Hujan turun deras malam itu, membasahi aspal jalanan kecil di pinggiran kota. Rosye berjalan sendirian, tangannya gemetar karena dingin dan kelelahan. Ia sudah dua hari kabur dari rumah, dengan hanya ransel kecil yang isinya beberapa pakaian dan buku catatan usang.
Di bawah lampu jalan yang remang, ia berhenti sejenak, duduk di bangku kayu yang mulai lapuk. Dalam hatinya, suara itu kembali terdengar.
“Tidak ada yang peduli denganmu., untuk apa kamu hidup?”
Suara itu dingin dan penuh kepastian, seperti sedang menunggu Rosye menyerah. Derasnya air hujan yang turun seakan mencerminkan kekacauan hati Rosye.
Ia melanjutkan perjalanan tanpa arahnya dan berhenti di atas jembatan tua, memandangi sungai di bawahnya airnya berarus deras hingga bergemuruh di bawahnya seolah mengundang untuk mengakhiri segalanya. Tangan Rosye gemetar saat ia mencengkeram pagar besi. Matanya sembab, suara-suara dipikirannya makin jelas dan memintanya untuk melompat.
“Semua ini gak ada gunanya...” gumamnya. “Lebih baik aku selesai di sini.”
Saat ia bersiap memanjat pagar besi, sebuah suara menghentikannya.
“Apa kamu yakin ini jalan keluar terbaik?”
Rosye berbalik dengan cepat. Di bawah bayangan lampu jalan, berdiri seorang pria berwajah teduh, mengenakan mantel panjang yang basah oleh hujan. Tatapan matanya hangat, tapi dalam, seolah-olah tahu segalanya.
“Siapa kamu? Jangan ikut campur!” sergah Rosye.
“Aku cuma seseorang yang kebetulan lewat,” jawab pemuda itu.
“Kamu kelihatan butuh teman ngobrol.”
“Jangan mendekat!” teriak Rosye.
Pria itu tidak mundur. Dengan suara tenang, ia berkata,
“Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu ingin menyerah?”
Rosye diam. Ia memalingkan wajah, air mata mengalir tanpa henti.
“Gak ada yang peduli. Hidupku hancur. Aku cuma beban buat semua orang.”
“Aku di sini untuk membantu,” kata pria itu sambil mengulurkan tangan, suaranya tenang dan hangat.
“Ayo ikut denganku, aku tahu tempat yang lebih aman.”
Meski awalnya ragu, ada sesuatu dalam suara dan tatapan pria itu yang membuat Rosye menurut.
Pria itu membawa Rosye ke sebuah rumah kecil di tengah kota. Tempat itu sederhana dan tampak sudah lama tidak dihuni, tapi terasa nyaman. Di dalam, terdapat gitar tua bersandar di dinding, meja dengan beberapa buku berserakan, dan sebuah sofa empuk.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Rosye, masih berjaga-jaga.
“Panggil saja aku Serafim,” jawab pria itu sambil menyodorkan handuk untuk Rosye dan menyiapkan minuman hangat.
“Kamu aman di sini. Kamu bisa tinggal selama kamu butuh waktu untuk berpikir.”
Rosye tidak menjawab, hanya memeluk lutut di sofa. Ia belum siap menceritakan apa pun.
Beberapa hari berlalu. Rosye mulai merasa sedikit lebih nyaman di rumah itu. Akan tetapi ia masih enggan menceritakan kisahnya pada Serafim. Malam itu, ia memetik gitar tua yang ada di sudut ruangan. Melodi yang keluar pelan dan tidak teratur, tapi cukup untuk mengisi keheningan.
Serafim memperhatikannya dari dapur. Setelah beberapa saat, ia mendekat dan duduk di kursi di sebelah Rosye.
“Gitar itu milik Daniel. Dia dulu tinggal di sini.”
“Daniel?” tanya Rosye.
Serafim mengangguk. “Dia seperti kamu. Seseorang yang merasa hidupnya tidak ada artinya lagi.”
Serafim sedikit bercerita tentang Daniel—bagaimana Daniel kehilangan harapan, merasa sendirian, hingga akhirnya menyerah pada keputusasaan.
Rosye terdiam dan terpana mendengar kisah hidup Daniel. Rosye seakan tertampar dan dapat membuka matanya kembali.
“Apakah kamu punya cita – cita?” tanya Serafim halus.
“Em… Aku tidak tau apa cita – cita ku, tapi sejak kecil aku ingin menjadi seorang arsitek.” jawab Rosye perlahan.
“Ada apa dengan arsitek?” tanya Serafim lagi antusias.
“Arsitek adalah gambaran keinginanku, seoarang yang bebas membangun segalanya sendiri. Seorang yang bertanggung jawab pada pondasi yang dibuat.” jawabnya sambil menundukkan kepala.
“Em… Itu bagus. Kamu masih punya pilihan, Rosye. Kamu bisa memilih jalan yang berbeda.” tutup Serafim.
Hari berikutnya, Rosye mulai membuka diri. Rosye mulai mencoba memperbaiki hidupnya dan kembali mengejar mimpinya untuk menjadi arsitek. Ia mencari informasi tentang beasiswa agar ia bisa meraih cita-citanya. Ketika ia merasa putus asa Serafim selalu muncul untuk membantu, menemani, dan memberi saran saat ia bingung.
Ketika Rosye akhirnya mendapat kesempatan untuk tes beasiswa, ia merasa gugup setengah mati. Tapi Serafim berkata,
“Kamu sudah berjalan sejauh ini. Apa yang masih membuatmu ragu? Kamu gak sendirian.”
Senyuman muncul di wajah Rosye saat ia tau bahwa ia lolos. Ia mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah arsitektur di universitas ternama. Ia juga mendapatkan pekerjaan part-time sebagai pelayan kafe. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki kendali atas hidupnya.
Suatu malam, saat Rosye keluar untuk membeli makanan, ia merasa seseorang mengikutinya. Jantungnya berdebar saat ia menyadari siapa itu. Ayah tirinya muncul dari bayangan gelap, wajahnya penuh amarah.
“Akhirnya ketemu juga!” teriak pria itu. Dengan cepat, ia mengayunkan sebuah tongkat ke arah Rosye.
Rosye mencoba menghindar, tapi terjatuh. Ia hanya bisa memejamkan mata, menunggu rasa sakit, namun... tidak ada apa-apa. Ketika ia membuka mata, serafim sudah berdiri di depannya, melindunginya.
Ayah tirinya mundur, bingung melihat pria asing itu. Serafim hanya berkata dengan tenang,
“Pergilah dari sini!” sambil mengayunkan kepalan tangannya yang besar.
Ayah tirinya meludah ke tanah, lalu pergi dengan amarah yang belum terpuaskan.
Rosye gemetar dan berkata, “Dia tidak akan berhenti. Dia akan terus mengejarku.”
“Tidak apa, ada aku disini.” jawab serafim menenangkan.
“Dia akan membunuhku…..” teriak Rosye ketakutan.
Serafim memeluk Rosye yang hampir kehabisan nafas. Setelah tenang, ia memandang Serafim dan akhirnya membuka diri. Ia menceritakan alasan sebenarnya mengapa ia kabur dari rumah.
“Ayah tiriku ingin membunuhku,” katanya dengan suara bergetar. “Ayah kandungku meninggalkanku waktu aku kecil, tapi sebelum dia pergi, ia meninggalkan asuransi atas namaku. Kalau aku mati, ayah tiriku akan mendapat uang asuransi itu.”
Rosye menunduk, air matanya jatuh. “Aku gak mau mati di tangannya, tapi aku juga gak tahu harus ke mana. Maka dari itu aku berpikir... lebih baik aku mengakhiri hidupku sendiri. Sampai aku bertemu denganmu..”
Serafim menepuk bahunya dengan lembut.
“Aku akan melindungimu. Kamu tidak sendirian, Rosye.”
Untuk pertama kalinya, Rosye merasa sedikit aman. Tapi di dalam hatinya, ia masih takut.
Beberapa bulan kemudian. Saat rasa takutnya mulai hilang, ia pulang dari kampus dan berjalan sendirian di jalan yang sepi. Lampu jalan berkedip-kedip, memberikan suasana yang tidak nyaman. Dari kejauhan, ia mendengar deru mesin mobil.
Mobil itu mendekat dengan cepat, Rosye menyadari sesuatu yang mengerikan—itu ayah tirinya, mobil itu melaju langsung ke arahnya.
Rosye tidak sempat menghindar, ia hanya bisa berdiri terpaku. Tapi tepat saat mobil hampir menabraknya, sebuah cahaya terang muncul.
Serafim muncul di depannya, sayap besar bercahaya membentang di kedua sisi tubuhnya. Ia berdiri di antara Rosye dan mobil yang melaju.
Rosye hanya bisa tertegun. Matanya melebar melihat Serafim dalam wujud aslinya—dengan sayap yang memancarkan cahaya hangat, melindunginya dari bahaya.
Mobil itu berhenti tiba-tiba, ayah tirinya ketakutan melihat sosok Serafim. Ia mencoba memundurkan mobil dengan kepanikan. Mobil itu kehilangan kendali, menabrak pembatas jalan, dan jatuh ke jurang.
Rosye yang masih syok duduk di pinggir jalan, napasnya masih tersengal. Ia menatap Serafim, yang kini berdiri di depannya dengan sayap yang perlahan menghilang.
“Kamu... malaikat?” ucapnya gemetar.
Serafim tersenyum tipis. “Aku hanya seseorang yang diutus untuk menjagamu. Sekarang, perjalananmu ada di tanganmu sendiri, Rosye. Teruslah berjalan.”
Rosye menghadapi hari – harinya dengan disiplin, hingga Rosye berhasil mewujudkan mimpinya menjadi arsitek. Dengan tangannya, ia mendesain rumah-rumah yang membawa kenyamanan dan harapan bagi banyak orang.
Sebelum meninggalkan rumah Daniel untuk terakhir kalinya, ia menatap langit malam. Dalam keheningan, ia merasa ada bayangan sayap yang melintas, seperti serafim masih mengawasinya dari kejauhan.
“Terima kasih,” bisiknya sebelum menutup pintu.
***
Di tengah kota yang padat, terdapat sebuah rumah tua yang semakin rapuh, milik seorang kakek bernama Jaya. Pak Jaya dikenal sebagai sosok yang pendiam, selalu duduk sendirian di kursi tuanya, menatap keluar jendela seolah menunggu sesuatu. Dulu, ia adalah seorang pengusaha sukses dan memiliki segalanya—kekayaan, keluarga, dan ketenaran. Namun, semuanya berubah sejak sebuah peristiwa yang membuat ia kehilangan akal.
Pak Jaya hidup dengan bayang – bayang rasa bersalah yang membebani hatinya. Hidupnya kosong dan tanpa arah. Keluarga yang tadinya harmonis, menjadi hambar, istri dan anaknya meninggalkannya, mengambil semua kuasa atas usaha yang ia rintis dari nol. Kehidupan yang normal, tidak lagi menyatu pada raganya.
Setiap malam, ia terbangun dalam ketakutan. Suara langkah kaki yang tak terlihat, pintu yang terbuka dengan sendirinya, dan bayangan hitam yang mengikuti kemana-mana, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Ia merasa, bayangan itu adalah wujud dari rasa bersalahnya yang belum terampuni.
Tetangga sering melihat Pak Jaya di dekat jendela, menatap malam yang kelam. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan masa lalunya hingga ia menjadi seperti saat ini. Yang jelas, Pak Jaya selalu terasingkan, jauh dari keluarga dan teman-temannya.
Umur Pak Jaya sudah tidak muda lagi, ia mulai sakit – sakitan dan membuatnya semakin rapuh. Di dalam kamar tidurnya yang gelap, Pak Jaya terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat, meskipun udara malam begitu dingin. Suara hujan yang menghantam atap membuatnya ketakutan dan menangis tersedu – sedu. Dia duduk di tepi ranjang, menatap tangannya yang gemetar. Di tengah kekosongan malam itu, seseorang mengetuk pintu rumahnya.
Pak Jaya yang terhentak karena kaget mendengar suara ketukan membukakan pintu rumahnya. Di balik pintu melihat seorang pria muda berdiri di sana – Serafim, wajahnya penuh kehangatan.
"Pak Jaya, boleh saya masuk?" tanya Serafim dengan suara lembut.
“Kamu siapa?” tanya Pak Jaya.
Pemuda itu tersenyum dan seakan menghipnotis Pak Jaya. Tanpa pikir panjang Pak Jaya mengangguk. Serafim duduk di kursi di sebelah tempat tidur Pak Jaya, dan mulai berbicara dengan penuh perhatian.
"Kenapa kamu memilih hidup sendirian Pak Jaya?" tanya Serafim, matanya tajam namun penuh pengertian. "Kau terlihat sangat tertekan. Apa yang membebanimu?"
Pak Jaya terdiam. Ia enggan menceritakan kisahnya pada Serafim. Akan tetapi, saat Pak Jaya menatap Serafim, pancaran matanya seakan menghipnotisnya lagi dan membuat luluh seluruh tubuhnya. Pak Jaya mulai menceritakan kisahnya.
-
Malam itu, Pak Jaya menyetir sendirian ditengah derasnya hujan yang membuat jalanan licin dan pandangan kabur. Hanya sorotan lampu mobil yang dapat sedikit menembus derasnya hujan. Tiba-tiba, setir mobil bergetar hebat dan ban mobil yang ia kendarai selip.
“Astaga!”
Mobil itu meluncur ke kiri, menabrak pembatas jembatan dengan suara berderak keras. Pak Jaya hanya bisa berpegangan erat pada setir saat mobil berhenti dengan setengah tubuhnya menggantung di ujung jembatan.
Suara gemuruh terdengar jelas disungai bawah sana, siap menelan apa pun yang jatuh. Pak Jaya gemetar. Tubuhnya kaku, napasnya memburu. Ia berusaha membuka pintu, tetapi tak bisa. Ia merasa ajalnya begitu dekat.
Dibalik keputusasaan, terdengar suara Langkah kaki mendekat. Di tengah derasnya hujan, seorang pemuda datang berlari mendekati, wajahnya samar di balik derasnya air, tetapi suaranya jelas ditelinga.
“Pak, bertahan! Saya coba membantu!”
Pak Jaya hanya bisa menatap pemuda itu dengan kepasrahan, matanya penuh harapan. Pemuda itu berpegangan pada pintu mobil, menarik tubuh Pak Jaya keluar dengan susah payah. Hujan membuat semuanya licin, tetapi pemuda itu tak menyerah.
Saat Pak Jaya berhasil keluar dan jatuh terduduk di pinggir jembatan, pemuda itu tergelincir.
Tangan kanannya tersangkut di ujung mobil yang mulai bergeser.
“Pak, tolong!”
Pak Jaya segera memegang tangan pemuda itu dan berusaha menariknya.
“Pegang kuat-kuat!” suaranya bergetar, penuh ketakutan.
Namun genggaman itu mulai menjauh karna derasnya hujan dan membuat segalanya mustahil.
“Pak, saya... saya takut...” pemuda itu menangis, air matanya bercampur dengan hujan.
“Bertahan! Aku akan—”
Sebelum kalimat itu selesai, genggaman tangan mereka terlepas. Pak Jaya menatap tak percaya saat tubuh pemuda itu jatuh ke sungai.
“TIDAK!” teriaknya, suaranya senyap oleh gemuruh air.
Pak Jaya terduduk lama di tengah hujan dengan tubuhnya yang basah kuyup dan gemetar hebat. Ia menatap sungai yang hitam pekat, berharap pemuda itu terlihat dari kejauhan. Tak lama, mobilnya pun ikut tergelincir terjun bebas ke arah Sungai. Arus deras menelan semuanya.
Dalam kepanikan dan pikiran Pak Jaya kacau.
“Jika aku melapor, apa yang akan mereka katakan? Polisi akan menyalahkanku. Mengapa aku masih hidup sementara pemuda itu hilang?” gumamnya penuh kebingungan.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia bangkit dan berjalan menjauh dari jembatan. Hujan terus mengguyur, seakan berusaha mencuci jejak dosanya malam itu. Setibanya di rumah, ia mengganti bajunya, duduk di sofa, dan menatap kosong ke arah lantai.
“Tidak ada yang terjadi, aku akan melaporkan tentang kehilangan mobil.” gumamnya berulang kali, berusaha meyakinkan dirinya.
Beberapa hari kemudian, polisi datang kerumah Pak Jaya untuk memberitahukan bahwa mobilnya telah ditemukan di sungai, dan terdapat jenasah seorang pria di lokasi mobil itu terjatuh. Polisi mengkalim bahwa mobil itu telah dicuri dan pencurinya terjatuh ke dalam sungai. Tetapi Pak Jaya menutup kasus itu dengan perdamaian.
Berita itu menjadi heboh dan masuk di stasiun televisi dan koran. Wajah pemuda itu terpampang besar. Pak Jaya melihat keluarganya menangis di layar televisi.
“Anak saya bukan bukan seorang pencuri!” jerit ibunya.
Pak Jaya mematikan televisi, tangannya gemetar. Ia ingin berteriak seakan ingin mengakui kebenaran. Tetapi ketakutan selalu lebih kuat. Ketakutan akan hukuman. Ketakutan akan kebencian.
-
Serafim mendengarkan dengan penuh perhatian saat Pak Jaya menceritakan kisahnya—tentang kecelakaan yang merenggut nyawa pemuda yang coba menyelamatkannya, dan tentang beban yang harus ia tanggung selama bertahun-tahun.
“Setiap malam saya dihantui... Wajahnya, suara hujan, genggaman tangannya... Saya... Saya ingin melupakan, tapi tidak bisa.” kata Pak Jaya dengan suara bergetar.
"Aku telah bersalah, aku yang menyebabkan semuanya," tambahnya lagi.
Serafim menatap Pak Jaya dengan penuh empati dan tersenyum lembut.
“Bila kau merasa bersalah, kau harus melepaskan perasaan itu."
“Lalu... apa yang harus aku lakukan?” tanya Pak Jaya.
“Temui keluarganya dan ceritakan kebenarannya. Mereka berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.”
Pak Jaya langsung menggeleng, tubuhnya bergetar.
“Tidak... tidak! Bagaimana jika mereka membenci aku? Bagaimana jika—”
“Tuan...” suara Serafim tetap lembut tetapi penuh ketegasan.
“Anda tak bisa terus lari dari ini. Anda bukan satu-satunya yang terluka. Mereka kehilangan putra mereka dan hidup dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Jangan biarkan mereka tersiksa dalam ketidaktahuan, sama seperti Anda tersiksa dalam rasa bersalah.”
Pak Jaya terdiam lama. Kata-kata Serafim seperti menghantam jantungnya. Ia memejamkan mata dan dalam kegelapan itu, wajah pemuda yang terjatuh malam itu muncul lagi—wajah yang penuh harapan, wajah yang memohon pertolongan.
Serafim kembali bersuara.
“Tubuh mu semakin melemah Pak Jaya. Waktumu sudah tak banyak. Pergilah, sebelum semuanya terlambat. Kau berhak mendapatkan kedamaian... dan mereka berhak mendapatkan jawaban.”
Pak Jaya membuka matanya. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ia tak tahu kapan terakhir kali ia merasa beban ini bisa berkurang meski sedikit.
Pak Jaya akhirnya mengunjungi rumah pemuda itu beberapa hari setelah pertemuannya dengan Serafim. Kakinya gemetar, namun ia tahu bahwa inilah waktunya untuk menghadapi kenyataan yang telah terlalu lama ia hindari.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu, wajahnya lelah dan penuh kesedihan, namun juga penuh pengertian. Pak Jaya bisa merasakan betapa beratnya hidup yang telah dijalaninya.
“Permisi...” Pak Jaya memulai, suaranya penuh keraguan. “Saya Jaya, saya datang kesini untuk memberi tahu Anda... apa yang sebenarnya terjadi pada anak anda.”
Wanita itu menatapnya dengan tidak terkejut. “Apa yang kamu maksud?”
Pak Jaya menelan ludah, suaranya nyaris tak terdengar. “Saya... ada di sana... malam ketika anak Ibu jatuh ke sungai.”
Pak Jaya berusaha menjelaskan dengan hati – hati dan lembut. Ia mengatur perkataan dengan rapi dan dengan intonasi yang baik.
Wanita itu menghela napas dan menahan air matanya.
“Jadi... anak saya memang tidak mencuri ?” ucap wanita itu. “Anak saya... seorang pahlawan...”
Pak Jaya mengangguk, air mata tak berhenti mengalir di pipinya.
“Maafkan saya... Maafkan saya yang pengecut... Saya tidak bisa menyelamatkannya...”
Wanita itu tersenyum dan air matanya mulai berjatuhan tak mampu terbendung lagi.
“Walau kejadian ini tidak terjadi pun, saya akan tetap kehilangannya.”
“Maksud anda?” tanya Pak Jaya bingung.
“Anak saya mengidap kanker stadium akhir, dokter telah memvonis umurnya tidak lama lagi. Saya tidak melarangnya melakukan kesukaannya, termasuk membantu orang lain. Saya sudah memaafkan anda Pak Jaya. Anak saya sudah tenang, dan saya juga akan tenang setelah ini karna saya tau bahwa dia tidak melakukan hal buruk.”jelas wanita itu.
Setelah pertemuan itu, Pak Jaya berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Di hatinya, rasa bersalah itu masih ada, tetapi kini ia merasa telah melakukan sesuatu yang benar. Ia telah memberi keluarga pemuda itu sebuah jawaban—kebenaran yang selama ini mereka cari.
Sesampainya di rumah, ia terbaring di ranjang dengan tubuh yang semakin lemah. Ia merasa untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun tidurnya begitu tenang.
Cahaya putih menghampirinya, ia melihat jembatan itu lagi. Hujan tak lagi turun dan sungai tampak tenang, memantulkan cahaya keemasan. Di ujung jembatan tampak seorang pemuda berdiri dan tersenyum kepadanya, ya, pemuda yang membantunya malam itu. Pemuda itu melangkah mendekat.
"Semua sudah selesai. Terimakasih karna kau telah mengungkapkan kebenarannya." Katanya dengan suara lembut dan penuh kedamaian.
Pak Jaya tersenyum kecil. Tubuhnya berjalan pelan menuju pemuda itu. Saat ia mendekat, sebuah pintu cahaya terbuka di belakang pemuda, memancarkan sinar hangat yang menenangkan. Ia merasa ringan, bebas dari beban yang selama ini mengikatnya. Tanpa ragu, ia mengikuti pemuda itu masuk ke dalam cahaya.
Sebelum benar-benar melangkah masuk, Pak Jaya menoleh ke belakang. Di ujung cahaya tampak sosok malaikat dengan sayap yang terbentang lebar - Serafim. Serafim tersenyum penuh kasih, mengangguk kepada Pak Jaya. Semua rasa takut dan penyesalan yang dulu ia rasakan menghilang, digantikan dengan kedamaian yang luar biasa.
Dengan satu langkah terakhir, Pak Jaya memasuki pintu cahaya, meninggalkan dunia dengan hati yang damai dan menuju tempat perdamaian.
***
Pak Joko berprofesi sebagai seorang pelawak sekaligus badut. Ia menjalani hari-harinya dengan penuh semangat dan hidup sederhana. Ia sering tampil di pesta ulang tahun atau acara kecil lainnya, membawa tawa kepada anak-anak. Akan tetapi, dibalik senyum yang lebar, ia menyimpan sedikit kesedihan—ia tahu bahwa anak semata wayangnya, Dika, sering merasa malu karena profesinya.
Di rumah sederhana mereka, Pak Joko selalu berusaha menebarkan senyuman dan keceriaan. Pada suatu malam, ia nampak memperhatikan Dika yang pulang dengan wajah murung. Akan tetapi Dika yang terlihat lelah, enggan berbicara dan hanya masuk ke kamarnya. Pak Joko mencoba menanyakan keadaan anak semata wayangnya itu, tapi seperti yang sudah kita ketahui, Dika hanya menjawab singkat dengan berkata gak ada apa-apa ayah, aku cuman capek.
Dika memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya, setelah kepergian ibunya, Dika semakin menjadi orang yang sangat pendiam dan menyimpan segala sesuatunya sendiri. Sampai keadaan di sekolah dimana Dika menjadi bahan ejekan teman – temannya, ia tutup rapat.
Disaat jam istirahat, ia selalu duduk sendirian dan menunduk sambil memainkan sendoknya di kantin. Beberapa anak dari kelas lain mendekatinya.
"Eh, Dika, nanti ayahmu jadi badut di acara sekolah gak? Kita mau lihat, nih!" salah satu anak berkata sambil tertawa.
Dika mencoba mengabaikan mereka, tapi ejekan itu berlanjut.
"Kalau ayahmu badut, kamu apa? Anak badut? Hahaha!" Anak-anak itu terus mengejek sambil menunjuk-nunjuk Dika.
Dika menggenggam sendoknya erat dan berusaha tetap diam. Ia tahu bahwa melawan hanya akan membuat mereka semakin mengejeknya. Walau ia tahu bahwa teman – temannya semakin mengejeknya secara brutal dan tanpa etika.
Suatu hari seorang temannya, Aldo, memutar video penampilan Pak Joko di salah satu acara ulang tahun. Dalam video itu, Pak Joko mengenakan pakaian badut berwarna-warni, dengan riasan tebal dan hidung merah besar, membuat semua orang tertawa di dalam kelas terbahak-bahak.
"Ini ayahmu kan? Hahaha, lucu banget! Kamu juga pasti pinter ngelawak, dong!" Anak-anak lain ikut tertawa keras, membuat kantin penuh dengan suara mereka.
"Kapan ngajarin kamu biar lucu juga?" ejek salah satu temannya lagi.
Dika menunduk semakin dalam dengan wajah yang memerah. Ia ingin berlari sekuat tenaga, tapi kakinya terasa sangat berat. Seolah-olah semua mata di kantin tertuju padanya.
Setelah jam sekolah usai, Dika berjalan pulang dan ditengah perjalanan, ia mendengar suara-suara dari belakang.
"Hei, anak badut! Jangan lupa, kalau nanti ayahmu tampil lagi, undang kita, ya! Kita mau ngetawain!"
Mereka mengejek sambil melempar gulungan kertas ke arahnya. Ia sangat marah dan terluka. Ia pulang dengan air mata yang tertahan.
Setibanya di rumah, Dika masuk tanpa menyapa ayahnya lalu masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Ia terduduk di lantai, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa harus aku? Kenapa Ayah harus jadi badut?" gumamnya pelan.
Saat makan malam, Dika akhirnya tak bisa lagi menahan gejolak amarahnya yang telah tertanam dihatinya cukup lama. Ketika Pak Joko tengah menceritakan pengalamannya tampil di acara ulang tahun tadi siang, Dika tiba-tiba mendobrak meja dan membuat Pak Joko menghentikan celotehannya.
"Kenapa Ayah gak cari pekerjaan lain? Aku capek diejek terus di sekolah! Kenapa Ayah harus jadi badut?"
Pak Joko tertegun, dan bertanya dengan suara pelan, "Diejek? Siapa yang ejek kamu, Nak?"
"Semua orang! Mereka bilang aku anak badut. Mereka ketawa lihat ayah! Aku capek! Kenapa Ayah gak mikirin aku sedikit aja?" Suara Dika meninggi, membuat suasana makan malam berubah tegang.
Pak Joko menunduk, mencoba menahan tangis. Ia tak menyangka profesinya melukai perasaan anaknya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, "Ayah cuma ingin kamu bisa makan, bisa sekolah. Ayah gak punya pilihan lain, Nak."
Dika yang sudah terlanjur marah pun bangkit dari kursinya.
"Aku benci semua ini! Aku benci ayah jadi badut!" Dika masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras.
Pak Joko duduk sendirian di meja makan, menatap makanan yang tak lagi terlihat menarik. Ia hanya bisa bergumam pelan, "Maafkan ayah, Nak. ayah gak pernah mau bikin kamu malu."
Matahari mulai menunjukkan cahyanya , Dika yang termenung semalaman mulai merasa menyesal. Ia tersadar bahwa ayahnya bekerja keras demi dirinya. Dika melihat ayahnya sedang duduk di ruang tamu, sibuk memperbaiki kostum badut yang robek. Pak Joko tampak serius, menjahit dengan hati-hati, namun wajahnya terlihat lelah dan murung. Dika berdiri di ambang pintu, ragu untuk menghampiri.
"Ayah..." suara Dika memecah keheningan.
Pak Joko mendongak, terkejut mendengar suara anaknya. Ia langsung meletakkan kostum yang sedang dijahitnya. "Iya, Nak? Ada apa?" tanyanya lembut.
Dika mendekat, duduk di sebelah ayahnya. Tangannya gemetar, tapi akhirnya ia berani berbicara.
"Ayah aku minta maaf semalam aku sudah banyak melontarkan kata – kata kebencian, aku gak benci ayah. Aku bangga sama ayah, kok," katanya.
Pak Joko tertegun mendengar perkataan Dika lalu tersenyum kecil. Tangannya terulur dan mengusap – usap kepala Dika. "Ayah juga minta maaf, Nak. ayah gak pernah ingin bikin kamu malu. Kalau kamu mau, ayah akan coba cari pekerjaan lain."
Dika menggeleng. "Gak usah, yah. Aku cuma ingin ayah bahagia. Ayah harus tetap jadi badut. Dunia butuh tawa, kan?" kata Dika dengan senyuman kecil.
Pak Joko tersenyum lagi, tapi kali ini lebih lebar. Ia memeluk Dika erat - erat, seperti ingin menyalurkan semua rasa sayang yang ia miliki.
"Terima kasih, Nak. Kamu anak yang luar biasa. Ayah bangga sama kamu."
Dika berangkat ke sekolah dengan hati yang lebih ringan. Ia merasa lega telah memperbaiki hubungannya dengan ayahnya. Sepulang sekolah, ia menyeberang jalan dekat rumah. Dari sisi kiri sebuah mobil melaju sangat cepat dari tikungan, pengemudi yang kehilangan kontrol kemudi tidak sempat menginjak rem. Suara klakson keras terdengar, disusul oleh suara tabrakan yang memekakkan telinga.
Pak Joko, yang sedang berada dihalaman berlari menuju arah suara itu muncul. Ia mematung saat melihat tubuh Dika tergeletak di jalan, dengan darah mengalir dari pelipisnya.
"Nak! Nak! Bangun, Nak!" Pak Joko berteriak sambil mengguncang tubuh Dika.
Orang-orang di sekitar mulai berkumpul dan ambulan pun segera datang. Pak Joko menemani Dika di perjalanan menuju rumah sakit, menggenggam tangannya erat sambil berdoa.
“Ayah, aku bangga dengan ayah. Jangan berhenti dari pekerjaan itu ya yah,” ucap Dika pelan.
“Kamu harus bisa bertahan nak, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit.” sahut pak Joko menenangkan.
Namun, ternyata takdir telah memutuskan. Sesampainya di rumah sakit, dokter hanya bisa menghela nafas dan menggeleng pelan. "Kami sudah berusaha sebaik mungkin, Pak. Maafkan kami."
Pak Joko terduduk di lantai, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Nafasnya seakan berhenti sejenak lalu matanya mulai mencucurkan air seperti keran. Pak Joko menangis sekeras kerasnya, ia tidak mempedulikan sekitarnya. Kata-kata terakhir seakan Dika terus terngiang di telinganya, menjadi kenangan terakhir yang takkan pernah ia lupakan.
Kepergian Dika meninggalkan luka mendalam, ia sangat terpuruk dan kehilangan arah. Di tengah kesedihannya, kemarahan muncul dan menguasainya, ia mulai menyalahkan anak-anak yang membuli Dika.
Ia terus memutar ulang kenangan tentang Dika yang sering pulang dengan wajah murung dan teringat akan cerita Dika tentang ejekan teman-temannya. Di benaknya, anak-anak itu adalah penyebab utama semua ini.
Suatu malam, ia duduk di taman dekat rumah dan memikirkan cara membalas dendam. Ia bahkan mencatat nama beberapa anak yang dulu sering mengejek Dika, berharap suatu saat bisa membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama.
Saat ia sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba seorang pria muda dengan pakaian sederhana duduk di sebelahnya, Serafim. Serafim tidak berbicara banyak. Ia hanya duduk tenang, seolah tahu apa yang sedang Pak Joko rasakan.
Pak Joko menatap Serafim itu dengan alis berkerut. "Kamu siapa? Kenapa kamu duduk di sini?"
Serafim hanya menoleh dan tersenyum. Suasana di sekitar mereka terasa hening, hanya terdengar suara angin malam yang bertiup pelan.
Pak Joko merasa heran, seolah Serafim sudah ada di sana sejak lama. Ia mencoba membuka mulut untuk bertanya lagi, tetapi Serafim terlebih dahulu berbicara dengan suara tenang.
"Kemarahanmu tidak akan mengembalikan Dika, Pak Joko. Dia ingin kamu bisa melepaskan beban ini."
Pak Joko terperangah. "Apa maksudmu? Kamu tahu siapa aku? Kamu tahu siapa Dika?"
Serafim hanya mengangguk sedikit, lalu berkata pelan, "Aku di sini untuk membantu kamu menemukan kedamaian, Pak Joko. Dika pasti tidak ingin melihatmu seperti ini."
Pak Joko menatap Serafim tanpa tahu harus bagaimana. Seolah ada sesuatu yang berbeda dalam diri Serafim. Ia merasa sedikit terhubung tapi tidak tahu alasan pastinya mengapa. Ia hanya terdiam, dan air mata mulai menggenang di matanya.
"Aku... aku tidak bisa lagi melanjutkan hidup seperti ini. Aku ingin membalas dendam pada mereka yang sudah membuat Dika menderita."
Serafim memandang Pak Joko dengan tatapan penuh pengertian, namun tidak memberi penilaian. "Dendam tidak akan mengembalikan Dika. Kamu hanya akan terus terjebak dalam kegelapan."
Pak Joko terdiam berusaha meresapi kata-kata Serafim. Lalu ia merasa cemas dan takut juga ada perasaan lega yang mulai meresap. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Serafim. Ia mulai melangkah keluar dari kegelapan, mencoba melepaskan perasaan dendam yang telah menguasainya dan tentunya tidak lagi memikirkan cara membalas anak-anak yang pernah mengejek Dika.
Suatu malam, Serafim kembali menemui Pak Joko. Kali ini Serafim membawa Pak Joko ke sebuah taman yang sangat familiar dan di sana ia melihat anak-anak yang dulu mencaci Dika.
Mereka tampak gelisah, seolah merasa bersalah setelah mendengar berita tentang kepergian Dika. Salah satu dari mereka terlihat sedang menangis, menatap layar ponselnya, dan bergumam penuh penyesalan.
Pak Joko terdiam. Ingin rasanya ia mendekat dan meluapkan semua kemarahannya, tetapi ia berusaha menahan diri.
"Lihat lah. Mereka menyesal jadi kamu tidak perlu membalas mereka. Pengampunan adalah jalan yang lebih mulia." ucap Serafim lembut.
Hatinya mulai luluh dan ia teringat kata-kata Dika yang selalu menginginkan ia menjadi pelawak yang memancarkan tawa untuk semua orang. Dika tidak pernah ingin melihat ayahnya terjebak dalam kebencian.
Serafim berdiri di samping Pak Joko, tidak mengungkapkan siapa dirinya. Ia hanya terus memberi arahan dan rasa ketenangan.
Pak Joko mengusap air matanya yang berlinang dan merasa siap untuk melepaskan kemarahan itu. Ia memutuskan untuk memaafkan anak-anak itu, meskipun hatinya masih terasa perih. Ia berjalan pergi walau hatinya masih terasa berat dan meninggalkan mereka dengan rasa penyesalan yang mendalam.
Pak Joko mulai bangkit kembali. Ia kembali tampil sebagai pelawak untuk memenuhi permintaan Dika yang terakhir. Ia menjalani harinya dan kembali membawa tawa, walaupun ada bagian dari dirinya yang tetap kosong—sebuah kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun. Bulan demi bulan tahun demi tahun ia lalui dengan senyuman manis dan canda tawa yang keluar dari bibir manisnya.
Setelah pertunjukan, ia duduk di ruang tamu dan termenung di depan foto Dika yang tersenyum ceria. Ia cukup merasa lelah, tubuhnya yang mulai kering kerontang hampir tidak mampu menahan beban hari-harinya.
Malan itu, ia melihat sebuah cahaya yang memancar lembut yang menyilaukan matanya. Terlihat pintu yang penuh cahaya perlahan terbuka, dari dalam tampak seorang laki – laki yang tidak asing lagi, Dika, ia berdiri di depan pintu dan tersenyum manis.
Pak Joko terbangun dari duduknya, hatinya berdebar kencang.
"Nak..." suara Pak Joko bergetar, matanya berkaca-kaca.
Dika mengulurkan tangannya. "Ayah, sudah waktunya. Ayo, kita pergi."
Pak Joko melangkah mendekat dan saat ia hendak meraih uluran tangan Dika, Serafim—yang selalu berada di sampingnya—muncul di belakang Dika. Kali ini Serafim terlihat dengan sayap bercahaya yang terbentang lebar. Namun, wajahnya tidak terlihat jelas dan hanya sebuah siluet samar.
Pak Joko menatap Serafim dengan rasa terima kasih yang mendalam.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Serafim tersenyum dan mengangguk.
"Sekarang waktunya kamu beristirahat."
Dengan langkah tenang, Pak Joko dan Dika berjalan bersama melewati pintu yang bercahaya itu. Keduanya menyatu dalam kedamaian yang abadi, meninggalkan dunia dengan tawa yang selamanya dikenang.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!