Suatu hari di sebuah sekolah
"Emang nggak ada kegiatan berfaedah lainnya ya selain meminta tanda tangan kakak kelas?" begitu dumelan Love ketika kegiatan MOS nya berlangsung. "Kemarin membuat surat cinta, sekarang tanda tangan, besok apa? Kerokin punggung kakak kelas?" kakinya masih berjalan untuk mengumpulkan tanda tangan dari kakak kelasnya. Bukan sembarang kakak kelas, tapi harus anggota Osis dan juga pembimbing MOS tersebut.
Beruntung mereka-mereka yang menjabat sebagai pembimbing MOS memang menggunakan Pin dengan logo Osis di jas sekolahnya, jadi dia bisa dengan mudah membedakan mana anggota Osis, dan mana yang bukan.
Tapi bukan itu masalahnya. Mereka cenderung songong dan banyak alasan jika dimintai tanda tangan layaknya artis saja. Kampret memang. Dan entah sudah berapa kali Love mengumpat hari ini di dalam hati. Jika bundanya tahu, maka habislah itu telinganya dijewer sampai merah. Belum lagi pelotot papanya yang membuatnya ngeri, bahkan saat membayangkan saja.
Kakinya berhenti melangkan karena dia mendapati gerombolan anggota Osis di sebuah koridor sedang mengobrolkan sesuatu. Menghela nafas, membulatkan tekad, kakinya kembali melangkah pelan, dan bersiap untuk apapun yang mungkin harus dia lakukan untuk mendapatkan sebuah tanda tangan dari mereka.
"Permisi Kak." katanya untuk meminta perhatian dari mereka sejenak. Dua pria dan dua gadis itu diam dan menatap ke arah Love berada.
"Boleh saya minta tanda tangan?" sebuah buku dan bolpoin dia ulurkan ke arah mereka. Mata Love memandang satu per satu dari empat orang tersebut. Seketika bola matanya membulat ketika netranya menatap satu dari dua pria yang tengah membawa sebuah buku tebal di tangannya. Pria itu pun juga tengah memandangnya.
Menurunkan pandangannya di name tag di dada kanan pria tersebut, Love bisa membaca sebuah tulisan 'Aksa A.G' di sana. Love bersumpah jika dia langsung terpesona dengan lelaki tinggi itu.
Sungguh, menurut Love, dia belum pernah melihat lelaki setampan Aksa ini sebelumnya. Teman-teman cowoknya yang pernah mengejarnya saja tidak setampan Aksa ini menurutnya. Dan tentu saja papanya tak masuk hitungan. Karena kalau dia ditanya siapa lelaki tertampan di dunia? Jawabannya sudah pasti papanya. Marvel Nareswara.
Lalu, biarkan Love mendeskripsikan bagaimana penampilan Aksa sekarang. Kemeja putihnya di masukkan ke dalam celananya dengan rapi, gesper hitam melingkar di pinggang lelaki itu. Sebuah dasi menngantubg di lehernya dengan jas sekolah memeluk tubuh tegapnya.
Jika menurut Love, tinggi Aksa mungkin tidak setinggi papanya, dan perut yang ada di balik baju putih itu, juga tidak sekotak-kotak milik papanya, tapi meskipun begitu, bibit untuk menjadi seperti itu sudah ada. Toh Aksa sekarang masih di bangku SMA kan.
Kalau anak SMA punya perut kotak-kotak, itu pasti cuma ada di novel aja. Begitu kata Love dalam hati.
Sebuah deheman mengembalikan nyawa Love yang tadi sempat melayang. Salah satu teman perempuan Aksa mengambil buku milik Love dan meneliti.
"Baru dapet lima?" komentarnya sambil memasang wajah songongnya. Dan mendengar komentar itu, Love memicingkan matanya berani.
"Baru, Kakak bilang? Kumpulin lima tanda tangan ini tu susahnya minta ampun ya Kak. Satu tanda tangan aja syaratnya aneh-aneh. Lagian ya, siapa sih yang buat ide nggak kreatif gini? Ini tuh udah dua ribu berapa sih, masih aja gitu MOS kaya gini disuruh kumpulin tanda tangan, buat surat cinta, yang nggak ada faedahnya sama sekali."
Uh... Uh, berani sekali Love ini. Bahkan Aksa yang tadi sibuk dengan bukunya langsung menatap Love yang sedang mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Bahkan kedua gadis di sana juga melongo dibuatnya, bukan apa-apa. Tapi dalam pikiran mereka, Love terlalu berani untuk ukuran murid baru.
Dan itu lah awal bagaimana Aksa dan Love bertemu. Belum saling mengenal, apalagi menyapa, tapi bagi Love, Aksa adalah pria yang akan dikerjanya untuk hatinya.
°•°
Ini bukan cerita anak sekolahan. Tapi untuk beberapa part kedepan, entah satu atau dua part, akan menceritan awal kisah mereka yang memang berlatar di sekolah.
Yoelfu 14 Juni 2019
"Selamat pagi Prince Aksa." itulah sambutan yang selalu Aksa terima dari adik tingkatnya setiap pagi. Bukan semua adik tingkatnya tentu saja, hanya satu gadis yang begitu berani memanggil seperti itu kepada Aksa.
Ya. Hanya satu. Siapa lagi kalau bukan Love. Gadis yang terkenal cantik oleh penghuni sekolah yang berjenis kelamin laki-laki. Bukan hanya cantik, tapi juga jutek. Meskipun dia anak baru di sekolah, dia tak segan-segan menyemprot mereka yang berani mengganggunya.
Dan bukan rahasia lagi, jika Love tengah berjuang mendapatkan Aksa yang notabennya adalah pria pendiam dengan segala kharisma yang dimilikinya.
Aksa menoleh ke kanan dan langsung mendapati Love tengah memamerkan senyum menawannya yang hanya gadis itu berikan kepada 'Prince Aksa' nya ini.
"Pagi." hanya itu jawaban yang diberikan Aksa untuk Love. Aksa bukan pria yang bersikap sok cool seperti yang ada di dalam novel. Tapi beginilah memang dia, berbicara seperlunya jika ada yang penting, dan menjawab 'obrolan' yang orang lain tujukan padanya.
"Prince Aksa udah sarapan?" tanya Love yang berjalan di samping Aksa.
"Udah." singkat sekali. Tapi bagi Love, jawaban singkat yang diberikan Aksa untuknya adalah suntikan energi untuk seharian ini. Berlebihan sekali gadis itu.
Love tak lagi menanyakan hal yang tak perlu dan hanya menikmati aroma wangi yang menguar tanpa ampun dari tubuh Aksa. Mentari pagi, Aksa, dan aroma tubuh lelaki itu adalah duet luar biasa bagi Love.
Bahkan dia tidak akan bosan melakukan kegiatannya menunggu Aksa setiap pagi di tempat yang sama setiap harinya jika imbalannya begitu luar biasa seperti ini.
"Masuk dulu." pamit Aksa ketika dia sudah sampai di depan kelasnya. Dengan otomatis, Love berhenti melangkah dan membiarkan Aksa masuk ke dalam kelas. Bahkan lelaki itu tak memandangnya terlebih dulu. Tapi lagi-lagi Love tak peduli, membalikkan badan, kemudian dia melangkah untuk pergi ke kelasnya sendiri di lantai tiga. Dan kegiatan itu sudah dia lakukan selama satu semester ini.
"Cewek cantik dianggurin aja sih lo." baru saja pantatnya di dudukkan di bangkunya, Keno sudah berkomentar.
Aksa hanya mengedikkan bahunya dan membuka ponselnya karena sebuah video yang adiknya kirimkan untuknya. Senyumnya terbit seperti mendapat harta karun milyaran rupiah melihat adiknya mencak-mencak tak karuan karena ulahnya.
Tadi tuh ada di kamar, Bunda, terus nggak ada. Pasti abang yang sembunyiin. Soalnya Abang kan tadi masuk kamar adek. Itu suara adiknya.
Makanya kalau naruh barang itu yang rapi dong Dek, bunda kan udah ajarin kamu. Kalau nggak nemu ya udah pakai yang lain aja, entar kalau ditanya pak guru bilang aja lupa di cuci. Suara sang ibu terdengar.
Nggak mau. Kata sang adik lagi. Aksa sudah terkekeh melihat kedua perempuan kesayangannya ribut pagi-pagi. Apalagi melihat sang adik yang hampir menangis itu benar-benar menyenangkan sekali.
Yang Aksa tak paham adalah, kenapa sempat-sempatnya adiknya itu memvideo kegiatannya itu padahal dalam keadaan genting. Ya, keributan yang terjadi itu adalah karena ulah Aksa yang menyebunyikan celana olahraga sang adik sebelum dia turun untuk sarapan pagi tadi.
Entah menurun dari mana Aksa memiliki sifat isengnya itu. Ah, tentu saja dari sang bunda. Kalau ibunya menemukan apa yang di cari, mungkin perempuan itu hanya akan geleng-geleng kepala saja nanti. Bagaimana tidak, dia meletakkan celana adiknya di dekat air mancur depan rumahnya dengan tulisan 'celana murah. 1520. Jika berminat, uang harus pas' begitu.
"Adik lo tu ya Ak, masih SMP udah bening betul. Kenalin lah ke gue." Aksa langsung mem back video tersebut dan mengantongi ponselnya meskipun video yang dilihatnya belum selesai.
"Gue nggak denger kok lo ngomong apa." tanggapan itu membuat Keno mendengus sebal.
"Pelit banger lo. Cuma kenalan doang ini, tapi entar kalau emang doi mau sama gue, gue mah syukur banget."
"Lo ngigau ya? Perlu gue tempeleng buat balikin nyawa elo?" dan Keno hanya berdecak berkali-kali karena Aksa yang menyebalkan jika berkaitan dengan adiknya. Possesif brother, begitulah si Aksa.
°•°
"Gue tahu sih, elo tu di kenal sama cowok-cowok itu karena kecantikan elo. Tapi cantik aja buat apa kalau nggak punya otak." Love berhenti melangkah saat empat kakak kelasnya menghadang langkahnya.
Ini bukan pertama kalinya Love mendapatkan 'labrakan' dari kakak kelasnya karena menyukai Aksa. Karena Love memang begitu terang-terangan menunjukkan rasa sukanya terhadap lelaki itu. Aksa pun tak mendorong Love untuk pergi agar tak mengganggunya, tapi juga tak memberi respon yang berlebihan atas perasaan yang ditunjukkan kepadanya.
"Kata siapa gue nggak punya otak? Punya kok, kenapa? Lo mau pinjem?" suara Love terdengar santai tak gentar sama sekali meskipun ada empat gadis-gadis sok berkuasa telah memandangnya garang.
'Lo jual, gue beli' begitulah Love. Tidak akan segan untuk menghadapi mereka meskipun mereka adalah kakak tingkatnya. Untuk apa? Toh dia tidak pernah mencari masalah kepada mereka.
"Sialan. Berani banget lo."
"Kenapa gue harus nggak berani? Lo bahas otak tadi, sedangkan yang gue tahu, setiap manusia pasti selalu punya otak di dalam kepala mereka. Oh, atau jangan-jangan otak lo dipenjem ya sama udang?" tanggapan Love seolah melenceng dari maksud gadis-gadis itu. Tekniknya, Love pasti tahu arti 'tak punya otak' yang dimaksud oleh mereka.
Menolak peduli ucapan Love, salah satu dari mereka berkata. "Kalau lo punya otak, harusnya lo tahu kalau Aksa nggak akan naksir sama lo. Karena apa? Karena dia suka cewek yang cerdas. Bukan hanya modal tampang doang."
"Dikatakan oleh orang yang mendapatkan nilai 40 dengan rata-rata nilai 75." gadis itu melotot dan hampir maju untuk menampar Love, tapi berhenti karena Love kembali bersuara.
"Kalau kalian berani sentuh gue, urusannya bakal panjang. Gue bukan orang yang mudah ditindas loh tante." begitu katanya sambil melipat tangan di dada menantang. "Daripada lo urusin urusan gue, mending gunain waktu lo untuk belajar kalau mau lulus ujian. Dan urusin tu bedak lo yang ketebelan. Ini sekolah, bukan sanggar lenong." menyisakan geraman dari mereka, Love menatap malas dan pergi begitu saja dari hadapan mereka diikuti temannya di belakang.
Sepertinya sifat ibunya menurun untuk Love tak tanggung-tanggung.
Jika sudah begini, nafsu makan Love benar-benar hilang. Menyuruh Yua -- teman sekelasnya untuk pergi sendiri ke kantin. Karena dia sudah malas untuk ke sana. Jadi dari pada tidak melakukan apapun istirahat kali ini, dia melangkahkan kakinya ke belakang sekolah untuk mencari udara segar.
Masih dengan mendumel, dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Inilah Love, dia bisa bersikap sok tenang di depan mereka-mereka yang menyebalkan itu, tapi dia pasti akan marah-marah sendiri di belakang mereka.
"Gue nggak punya otak katanya?" gelengan kepalanya mendramatisir ucapannya. "Ayam aja punya otak loh, apalagi gue. Kalau bunda tahu gue dikatain nggak punya otak, bisa dipastiin mereka dapet semburan lahar panas dari bunda. Astaga, mines banget kelakuan mereka." begitulah kira-kira dumelan yang keluar dari bibirnya.
Karena lelah berdiri, Love melangkah kembali untuk duduk di kursi yang ada di sana dan melanjutkan dumelannya. "Kalau seisi sekolah ini bilang gue cantik, ya itu bukan salah gue dong. Bunda cantik, papa juga ganteng, wajar dong kalau duel mereka tercipta gue yang mempesona. Bahkan seandainya kalau mereka harus permak wajah mereka pun nggak akan bisa nandingin kecantikan gue. Itu wajar banget. Karena Tuhan begitu teliti menciptakan gue."
Menyenderkan tubuhnya, Love berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran menyebalkan yang berputar di otaknya. Menutup matanya berusaha menikmati semilir angin yang menyapa wajahnya.
Tapi kemudian sebuah langkah kaki terdengar di telinganya. Masih dengan mata terpejam, Love berusaha biasa, namun juga mengambil ancang-ancang untuk lari jika itu adalah suara kaki orang yang akan menjahatinya.
Tak lama, kursi disampingnya bergerak. Membuka matanya, Love bersiap berlari saat mendapati Aksa duduk di sana sambil bersedekap dan memandang ke depan sana. Sebuah buku tebal berada di pangkuannya.
"Prince Aksa." begitu reaksi Love saat melihat Aksa.
Menatap Love, Aksa berbicara. "Aku baru tahu kalau kamu sering mendumel dan menunjukkan percaya dirimu kepada keheningan. Emang faedahnya apa kamu ngelakuin itu?" Love hampir menjatuhkan rahangnya di bawah kakinya ketika suara Aksa yang terdengar merdu di telinganya. Meskipun dia tahu jika Aksa sedang mengoloknya tapi siapa peduli.
"Karena meskipun keheningan, harus ada yang tahu beginilah Love. Karena aku nggak akan pernah ngelakuin itu di depan orang lain."
"Dan itu akan ngebuat kamu terlihat bodoh saat ngelakuin itu."
"Dan aku nggak peduli." Love menatap Aksa dalam-dalam dan meneliti wajah lelaki itu.
"Kenapa prince Aksa ganteng banget sih?" Love begitu terlihat sekali terpukau oleh Aksa. Padahal, sudah hampir satu tahun ini dia mengejar Aksa, memandangi lelaki itu setiap hari, namun dia masih seperti melihat Aksa untuk pertama kalinya. Masih saja terpesona.
Suara Aksa terdengar. Namun sebelum itu, Aksa menatap Love lekat sampai membuat gadis itu salah tingkah.
"Karena bundaku cantik dan ayahku ganteng. Wajar dong kalau duel mereka tercipka aku yang ganteng? Lagian, Tuhan menciptakan aku dengan teliti." Love hanya bisa menganga karena jawaban Aksa yang menjiplak ucapannya tadi. Sangat diluar dugaan. Dan bagaimana Love makin tidak terpesona dengan Aksa jika lelaki itu bisa sekali menawan hatinya.
•°•
Aksa membawa seberkas Ijazah di tangannya dan keluar dari kantor Tata Usaha. Berkas-berkas itulah yang nanti akan digunakan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia sudah menentukan Universitas mana yang akan dia jadikan menimba ilmu setelah ini.
Rasa-rasanya, Aksa sudah tak sabar menjadi seorang mahasiswa. Secara garis besar, dia sudah tahu bagaimana kehidupan seorang mahasiswa. Bagaimana sibuknya mereka dengan buku-buku tebal setiap harinya. Mungkin kalau masalah itu, Aksa sama sekali tak kaget. Toh dia sudah terbiasa membaca buku-buku tebal milik sang Ayah.
Dia merasa berat sebetulnya untuk meninggalkan sekolah tercintanya ini. Ada banyak sekali kenangan yang tiba-tiba tergali begitu saja dalam ingatan. Karena tidak ingin terjebak nostalgia, dia memutuskan untuk melangkah dengan tujuan menyusuri sekolahnya ini untuk terakhir kali sebelum dia pergi meninggalkan tempat penuh kenangan tersebut.
Melangkah pelan, dia mencoba merekam setiap sudut sekolahnya ini dalam ingatan. Map berisi ijazahnya sudah dia masukkan ke dalam tas punggungnya.
Ucapan memberi selamat juga dia dapatkan dari adik-adik kelasnya. Tapi sayangnya sedari tadi, tidak ada Love muncul di hadapannya.
Benar, Love. Kemana perginya gadis itu? Begitu tanyanya dalam hati.
Satu tahun belakangan ini, dia sudah terbiasa mendapatkan sambutan 'selamat pagi prince Aksa' dari Love dengan tambahan senyuman manis yang khusus gadis itu berikan untuknya.
Dan beberapa waktu terakhir ini juga, setiap istirahat pertama selalu dihabiskannya di belakang sekolah bersama Love di sampingnya.
Tidak... Tidak, tentu mereka belum menjadi sepasang kekasih. Hanya saja, ketika Love tahu tempat 'persembunyian' Aksa, gadis itu tak sungkan untuk datang ke sana hanya sekedar duduk berdua dalam keheningan. Love akan menjadi anak baik dengan menutup bibirnya rapat dan membiarkan prince Aksanya itu konsentrasi dengan buku bacaannya. Karena baginya, begitu saja sudah membuat hatinya senang bukan kepalang.
Kaki Aksa berhenti melangkah saat dugaannya benar. Love ada di tempat biasa sambil menunduk entah melakukan apa. Memutuskan untuk mendekat, pria itu duduk di tempat biasanya tanpa mengatakan apapun.
Love menoleh kearahnya, bibir yang tadinya terkatup rapat itu tersenyum. "Hai." tegur Love. Tak seperti biasa, sapaan gadis itu berbeda kali ini. Bukan lagi 'prince Aksa' seperti biasanya.
Menghela nafas panjang, Love memberikan sebuah kotak berukuran sedang kearah Aksa. "Untuk prince Aksa." katanya. Aksa menatap kotak tersebut dan Love secara bergantian, karena dia merasa dia tidak sedang berulang tahun hari ini. Tak sabar, Love menarik tangan kanan Aksa dan meletakkan kotak tersebut di atas telapak tangan lelaki itu.
"Apa maksudnya ini?" tanya Aksa penasaran.
"Hadiah untuk prince."
"Tapi aku nggak sedang ulang tahun." Love menggeleng dan tersenyum.
"Bukan hadiah ulang tahun. Itu hadiah untuk keberhasilan prince Aksa, dan juga..." Love menelan salivanya susah payah untuk melanjutkan ucapannya. "Perpisahan." ada raut sedih yang tersembunyi dalam wajah ayunya.
Entah kenapa, ketika Love mengatakan 'perpisahan' untuk 'kebersamaan' mereka selama setahun ini membuat perasaan asing menyelinap dalam hati Aksa.
Tak urung, lelaki itu tetap mengangguk dan mengucapkan 'terima kasih' karena Love sudah repot-repot memberinya sebuah hadiah.
"Nggak kerasa ya prince, udah setahun berlalu." Love kembali bersuara. "Dan mengingat ini adalah hari terakhir aku bisa duduk bersama prince di sini, rasanya sesak banget di hati." Love menolehkan kepalanya ke kiri untuk menatap sang pujaan hatinya berada. "Beberapa malam terakhir ini, aku nggak bisa tidur. Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku. Dan salah satunya adalah, kemana aku harus mencari hatiku saat orang yang berhasil mencurinya telah pergi."
Berhenti sejenak, Love kembali bersuara. "Prince tahu kan kalau aku cinta banget sama prince?" Love hanya tidak ingin apa yang dia lakukan selama ini tidak membuat Aksa paham, jadi dia berisiatif untuk bertanya dan memastikan.
Aksa mengedikkan bahunya. Namun tetap menjawab. "Kenapa harus cinta banget? Kan bisa cintanya biasa aja." kenapa ya, Aksa ini menyebalkan sekali. Mana bisa begitu kan. Love hanya ingin mengungkapkan perasaannya, meskipun dalam bentuk tanya. Tapi tanggapan Aksa benar-benar menyebalkan.
Tidak ada yang bisa mengendalikan perasaan cinta, bahkan si pemilik perasaan itu sendiri. Harusnya Aksa tahu itu. Ah, tapi mana mungkin jika dia sendiri belum pernah merasakan jatuh cinta bahkan saat sekarang usianya sudah delapan belas tahun.
Kemudian sebuah decakan terdengar dari bibir Love. "Sumpah ya Prince, nyebelin banget jadi orang." Love terlihat sebal luar biasa mendapati tanggapan sangat biasa dari lelaki di sampingnya itu. Jadi, untuk meluapkan kekesalannya, Love kembali mendumel dengan suara keras seolah Aksa tidak ada di sana.
"Harusnya dia itu tahu kalau aku tuh galau beberapa hari ini karena dia akan pergi dari sekolah ini. Rasanya pengen aja gitu ngikut dia kemana-mana. Tapi sayangnya, dianya nggak peka. Aku tanya mau kuliah di mana nggak di jawab. Terus apa kabar hatiku setelah ini?" hembusan nafas lelah, Love keluarkan. Aksa menatap itu sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Dan entah dari mana datangnya kalimat itu, Aksa bersuara. "Mau jalan?" begitu katanya.
Sontak saja, Love langsung menatap Aksa dengan wajah bodohnya sambil mengedipkan matanya lambat. Telinganya baik-baik saja kan? Begitu tanyanya dalam hati. Namun saat Aksa berdiri dan mengatakan 'ayo' dan meninggalkannya, senyum Love mengembang. Dengan senyum mengembang, gadis itu berdiri kemudian berlari mengejar Aksa yang sudah berjalan di depannya.
Love tidak tahu akan kemana mereka, tapi baginya, kata 'jalan' yang diucapkan Aksa adalah bentuk ketertarikan Aksa kepadanya.
Astaga, tinggi sekali khayalan si Love ini. Bisa saja kan Aksa hanya merasa kasihan kepadanya.
Maka, disini lah mereka sekarang. Di kedai 'Mie Ayam' tak jauh dari sekolah. Meskipun Love tadi bertanya, "Prince, nggak bawa motor?" Aksa hanya menjawab. "Aku tadi bilang mau jalan kan? Artinya kita akan jalan untuk sampai tujuan."
Ah, tapi siapa yang peduli kan. Love bahkan tak berhenti tersenyum karena menganggap 'adegannya' kali ini bersama Aksa lebih romantis dibandingkan melihat adegan ibu dan ayahnya yang sedang gelitik-gelitikan.
Love merasa jika mie ayam yang dia makan kali ini begitu sangat luar biasa enak. Dia akan mengingat hari ini sebagai duet kesedihan dan kebahagiaan yang luar biasa. Kesedihan karena tak akan bertemu lagi dengan Aksa, namun makan berdua dengan lelaki itu adalah kebahagiaan yang diberikan Aksa untuknya yang tak akan pernah dilupakan.
Selesai makan, mereka kembali berjalan untuk sampai ke sekolah. Lagi pula, motor Aksa juga masih ada di sana. Euforia kebahagiaan yang Love rasakan beberapa saat tadi, terasa berkurang sejalan kakinya melangkah menuju sekolah. Karena artinya, kebersamaannya dengan Aksa akan segera berakhir.
"Terima kasih traktirannya prince." mereka sudah sampai di sekolah, tepatnya di tempat parkir sekolah. Untuk satu minggu ke depan, memang tidak ada pelajaran di sekolah tersebut. Kebetulan ada class meeting, jadi mereka bisa keluar sekolah meskipun harus meninggalkan kartu pelajar untuk jaminan jika mereka akan kembali ke sekolah.
Love merekam pergerakan Aksa mulai dari memakai helm sampai menyalakan mesin motornya. Dia akan mengingat itu untuk hatinya sendiri.
Dan perkataan Aksa sebelum pulang, membuat Love membatu dan meyakinkan dirinya jika itu benar Aksa yang mengatakan. Tapi sayangnya, ketika dia ingin mengkonfirmasi langsung kepada Aksa, lelaki itu sudah pergi dengan motornya. Menyisakan asap yang melayang di udara.
"Astaga prince Aksa..." begitu katanya sambil tersenyum bahagia.
°•°
Aksa membuka kotak yang Love berikan kepadanya tadi. Malam sudah kembali datang, dan dia baru mengingat kotak itu ketika membuka tasnya untuk mengambil ijazahnya.
Ada tiga benda di sana. Ada kotak berukuran panjang berisi sebuah pena. "Prince akan menjadi mahasiswa. Jika prince mengisi formulir tertulis untuk mendaftar, gunakan pena ini." Aksa membaca tulisan di dalam kotak tersebut. Gelengan kepalanya kembali terlihat.
Kemudian dia membuka kotak lainnya yang berisi jam tangan. Aksa mengambil sebuah kertas yang terselip di sana dan membacanya kembali. "Aku harap, jam ini bisa mengingatkan prince jika waktu tak akan pernah kembali. Maka gunakan waktu prince sebaik mungkin."
Kotak terakhir adalah sebuah kaca mata anti radiasi. Sebelum membaca tulisan di dalam kertas tersebut, Aksa mencoba benda tersebut dan dia merasa jika kaca mata itu pas digunakannya. "Prince akan lebih sering menatap laptop dibanding menatap cewek, jadi kaca mata ini akan melindungi mata prince dari kerasnya radiasi laptop. Lagi pula aku nggak mau prince jadi nggak kenalin aku kalau kita ketemu lagi nanti gara-gara matanya minus." begitu bunyinya.
Aksa memandangi tiga benda itu dalam diam. Gadis bernama Love itu berbeda. Dia bukan gadis dengan banyak tingkah dengan memiliki geng dan bertindak semaunya dengan orang lain seperti gadis-gadis yang ada di sekolahnya. Dia memiliki teman baik, tapi tak tergantung kepada mereka.
"Gue nggak salah kan bilang gitu tadi ke dia?" Aksa mengingat dengan ucapannya siang tadi sebelum dia pergi dari sekolah. Meskipun keyakinan hatinya hanya dua puluh persen, tapi dia merasa tetap harus mengatakannya.
"Love." untuk pertama kalinya, Aksa mengatakan nama gadis itu. Ah, bukan. Kedua kalinya, siang tadi juga masuk hitungan kan.
Senyumnya terkulum entah karena apa. Tapi saat ingatannya melayang tentang Love, ada rasa tak biasa yang masuk ke dalam hatinya.
Tidak ingin semakin menjadi seperti orang bodoh, Aksa membereskan barang-barang pemberian Love dan menyimpannya di tempatnya.
•°•
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!