Di dalam mobil yang terparkir di sudut jalan yang sepi, seorang pria duduk di kursi kemudi, wajahnya dipenuhi amarah.
"Cepat buang anak itu! Kenapa kau diam saja?" bentaknya, suaranya tajam menusuk.
Di kursi belakang, seorang wanita memeluk erat seseorang bayi, dengan tangannya gemetar, dan hatinya berkecamuk.
"Aku tidak bisa, Tuan... Aku tak tega membuang anakku."
Pria itu menoleh tajam. "Kau berani melawan? Kalau begitu, biar aku yang menghabisinya di depan matamu!"
Wanita itu menggeleng keras, air matanya jatuh. Ia tahu, menolak bukan pilihan. Dengan hati hancur, ia turun dari mobil, lalu perlahan meletakkan bayinya di atas tumpukan sampah dalam tong besar, tubuh mungil itu masih terbalut kain tipis.
Sambil menahan isak, ia membisikkan kata terakhirnya. "Maafkan Ibu, sayang... Jika saja ibu tidak menuruti nafsu majikan ibu, atau tepatnya ayah kandungmu. Kau tak akan lahir dengan cara seperti ini."
Tangannya gemetar saat meletakkan selembar kertas berisi pesan untuk orang yang menemukannya. Lalu, dengan langkah berat, ia pergi meninggalkan anaknya yang baru bebrapa hari ia lahirkan. Air mata terus mengalir membawa penyesalan yang mungkin akan ia bawa seumur hidup.
Di tengah keheningan malam, suara tangis bayi yang lirih menggema di gang sempit itu.
Angin dingin menusuk, menggoyangkan kain tipis yang menyelimuti tubuh mungilnya. Namun, dunia seakan tak peduli.
Mobil hitam yang tadi terparkir di sudut jalan sudah melaju menjauh, membawa pergi wanita yang baru saja meninggalkannya.
Beberapa saat berlalu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian lusuh berhenti di depan tong sampah itu. Matanya membulat ketika melihat bayi yang menggeliat lemah di dalamnya.
"Ya Tuhan... siapa yang tega membuangmu di sini?" gumamnya, suaranya bergetar.
Dengan hati-hati, ia mengangkat bayi itu ke dalam dekapannya. Tubuh kecil itu terasa dingin, membuat wanita itu segera merapatkan kain yang membungkusnya. Pandangannya jatuh pada secarik kertas yang tergeletak di samping bayi.
Dengan tangan gemetar, ia membuka dan membaca tulisan di atasnya.
"Tolong jaga anak ini. Dia tak bersalah. Maafkan aku, ibunya yang lemah."
Wanita itu menghela napas panjang. Sejenak, ia menatap bayi itu, lalu menatap langit malam yang kelam.
"Mulai sekarang, aku akan mencoba merawatmu."
Dengan langkah mantap, ia membawa bayi itu pergi, meninggalkan kegelapan yang hampir merenggut nyawa mungil tersebut.
Di suatu tempat, jauh dari sana, seorang wanita duduk di dalam mobil, menangis tanpa suara. Dadanya terasa sesak, seolah jiwanya ikut mati bersama keputusan yang baru saja ia buat.
Dengan suara bergetar, ia berbisik pelan, hanya untuk dirinya sendiri. "Semoga kau menemukan seseorang yang baik, yang bisa merawat dan mencintaimu, Reyna…"
Tangannya mengepal di atas pangkuannya, menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Namun, mobil terus melaju, menjauh dari pinggiran kota yang penuh dengan kerasnya hidup.
******
"Cup... cup... Sayang. Pasti kau lapar, ya? Sabar, ya... Nenek akan carikan susu untukmu," ujar wanita paruh baya itu dengan lembut, menimang bayi mungil dalam dekapannya.
Matanya menatap penuh kasih pada wajah polos Reyna, yang kini meringkuk dalam kain usang. Tangisnya mulai mereda, seolah memahami bahwa dirinya telah menemukan perlindungan baru.
Dengan langkah tergesa, wanita itu berjalan menuju sebuah supermarket kecil di sudut jalan. Ia tahu tak punya banyak uang, tapi ia tak tega membiarkan bayi ini kelaparan.
"Tunggu sebentar, sayang... Nenek akan berusaha sebisa mungkin untukmu," bisiknya lirih, tekad mulai tumbuh di hatinya.
Namun, Ia menghela napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam toko. Hatinya dipenuhi kegelisahan, tetapi tangisan Reyna yang lemah memberinya keberanian.
"Semoga saja uangku cukup untuk membelikannya susu," gumamnya, menatap uang lusuh yang tergenggam di tangannya, satu-satunya yang ia miliki.
Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju rak susu formula. Tangannya terulur, menyentuh salah satu kaleng kecil yang tertera harga di bawahnya. Hatinya semakin berat saat menyadari bahwa uangnya tak cukup.
Ia berpikir keras. Haruskah ia meminta belas kasihan? Atau mencari cara lain untuk memberi makan bayi yang kini bergantung padanya?
Sementara itu, Reyna menggeliat dalam dekapannya, seakan merasakan kegundahan wanita yang baru saja menyelamatkannya.
Lalu, wanita itu melangkah menuju meja kasir dengan langkah berat, hatinya dipenuhi harap dan kecemasan. Ia meletakkan kaleng susu di atas meja, lalu menatap kasir dengan mata memohon.
"Maaf, Nak... Bisakah harganya dikurangi sedikit? Aku benar-benar butuh susu ini untuk bayi yang kutemukan, tapi uangku tidak cukup," pintanya dengan suara lirih.
Kasir muda itu terdiam sejenak, menatap wanita paruh baya di depannya, lalu melirik bayi yang terlelap dalam dekapannya. Matanya menunjukkan keraguan.
"Maaf, Bu… tapi kami tidak bisa memberikan potongan harga tanpa izin dari pemilik toko," jawabnya dengan nada menyesal.
Wanita itu menunduk, kecewa namun tidak menyerah. Ia mengeratkan genggaman pada uang lusuh di tangannya.
"Kalau begitu… bisa aku beli susu dengan uang yang kupunya? Mungkin kemasan yang lebih kecil?" tanyanya penuh harap.
Kasir kembali melihat daftar harga, lalu menggeleng pelan. "Uang Ibu masih kurang… Tapi, tunggu sebentar, ya."
Ia berbalik, berjalan ke dalam gudang kecil di belakang toko.
Sedangkan wanita itu, berdiri gelisah di depan meja kasir, sesekali menatap Reyna yang masih terlelap dalam dekapannya. Hatinya dipenuhi harapan, namun juga ketakutan, jika kasir itu kembali dengan kabar buruk, apa yang harus ia lakukan?
Tak lama, kasir itu muncul kembali sambil membawa sesuatu di tangannya. Sebuah kotak susu formula kecil.
"Bu, ini ada kemasan kecil yang biasanya digunakan sebagai sampel. Saya sudah bertanya kepada pemilik toko, dan katanya Ibu boleh mengambilnya secara gratis," ujar kasir itu dengan senyum simpati.
Mata wanita itu membelalak, lalu berkaca-kaca. Ia tak menyangka ada yang mau membantunya di saat seperti ini. Dengan tangan gemetar, ia menerima kotak susu itu.
"Terima kasih, Nak… Semoga Tuhan membalas kebaikanmu," ucapnya dengan suara bergetar.
Kasir itu hanya tersenyum. "Jaga baik-baik bayinya, Bu. Semoga dia tumbuh sehat."
Wanita itu mengangguk, lalu segera keluar dari toko. Hatinya sedikit lebih lega. Ia tahu, ini hanya sementara, tapi setidaknya malam ini Reyna bisa minum susu dan tidur dengan perut kenyang.
Namun, di balik semua itu, satu pertanyaan besar muncul di benaknya, bagaimana dengan hari esok?
Wanita itu berjalan cepat menyusuri jalanan sempit menuju rumahnya, mendekap Reyna erat agar bayi itu tetap hangat. Malam semakin larut, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang.
Setibanya di rumah, sebuah gubuk kecil di pinggiran kota, ia segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Rumah itu sederhana, hanya terdiri dari satu ruangan dengan kasur tipis di pojok dan beberapa perabotan usang. Tapi inilah satu-satunya tempat yang bisa ia sebut rumah.
Dengan hati-hati, ia membaringkan Reyna di atas kain lusuh yang menjadi alas tidurnya. Bayi itu mulai menggeliat, tangisnya lirih, menandakan rasa lapar yang tak bisa ditahannya lagi.
Wanita itu buru-buru mengambil air hangat dari termos kecil, mencampurkannya dengan susu yang tadi ia dapatkan. Tangannya sedikit gemetar, takut susu itu kurang atau terlalu panas. Setelah memastikan suhunya aman, ia menuangkan susu ke dalam botol kecil yang sudah lama ia simpan.
Pelan-pelan, ia menyodorkan botol itu ke bibir Reyna. Sejenak, bayi mungil itu diam, lalu mulai menghisap perlahan. Wanita itu menghela napas lega, air matanya mengalir tanpa ia sadari.
"Mulai sekarang, kau akan tinggal bersamaku, Nak. Aku akan menjagamu sebisaku…" bisiknya, menatap wajah polos Reyna dengan penuh kasih sayang.
Di luar, angin malam berhembus kencang, membawa serta kisah baru bagi seorang bayi yang baru saja ditinggalkan, dan kini, menemukan rumah baru di pelukan seorang wanita yang mungkin bukan siapa-siapanya, tetapi bersedia mencintainya sepenuh hati.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dengan kasar. Seorang perempuan remaja melangkah masuk dengan langkah gontai, tubuhnya terhuyung-huyung, dan bau alkohol menyengat dari napasnya.
"Ibu… aku pulang…" suaranya terdengar berat, dengan tawa kecil yang terdengar lelah.
Wanita paruh baya itu menoleh cepat, matanya membulat saat melihat kondisi putrinya. "Kamala! Kau mabuk lagi?!" serunya dengan nada kecewa dan khawatir.
Kamala mengabaikan ibunya. Dengan mata setengah terpejam, ia berjalan menuju kasur dan membiarkan tubuhnya terjatuh di sana. Tapi sesaat kemudian, ia mengerutkan kening saat menyadari sesuatu.
"Apa ini…?" gumamnya, melihat bayi mungil yang berbaring di sampingnya. Matanya sedikit terbuka lebar, meski masih diselimuti efek alkohol. "Sejak kapan kita punya bayi?" tanyanya dengan nada bingung dan tawa sinis.
Sang ibu menghela napas panjang. Ia tahu, Kamala sudah semakin jauh berubah. Anak gadisnya yang dulu ceria dan penuh harapan, kini hanya pulang dalam keadaan mabuk dan penuh amarah.
"Dia bukan bayi kita. Aku menemukannya dibuang di tong sampah. Aku tak tega meninggalkannya," jawab sang ibu pelan, menatap Kamala dengan tatapan yang penuh harapan, berharap putrinya bisa mengerti.
Kamala terdiam sejenak, lalu tertawa sinis. "Hah… jadi sekarang kita jadi tempat penampungan anak buangan? Kita sendiri saja sudah susah, Bu. Apa Ibu pikir bisa membesarkan dia?"
Wanita itu menatap Kamala dengan mata yang penuh kesedihan. "Aku tidak bisa meninggalkannya, Nak. Sama seperti aku tak pernah meninggalkanmu, meski kau selalu membuatku kecewa."
Kamala mendengus, lalu membalikkan badan membelakangi ibunya dan Reyna. "Terserah Ibu… Tapi jangan harap aku ikut bertanggung jawab."
Sang ibu menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Cinta, kecewa, dan harapan yang nyaris pupus. Sambil menatap Reyna yang mulai tertidur pulas, ia berbisik pelan, "Semoga kau tumbuh menjadi anak yang lebih baik darinya…"
Malam itu berlalu dengan keheningan yang berat. Sang ibu duduk di sudut kasur, menatap dua sosok di hadapannya, Reyna, bayi yang baru saja ia selamatkan, dan Kamala, putrinya yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih, tetapi kini berubah menjadi seseorang yang nyaris tak ia kenali.
Suara napas Kamala terdengar berat, sesekali bergumam tak jelas dalam tidurnya akibat mabuk. Sementara itu, Reyna tidur dengan damai, sesekali menggeliat kecil. Wanita itu menghela napas panjang.
"Hidup memang sulit, tapi bukan berarti kita harus menyerah pada kegelapan," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Keesokan paginya, sinar matahari menembus celah-celah jendela reyot rumah mereka. Reyna mulai menangis pelan, membuat wanita itu segera terbangun dan menggendongnya dengan lembut.
Di sisi lain, Kamala mengerang kesal. "Aduh… berisik banget!" keluhnya sambil menutup telinga dengan bantal.
Sang ibu tak menggubrisnya. Ia sibuk menenangkan Reyna, menggoyang-goyangkan tubuh mungil itu dengan lembut.
Kamala akhirnya bangkit, duduk dengan mata masih sembab akibat mabuk semalam. Ia melirik ibunya yang sibuk mengurus bayi itu, lalu mendengus. "Ibu serius mau merawat anak itu?" tanyanya, kali ini suaranya lebih datar, tanpa nada mengejek seperti semalam.
Wanita itu mengangguk mantap. "Ya, Nak. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja."
Kamala mengusap wajahnya, lalu bangkit berdiri. "Terserah Ibu, tapi jangan harap aku bantu. Aku mau keluar."
Tanpa menunggu jawaban, Kamala mengambil jaket lusuhnya dan melangkah keluar rumah. Sang ibu hanya bisa menatap punggung putrinya yang semakin jauh, lalu menghela napas panjang.
Ia menunduk menatap Reyna yang kini sudah lebih tenang. "Mungkin Ibumu meninggalkanmu, tapi aku tidak akan melakukan hal yang sama… Aku akan menjagamu, sayang."
Di luar, Kamala berjalan menyusuri gang sempit. Langkahnya cepat, menuju tempat tongkrongannya, sebuah sudut kumuh di belakang gedung tua, tempat ia dan teman-temannya biasa berkumpul. Bau asap rokok bercampur dengan alkohol menyambutnya saat ia tiba.
Beberapa pemuda sudah duduk santai di sana, merokok dan tertawa sembari membicarakan hal-hal tak jelas. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan jaket kulit hitam dan rambut gondrong bernama Jack, melirik Kamala dan menyeringai.
"Wah, Kamala akhirnya datang juga! Semalam lo ngilang ke mana?" tanyanya sambil menyodorkan sebotol minuman kepadanya.
Kamala mengambil botol itu tanpa berpikir panjang, meneguknya dalam-dalam. Rasa pahit dan panas segera memenuhi tenggorokannya, sedikit mengusir kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya.
"Gue pulang," jawabnya singkat, duduk di antara mereka.
Seorang gadis bernama Sinta, yang duduk di samping Jack, menatapnya curiga. "Tumben lo pulang cepet. Biasanya lo yang paling betah di sini."
Kamala mendengus, menyandarkan kepalanya ke tembok. "Rumah gue makin ribet. Nyokap gue bawa pulang bayi dari jalanan, katanya mau dirawat."
Jack tertawa kecil. "Seriusan? Dia pikir hidupnya itu sinetron?"
Yang lain ikut tertawa, tapi Kamala hanya diam, menatap kosong ke lantai. "Gue juga nggak ngerti apa yang ada di otaknya," gumamnya.
Sinta menyipitkan mata, memperhatikan Kamala. "Tapi lo kepikiran, kan?" tanyanya pelan.
Kamala meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi Sinta benar. Bayi itu, Reyna, terus saja muncul di kepalanya sejak tadi malam.
Jack menepuk pundaknya dengan keras. "Udahlah, ngapain mikirin bayi buangan? Yang penting sekarang kita have fun!" katanya, menyodorkan sebatang rokok padanya.
Kamala menatap rokok itu sejenak, lalu mengambilnya. Ia menyalakan api, tapi sebelum sempat menghisapnya, entah kenapa bayangan Reyna menangis tadi pagi muncul di pikirannya.
Dengan kesal, ia menghembuskan napas kasar dan mematikan rokoknya.
"Gue harus pergi," katanya tiba-tiba, bangkit berdiri.
Raka menatapnya heran. "Lah, lo baru aja datang."
Kamala tak menjawab. Ia hanya memasukkan tangannya ke saku jaket dan berjalan pergi, tanpa tujuan di sepanjang trotoar kota yang bising. Langkahnya terasa ringan, tapi pikirannya berat. Ia merogoh saku jaketnya, kosong. Uang terakhirnya tadi malam habis untuk minuman.
Dengan menghela napas, ia berbelok menuju lampu merah, tempat biasanya para pengamen berkumpul. Ia melihat beberapa anak jalanan sudah lebih dulu beraksi, menyanyikan lagu dengan gitar tua yang senarnya hampir putus.
Tanpa banyak bicara, Kamala mengambil kaleng kosong dari pinggir jalan, lalu melangkah ke tengah trotoar. Ia berdeham sedikit, lalu mulai bernyanyi dengan suara seraknya yang khas.
"Hidup ini keras… tapi kita harus bertahan…"
Suara Kamala mengalun di tengah kebisingan kota, menarik perhatian beberapa orang. Beberapa pejalan kaki menoleh, ada yang tergerak untuk merogoh saku dan menjatuhkan recehan ke dalam kalengnya.
Ia terus bernyanyi, membiarkan suaranya menyatu dengan suara klakson kendaraan yang bersahutan. Setiap koin yang jatuh ke dalam kalengnya membuat hatinya sedikit lega.
Setelah beberapa lagu, ia menghitung uang recehan di tangannya. Tidak banyak, tapi cukup untuk membeli sesuatu.
Kamala menatap uang itu sejenak, lalu menghela napas panjang. Entah kenapa, pikirannya kembali ke rumah. Kembali ke ibunya. Kembali ke bayi kecil yang semalam menangis kelaparan.
Dan sebelum ia sadar, kakinya sudah melangkah menuju warung terdekat. Ia berdiri di depan etalase, melihat barisan susu sachet yang tergantung di rak kecil.
Ia menggigit bibirnya, lalu akhirnya mengambil satu bungkus.
"Buat bayi itu," gumamnya pada dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, Kamala berjalan pulang dengan plastik kecil di tangannya. Ada sesuatu di dalam hatinya yang terasa asing, sesuatu yang selama ini ia hindari.
Perasaan peduli.
Kamala berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah. Plastik berisi susu sachet tergenggam erat di tangannya. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya kenapa ia repot-repot membeli ini. Toh, bayi itu bukan urusannya.
Tapi entah kenapa, langkahnya tak berhenti.
Begitu sampai di depan rumah, ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam.
Ibunya duduk di lantai, menggendong Reyna yang menangis pelan. Wajah wanita itu terlihat lelah, tapi tatapannya tetap lembut saat ia berusaha menenangkan bayi mungil itu.
Kamala berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Ibunya akhirnya menyadari kehadirannya dan menoleh.
"Kamu pulang," ucap sang ibu, nada suaranya datar, tidak menyalahkan tapi juga tidak hangat.
Kamala menelan ludah, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melangkah masuk dan meletakkan plastik kecil di dekat ibunya. "Ini… susu. Biar dia nggak kelaparan."
Sang ibu terkejut, matanya membulat saat melihat apa yang Kamala bawa. Namun, alih-alih bertanya atau menegur, ia hanya tersenyum kecil. Senyum yang penuh makna.
"Terima kasih, Nak," ucapnya pelan.
Kamala menggaruk kepalanya dengan canggung. "Yaudah, gue mau makan."
Kamala mengambil nasi bungkus yang tadi sempat ia beli di warung. Ia duduk di sudut ruangan, membuka bungkusan kertas minyak yang masih hangat. Aroma lauk sederhana itu menguar, mengisi perutnya yang sejak tadi terasa kosong.
Sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya, matanya sesekali melirik ke arah ibunya yang masih sibuk menyuapi Reyna dengan susu yang baru ia beli.
Bayi itu tampak lahap menghisap botolnya, seolah mengerti bahwa seseorang telah berusaha untuknya.
Kamala mendengus pelan. "Dasar bayi… gampang banget puasnya," gumamnya, meski ada sedikit kehangatan di dalam hatinya yang tak ia mengerti.
Ibunya meliriknya sekilas, lalu tersenyum samar. "Kadang, hal kecil pun sudah cukup untuk membuat seseorang merasa dicintai."
Kamala terdiam, tak tahu harus membalas apa. Ia hanya melanjutkan makannya, berpura-pura tak peduli.
Kamala baru saja meletakkan bungkus nasi kosongnya ketika ibunya menoleh padanya dengan wajah serius.
"Kamala, Ibu mau pergi kerja di rumah Bu Henny. Tolong jaga Reyna sementara Ibu pergi."
Kamala, yang sudah bersiap untuk keluar lagi, langsung menatap ibunya dengan ekspresi tak percaya. "Apa? Gue? Jaga bayi itu?"
Ibunya mengangguk mantap. "Iya. Ibu nggak bisa bawa dia ke rumah Bu Henny. Kalau kamu keluar lagi, siapa yang akan menjaganya?"
Kamala mendengus, melipat tangan di dadanya. "Ibu pikir gue cocok jadi babysitting? Gue bahkan nggak tahu cara gendong bayi!"
Ibunya menghela napas, lalu mendekati Kamala, menggenggam tangannya dengan lembut. "Nak, hanya untuk beberapa jam saja. Tolong, anggap ini sebagai permintaan dari Ibu."
Kamala menatap tangan ibunya, lalu mengalihkan pandangan. Ada perasaan tak nyaman menyusup di dadanya. Ia ingin menolak, ingin tetap pergi mencari uang, tapi wajah ibunya yang memohon membuatnya ragu.
Akhirnya, dengan berat hati, Kamala mengembuskan napas kasar. "Yaudah, tapi kalau dia nangis terus, gue nggak tanggung jawab!"
Ibunya tersenyum lega. "Terima kasih, Nak. Ibu nggak akan lama."
Setelah memastikan Reyna dalam posisi nyaman, ibunya segera mengambil tas dan bergegas pergi ke rumah Bu Henny.
Kini, Kamala duduk di sudut ruangan, menatap Reyna yang masih tertidur dengan damai di atas kain lusuh.
"Hah, jadi ini yang disebut babysitting?" gumamnya. "Gampang banget, tinggal tidur aja."
Namun, beberapa menit kemudian, dugaan Kamala salah besar.
Reyna mulai menggeliat, lalu tiba-tiba menangis kencang.
Kamala terlonjak panik. "Eh, eh! Kenapa lo nangis? Sstt! Udah, diem!"
Tapi tangisan Reyna justru semakin menjadi. Kamala menggigit bibirnya, bingung harus berbuat apa. Ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh bayi itu dengan canggung.
"Ssst… jangan nangis, dong! Aduh, bayi ini kenapa sih?!"
Tapi Reyna tak peduli. Tangisannya semakin keras, membuat Kamala semakin panik.
Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Ya Tuhan, kenapa gue nurutin Ibu buat jaga anak ini?!"
Kamala semakin panik saat tangisan Reyna tak kunjung reda. Ia mencoba berbagai cara, menggendongnya dengan canggung, menggoyang-goyangkannya seperti yang sering ia lihat di film, bahkan mencoba bersenandung pelan. Namun, bayi itu tetap saja menangis, bahkan lebih kencang dari sebelumnya.
"Sial! Lo kenapa sih?!" geramnya, menatap bayi mungil itu dengan frustrasi.
Tangisan Reyna semakin menjadi, tubuh kecilnya mulai memerah karena terlalu lama menangis. Kamala menggigit bibirnya, otaknya berputar mencari solusi. Ia menepuk-nepuk punggung bayi itu asal-asalan, berharap ada keajaiban yang membuatnya diam.
"Gue harus ngapain, sih?! Jangan nangis, dong! Aduh, Ibu… kapan pulangnya?"
Ia menoleh ke pintu, berharap ibunya tiba-tiba muncul dan menyelamatkannya dari kekacauan ini. Namun, yang ada hanya keheningan di luar sana.
Kamala mengembuskan napas kasar. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Mungkin bayi ini lapar?
Dengan cepat, ia meraih botol susu yang tadi diberikan ibunya. Namun, begitu mendekatkannya ke bibir Reyna, bayi itu malah semakin menolak dan menangis lebih kencang.
"Aduh, kok nggak mau sih?! Bukannya lo lapar?"
Kamala semakin kewalahan. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan kecil itu sambil terus menggendong Reyna.
"Gimana sih cara nenangin bayi? Harus gue bawa ke dokter, atau gimana?"
Paniknya semakin menjadi ketika tetangga sebelah, seorang wanita tua bernama Bu Mirna, tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak. "Kamala! Kenapa tuh bayi nangis terus?! Berisik banget!"
Kamala menggigit bibirnya. Ia tahu kalau ia tak segera menenangkan Reyna, kemungkinan besar akan ada lebih banyak tetangga yang datang mengomel.
Ia kembali melihat botol susu itu dan berpikir. Mungkin susunya kurang hangat?
Dengan tangan gemetar, ia menuangkan susu itu ke dalam gelas, lalu menyentuhnya dengan jari. Masih dingin. Ia melirik termos kecil di sudut ruangan, lalu buru-buru mencampurkan sedikit air hangat ke dalamnya.
Setelah mencobanya lagi dengan punggung tangannya, ia mencoba memberi susu itu ke Reyna.
Awalnya, bayi itu tetap menolak, tapi setelah beberapa detik, Reyna mulai menghisap botolnya dengan lahap.
Kamala menghela napas panjang, bahunya yang tegang perlahan mengendur.
"Astaga… akhirnya!"
Ia duduk di lantai, masih menggendong Reyna yang kini mulai tenang. Napasnya tersengal, bukan karena lelah fisik, tapi lebih karena kelegaan luar biasa.
Matanya menatap bayi itu yang perlahan-lahan mulai tertidur kembali. Dadanya terasa aneh, ada sensasi asing yang menyusup ke dalamnya.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa telah melakukan sesuatu yang benar.
Jam terus berlalu, tetapi ibunya tak juga pulang. Awalnya, Kamala mengira ibunya hanya terlambat sedikit, mungkin sedang sibuk di rumah Bu Henny. Namun, ketika matahari mulai tenggelam dan langit berubah oranye keemasan, kegelisahan mulai menyelimutinya.
Reyna sudah tertidur setelah drama tangisannya tadi, dan Kamala akhirnya bisa duduk bersandar di dinding, menghela napas panjang. Namun, pikirannya tak tenang.
"Kok Ibu lama banget? Harusnya udah pulang dari tadi..." gumamnya, menatap pintu dengan dahi berkerut.
Perutnya mulai keroncongan, tapi ia tak punya banyak makanan tersisa. Ia bangkit, berjalan ke dapur kecil mereka, dan hanya menemukan sebungkus mie instan dan beberapa butir telur.
"Yaelah, beginian doang..."
Ia memutuskan memasak mie itu, lalu duduk di lantai sambil menyantapnya perlahan. Sesekali, matanya melirik ke arah Reyna, memastikan bayi itu masih tidur dengan nyenyak.
Namun, semakin malam, kecemasannya semakin menjadi. Ia bangkit dan mondar-mandir di dalam rumah kecil mereka.
"Apa gue harus nyusul ke rumah Bu Henny?" pikirnya.
Tapi bagaimana dengan Reyna? Ia tak mungkin meninggalkan bayi itu sendirian.
Kamala mendengus, lalu mengacak rambutnya frustasi. Ia bukan tipe orang yang gampang panik, tapi kali ini berbeda.
Ibunya tak pernah pergi selama ini tanpa kabar.
Kamala akhirnya tak bisa menahan kegelisahannya. Dengan cepat, ia meraih jaketnya dan menggendong Reyna dengan canggung.
"Aduh, gue bawa lo gimana sih?" gumamnya, mencoba membungkus bayi itu dengan kain seadanya. Setelah merasa cukup aman, ia keluar rumah, melangkah cepat menuju rumah Bu Henny.
Jalanan mulai sepi, hanya beberapa lampu jalan yang masih menyala redup. Ia berjalan melewati gang-gang sempit dengan hati penuh tanda tanya.
"Kenapa Ibu nggak pulang-pulang? Apa ada yang terjadi?"
Sesampainya di depan rumah Bu Henny, Kamala mengetuk pintu kayu itu dengan keras.
Tok! Tok! Tok!
Tak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Bu Henny! Ibu saya masih di sini nggak?" teriaknya.
Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan wajah kaget.
"Kamala? Ngapain kamu ke sini malam-malam?" tanya Bu Henny heran.
"Saya nyari Ibu. Katanya kerja di sini, kok belum pulang?"
Bu Henny mengernyit. "Loh? Ibumu sudah pulang dari sore tadi."
Kamala membeku. "Apa?"
Bu Henny mengangguk. "Dia pamit pulang setelah beres kerja, sekitar jam lima sore. Saya kira dia sudah sampai rumah."
Darah Kamala langsung berdesir. Kalau ibunya sudah pulang sejak sore, kenapa sampai sekarang belum sampai di rumah?
Ada sesuatu yang tidak beres.
Jantung Kamala berdegup kencang. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus berputar. Kalau Ibu sudah pulang sejak sore, ke mana dia sekarang?
Tanpa banyak bicara, Kamala mengangguk pada Bu Henny dan berbalik, melangkah cepat meninggalkan rumah itu. Reyna menggeliat dalam dekapannya, tapi Kamala nyaris tak memperhatikannya.
Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Gang-gang sempit yang biasa ia lewati kini tampak lebih suram. Ia berjalan lebih cepat, melewati beberapa orang yang masih berkeliaran di jalanan.
"Ibu ke mana?" gumamnya, matanya terus mencari ke segala arah.
Ia menelusuri jalanan menuju rumah, berharap ibunya mungkin tersandung sesuatu dan jatuh di pinggir jalan, atau mungkin sedang istirahat di suatu tempat. Tapi sepanjang perjalanan, tak ada tanda-tanda ibunya.
Sesampainya di rumah, Kamala kembali memeriksa ke dalam. Kosong. Sunyi.
Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Sial, Ibu ke mana?!"
Reyna mulai menangis lagi, mungkin karena merasakan kegelisahan Kamala. Dengan cepat, Kamala mengayun-ayunkan tubuh bayi itu, mencoba menenangkannya meski hatinya sendiri penuh kepanikan.
Pikirannya berputar. Apa mungkin Ibu mengalami sesuatu di jalan? Apa ada yang mencelakainya?
Tak ingin tinggal diam, Kamala kembali keluar, kali ini dengan tujuan lebih jelas. Ia harus mencari ibunya.
Langkahnya membawa ia menuju tempat-tempat yang biasa ibunya lewati. Gang sempit di dekat pasar, jalan setapak menuju jembatan tua, bahkan halte tempat beberapa gelandangan sering berkumpul.
Tapi tak ada ibunya.
Kamala merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kamala terus berjalan dengan langkah cepat, pikirannya kalut. Saat melewati sebuah sudut gelap di belakang bangunan tua, ia melihat beberapa sosok yang familiar. Jack dan Sinta sedang duduk di bangku kayu reyot, merokok sambil tertawa pelan.
Jack melihat Kamala datang dan menyeringai. "Wah, lo bawa bayi sekarang? Sejak kapan jadi babysitter?" tanyanya dengan nada mengejek.
Kamala tidak menggubris ledekannya. Ia langsung menatap mereka tajam. "Lo pada lihat nyokap gue nggak?" tanyanya, nadanya serius.
Sinta mengernyit, lalu menggeleng. "Nyokap lo? Enggak, emangnya kenapa?"
Kamala menghela napas kasar. "Dia belum pulang dari kerja di rumah Bu Henny. Tapi kata Bu Henny, dia udah pulang sejak sore. Gue cari ke mana-mana, nggak ada."
Jack dan Sinta saling berpandangan. Kali ini, ekspresi mereka tidak lagi bercanda.
Jack mematikan rokoknya dan berdiri. "Lo yakin nyokap lo nggak mampir ke tempat lain dulu?"
"Kalau pun iya, harusnya dia udah di rumah sekarang," jawab Kamala cepat.
"Gue takut ada yang terjadi sama dia."
Sinta menggigit bibirnya. "Lo udah cari di jalanan sekitar? Mungkin dia jatuh atau pingsan?"
Kamala mengangguk. "Udah, tapi nggak nemu apa-apa."
Jack menghela napas dan menepuk pundak Kamala. "Oke, kita bantu cari. Gue dan Sinta bakal cek ke beberapa tempat yang sering dilewatin orang-orang malam-malam."
Kamala menatap mereka dengan ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Makasih."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bertiga berpencar, menyusuri gang-gang kota yang remang. Kamala menggenggam Reyna erat dalam dekapannya, berharap ibunya baik-baik saja.
Kamala terus berjalan di trotoar yang mulai sepi, matanya terus mencari sosok ibunya di antara bayangan bangunan dan lampu jalan yang redup. Namun, semakin lama ia mencari, semakin besar rasa paniknya.
Tiba-tiba, Reyna mulai menggeliat gelisah di pelukannya. Napas bayi itu terdengar cepat, lalu sebuah suara kecil keluar dari bibir mungilnya.
"Eung… uaaah!"
Tangisannya pecah begitu saja.
Kamala terkejut. "Ssst! Reyna, jangan nangis dulu, dong! Aduh!"
Tapi bayi itu justru semakin keras menangis. Kamala merasa semua orang di jalanan kini menatapnya, meskipun mungkin hanya perasaannya saja.
Ia melangkah ke sudut jalan, mencari tempat yang sedikit lebih sepi. Dengan panik, ia mencoba menggoyang-goyangkan Reyna pelan, seperti yang pernah ia lihat ibunya lakukan.
"Ssst, udah, udah… jangan nangis, ya?" suaranya terdengar canggung.
Namun, Reyna tak peduli. Bayi itu terus menangis seolah-olah dunia sedang runtuh baginya.
Kamala menggigit bibirnya. "Aduh, bayi ini kenapa, sih?! Laper? Ngantuk? Kedinginan?"
Ia melihat sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkan Reyna. Tapi yang ada hanyalah jalanan gelap dan deretan toko yang sudah tutup.
Kamala menghela napas. "Oke, oke… kita cari tempat duduk dulu."
Ia menemukan sebuah bangku kayu di depan warung yang sudah tutup. Dengan hati-hati, ia duduk dan mengayun-ayunkan Reyna di pelukannya.
"Hei, udah dong. Lo kan tadi udah minum susu," gumamnya, meski jelas bayi itu tak mengerti.
Reyna masih menangis, tapi perlahan mulai melemah, mungkin karena lelah. Kamala menatap wajah kecil itu, lalu tanpa sadar mengusap pelan punggungnya.
"Hah… gue nggak ngerti caranya jadi kakak atau ibu atau apalah ini," keluhnya pelan. "Tapi… tolonglah, Reyna, jangan bikin ini makin sulit."
Tangis Reyna akhirnya mulai mereda, hanya tersisa isakan kecil. Kamala menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Namun, kekhawatirannya kembali datang.
Ibunya masih belum ditemukan.
Ia menatap langit malam yang gelap, hatinya semakin gelisah. "Nyokap, lo di mana, sih…?"
Kamala duduk, sambil menunduk dalam diam. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia bukan tipe orang yang gampang menangis, tapi malam ini segalanya terasa terlalu berat.
Reyna kini sudah lebih tenang, hanya sesekali mengeluarkan isakan kecil, seolah merasakan kegelisahan Kamala.
Ibunya menghilang. Ia sendirian. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar tak punya pegangan.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menyakitkan. Lalu, suara langkah kaki terdengar mendekat.
"Kamala!"
Kamala mengangkat kepalanya dan melihat Jack berlari ke arahnya. Nafas pemuda itu tersengal, keringat membasahi dahinya.
"Gue udah nyari ke mana-mana!" Jack berkata cepat, duduk di sebelah Kamala. "Gue nggak ketemu nyokap lo…"
Kamala menggigit bibirnya, menahan emosi yang hampir meledak. "Jadi lo nggak nemu apa-apa?" tanyanya dengan suara bergetar.
Jack menggeleng, wajahnya serius. "Gue udah nyari ke sepanjang jalan besar, ke belakang pasar, sampai ke kolong jembatan tua. Nggak ada tanda-tanda nyokap lo."
Kamala mengusap wajahnya, napasnya berat. "Gue harus gimana sekarang, Jack? Ini udah malam, dia nggak mungkin nginep di luar gitu aja!"
Jack terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Kamala, sambil mengusap punggungnya.
"Yang sabar Mal, kita pasti bakal nemuin nyokap lo," katanya pelan, berusaha menenangkan. Tapi Kamala bisa merasakan nada ragu di suaranya.
Sinta muncul dari arah berlawanan, napasnya juga tersengal. "Gue juga nggak nemu apa-apa," katanya dengan wajah cemas. "Gue udah nanya beberapa orang di jalan, nggak ada yang lihat dia."
Kamala menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di pangkuannya. Ini nggak masuk akal. Ibunya nggak mungkin pergi tanpa kabar seperti ini.
Ia menatap Jack dan Sinta, lalu menghela napas panjang. "Kita harus lapor ke polisi."
Jack mengernyit. "Polisi? Lo yakin mereka bakal peduli? Orang hilang baru bisa dicari setelah 24 jam..."
"Gue nggak peduli!" potong Kamala cepat.
"Gue nggak bisa nunggu selama itu, Jack. Ini nyokap gue!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!