita yang sama seperti di foto yang ia temukan di lantai bawah, tetapi dalam foto ini wanita itu tampak lebih muda, dan bersama seorang pria yang wajahnya sebagian tertutup bayangan.

Di samping foto itu, ada sebuah surat yang terlipat rapi. Bacin mengambil surat itu, membuka lipatannya dengan hati-hati. Tulisan tangan wanita itu tampak gemetar, terkesan ditulis dalam keadaan terburu-buru dan ketakutan. "Bacin sayang," tulis wanita itu, "jika kau menemukan surat ini, berarti aku tidak akan kembali. Aku mohon, jangan cari aku. Ini demi keselamatanmu. Ada sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang… lebih besar dari yang kau bayangkan. Kebenarannya tersembunyi di dalam kotak kayu itu. Lindungi dirimu, nak… maafkan Ibu…" Surat itu berakhir begitu saja, meninggalkan Bacin terpaku dengan rasa takut dan pertanyaan yang membuncah di dalam hatinya. Kotak kayu kecil itu. Buku harian tua itu. Apakah di situlah jawaban dari semua misteri yang selama ini membayangi hidupnya? Ia merasakan sebuah kekuatan misterius dan menyeramkan mengelilinginya, seperti sebuah ancaman yang tak terlihat.

Im Not Afraid of The Dark

"Peraturan ada untuk di langgar." Bacin menatap kotak kayu kecil itu, jari-jarinya gemetar saat meraihnya. Ia membolak-balik kotak itu, mengamati ukiran-ukiran aneh yang menghiasi permukaannya. Simbol-simbol itu tampak asing, tetapi ada sesuatu yang familiar, seakan-akan ia pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya. Dengan napas yang tertahan, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, tersimpan sebuah kalung perak sederhana, berbentuk bulan sabit, dengan sebuah batu kecil berwarna merah tua yang tertanam di tengahnya. Bacin mengangkat kalung itu, membalik-baliknya di bawah cahaya senter.

Batu merah tua itu berkilat samar, memancarkan cahaya redup yang aneh. Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul dalam benaknya: sebuah kenangan samar, kilasan saat ia masih kecil, ibunya mengenakan kalung yang persis sama. Ia mengusap batu merah itu dengan jari, dan sebuah suara samar, seperti bisikan, terdengar di telinganya. "Dia... menunggumu..." Bacin tersentak, matanya membulat. Ia meletakkan kalung itu kembali ke dalam kotak, tangannya bergetar.

"Emak sialan," gumamnya, suaranya terdengar parau. "Kalau nikah lagi, bilang-bilang dong!" Rasa marah dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Kehilangan ibunya sudah menyakitkan, tetapi mengetahui bahwa ibunya mungkin telah menikah lagi dan meninggalkannya tanpa penjelasan membuat hatinya semakin hancur. Ia menyadari bahwa pencariannya mungkin lebih rumit dari yang dibayangkan. Bukan hanya menemukan ibunya, tetapi juga mengungkap rahasia di balik hilangnya ibunya dan siapa sebenarnya pria dalam foto itu. Kalung itu, kartu pos, buku harian, foto keluarga—semuanya seperti potongan-potongan teka-teki yang belum terpecahkan.

Dan di tengah kebingungan itu, Bacin merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan, sebuah kehadiran yang dingin dan mengancam. Udara di ruangan itu terasa semakin dingin, dan suara bisikan samar itu kembali terdengar, semakin jelas kali ini. "Dia... menunggumu... di tempat kita bertemu..." Bacin mengencangkan cengkeramannya pada kotak kayu, merasakan beban berat misteri yang harus ia pecahkan. Ia harus melanjutkan penyelidikan ini, meskipun ia tahu hal itu mungkin lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.

Bacin mencengkeram kotak kayu itu erat-erat, jantungnya berdebar kencang. Ia mengulang pertanyaan di dalam hati, "Siapa kau?". Keheningan. Hanya keheningan yang membalasnya. Suara bisikan itu hilang, meninggalkan suasana mencekam yang lebih intens daripada sebelumnya. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah suara itu ancaman? Atau petunjuk?

Bacin memutuskan untuk tidak mengambil risiko lebih lanjut. Ia mengumpulkan barang bukti: foto-foto, surat, buku harian, dan kotak kayu berisi kalung misterius itu. Dengan langkah cepat dan hati yang masih berdebar, ia keluar dari rumah tua yang menyeramkan itu. Udara malam terasa lebih dingin, hujan semakin deras. Di dalam mobil patroli, ia mengecek kembali barang bukti yang ia kumpulkan. Kalung itu masih terasa dingin di tangannya, dan ia masih bisa merasakan sisa-sisa hawa dingin dari rumah tua itu. Ia merasa teramat lelah, fisik dan mentalnya. Bacin melajukan mobilnya menuju kantor polisi. Di kantor, ia melaporkan penemuannya kepada atasannya, Inspektur Jenderal Hendra, seorang pria tua dengan wajah tegas dan pengalaman yang luas.

Ia menceritakan semuanya, mulai dari penemuan rumah tua yang menyeramkan, foto-foto misterius, hingga suara bisikan yang membuatnya merinding. Ia menunjukkan barang bukti satu per satu, menjelaskan detail yang ia ingat. Inspektur Hendra mendengarkan dengan saksama, sesekali mengerutkan kening. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak penuh dengan kekhawatiran. Setelah Bacin selesai menceritakan semuanya, Inspektur Hendra hanya mengangguk pelan. "Kasus ini... lebih rumit dari yang kita bayangkan, Bacin," katanya, suaranya berat. "Kita perlu menyelidiki lebih dalam. Alamat di kartu pos itu... desa terpencil, bukan? Kita mulai dari sana." Bacin mengangguk, perasaannya campur aduk. Ia lelah, tapi juga tertantang. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan ibunya masih jauh dari selesai, dan misteri di balik hilangnya ibunya jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari yang pernah ia bayangkan. Dan suara bisikan itu… ia harus tahu siapa yang ada dibalik semua ini. Ia harus menemukan jawabannya Bacin bergegas.

Hujan deras masih mengguyur Bandung saat Bacin melajukan mobil patroli keluar dari halaman kantor polisi. Inspektur Hendra, dengan tatapan seriusnya, hanya melambaikan tangan sebagai perpisahan. “Kau pergilah ke sana sendirian, Bacin. Kami akan datang membantu jika dibutuhkan,” kata Inspektur Hendra, suaranya sedikit teredam oleh deru mesin mobil dan guyuran hujan. Bacin mengangguk hormat, rasa tanggung jawab dan kegelisahan bercampur menjadi satu. Ia tak yakin apa yang akan ia temukan di desa terpencil itu, tapi ia harus mencoba. Ia harus menemukan ibunya.

Mobil patroli itu menyusuri jalan raya yang mulai sepi. Lampu mobil menerobos kegelapan malam, menyingkap sedikit demi sedikit pemandangan jalanan yang basah kuyup. Hujan semakin deras, membuat kaca mobil sedikit buram. Bacin menyeka kaca dengan tangannya, sesekali melirik ke arah kotak kayu yang terletak di sampingnya. Kalung perak berbentuk bulan sabit itu terasa dingin, seperti es yang membeku di kulitnya. Ia masih bisa mendengar gema bisikan misterius itu di telinganya, “Dia… menunggumu…” Kata-kata itu menggema di kepalanya, menimbulkan rasa takut dan juga penasaran. Siapakah “Dia” itu? Dan apa yang ditunggu?

Jalanan mulai berganti menjadi jalan tanah yang berlubang-lubang. Mobil patroli itu berjalan lambat, berjuang melewati medan yang semakin sulit. Bacin merasakan getaran kuat dari mobilnya yang menggetarkan tulang-tulangnya. Sekitarnya hanya kegelapan dan rintik hujan yang semakin deras. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya gelap dan sunyi yang terasa mencekam. Desa terpencil itu tampak begitu jauh, seolah-olah terasing dari dunia luar. Bacin menggigit bibirnya, merasakan tegangnya perjalanan. Ia meraba-raba kalung perak itu lagi, suatu rasa dingin dan juga sesuatu yang terasa aneh menyeruak.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, melewati jalanan berlubang dan berkelok-kelok yang nyaris menghancurkan suspensi mobil patrolinya, Bacin akhirnya sampai di Desa Mawar Hitam. Nama desa itu sendiri terasa janggal, menimbulkan perasaan tidak nyaman di dalam hatinya. Hujan telah reda, digantikan oleh kabut tipis yang menyelimuti seluruh desa, membuat suasana semakin sunyi dan mencekam. Rumah-rumah di desa itu tampak tua dan usang, banyak yang tampak terbengkalai.

Kayu-kayu lapuk dan genteng yang retak menjadi pemandangan umum. Sebuah keheningan yang berat menyelimuti desa ini, berbeda jauh dengan hiruk pikuk kota Bandung yang biasa ia kenal. Udara terasa dingin dan lembab, menusuk hingga ke tulang. Bacin memarkir mobil patrolinya di tepi jalan, suara mesin mobil yang mati terasa sangat sunyi di tengah kesunyian desa itu.

Ia keluar dari mobil, merasakan hawa dingin yang semakin menusuk kulitnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Desa Mawar Hitam terlihat seperti desa yang terlupakan, terisolasi dari dunia luar, terkurung dalam kesunyian dan misteri yang membuatnya semakin merasa gelisah. Di kejauhan, ia melihat sebuah rumah yang sedikit lebih besar dan tampak terawat dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya.

Asap tipis mengepul dari cerobongnya, pertanda ada kehidupan di dalam rumah tersebut. Bacin merasakan sebuah firasat yang tak enak, tetapi rasa ingin tahu dan tekadnya untuk menemukan ibunya mendorongnya untuk melangkah maju, memasuki desa yang terasa begitu menyeramkan dan menyimpan banyak rahasia itu. Bayangan ibunya terlintas di benaknya, semakin menguatkan tekadnya.

Black Rose Village

Bacin melangkah dengan hati-hati memasuki Desa Mawar Hitam. Langkah kakinya menimbulkan bunyi gemerisik dedaunan kering di atas tanah yang basah. Ia berjalan menuju rumah yang terlihat sedikit lebih terawat itu, rumah yang mengeluarkan asap tipis tadi. Semakin dekat ia mendekat, semakin jelas ia mendengar suara samar-samar dari dalam rumah—suara seorang wanita sedang bernyanyi, lagu daerah yang terdengar sendu dan sedikit menyeramkan. Kegelisahannya semakin menjadi.

Rumah itu terbuat dari kayu tua, dengan jendela-jendela yang sebagian besar tertutup oleh tirai usang. Di halaman depan, beberapa tanaman kering terlihat tak terurus. Bacin mengetuk pintu kayu yang tampak lapuk. Bunyi ketukan itu terdengar nyaring di tengah kesunyian desa. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang wanita tua dengan wajah keriput dan mata sayu. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, rambutnya yang putih terurai acak.

"Ada apa, Nak?" tanya wanita tua itu, suaranya serak dan lirih.

Bacin memperkenalkan diri, mengeluarkan identitasnya. "Selamat siang, Bu. Nama saya Bacin, saya polisi. Saya sedang mencari seseorang..." Ia ragu-ragu sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "...Ibu saya hilang. Saya menemukan alamat ini di sebuah kartu pos."

Wanita tua itu menatapnya lama, matanya yang sayu seakan-akan menembus jiwanya. Suasana hening sejenak, hanya diiringi oleh suara kicau burung yang terdengar jauh. Lalu, wanita tua itu menghela napas panjang. "Desa Mawar Hitam ini... tempat yang menyimpan banyak rahasia, Nak," katanya, suaranya berbisik. "Banyak yang datang mencari, tapi sedikit yang kembali." Ia menatap Bacin dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran belas kasihan dan juga peringatan.

Bacin menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia mengulangi pertanyaannya, “Dimana alamat ini, Bu? Alamat yang ada di kartu pos?” Wanita tua itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tampak lebih menyeramkan daripada raut wajahnya yang sebelumnya. Ia menunjuk ke arah sebuah jalan setapak yang hampir tak terlihat, tersembunyi di balik semak-semak yang rimbun. Jalan setapak itu tampak gelap dan lembab, seakan-akan jarang dilalui orang.

“Di sana,” katanya, suaranya serak. “Ikuti jalan itu. Tapi… hati-hatilah, Nak. Desa ini… menyimpan banyak rahasia yang lebih baik tak kau ketahui.” Tanpa menunggu jawaban Bacin, wanita tua itu dengan cepat menutup pintu rumahnya. Bunyi pintu yang tertutup itu terdengar sangat keras dan berat, seakan-akan sesuatu yang berat terbanting dengan paksa.

Bacin merasakan bulu kuduknya merinding. Gerakan wanita tua itu sangat aneh, cepat dan penuh misteri, seolah-olah ia sedang menghindari sesuatu atau seseorang. Ia menatap pintu rumah itu beberapa saat, kemudian menoleh ke jalan setapak yang ditunjukkan oleh wanita tua tersebut. Jalan itu tampak semakin gelap dan mencekam di bawah bayang-bayang pepohonan yang tinggi dan lebat. Bau tanah basah dan sesuatu yang menyerupai aroma bunga mawar busuk tercium samar-samar di udara.

Bacin menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Ia harus melanjutkan penyelidikan ini, meski rasa takut dan firasat buruk mulai menguasai dirinya. Ia mengambil langkah pertama, melangkah memasuki jalan setapak yang misterius itu, meninggalkan rumah wanita tua dan desa yang terasa semakin menakutkan.

Bacin melangkah maju, satu kaki di depan kaki lainnya, menyusuri jalan setapak yang semakin dalam mencengkeram kegelapan. Bau mawar busuk semakin menyengat hidungnya, bercampur dengan aroma tanah lembab yang menusuk. Di tengah perjalanan, ia mengusap keringat yang mulai membasahi dahinya. "Kuharap aku bisa menemukan Ibuku," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin yang berbisik di antara pepohonan. "Dan... jodoh yang cantik," tambahnya, sebuah keinginan kecil yang muncul di tengah kegelapan dan keresahannya.

Tiba-tiba, di kejauhan, sekilas bayangan bergerak. Sesosok wanita, cantik luar biasa dengan rambut yang terurai seperti air terjun, tampak berdiri di antara pepohonan. Wajahnya tak terlihat jelas, terhalang oleh bayangan, namun aura kecantikannya terasa begitu kuat, mencuri perhatian Bacin sejenak. Sebelum ia sempat mengalihkan pandangan sepenuhnya, wanita itu lenyap. Seolah-olah ditelan oleh kegelapan hutan. Bacin tertegun. Ilusinya? Ataukah... sesuatu yang lain? Keraguan menggerogoti pikirannya, namun ia mencoba menepisnya. Ibunya lebih penting.

Ia kembali fokus pada tujuannya. Langkahnya semakin mantap, meskipun rasa penasaran atas sosok wanita misterius itu masih membayangi. Lama ia berjalan, hingga akhirnya sebuah bangunan terlihat di kejauhan. Bangunan itu tampak terbengkalai, nyaris runtuh. Temboknya reyot dan berantakan, dipenuhi dengan lumut dan tanaman liar yang merambat. Atapnya sebagian sudah ambruk, memperlihatkan langit yang suram di atasnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dan mencekam daripada sebelumnya. Bangunan itu – tempat tujuannya – menyeramkan dan tidak berpenghuni. Bacin menatapnya, detak jantungnya berdebar semakin kencang.

Bacin menarik napas dalam-dalam, kemudian mendorong pintu kayu bangunan terbengkalai itu. Pintu berderit keras, suara kayu lapuk yang bergesekan menimbulkan sensasi yang tidak nyaman. Debu beterbangan memenuhi udara, menciptakan kabut tipis yang menusuk hidungnya. Bau apak dan sesuatu yang menyerupai darah basi memenuhi rongga hidungnya. Ia menyalakan senter yang dibawanya, cahaya redup menerangi ruangan yang gelap dan penuh dengan puing-puing. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan coretan-coretan yang tak dikenali, beberapa terlihat seperti simbol-simbol aneh. Lantai kayu yang sebagian besar telah membusuk berderak di bawah kakinya.

Di tengah ruangan, Bacin melihat sebuah meja kayu tua yang hampir hancur. Di atasnya, terdapat sebuah buku harian yang tampak sedikit lebih terawat daripada puing-puing di sekitarnya. Bacin mengambilnya dengan hati-hati. Sampulnya terbuat dari kulit, warna coklat tua yang kusam dan usang. Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan yang rapi, namun agak memudar, menyambutnya.

Tulisan itu dimulai dengan tanggal yang membuatnya tersentak: tanggal hilangnya ibunya, 13 tahun yang lalu.

“Hari ini… aku merasa… diikuti. Ada yang mengawasi. Aku harus cepat pergi… Mereka… tidak boleh menemukannya… Aku harus melindungi… (tulisan terputus)”

Bacin membalik halaman demi halaman. Buku harian itu berisi catatan-catatan singkat, terputus-putus, dan seringkali tidak masuk akal. Namun, di antara catatan yang tak terbaca, beberapa kata kunci berulang kali muncul: “Mawar Hitam,” “Bulan Sabit,” dan sebuah nama yang membuatnya jantungnya berdebar kencang: “Nayla.” Nama yang sama dengan nama di foto yang ia temukan di rumah tua di Bandung.

Tiba-tiba, ia mendengar suara. Suara langkah kaki pelan, mendekat dari arah gelap di belakangnya. Bacin memutar badan, senternya mengarah ke sumber suara. Kegelapan masih menyelimuti ruangan, tetapi ia bisa merasakan kehadiran seseorang di sana. Suara itu berhenti. Keheningan menyelimuti ruangan, terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Hanya deru napas Bacin yang terdengar nyaring di telinganya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!