...DAMIAN WINSLOW...
...TALIA ADHISTY BOURNE...
...CASEN ZWEIG...
...LINTANG BOWLES...
...JASON BOURNE...
...ZAKA...
...LIBRA...
...BETSY...
Akhirnya aku bisa buat kisah Damian juga. Semoga kalian semua suka sama tokoh-tokohnya. Ini gambaran tokoh yang aku kasih, tapi kalo nggak suka silahkan bayangin sendiri aja ya. Semoga ceritanya menarik buat di baca. Jangan lupa dukung aku terus🙂
Talia Adhisty, 21 tahun. Ceria, bercita-cita menikmati hidup dengan caranya, dan agak sableng. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi penyanyi terkenal yang tampil di panggung besar, dikelilingi sorakan penggemar. Namun, kenyataan tidak seindah mimpinya. Suara Talia … yah, bisa dibilang sangat unik. Dalam keluarga, ia selalu di sebut dengan 'Talia Fals'.
Orang tua dan kakaknya selalu sakit telinga setiap kali dia bernyanyi. Bagaimana tidak sakit telinga coba, suaranya saat bernyanyi memang tidak bisa diharapkan. Lari ke mana-mana pokoknya.
"Don’t stop believin’, hold on to that feelin’!"
Talia melantunkan lirik lagu Journey dengan penuh semangat, menutup telinganya sendiri ketika nada tinggi datang. Dia tahu suaranya tidak pas, tapi itu tidak pernah menghentikannya dan terus bernyanyi. Karena dia suka.
"TA-LIA!" Bisa nggak kamu berhenti teriak-teriak kayak babi berantem?!" teriak suara keras dari luar kamar. Itu suara mamanya, Lala yang sudah kebal dengan kegilaan putrinya.
"Ini bukan teriak, ma. Aku sedang latihan vokal! Ah, mama nggak asik ah!"
Talia berteriak balik sambil memutar matanya. Ia tahu mamanya selalu menganggap hobinya itu buang-buang waktu, tapi bagi Talia, menyanyi adalah kesukaannya. Selagi dia bahagia, dia tidak akan menganggapnya membuang-buang waktu.
Setelah mengenakan jaket kulit hitam, celana hitam,dan memasukkan sepasang headphone ke tas, Talia keluar dari kamar dengan senyum lebar yang seperti tak pernah luntur. Meski sering gagal dalam audisi menyanyi, dia selalu semangat ikut lagi dan lagi, demi kesenangannya. Seperti sore menjelang malam ini, lagi-lagi dia akan mencoba ikut audisi.
Makeup-nya seperti biasa, ala-ala anak punk yang nyentrik. Alis bawah matanya hitam sekali. Lipstik hitam, kuku hitam, pokoknya semuanya serba hitam. Padahal wajah aslinya cantik sekali, tetapi tertutup dengan penampilan nyentriknya yang agak aneh dan tidak biasa di mata orang pada umumnya.
Dia mengikuti audisi pencarian bakat yang diadakan di sebuah mall besar di pusat kota. Kali ini, dia yakin juri akan melihat potensinya. Bukan hanya soal suara, tapi juga soal penampilan dan energi panggungnya yang luar biasa. Talia percaya diri sekali dia akan lolos.
"Tal, yakin mau ikut lagi? Kemarin kan dibilang sama juri kalo suara lo ... ya gitu, deh,"
Lintang, sahabatnya yang sudah menunggu di depan rumah dengan motor kawasaki ninja kesayangannya memastikan.
Talia naik ke boncengan sambil mendengus.
"Lintang, dengerin ya. Orang sukses itu bukan yang nggak pernah gagal, tapi yang nggak pernah menyerah!"
Lintang mendesah pasrah.
"Iya, iya, calon bintang rock." katanya lalu tertawa.
"Casen mana? Gak ikut?"
Casen adalah sahabat Talia yang lain, cowok keren, cool, dan populer di antara para wanita. Casen sudah populer semenjak mereka duduk di bangku SD. Bukan berarti Lintang tidak keren, Lintang juga keren dan populer seperti Casen, hanya saja kepribadian Casen yang misterius membuat cowok itu lebih banyak digilai para cewek.
"Ada, katanya dia bakalan langsung ke mall."
"Oh, okey jalan!" Talia menepuk bahu Lintang kuat.
Lintang menggeleng-geleng lalu menyalakan mesin motornya.
Sesampainya di mall, antrean peserta audisi sudah memanjang seperti ular. Ada yang berpakaian kasual, ada yang tampil glamor. Tapi jelas, hanya satu yang berdandan ala anak pang dengan makeup nyentriknya, Talia Adhisty.
Ketika gilirannya tiba, ia melangkah ke atas panggung kecil dengan penuh percaya diri. Juri di depannya, tiga orang dengan ekspresi datar, menatapnya penuh harap ... atau mungkin waspada.
Lintang dan Casen yang baru datang, menunggu di luar ruangan audisi. Di dalam, Talia memulai dengan perkenalan diri di hadapan ke-tiga juri.
"Halo juri, perkenalkan nama aku Talia Adhisty. Umur 21 tahun. Hari ini aku akan membawakan lagu Bohemian Rhapsody!"
Seorang juri berkacamata langsung mengernyit.
"Lagu yang ... cukup menantang. Kamu yakin akan membawakan lagu itu?"
Talia mengangguk kuat dan tersenyum lebar, mengambil napas, lalu mulai bernyanyi.
"Is this the real life? Is this just fantasy?"
Sepersekian detik, juri terdiam. Penonton pun ikut terkesima, bukan karena indahnya suara Talia, tapi karena …
Mereka tak yakin suara itu berasal dari manusia. Nada-nada tinggi terdengar seperti teriakan burung gagak kesurupan. Beberapa kru yang berada di dalam ruangan itu bahkan mulai menahan tawa.
Talia, seperti biasa, tetap percaya diri. Dia menutup mata, meresapi lagunya. Hingga akhirnya, seorang juri mengangkat tangan, menghentikannya.
"Stop! Stop ... cukup."
Talia membuka mata, tersenyum lebar.
"Keren, ya? Aku bisa nyanyi lagu yang susah!"
Juri menghela napas panjang. Salah satu di antara mereka menahan tawa, beberapa orang di belakang bahkan sudah tidak tahan dan tertawa dalam diam.
"Talia, nama kamu Talia kan?"
Talia menganggukkan kepala.
"Talia, suaramu sangat, sangat … unik."
"Aku tahu! Itu ciri khas aku!" balas Talia tersenyum lebar.
Juri menatapnya lama, lalu berkata,
"Aku suka semangatmu. Tapi... aku rasa panggung ini bukan untukmu. Kamu tidak lolos."
Talia terdiam sejenak. Lalu dengan senyum khasnya, ia berkata,
"Baiklah. Kalau nggak lolos di sini, aku pasti lolos di tempat lain! Terimakasih juru!"
Gadis itu pun turun dari panggung dengan langkah tegap, diiringi tatapan bingung penonton dan sahabatnya yang sudah siap menyambut dengan helaan napas panjang.
"Tal, lo nggak sedih?" tanya Lintang saat Talia keluar ruangan.
Lintang dan Casen berdiri bersebelahan, sama-sama menatapnya. Talia menatap kedua sahabatnya itu bergantian, ia belum bicara apa-apa. Sesaat kemudian ...
"Hwaaaa!"
Tangisan kencangnya berhasil mencuri perhatian orang-orang yang sedang mengantri di luar lapangan.
"Gue nggak lolos lagi! Padahal ini udah puluhan kalinya gue ikut audisi, kenapa sih juri nggak nyadar-nyadar kalau suara gue itu unik dan sulit di cari? Memangnya mereka pengennya suara yang kayak gimana? Suara unik, penampilan unik, wajah, jangan ditanya lagi. Menjual banget, tapi kenapa gak pernah di lolosin sih? Gue sedih, hwaaaa!"
Suara kencang Talia membuat orang-orang yang berada di sana merasa lucu bahkan ada yang tertawa. Ada yang merasa dia lebay, tapi kebanyakan merasa dia adalah tipe cewek percaya diri yang menghibur. Dia sedih, tapi gaya sedihnya menghibur orang-orang di tempat itu.
Lintang dan Casen yang malu. Kedua cowok itu memang selalu malu saat lagi bareng Talia, tapi sudah terbiasa juga. Karena dari kecil sudah bersama, pastinya mereka sudah tahu jelas sahabat mereka ini seperti apa. Malu-maluin, tapi kalo gak ada dia gak rame.
"Tal, ayo pergi dari sini. Lo gak sayang make-up emo lo rusak?"
"Nggak peduli! Malam ini gue mau sedih-sedih sendirian. Lo berdua pulang aja sana." setelah mengatakan itu, Talia berlari meninggalkan mereka.
"Talia! Woy! Udah malam ini! Ya elah tuh cewek." Lintang berteriak kencang, tidak sadar mereka ada di tengah-tengah keramaian.
"Biarin aja. Dia udah biasa gitu kan? Nanti juga dia cariin kita kalo udah bosen, atau pulang sendiri." ucap Casen. Talia memang selalu seperti itu.
Talia berlari ke sembarang arah. Biasanya kalau dia sedang menangis, dia akan mencari tempat yang sepi. Biar dia bisa menangis sekencang mungkin. Dalam kasus Talia, sebenarnya gadis itu tidak sedih-sedih amat. Tapi sudah terlanjur menangis, jadi dia akan terus menangis kencang sampai dia lelah sendiri.
Gadis itu masuk di sebuah lorong sempit yang kelihatan sangat sepi itu. Dia duduk di lantai gang, samping drum besi besar. Gadis itu tidak melihat ada orang lain di lorong itu, hanya dirinya seorang. Sesaat kemudian, gadis itu menangis sekencang-kencangnya.
"Hwaaaa! Hidup ini gak adil, manusia gak ada yang adil! Tapi aku juga manusia, hwaaa!"
Tanpa Talia sadar, ada seseorang yang kaget mendengar tangisan dan teriakan kencangnya.
Damian.
Ya, laki-laki itu adalah Damian. Sosok paling kejam di dunia bawah tanah. Banyak orang takut padanya, namun musuhnya juga sangat banyak. Saat ini Damian sedang terluka parah akibat tusukan di perutnya. Hari ini ia lalai hingga menyebabkan musuhnya hampir menghabisinya.
Tempat ini, adalah tempat dirinya bersembunyi dari kejaran musuh. Damian harus bersembunyi karena tubuhnya sudah sangat lemah. Dalam keadaan lemah begini, dia tidak bisa lagi melawan musuhnya.
Masih ada pisau yang menancap di perutnya. Tapi dia tidak menyangka akan ada orang lain yang datang ke sini. Perempuan pula, dan sedikit aneh. Perempuan itu berada di sebelah, mereka terpisah oleh drum besi. Kenapa seorang wanita malam-malam begini berkeliaran di jalanan sepi seperti ini? Apa dia tidak takut?
Damian menahan napas, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang luar biasa. Darah masih mengalir pelan dari luka di perutnya, membasahi baju hitam yang sudah penuh noda merah gelap. Ia bersandar pada dinding dingin lorong sempit itu, mencoba menenangkan diri meski kesadarannya mulai kabur.
Teriakan Talia yang melengking tiba-tiba membuatnya tersentak. Rasa kaget itu menambah perih di lukanya, membuatnya mendesis pelan. Ia tidak ingin ada orang yang tahu dia ada di sini, apalagi dalam kondisi sekarat seperti ini. Tapi perempuan itu … perempuan aneh itu … malah menangis sekeras mungkin, seperti tidak peduli pada dunia.
Damian mengerutkan kening, mencoba menahan rasa marah dan rasa sakit sekaligus. Suara tangisan itu membuatnya gelisah, bukan karena bising, tapi karena bisa menarik perhatian orang-orang yang sedang memburunya.
Akhirnya, dengan sisa tenaga, Damian menggerakkan tubuhnya sedikit, mencoba melirik dari balik drum besi besar. Ia melihat perempuan itu duduk di sana, lututnya ditekuk, wajah tertutup kedua tangan, dan menangis tanpa beban.
"Hentikan," desis Damian pelan, suaranya serak.
Talia langsung berhenti terisak. Ia menoleh dengan mata bengkak, kaget bukan main. Matanya bertemu dengan sosok laki-laki yang terlihat … mengerikan. Wajah laki-laki itu pucat, rambutnya berantakan, dan ada darah di mana-mana. Tangannya juga berdarah. Pisau menancap di perutnya.
Talia menjerit spontan.
"Aaaaa!! Ada orang berdarah-darah!!"
Shit.
Jeritannya membuat Damian mengumpat pelan.
"Diam! Jangan teriak!" katanya dengan suara rendah, tapi penuh ancaman.
Namun Talia justru berdiri, langkahnya ragu, tapi rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takut.
"K-Kamu kenapa? Kenapa ada pisau di perutmu?!" tanyanya polos.
Damian memejamkan mata, menahan frustasi.
"Bukan urusanmu. Pergi dari sini," katanya lemah.
Talia bukannya pergi, ia malah mendekat, menunduk melihat luka itu dengan ekspresi campur aduk antara ngeri dan panik.
Tapi gadis itu hanya duduk di depan Damian sambil terus menatap ke pisau yang menancap di bagian perut pria itu.
Berniat menolong?
Tidak. Dia hanya berniat melihat karena tidak tahu caranya menolong. Laki-laki di depan sana pun tatapannya sangat tajam dan mengintimidasi. Talia takut mendekat dan membuatnya tersinggung.
"Apakah itu sakit?" tanyanya polos. Damian menatap gadis itu dengan emosi tertahan. Sudah lihat kondisinya begini, masih tanya pula.
Damian baru menyadari eyeliner gadis itu sudah luntur karena air matanya. Sekarang area matanya bengkak dan hitam semua. Penampilan emonya berubah. Saat pandangan Damian jatuh ke tahi lalat hitam kecil di bawah matanya, ia pun langsung mengenalinya. Gadis itu adalah gadis aneh yang ada di warung makan waktu itu, dan si penyanyi sumbang yang tidak sengaja bertemu di taman dekat rumahnya. Sudah sebulan yang lalu, tapi entah kenapa Damian masih mengingatnya. Bahkan suaranya dia ingat sekali.
"Aku tanya, apa luka kamu rasanya sakit?"
Damian menghela napas pendek, menahan sakit yang terasa seperti bara di perutnya.
"Menurutmu?" desisnya pelan, penuh sarkasme.
Talia mengangguk pelan, tampak serius menanggapi.
"Pasti sakit, ya. Soalnya aku pernah ke tusuk jarum pentul aja nangis setengah mati." ia menatap pisau yang menancap di perut Damian dengan ekspresi prihatin campur penasaran.
"Tapi pisau itu… lebih besar dari jarum pentul."
Damian memejamkan mata, mencoba mengabaikan komentar bodoh itu. Dia benar-benar tidak punya energi untuk meladeni gadis aneh ini.
Namun Talia tetap duduk di sana, tidak bergerak. Tangannya meremas ujung jaket yang ia kenakan.
"Kamu gak takut mati?" tanyanya lagi, kali ini suaranya pelan.
Damian membuka mata, menatap lurus ke arah Talia. Sorot matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang gelap, tapi juga samar-samar ada kelelahan di sana.
Takut? Dia sudah melewati banyak hal lebih buruk dari kematian. Kematian tidak ada dalam daftar takutnya.
"Dari matamu, pasti kamu nggak takut mati." ucap Talia lagi, seolah tahu apa yang akan Damian katakan.
"Aku juga," katanya pelan. Ia terus bicara. Lupa akan rasa takutnya kepada pria itu.
"Kayak … pas ketahuan nyontek di kelas. Itu rasanya lebih parah dari mau mati. Makanya menurutku, ketahuan nyuri itu lebih menakutkan dari kematian, apalagi ketahuan nyontek saat lagi asyik-asyiknya. Malu banget gak tuh?"
Damian ingin tertawa, tapi perutnya malah berdenyut hebat. Ia meringis, lalu bergumam,
"Kau terlalu berisik."
Talia mengangguk cepat, lalu duduk bersila.
"Aku memang selalu berisik orangnya. Tapi kamu tenang aja, aku akan tetap di sini, nemenin kamu sampai … kamu gak berdarah lagi."
Damian mendesah.
"Gila."
Talia mengangguk setuju.
"Iya."
Damian mendengus pelan. Lalu meringis kesakitan lagi. Tidak, dia tidak bisa begini terus. Darahnya tidak berhenti keluar, dia harus segera mencari pertolongan. Musuhnya pasti masih mencarinya. Dia harus segera menelpon Max. Tapi hapenya ada di dalam saku, keadaanya sekarang ini membuatnya kesulitan mengambil benda pipih dalam sakunya. Satu-satunya yang bisa menolongnya sekarang adalah gadis di depannya ini. Tetapi Damian tidak yakin. Gadis itu agak gila.
Meski begitu, dia tidak bisa menampik kalau hanya gadis itu yang bisa menolongnya sekarang.
"Kau ..." suara Damian serak, nyaris tak terdengar. Ia menelan ludah, menahan darah yang merembes dari sudut bibirnya.
Talia mencondongkan tubuh, mendekatkan telinganya karena tidak mendengar dengan jelas.
"Hah? Apa? Boleh di ulangi?"
Damian mengerang pelan, frustrasi.
"Bisa … tolong aku…?"
Talia memiringkan kepala.
"Tolong? Maksudnya … cabutin pisaunya? Aduh, aku nggak berani. Dulu aja waktu narik perban di luka temanku, aku pingsan duluan."
Damian menutup matanya dalam-dalam. Gadis ini, biasanya orang lain akan langsung membantu dan mencari cara apa saja saat melihat orang lain terluka, tetapi gadis ini ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!