"cinta seharusnya bertahan selamanya, tetapi Bagaimana jika waktu menjadi batasan yang tak bisa dilawan?"
Dewa adalah seorang fotografer yang suka menangkap keindahan di dunia. Ia sedang mengunjungi rumah sakit untuk menjenguk temannya ketika tanpa sengaja bertemu Ariana, seorang gadis yang duduk sendiri di taman rumah sakit. Percakapan ringan tentang matahari terbit dan senja membuat mereka saling tertarik.
Dewa mulai sering mengunjungi Ariana, dengan membawa foto-foto tempat-tempat indah yang pernah ia kunjungi. Namun semakin ia mengenal Ariana, semakin ia sadar bahwa gadis itu menyembunyikan rahasia besar, yaitu penyakit langka yang membuat hidupnya dapat dihitung dalam bulan, bukan tahun.
Meski mengetahui bahwa waktu mereka terbatas, Dewa berjanji untuk menemani Ariana mewujudkan impian-impian kecilnya. Sebelum semuanya terlambat. Dari melihat senja yang indah, menyanyikan lagu favorit di tengah hujan, hingga menulis surat cinta yang takkan pernah terkirim setiap detik menjadi begitu berharga bagi mereka.
Dewa dapat meyakinkan Ariana bahwa impian-impian kecilnya itu akan terwujud satu persatu.
“Kamu mengapa suka senja?”
Dewa berjalan menghampiri Ariana dengan muka tersenyum.
“menurutku senja sangat indah hingga tidak bosan untuk dilihat”
Ariana menjawab dengan menatap mata kepada Dewa.
Dari situ dewa berjanji kepada dirinya bahwa dewa akan menepati keinginan ariana. Dan saat itulah dewa merasakan cinta kepada ariana dengan sangat tulus.
Meski awalnya dewa enggan terlibat secara emosional, dewa tidak bisa lagi untuk menahan perasaannya. Ariana merupakan seorang gadis yang penuh dengan semangat walupun badan nya melemah karena penyakitnya.
Dewa mulai membawa Ariana keluar dari rumah sakit di sela-sela perawatannya. Mereka menaiki bukit di siang hari dan menginap semalam di bukit tersebut agar ariana dapat melihat matahari terbit di pagi hari, meski menurut beberapa orang itu merupakan hal yang gampang untuk di lakukan tetapi menurut dewa dan ariana itu adalah hal yang tak bisa di ulang kembali, dan dewa memerlukan perjuangan yang besar untuk membawa ariana ke atas bukit dengan selamat.
“Terimakasih dewa, kamu tidak mengenal lelah untuk membawaku kesini”
Ariana memegang kedua tangan dewa sambil menatap mata dewa.
“Tidak apa, teman ku sore ini akan nyusul kita disini, aku takut terjadi hal yang diluar prediksiku”
“Iya dewa, tidak apa-apa jika kamu mau membawa temanmu bersama kita”
Tak lupa dengan kesibukannya dewa tetap menyiapkan obat untuk ariana minum, mungkin ariana sudah bosan untuk meminum obat-obatan tersebut tapi aku yakin ariana dapat bertahan hidup lebih lama jika ia tetap meminum obat-obatan tersebut dan keinginan tetap hidup lebih tinggi.
Sungguh aku ga tau jika ariana meninggalkan ku, bagaimana hancurnya hidupku jika ariana meninggalkan ku, sungguh aku mencintai ariana lebih dari mencintai diriku sendiri, apapun yang bisa aku korbankan untuk ariana, akan aku lakukan sebisa mungkin, hanya untuk ariana.
Tak ku sadari ternyata ariana menatapku dengan mata yang indahnya, mungkin ia bertanya-tanya mengapa aku menjadi lebih murung setelah mengetahui penyakit yang ariana alami. Tapi aku gamau bohong pada diriku, bahwa aku sangat menyayangi dan mencintaimu Ariana, tak sedikitpun aku bisa melupakan mu Ariana.
Tak terasa waktu sudah sore dan teman-temanku sudah sampai di bukit tempat kami menginap, dan kami berjanji tidak ada yang boleh bersedih di hadapan ariana.
Ariana tersenyum lebar ketika mereka turun dari bukit, tubuhnya masih terasa hangat setelah melihat matahari terbit yang begitu indah. Dewa menggenggam tangannya erat, memastikan dia baik-baik saja. Namun, napas Ariana mulai terdengar lebih berat dari biasanya.
"Kamu capek?" tanya Dewa khawatir.
Ariana menggeleng, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun suaranya terdengar lemah.
Namun, saat mereka sampai di bawah, tubuh Ariana tiba-tiba limbung. Kakinya melemas, dan sebelum Dewa sempat meraih tubuhnya, Ariana sudah jatuh terduduk di tanah.
"Ariana!" Dewa langsung berlutut, menggenggam wajah gadis itu yang mulai pucat. Napasnya tersengal-sengal, seperti seseorang yang berusaha mengambil udara tapi tidak bisa.
Dewa panik. "Tunggu sebentar, aku akan menghubungi ambulans!"
Ariana menggeleng lemah, matanya mulai basah. "Jangan... Aku hanya butuh... sebentar."
"Tidak! Ini bukan waktunya untuk keras kepala, Ariana!" Dewa segera mengangkat tubuh Ariana ke dalam mobilnya. Selama perjalanan ke rumah sakit, Dewa terus menggenggam tangannya.
"Jangan tidur, Ariana. Aku mohon," bisik Dewa, tapi mata Ariana sudah mulai tertutup.
Begitu sampai di rumah sakit, para dokter langsung membawanya ke ruang ICU. Dewa hanya bisa berdiri di luar, dadanya terasa sesak. Ia merasa begitu tak berdaya.
Setelah beberapa jam, Dokter Rahman keluar dengan wajah serius. "Kondisinya kritis. Tubuhnya terlalu lemah setelah perjalanan ke bukit. Kami akan melakukan yang terbaik, tapi kamu harus bersiap untuk kemungkinan terburuk."
Dewa menatap dokter itu dengan mata yang merah. "Tidak. Aku tidak akan siap kehilangan dia."
Malam itu, Dewa duduk di samping tempat tidur Ariana, menggenggam tangannya yang dingin. "Kamu tidak boleh pergi sekarang, Ariana. Kita masih punya banyak mimpi yang harus diwujudkan."
Di tengah suara mesin yang berdetak pelan, satu tetes air mata jatuh dari mata Ariana yang tertutup.
Perut Dewa terasa kosong, tapi ia tak peduli. Sudah seharian ini ia belum makan. Rasanya seperti ada batu besar yang menekan dadanya, membuat nafsu makannya menghilang.
Pintu kamar pasien terbuka pelan. Seorang pria masuk sambil membawa kantong plastik berisi makanan. "Lo belum makan, kan?"
Dewa menoleh dan mendapati Ezra, sahabatnya sejak kuliah, berdiri di sana dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Gue nggak lapar," jawab Dewa singkat, kembali menatap Ariana.
Ezra menghela napas, lalu menarik kursi di samping Dewa. "Lo pikir kalau lo sakit karena nggak makan, Ariana bakal senang? Dia pasti mau lo tetap jaga diri."
Dewa terdiam. Tangannya masih menggenggam tangan Ariana, tapi kata-kata Dion sedikit menggoyahkan tekadnya.
"Ini, makan dulu," Ezra mengeluarkan nasi kotak dari dalam plastik. "Gue bawain makanan favorit lo, ayam penyet pedas. Gue tahu lo stres, tapi kalau lo tumbang, siapa yang bakal jaga Ariana?"
Dewa menatap makanan itu sebentar. Bau pedasnya menusuk hidung, mengingatkannya pada hari-hari biasa sebelum semuanya menjadi serumit ini.
Dengan enggan, ia mengambil sendok dan mulai makan perlahan. Setiap suapan terasa hambar, tapi Ezra hanya tersenyum kecil, puas karena Dewa akhirnya mau makan.
"Lo tahu," kata Ezra sambil menatap Ariana yang masih terbaring, "Ariana itu cewek yang kuat. Gue yakin dia nggak akan menyerah secepat ini. Lo juga jangan."
Dewa menghentikan suapannya. Ia menoleh ke arah Ariana, melihat wajahnya yang tenang, seakan sedang bermimpi. Ia menggenggam tangan Ariana lebih erat.
"Aku di sini, Ana," bisiknya. "Aku nggak akan ke mana-mana."
Ezra menepuk bahu Dewa pelan. "Dan gue juga di sini buat lo. Lo nggak sendiri, bro."
Malam itu, meskipun hatinya tetap penuh kecemasan, setidaknya ada sedikit kehangatan yang membuatnya tetap bertahan.
Ruangan ICU masih dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung yang berbunyi stabil. Lampu-lampu putih di langit-langit menerangi wajah pucat Ariana yang masih terbaring di tempat tidur. Selang oksigen masih terpasang di hidungnya, dan jarum infus masih tertanam di tangannya yang kecil dan lemah.
Dewa belum bergerak dari tempatnya sejak tadi malam. Kepalanya bersandar di tepi kasur, tangannya tetap menggenggam jemari Ariana yang terasa dingin. Matanya sudah terlalu lelah, tetapi ia tidak berani tertidur. Ada ketakutan yang menghantuinya, ketakutan bahwa jika ia menutup mata sebentar saja, Ariana akan pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.
Ia sudah kehilangan hitungan berapa kali ia berdoa dalam hati. Bahkan seseorang seperti dirinya, yang jarang beribadah, kini berbisik pada Tuhan agar memberikan Ariana kesempatan kedua.
Saat itu, di tengah keheningan, Dewa merasakan sesuatu.
Sebuah gerakan kecil.
Jari-jari Ariana bergerak.
Dewa sontak mengangkat kepalanya, napasnya tercekat. Ia menatap tangan Ariana yang tadi diam tak bernyawa, kini mulai menggeliat pelan.
"Ariana?" suaranya nyaris berbisik, penuh harapan sekaligus ketakutan.
Kelopak mata Ariana mulai bergerak, seolah berusaha melawan beratnya kesadaran. Butuh beberapa detik sebelum matanya terbuka perlahan.
Cahaya ruangan menyilaukan, membuatnya mengerjap pelan. Ia tampak kebingungan, matanya masih mencari fokus sebelum akhirnya berhenti pada wajah Dewa.
"…Dewa?" suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Dewa merasakan dadanya menghangat, campuran lega dan haru langsung menyergap hatinya. Air mata yang ia tahan sejak kemarin akhirnya menggenang di pelupuk matanya. Ia tersenyum, meskipun bibirnya bergetar.
"Iya, aku di sini. Aku selalu di sini," jawabnya dengan suara bergetar.
Ariana mencoba membuka mulutnya lagi, tapi tenggorokannya terasa kering. Dewa buru-buru mengambil gelas air di meja samping tempat tidur dan membantu menempelkan sedotan ke bibirnya.
"Pelan-pelan," bisiknya lembut.
Ariana menyesap sedikit, lalu menghela napas lemah. Matanya masih terasa berat, tubuhnya terasa seperti tidak memiliki tenaga.
"Aku… masih hidup?" tanyanya lirih, seakan tak percaya ia masih bisa membuka mata.
Dewa tertawa kecil di tengah air matanya, meskipun suaranya masih penuh emosi. "Iya, dan kalau kamu nggak segera sembuh, aku yang bakal mati karena jantungan."
Ariana tersenyum samar, meskipun matanya masih terlihat lelah. "Aku bikin kamu khawatir, ya?"
Dewa menatapnya lama sebelum menghela napas. "Banget."
Ariana ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi napasnya masih pendek-pendek. Dewa menggenggam tangannya lebih erat, menghangatkannya di dalam genggamannya.
"Jangan lakukan itu lagi, oke?" katanya serius, meskipun bibirnya tetap menyunggingkan senyum kecil.
Ariana menatapnya lama sebelum berbisik, "Maaf…"
Dewa menggeleng cepat. "Jangan minta maaf. Yang penting kamu kembali." Ia meremas tangan Ariana lebih erat. "Aku pikir… aku kehilangan kamu."
Ariana menguatkan genggamannya meskipun masih lemah. "Aku masih di sini, Dewa."
Saat itu, Dewa merasa seperti baru saja mendapatkan kembali dunia yang hampir hilang darinya.
Namun, meskipun Ariana sudah sadar, ia tahu perjalanannya masih panjang. Penyakit itu masih ada, waktu mereka masih terus berjalan, dan perjuangan mereka belum selesai. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Dewa mengizinkan dirinya merasakan kelegaan.
Ariana masih di sini.
Dan ia akan memastikan Ariana merasakan kebahagiaan, selama ia masih bisa.
“Tunggu sebentar Ana, aku panggil dokter dulu” dewa dengan penuh tatapan kepada ariana.
Harapan di Ujung Waktu
"Dokter!" serunya panik, bangkit dari kursinya. "Dokter! Ariana sadar!"
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki menggema di koridor. Seorang dokter bersama perawat masuk dengan cepat. Dewa menyingkir, memberikan mereka ruang untuk memeriksa Ariana, tetapi tangannya tetap menggenggam jemari gadis itu.
Tatapan Ariana tetap padanya, meskipun tubuhnya lemah.
Dewa tersenyum di antara air matanya. "Aku di sini, Ariana. Aku selalu di sini."
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, harapan itu kembali nyata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!