Ruangan kepala sekolah itu luas dan terasa dingin. Salah satu dindingnya berupa partisi kaca—memisahkan antara ruang kepala sekolah dan ruang bimbingan Konseling.
Potret Presiden dan Wakil Presiden yang tergantung tinggi di tengah dinding menatap tegas ke seluruh penjuru ruangan. Lemari arsip terpajang berjejeran dengan lemari piala penghargaan yang berada di sudut ruangan.
Seorang wanita bergaun merah dan seorang gadis berkuncir kuda tinggi mengenakan pakaian kasual sopan tengah duduk berdampingan diatas sofa kulit hitam. Di hadapannya adalah seorang pria berusia lima puluhan, keriput di lekuk wajahnya memberi menambah kesan tampak begitu berwibawa.
"Jadi Anne, baru bisa masuk sekolah sekarang, karena Ibu masih harus ngurus berkas-berkas di sana?"
"Iya Pak, bener." jawab wanita itu.
"Ohh ini yang dulu izin nggak ikut ya MPLS ya Bu?" lanjut pria di hadapannya yang merupakan kepala sekolah.
Ibunya mengangguk mengucapkan kalimat yang sama.
"Sekarang kan kegiatan belajar mengajar sudah dua minggu, selain Anne tidak ikut MPLS, Anne juga tidak ikut PTA ditambah lagi Anne sudah dua minggu ketinggalan pelajaran," jelasnya.
"Sebenernya bukan masalah besar, tapi seharusnya ada konfirmasi lain Bu. Karena kan takutnya sekolah sudah menghapus namanya dari daftar siswa baru."
"Untuk masalah itu, saya sebagai ibunya merasa sangat menyesal Pak," timpal ibunya.
Bapak Kepala sekolah mengulurkan tangan mengambil tumpukan berkas di atas meja, membolak-baliknya sejenak. Lantas jemarinya berhenti pada sebuah sertifikat, "Anak yang hebat sekali, bisa dapet mendali perak tingkat nasional. Pasti ibunya bangga," ujarnya.
Ibunya tertawa langsung tertawa kecil. Kemudian beliau kembali membalikan lembaran demi lembaran hingga tak mampu menahan senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anak yang sungguh luar biasa," gumamnya.
TOK
TOK
TOK
Seorang guru perempuan berdiri memegang setumpuk seragam yang masih dikemas. Pak Kepala sekolah segera mempersilakan masuk.
"Ini seragamnya ya Bu, sudah lengkap dari senin sampai sabtu," jelasnya, sembari menaruhnya di atas meja. Lantas guru itu kembali undur diri.
Pak kembali berkata, "Anne mulai berangkat besok ya nak, biar tidak ketinggalan pelajaran terlalu banyak."
Anne bersenandung pelan. Ibunya dan Bapak kepala sekolah kembali berbincang-bincang santai. Sementara tatapannya menyisir ruangan. Melalui partisi kaca buram, tampaknya ruang sebelah berisi dua anak remaja laki-laki dan seorang guru. Meski partisi kaca berperedam suara, namun percakapan mereka masih terdengar walau lemah.
"Kalian masih kelas sepuluh, baru dua minggu kalian mulai KBM. Sudah berani bawa komik porno!"
Bentakkannya terdengar keras menembus pertisi kaca. Bapak kepala sekolah dan ibunya yang tengah berbincang sontak terdiam. Suasana hangat berubah seketika menjadi canggung.
Anne merasa heran dan tak bisa tak bertanya-tanya dalam hatinya. Bagaimana bisa ada anak yang begitu bodoh?
Pak kepala sekolah berdehem keras, menghentikan bentak guru sebelah. Lantas menatap ia dan ibunya dengan senyum canggung yang penuh permintaan maaf di wajah wibawanya.
"Namanya juga anak-anak pak," komentar ibunya.
Pak kepsek hanya tertawa yang seolah dibuat-buat. Percakapan ringan kembali berlanjut, tak lama kemudian ibunya mengakhiri percakapan dan izin berpamitan.
Mereka beranjak bangun. "Ayo Anne, salam sama Pak kepala sekolah."
Nggak usah di suruh juga tau, batin Anne. Sambil menyalami dan mencium punggung tangan Pak Kepsek.
Anne dan ibunya berjalan di antar pak Kepsek. Ketika melewati ambang pintu partisi kaca. Sebab rasa penasarannya ia menoleh, matanya tak sengaja menatap seorang siswa berambut cepak yang menatapnya mengamat. Cepat-cepat ia menunduk, tak mau bertatapan terlalu lama.
Di depan mobil yang terparkir di halaman depan. Anne hendak menekan panel pintu penumpang belakang.
"Apa mama supirmu?" cibir ibunya, lalu masuk kursi kemudi tanpa menunggu jawaban.
Ia pun tak susah-susah menjelaskan atau pindah ke kursi depan. Melalui kaca spion mereka sesekali akan bertatapan namun tak satupun mengucap untuk memecah hening.
Hingga mencapai pertigaan, ibunya memutar kemudinya kearah yang berlawanan dengan hotel tempat mereka menginap sebelumnya.
"Maa, bisa tinggal sendiri," Ucap Anne, memecah keheningan.
"Nanti kamu tahu maksud mama, kalau udah tinggal di sana."
Ia ingin terus menolak. Namun tetap bungkam menatap kaca jendela. Apa gunanya? Hasilnya bakal tetep sama. Itu cuma tiga tahun, ya tiga tahun, batinnya, meyakinkan diri.
Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah jadul bertingkat dua. Ibunya menekan klakson lalu seorang wanita paruh baya berdaster membukakan gerbang.
Begitu mereka turun. Wanita itu menuntun mereka ke dalam. "Nenek mana?"
Tiba-tiba seorang wanita tua berambut putih berlari dari dalam rumah. Matanya yang berair, terbelalak seolah tak percaya.
Anne langsung menoleh menatap ibunya. Pipinya telah dibasahi oleh air mata—menciptakan dua garis panjang. Ia mengucapkan kata dengan sedikit terisak, "Buu."
Wanita tua berlari dan memeluk ibunya sambil tersedu-sedu, air mata mengalir membasahi gaun putih polosnya.
Anne berdiri mengamatinya dari samping, ditemani wanita berdaster yang ternyata matanya sudah berkaca-kaca.
Anne berfikir bahwa wanita tua itu, masih tampak cantik di tengah wajahnya yang keriput. Rambut putihnya juga menambah kesan elegan seorang wanita tua.
"Ini Anne?" tanya wanita tua itu.
"Anne Salim sama nenekmu," suruh Ibunya.
Neneknya langsung memeluknya erat erat, "Sudah lima belas tahun sejak terakhir kali nenek lihat kamu," lantas mencium keningnya lembut.
Meski pikirannya kosong, Anne segera memeluk balik tanpa mengatakan sepatah kata.
Kemudian mereka di ajak masuk, "Mar, buatkan teh buat Yuyun sama Anne."
"Pie Yun, suamimu?"
Ibunya mulai bercerita tentang proses perceraiannya yang sulit dan yang lebih sulit mengenai hak asuhnya. Namun Anne masih merasa kesal. Mengapa ibunya berusaha begitu keras kalo akhirnya malah dititipin di rumah neneknya. Bahkan masih tidak tahu malu berpesan agar dirinya tak boleh berpacaran terlalu intens.
Anne mendengarkan bosan obrolan orang tua. Sesekali ia akan menyenderkan punggungnya di sofa atau meneguk teh manis. Tak lama setelahnya Ibunya beristirahat di kamar neneknya. Hanya tersisa dirinya yang kini mendengarkan setiap kata yang ucapakan neneknya.
Yang bercerita tentang masa kecil ibunya dan pamannya dengan bahasa Indonesia sesekali menyelipkan kata dalam bahasa jawa. Beberapa hal sudah ia ketahui seperti Ibunya yang diambil dari sebuah panti asuhan. Namun cerita lainnya seperti Ibunya yang menjaga pamannya sewaktu kecil ketika nenek dan kakeknya sedang sibuk.
Anne merasa sedikit kagum bercampur iba, menatap pintu yang baru saja dimasuki ibunya. Sampai menjadi wanita paruh baya, ibunya masih tak bisa menemukan orang tua kandungnya.
Tanpa diduga, wanita tua itu mengajaknya berkeliling rumah. Dan memperkenalkan setiap nama tanaman hias yang paling besar.
Sampai di halaman samping. Pandangan Anne tertuju pada kolam renang bergaya modern yang tampak sedikit kontras dengan model bangunan rumah.
"Kolam renang di bikin belum lama," tutur nenek. "Sepupu yang minta."
Kemudian mereka masuk melewati pintu samping yang ternyata langsung menuju dapur. Wanita berdaster yang dipanggil Mar tengah sibuk memasak, "Itu mba Mar, dia yang bantu-bantu nenek di rumah."
Mba mar segera menghentikan pekerjaannya dan menyapa Anne, "Nduk, kalo mau minta buatin apa-apa bilang ke mba ya."
"Iya mba, Anne ngga akan sungkan,"
Nenek kembali mengajaknya berjalan, sampai di depan tangga ia menunjukan dua pintu kamar, "Nanti kamu yang kanan, yang ada kamar mandinya, sepupumu yang kiri."
Di luar tiba-tiba terdengar orang tengah mengobrol. Begitu mereka menoleh, di ambang pintu berdiri seorang wanita berseragam guru dan pria berkacamata.
"Bu, Mbak Yuyun....ini Anne, kan?" seru pria itu.
"Salim sama paman bibimu, nduk." suruh neneknya.
Anne mendekati mereka lalu menyalami keduanya. Tapi begitu ia menyalami bibinya—wanita itu langsung menariknya dalam dekapan.
"Sudah gadis kamu, Ann." ucap bibinya pelan, suaranya sedikit terisak.
Anne terdiam di pelukannya, menatap kosong setiap helai rambut wanita itu. Lantas ia dengan ragu-ragu mengangkat lengannya dan perlahan memeluk bibinya.
Mendadak sebuah teriakkan terdengar di halaman depan. "Pa, ini mobil baruku?"
Anne menatap bibinya yang langsung melepas pelukan dengan senyum canggung, sementara wajah pamannya tersenyum masam dan melangkah keluar.
"Itu sepupumu." bisik neneknya.
Tak lama kemudian pamannya masuk, diikuti seorang remaja jangkung di belakangnya. Mata Anne seketika membelalak kaget, Dia bocah mesum tadi kan?
"Ivan, salim dulu sama kakakmu." suruh pamannya.
Ivan membalas memelototi dari balik punggung pamannya sebelum berjalan mendekat. Sampai begitu dekatnya hanya berjarak tiga puluh centimeter lalu mengulurkan tangan.
Anne ingin melangkah mundur, namun melihat perbedaan tinggi diantara mereka. Ia menggertakkan giginya merasa tak terima. Dia punya masalah apasih! nggak jelas bangett! batinnya kesal.
Ia pun balas mengulurkan tangan, Ivan dengan cepat menjabatnya erat. "Jangan kasih tau Papah soal tadi!" ucap Ivan pelan melalui giginya yang terkatup.
Anne mendongak menatap wajah Ivan yang sok dominan. "Ckk...lepasin," tukas Anne lirih sambil melototi Ivan.
Ivan kembali memelototinya dan segera melepaskan jabatan tangan. Lalu mundur, kembali berdiri di sisi pamannya.
Neneknya mengajak mereka duduk-duduk santai di sofa ruang tamu. Mengobrol ringan membahas berita yang akhir-akhir ini ramai di telivisi.
Ibunya yang baru saja bangun tidur, dengan santai masuk dalam obrolan. Namun entah mengapa, Anne merasa obrolannya malah menjadi canggung.
Ivan dengan cakap langsung menyalami Ibunya.
"Ivan, tolong ambilin budhe paperbag warna hitam di bagasi mobil," ucap ibunya, memberi kunci mobil.
Ivan mengangguk sambil menyahut kunci ditangan ibunya
"Iyaa budhe."
Segera Ivan kembali menenteng paper bag, berjalan mendekati ibunya. Lalu menyodorkan paperbag berwarna hitam bertuliskan merk brand italia. "Ini budhe,"
"Nggak, itu buat kamu." ucap ibunya lembut.
Seketika matanya tampak berseri-seri, seolah sudah tahu apa isinya. "Terima kasih, kakak cantik," seru Ivan senang.
Anne melihatnya merasa geli. Mengingat perbedaan sikapnya yang drastis. Suka kan itu aku yang milih sepatunya, cibir Anne dalam hatinya.
Ibunya dulu seorang model sekaligus aktris, ia dengan gampang mengelus kepala Ivan sebagai tanggapan. Bibinya tertawa kecil sambil menepuk paha Ivan, "Manggilnya Budhe."
Suara tawa mengisi ruang tamu kecil itu. "Tapi Budhe beneran masih kaya mba-mba kuliahan loh," ujar Ivan.
Ibunya tertawa lepas menepuk-nepuk bahu Ivan. Sampai tiba-tiba ia menjatuhkan kecupan ringan pada bibir Ivan. "Gimana? masih kaya ciuman mba-mba kuliahan?"
Tawa Ivan langsung terhenti. Matanya terbelalak kosong sambil menyentuh bibir dengan jemarinya. Tak tau jika semua orang di dalam ruangan menertawainya. "Budhe, itu first kiss-ku loh" gerutu Ivan.
Ibunya terkikik tanpa dosa, mengetuk ringan dahi Ivan "Dasar bocah nakal,"
Dalam hatinya, Anne juga ingin menertawai sepupunya yang polos keras-keras sambil mengejek.
Seusai makan malam, ibunya berpamitan pergi. Tak banyak yang dikatakan pada Anne, kecuali pesan agar tak berpacaran yang kembali diucapkan. Nenek, bibi dan pamannya juga berkata sungguh-sungguh akan menjaganya dengan baik.
Namun di antara mereka termasuk Anne tak ada yang tahu jalan hidup apa yang akan di pilih ibunya. Meski di meja makan bercanda ingin menjadi seorang biarawati.
Nenek, paman, bibi, Ivan, mba mar dan Anne berdiri di depan gerbang rumah. Menatap mobil sport kuning yang perlahan mengecil.
Perasaanya kosong, Anne tak tahu apa yang tengah dirasakan. Hanya kosong, tak ada kesedihan maupun kegembiraan. Hatinya kosong.
Sementara Anne masih menggunakan kamar tamu. Semua barangnya juga sudah diletakkan di dalamnya. Termasuk setumpuk seragam yang masih dibungkus plastik di atas meja.
Anne bergegas turun menuju ruang belakang kebetulan mba mar tengah mengeringkan pakaian. Anne berseru pelan, "Mbaa..."
Mba mar sontak menoleh menatapnya, "Ehh nduk, mau nyuci yo?.....taruh di atas meja saja nduk."
"Iya mba," ucap Anne seraya meletakkan seragam di atas meja di pojok ruangan. "Maaf ngerepotin ya mba."
"Enggak papa, enggak papa," ucap mba mar cepat, "Besok mulai sekolah tah nduk?"
Anne tersenyum, berkata "Makasih ya mba, iya mba besok Anne mulai sekolah."
Lalu mba mar nyuruhnya segera beristirahat, Anne tak lupa kembali mengucapkan terimakasih baru kemudian ia bergegas menuju kamarnya.
Di balkon Anne tak sengaja melihat punggung pamannya yang tengah menatap langit-langit malam, dengan sebatang rokok yang terjepit diantara jarinya.
Namun tubuhnya terlalu lelah hanya untuk mengobrol, Ia menekan panel pintu pelan lalu masuk tanpa mengeluarkan suara.
Esoknya ia berangkat dengan paman dan bibinya. Anne berjalan cepat menyusuri koridor sembari sesekali mencari plakat nama kelas IPS unggulan dua, sementara bel masuk mulai berbunyi nyaring.
Ketika berjalan kurang dari dua meter Anne menemukan plakatnya. Di arah berlawanan seorang guru tua tengah berjalan dengan pandangan seolah tertuju padanya. Anne hendak masuk ke dalam kelas tiba-tiba guru tua memanggilnya.
Anne sontak menoleh, "Kenapa Pak?"
Guru tua itu menatapnya sejenak lalu beralih pada badge name-nya. Lalu ia memberi isyarat masuk. Anne juga sempat melihat namanya—Susilo, lantas ia mengikutinya dari belakang.
Begitu melewati ambang pintu, semua pandang tertuju padanya. Pak Susilo mengatakan kepada seisi kelas bahwa ia sebenarnya sudah dari awal menjadi bagian dari kelas unggulan IPS dua, namun baru dapat menampakan diri. Kemudian menyuruh Anne memperkenalkan dirinya sendiri. Pandangan Anne menyapu seisi kelas hingga jatuh pada Ivan, satu-satunya yang tengah menunduk menggoreskan pulpennya pada buku diantara seluruh teman kelasnya yang mendongak menatapnya. Anne sekejap menarik pandangnya dan memperkenalkan diri.
"Perkenalan namaku Anne Saraswati, aku lulusan SMP mulia Bogor."
Seisi kelas sontak berbisik-bisik mengapa ia baru berangkat sekarang, Anne kembali menambahkan jika orang tuanya harus mengurus berkas pindahan. Pak Susilo segera menyuruhnya duduk di baris kedua terakhir dekat jendela—tepat di depan Ivan.
Teman sebangkunya adalah seorang gadis berambut pendek. Anne menganggukkan kepala sebagai sapaan. Gadis itu langsung menepuk-nepuk tempat duduk kosong dan memperkenalkan diri.
"Ann, kenalin aku Ratri," ucapnya sambil berjabat tangan.
Ratri terus mengajaknya mengobrol, seolah telah menantikan seseorang duduk di bangku sebelahnya. Ia segera memperkenalkan Ivan dan teman sebangkunya yang bernama Farhan bau bawang. Tiba-tiba Ratri merogoh isi tas depannya. Mengeluarkan selembar kertas.
"Ann nih buat kamu." kata Ratri sambil menyodorkan satu lembar tiket.
Sebelum sempat mengambilnya, Ratri kembali berkata "Gratiss."
Itu adalah sebuah tiket konser yang akan diadakan bulan depan di alun-alun kota. Sayangnya Anne tak menyukai tempat ramai dan bising. Ia sedang memikirkan cara menolaknya dengan halus. Tiba-tiba Ivan langsung menyerobotnya "Gratiskan? buat aku aja"
"Seratus ribu, sini." kata Ratri menodongkan tangannya.
Kini giliran Farhan yang mengambil dari tangan Ivan. "Diskon 75%?" Katanya sambil menaikkan kedua alisnya.
"Kamu masih punya urat malu?"
"90%?"
"Orang gila," sambil menggeleng-gelengkan kepalanya "Ambil saja, Anne juga enggak mau" kata Ratri
Ivan langsung menggebrak meja menatap sinis pada Ratri "Dia sama Farhan gratis kok aku bayar!?"
"Suka-suka aku."
Anne memalingkan wajah. Tak lagi mendengarkan keributan mereka yang tak ada hentinya dan kembali bermain dengan ponselnya.
Saat bel pulang berbunyi. Anne bergegas keluar kelas tapi di depan gerbang sekolah semua angkot sudah penuh. Dengan berat hati ia memutuskan untuk berjalan kaki.
Jarak dari sekolah ke rumah hanya sekitar dua kilometer tak masalah pada jaraknya tapi terik matahari membuat dehidrasi.
Sesampainya di rumah ia langsung melemparkan tubuhku di atas sofa. Awalnya tak berniat untuk tidur tapi perlahan kelopak matanya terkulai hingga akhirnya tertidur lelap.
Saat terbangun karena bersin berulang kali-langit di luar sudah petang. Anne beranjak bangun dan sebuah selimut merosot dari tubuhnya. Mungkin neneknya yang menyelimutinya-Ia segera melipat selimutnya. Di seberang sofa tempatnya tertidur seekor kucing persia berwarna oranye tengah menatapnya.
Anne segera bangun dan bersiap melanjutkan tidur di kamar. Tapi kamar yang semalam yang ditempatinya telah berisi perabotan khas remaja laki-laki dan beberapa alat olahraga. Ia membuka pintu kamar sebelahnya, aroma parfum laki-laki masih tercium samar meskipun seprei dan barang-barang miliknya sudah diganti dan dipindahkan. Koper dan barang bawaannya juga sudah ditata rapih tapi Anne masih merasa tidak puas dengan tatanan bukunya.
Panasnya matahari juga membuat tubuhnya mengeluarkan banyak keringat disiang hari dan kini terasa lengket. Kamar yang kini memang terdapat kamar mandi dan Ia bergegas mandi—sensasi air dingin yang mengguyurnyq menulusuri setiap pori kulit memberikan perasaan puas dan tenang. Setelah mengenakan piyama ia mulai menata ulang buku miliknya. Disamping meja belajar terdapat rak buku berukuran sedang yang masih kosong. Di meja belajar juga terdapat laci panjang di bawahnya.
Anne hanya mempunyai buku pelajaran dan satu novel yang sedang ia baca. Jadi tak perlu di pajang di rak buku. Ia memutar kunci lacinya yang sudah berkarat ternyata di dalamnya terdapat beberapa seri manga yang tampaknya dulu sering dibaca oleh pemiliknya.
TOK
TOK
TOK
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Anne bergegas membuka pintu. Ivan berdiri kaku dengan mulut membuka menutup. Anne tau jika ia ingin mengambil seri manganya yang tertinggal. Tanpa mengatakan apapun Anne membuka pintu menjadi lebih lebar.
Setelah mengambil seri manganya Ivan berjalan melewatinya tanpa mengatakan sepatah katapun.
Selesai menata buku. Anne teringat satu hal dan langsung mengambil ponsel mengirim pesan pada ibunya untuk mengiriminya mobil secepatnya beserta sopirnya. Ibunya membalas mengatakan akan mengirim mobil dan sopir dari rumah lama mereka dan akan sampai sekitar delapan hingga sepuluh hari.
Setelah mendapatkan balasan Anne menghela nafas berat mau tak mau harus menerima nasib berjalan kaki sepulang sekolah jika beruntung ia akan mendapatkan tempat duduk di angkot. Untungnya di pagi hari Ia bisa berangkat bersama paman dan bibinya. Ivan sendiri kata pamannya lebih suka nebeng pada temannya.
Sebelum makan malam tiba Anne menghabiskan waktunya untuk membaca novel karya Sir Arthur Conan Doyle versi original language. Meskipun masih ada kata yang masih belum dipahami tapi demi skill bahasa inggrisnya.
Pukul tujuh malam, mba mar memanggilnya untuk makan malam bersama. Di ruang makan semua orang sudah berkumpul termasuk Ivan yang Anne kira ia tak akan ikut.
Di meja terdapat beberapa hidangan yang baru saja di masak, uapnya bahkan masih mengebul. Udang saos tiram, sayur pokcai yang ditumis setengah matang dan sepiring besar gorengan tempe dan tahu. Nenek menyuruhnya duduk di kursi yang berhadapan dengan Ivan dan Bibi mengambilkan piring dan nasi untukku.
"Kalo kurang ambil lagi aja." kata bibi.
"Iya Tante." jawabku sambil mengangguk ringan.
"Ngomong-ngomong, Anne tadi siang pulang naik angkot apa sama temen?" tanya bibinya.
"Naik angkot bi." jawab Anne ringan.
"Naik angkot tarifnya murah tapi desak-desakan kamu gapapa? mulai besok berangkat sama Ivan saja." sambungnya.
Ivan yang sedang asik mengupas kulit udang langsung mendongak terbelalak sambil mengerutkan keningnya. "Bu, aku enggak mau bawa motor sendiri."
"Terus kamu tega liat kaka kamu pulang sekolah naik angkot?" sahut pamannya.
Ivan melirikku-mendengus tidak mengatakan apa-apa dan kembali memakan udang yang sudah ia kupas.
"Aku sudah minta mama mengirim mobil sama sopir, sementara aku naik angkot enggak masalah." kataku tersenyum ringan.
Nenek yang sedari tadi menyimak. Memandangi Ivan sambil menggelengkan kepalanya "Anak ini."
Untuk malam ini Anne tidur di kamar tamu. Esoknya ia berangkat diantar oleh paman dan bibinya. Begitu sampai sekolah
Beberapa hari selanjutnya Anne pulang sekolah menaiki angkot, tapi karena berdesak-desakan dan panas bercampur bau keringat ia memutuskan di hari selanjutnya berjalan kaki.
Ratri berulang kali juga menawarinya boncengan tapi Anne mengingat obrolan mereka beberapa hari sebelumnya.
"Si brengsek Ivan dari dulu memang kikir." celetuk Ratri seraya menatap punggung Ivan.
"Hah?"
"Ann, kamu tahu enggak Ivan dulu pas SMP nyebelin banget sumpah." ucap Ratri kesal.
"Nyebelin gimana?"
"Nih ya dulu pas SMP temennya banyak yang cewe, trus dia sering ngasih contekan tuh tuh ke cewe-cewe tapi giliran sama aku malah dia yang minta contekan."
"Cantik?"
"Ya cantik sh tapi bego. Pas ngerjain tugas kelompok di rumah Ivan bukannya ikut ngerjain malah deketin ibunya Ivan."
"Itu bukan bego, tapi caper."
"Iya tapi tetep aja."
Saat mengira percakapan akan berakhir Ratri kembali bicara "Kamu tau temen yang biasa bonceng sama Ivan?"
"Enggak." Anne menggelengkan kepala.
Ratri mengambil ponselnya-membuka galeri menunjukan dua remaja laki-laki yang mengenakan Jersey putih bercocok hitam yang saling merangkul. Keduanya memiliki tinggi badan yang hampir sama tetapi perbedaan warna kulit mereka sangat menonjol. Sekali lihat tanpa dijelaskan Anne tahu Ivan yang berkulit putih. Tapi Ratri tetap menjelaskan saat menunjukkan orang disebelahnya yang berkulit sawo matang. Namanya Yuda, mereka anggota klub voli, jelas Ratri.
"Namanya cocok sama mukanya." tanggapnya.
Ratri kembali berbicara mengenai Yuda. Ia juga tanpa malu-malu mengatakan jika cintanya bertepuk selebah tangan. Selama ini dia hanya dapat memotret dari kejauhan layaknya mepaparazi selebriti. Anne sampai merasa sedikit merasa iba saat Ratri menunjukkan gambar kepala buram.
Sampai seminggu kemudian hari-harinya berjalan lancar. Sampai pamannya tiba-tiba berangkat kekampus tempatnya mengajar di pagi hari buta. Semalam Pamannya sudah memberi tahunya lewat chat tapi Anne sudah tertidur. Di teras rumah ia ragu-ragu berangkat sekolah. Jika berjalan kaki pasti telat tapi ia tak mau mendapatkan Alfa.
Greeeeeet
Garasi terbuka, Ivan menaiki sebuah motor Scoopy berwarna merah mengenakan helm full face yang tampak aneh dan tidak cocok. Ia berhenti di depan gerbang rumah memberi isyarat pada Anne.
Meskipun sedikit kesal karena mengenakan helm full face saat mengendarai motor metic. Tapi ketika menatap Anne yang berdiri linglung di depan teras rumah Ivan tak tega membiarkannya berjalan kaki-mungkin berlari menuju sekolah. Beberapa hari sebelumnya ia sudah melihatnya dari kejauhan saat Anne berjalan kaki pulang sekolah. Lagian kenapa enggak pulang sama Ratri aja sih, pikirnya.
Anne tak kunjung menanggapi saat Ivan mengira Anne tak mau berboncengan. Anne langsung menghampirinya mengambil helm yang diberikan olehnya.
Mereka mengendarai motor dalam diam tak ada satupun yang berani memulai obrolan. Ivan sengaja mengambil jalan memutar karena jika melewati jalan raya pasti akan macet tapi jalan yang dilaluinya penuh lubang dimana dan polisi tidur buatan warga. Membikin helm mereka saling beradu terlalu sering. Kadang bahu Anne dan punggungnya juga saling menghantam membuat Ivan duduk semakin maju ke depan "Ckk, mundur dikit sana. Sempit tahu." ucapnya kesal.
Bukan cuma Ivan yang merasa kesal Anne sudah sangat ingin turun sejak awal tapi mendengar perkataan Ivan membuatnya semakin kesal "Ya kamu bisa pelan dikit enggak!" sahutnya sembari duduk menjauh dan mendorong bahu Ivan.
Tapi ia tak tahu karena pandangannya tertutup helm Ivan seekor Ayam lewat saat ia mendorong bahunya dengan keras. Dalam sepersekian detik dunia berputar, tiba-tiba telapak tangan, siku dan lututnya terasa sakit. Anne jatuh menelungkup disusul suara motor yang terguling.
Anne perlahan bangkit menatap telapak tangannya yang sedikit kotor dan terasa panas. Sikunya hanya tergores mengeluarkan bintik-bintik darah sedangkan lututnya lebih parah karena semua area luka berdarah meskipun tak terlalu lebar.
Matanya langsung terbelalak kaget mengingat wajahnya. Anne segera membersihkan telapak tangannya dan meraba wajahnya tapi hanya sedikit debu berpasir yang menempel. Ia segera menghela nafas lega.
Tapi melalui penglihatan tepinya Ivan tengah memandanginya dengan bingung. Anne menatapnya balik penuh tanya tapi Ivan malah langsung tertawa keras. Baru ia tersadar Ivan tidak jatuh sama sekali seluruh seragamnya masih rapih dan bersih.
Anne bergegas kearah Ivan dengan kesal menendang belakang lututnya dan melupakan miliknya yang terluka. Ivan menghindar dengan cepat saat Anne mengernyitkan dahinya karena rasa sakit yang menjalar. Ivan segera berhenti tertawa dan menatap lututnya "Mau ke UGD?"
Anne menatap jam tangannya-menggelengkan kepala dan menunjuk motor "Cepetan nanti telat."
"Lukamu?" tanya Ivan.
"Cepetan, nanti mampir UKS dulu sebelum masuk kelas."
Ivan cepat-cepat mengangkat motor yang rubuh tapi saat ia melihat Anne kembali menaikinya ia tampak ragu-ragu. Tapi akhirnya mereka sampai di sekolah meskipun terlambat karena Ivan mengendarainya sangat pelan.
Anne bergegas menuju UKS selagi Ivan memarkirkan motornya di tempat parkir indoor. Petugas UKS adalah seorang perawat wanita berusia dua puluh empat tahunan ia bertanya tentang asal luka Anne saat membersihkan lukanya. Selesai di perban Anne langsung menuju ruang kelas untungnya guru masih belum masuk.
Teman kelasnya segera mengerumuninya. Seorang gadis keturunan Chindo-lah yang paling banyak menanyakan kronologinya. Anne merasa mereka terlalu berlebihan. Saat mereka perlahan mulai bubar. Ratri merasa aneh karena ia biasanya berangkat bersama pamannya.
"Om-mu jatuh miskin?"
"Nonsense, om ku tadi berangkat pagi, Aku bonceng sama anaknya."
"Om-mu punya anak?","Aku kira masih bujangan." sambungnya.
"Padahal mau minta dikenalin."
Anne sudah mulai terbiasa dengan candaan Ratri yang tak bermoral tapi saat di bagian ini ia tanpa sadar melirik Ivan. Benar saja warna wajahnya sudah seperti banteng merah.
"Ehh gimana Yuda?" alihnya.
Mata Ratri seketika berbinar sebelum kembali meredup. Meskipun sudah mendapatkan nomer ponsel Yuda tapi ia masih tak berani mengirim pesan duluan. Anne juga memberikan pendapatnya tentang berpura-pura salah nomor sampai pura-pura menjadi kurir tapi tak ada masukan yang diterima.
"Ann nanti mau pulang bareng?" tawar Ratri disela obrolan.
Anne memikirkannya sejenak, semula ia juga tak keberatan berboncengan dengan Ivan tapi mengingat helm mereka yang selalu berhantaman membikinnya kembali merasa kesal.
Jalan yang mereka lalui sebelumnya terdapat gang sempit mungkin nanti ia bisa meminta Ratri berhenti di depan gang, pikir Anne.
"Emang enggak papa?"
"Iyaa ayo nanti aku anter." ajak Ratri.
Ketika bel pulang berbunyi, selagi Ratri mengambil sepeda motornya Anne memberi tahu Ivan agar tidak usah menunggunya. Ivan hanya memberikan anggukan kecil dan berjalan melewatinya.
Dalam perjalanan pulang Ratri kembali bercerita mengenai Yuda sampai ketika Anne menunjukkan arah jalan Ratri mulai merasa ragu-ragu tapi ia tetap melaju sampai depan gang yang ditunjuk Anne "Ann rumah kamu yang mana?" tanyanya bingung "Rumah Yuda sama Ivan juga enggak jauh dari sini."
"Rumahku udah deket, terima kasih Ra."
"Beneran? Ya sudah aku pulang Ann." ujarnya sambil men-starter sepeda motornya.
Anne melambaikan tangannya "hmm, hati-hati."
Di depan pintu kamar Anne. Ivan sudah membeli perlengkapan untuk mengobati luka luar beserta salep guna menghilangkan bekas luka. Saat membelinya Ia hanya teringat banyak teman sekelas perempuannya selalu mengeluh mengenai bekas jerawat mereka. padahal kan keren punya bekas luka apalagi kalo baku hantam, menurutnya. Lagian Ivan membeli semuanya supaya Anne tak mengadu pada ayahnya.
Tapi setelah berdiri hampir lima menit Ivan masih ragu-ragu mengetuk pintu Anne sampai pada menit ke sepuluh ia mengetuk pelan. Begitu pintu terbuka ia langsung menyodorkan kantong kereseknya sembari menggaruk kepalanya.
Bukannya langsung diterima Anne malah menatapnya heran "Apa?"
"Obat luka luar." jawab Ivan gugup.
Anne meng-oh seraya meraih kantong kereseknya "Makasih."
Begitu Anne berniat menutup kembali pintunya Ivan segera menghentikannya "Jangan kasih tau Papah," bisik Ivan.
Anne menarik salah satu sudut mulutnya segera membanting pintu. Seketika Ivan naik pitam menggedor pintu sambil meneriaki namanya sebelum neneknya melemparkan sandal dari lantai bawah kebelakang kepalanya.
Ivan menggerutu marah masuk ke dalam kamarnya menendang-nendang dinding antara kamar miliknya dan milik Anne. Kamar sebelahnya masih tidak bereaksi tapi kakinya terasa sakit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!