Lu'lu'ul Maknunah, seorang perempuan berhijab lebar yang akrab disapa Lulu, tinggal di panti asuhan sejak bayi. Menurut Ibu Asih pemilik panti, Lulu ditinggalkan di depan pintu panti saat masih berusia 1 bulan. Walaupun sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib, tidak ada kabar apapun tentang siapa yang meletakkan Lulu di sana atau siapa orang tuanya. Sehingga Ibu Asih mengangkat Lulu sebagai anak beliau dan membesarkannya bersama anak panti yang lain.
Berkat Ibu Asih, Lulu tumbuh menjadi anak perempuan yang sopan dan berprestasi. Setelah lulus SMA, Lulu melanjutkan pendidikannya di Universitas Terbuka. Selain biaya yang murah, ia juga bisa mengambil kuliah full di rumah tanpa harus datang ke universitas.
"Mbak Lulu.." panggil suara tua Ibu Asih.
"Kenapa Ibu kemari?" Lulu meletakkan loyang yang dipegangnya dan mendorong kursi roda Ibu Asih ke arah meja makan.
"Kenapa kamu menolak beasiswa dari PT. Perkasa?"
"Kalau Lulu ambil, siapa yang akan menjaga Ibu?"
"Masih banyak di sini yang bisa menjaga Ibu."
"Memang banyak, Bu. Tapi Lulu tetap tidak tenang jika jauh dengan Ibu, karena mengambil beasiswa itu berarti Lulu harus ke ibu kota yang jauh dari sini."
"Sayang, Nak."
"Tidak sayang, Bu. Lulu sudah kuliah sambil jualan kue sekarang."
"Maafkan Ibu, kamu harus mengurus semuanya."
"Tidak apa-apa, Bu. Ibu adalah Ibu Lulu, sudah seharusnya Lulu berbakti. Sebentar, Bu!"
"Kamu lanjutkan saja, Ibu tidak mengganggu lagi."
Ibu Asih menjalankan kursi rodanya, meninggalkan Lulu yang mengeluarkan kue dari dalam oven. Hari ini Lulu hanya bisa membuat dua jenis kue, yaitu pai brownies dan dadar gulung pisang coklat. Segera setelah semuanya siap, Lulu berganti pakaian dan bersiap mengantarkan kue ke cafe yang selama ini ia titipi.
"Kak, ini kue untuk hari ini."
"Kenapa jumlahnya tidak seperti biasanya?" tanya pemilik cafe.
"Maaf, Kak. Adik-adik sedang belajar untuk persiapan ulangan, jadi saya tidak punya banyak waktu untuk menyiapkan bahan."
"Tolong susun seperti biasa, ya? Ini uang untuk kue kemarin."
"Terima kasih, Kak." Lulu menata kue yang ia bawa ke dalam keranjang yang sudah tersedia, tanpa menyadari ada seseorang yang memperhatikannya.
Selesai menata kue, Lulu berpamitan kepada pemilik cafe. Dengan sepeda motor jadul milik almarhum suami Ibu Asih, Lulu pergi ke pasar untuk membeli bahan. Tepung terigu, mentega, gula halus, telur, dan bahan lain segera memenuhi tas belanja yang ia bawa. Dari pasar, Lulu tak langsung kembali melainkan singgah ke sebuah toko buku bekas untuk mencari bahan untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Sekitar pukul 11, Lulu baru sampai di panti asuhan.
“Oh, ini anak Ibu Asih?” tanya seorang laki-laki dengan jaket kulit berwarna hitam, saat Lulu memasuki ruang tamu.
“Anda siapa?”
“Mbak Lulu masuk ke dalam saja.” Kata Ibu Asih.
“Kenapa buru-buru disuruh masuk? Perkenalkan nama saya Roni, ini kartu nama saya.” Lulu menerima kartu nama dari Roni, yang tertulis nama, jabatan dan Perusahaan tempat Roni bekerja disana.
“Ada perlu apa Perusahaan besar seperti Bapak, kemari?”
“Saya mewakili Perusahaan untuk memberikan ini.” Roni mengambil kertas yang sebelumnya ada di atas meja dan memberikannya kepada Lulu.
Lulu membaca isi surat tersebut yang mengatakan bahwa Perusahaan akan menggusur panti asuhan dan akan memberikan kompensasi, karena tanah yang digunakan untuk mendirikan panti asuhan merupakan tanah hibah yang akan diambil kembali oleh keturunan yang bersangkutan. Selain surat keterangan, ada pula surat tanah atas nama Izqian Atthara Zaki.
“Kalau ini tanah hibah, kenapa ingin diambil kembali?”
“Yang menghibahkan tanah ini adalah Kakek dari pemilik tanah. Dan sekarang pemilik tanah ingin mengembangkan bisnis, sehingga mengambil kembali tanah ini dan akan dijadikan kebun tebu.”
“Tetapi hibah yang berlangsung saat itu antara Ayah Ratno dan pemberi hibah. Jika atasan Anda ingin mengambilnya kembali apakah tidak meyalahi aturan hukum?”
“Masalah hukum Anda tidak perlu khawatir, pengacara atasan saya yang akan mengurusnya.”
“Berikan kami waktu. Ada banyak penghuni di panti ini. Jika boleh, saya ingin bernegosiasi dengan atasa Anda.”
Roni Nampak berpikir. Ternyata anak dari pemilik panti lebih pintar dari yang ia kira. Daripada ia salah langkah dan menyebabkan kerugian, Roni memutuskan untuk menghubungi atasannya.
“Kenapa tidak kamu gertak saja?” tanya atasan Roni.
“Anak pemilik panti tahu hukum, Pak. Bisa-bisa saya dilaporkan sebagai kriminal!”
“Dasar..”
“Ada masalah apa?” sela pemilik Perusahaan yang kebetulan baru saja sampai.
“Roni belum berhasil menyuruh panti asuhan itu untuk pergi, Bos!”
“Kenapa?”
“Anak dari pemilik panti mengatakan ingin bernegosiasi dengan Anda.”
“Oh! Apa yang bisa ia tawarkan untuk bernegosiasi?”
“Saya juga tidak tahu, Bos.”
“Katakan kepada Roni, aku akan menemui anak pemilik panti itu besok.”
“Bos, yakin?” laki-laki itu mengangguk dan pergi begitu saja.
Roni yang mendengarkan percakapan atasannya dengan Bos besar, mnegerti harus apa. Ia menyampaikan kepada Lulu, jika Bosnya akan menemuinya besok. Lulu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Setelah kepergian Roni, Lulu menghampiri Ibu Asih.
“Kita bisa saja pindah, daripada berurusan dengan mereka.” Kata Ibu Asih.
“Pindah kemana, Bu?” Ibu Asih terdiam.
Beliau juga tidak tahu harus kemana, karena rumah itu adalah satu-satunya yang ia punya. Bahkan kebenaran tanah hibah juga baru beliau ketahui hari ini. Almarhum suaminya tidak pernah mengatakan apapun kepadanya.
Lulu memeluk Ibu Asih. Ia paham apa yang dipikirkan oleh Ibu Asih. Jika saja mereka hanya berdua, Lulu bisa saja mengajak Ibu Asih untuk mencari kontrakan. Tetapi mereka mengasuh 15 anak di panti dan 3 tenaga pembantu, dengan tabungannya ia tidak bisa menyewa kontrakan untuk mereka semua. Harapannya satu-satunya adalah bernegosiasi dengan pemilik tanah. Semoga saja pemilik tanah bisa mengerti situasinya dan memberikan keringanan.
.
.
.
.
.
Halo semuanya.. ketemu lagi dengan author!
Selamat membaca novel baru ini, semoga pembaca semuanya suka..
Pukul 2 pagi, Lulu bangun dan melaksanakan sholat malam sebelum melakukan kegiatannya di dapur. Begitu di dapur, tangannya sudah lincah berperang dengan bahan dan peralatan masak. Tubuhnya seolah sudah terbiasa bergerak cepat sehingga dalam waktu satu jam ia sudah menyelesaikan persiapan 4 jenis kue.
Pertama, Lulu membuat kulit dadar gulung dengan dua teflon sekaligus. Di sela-sela membuat kulit, Lulu juga memanggang sarang semut yang dicetak di loyang 5 cm. Satu jam kemudian, kulit dadar gulung telah diselesaikan lanjut mencetak kulit pai. Begitu sarang semut selesai, kulit pai masuk ke dalam oven. Menunggu kulit pai setengah matang, Lulu mengerjakan adonan brownis. Ketika kulit pai keluar dari oven, Lulu mengipasinya agar tidak terlalu panas. Pie brownis sudah masuk kedalam oven, Lulu menggoreng pisang raja dengan mentega untuk isian dadar gulung. Ia menyelesaikannya bersamaan dengan pie brownis yang matang.
Sebelum melanjutkan sisanya, Lulu membangunkan adik-adiknya untuk melaksanakan sholat subuh. Selesai sholat subuh, Lulu meminta tenaga pembantu untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak di dapur yang ada diluar. Sedangkan anak-anak mengaji dengan salah satu tenaga pembantu sebelum bersiap untuk berangkat sekolah.
“Apa ada yang bisa Ibu bantu?” tanya Ibu Asih ditemani salah satu tenaga pembantu, Ningsih.
“Bungkus pie dan sarang semut, Bu.” Jawab Lulu yang sudah mulai menggulung dadar gulung.
Lulu mengambilkan bungkus pie dan sarang semut lalu menyerahkannya kepada Ningsih. Kemudian melanjutkan menggulung dadar gulung yang sekalian ia bungkus untuk menghemat waktu. Satu jam kemudian, dadar gulung selesai dan yang terakhir adalah corndog. Adonan yang ia diamkan beberapa jam yang lalu sudah mengembang sempurna. Tusuk sosis, gulung adonan dan balur tepung panir, goreng, sampai semuanya selesai pukul 6.30.
“Sudah selesai semua ini, Mbak.” Kata Ningsih.
“Tolong susun di box seperti biasa, ya?”
“Siap, Mbak.”
Ningsih Menyusun pie menjadi 2 box, sarang semut 3 box dan dadar gulung 2 box. Sampai sekitar setengah 8, semuanya sudah siap diantar. Lulu pergi mandi lebih dulu sebelum mengantarkan kuenya. Dibantu Ningsih, Lulu memasang tas obrok di motornya. Setelah terpasang ia Menyusun box kuenya dan berpamitan dengan Ibu Asih.
Tepat pukul 8, Lulu sampai di cafe. Melihat Lulu datang dengan tas obrok, pemilik café menyambutnya dengan senyuman ceria. Pasalnya dengan adanya kue dari Lulu, pelanggan di cafenya semakin ramai.
“Coba kamu bisa setiap hari seperti ini, Lu!” kata pemilik café sembari memberikan hasil penjualan kemarin.
“Tidak janji, Kak.”
“Apa kamu tidak ingin mengajari anak-anak untuk membantumu? Atau kamu tidak kepikiran bayar pembantu gitu?”
“Anak-anak harus fokus sekolah, Kak. Untuk pembantu, aku tidak ada uang untuk membayarnya. Kakak tahu sendiri, keuangan di panti sedang seret.”
“Benar juga! Ya sudah, sebisa kamu saja.” Lulu mengangguk dan berpamitan.
“Siapa itu?” tanya seorang laki-laki setelah Lulu pergi.
“Lulu, anaknya pemilik panti yang ada diujung jalan.” Jawab pemilik café.
“Sudah lama berjualan kue?”
“Sudah sejak dia SMP. Dulu ibunya yang membuat kue, tapi sekarang dia yang melanjutkan karena ibunya di kursi roda. Apa masnya tertarik?”
“Tidak. Dia masih anak-anak.”
“Dia sudah berumur 20 tahun, bukan anak-anak lagi!”
“Benarkah?” laki-laki itu terlihat tidak percaya.
Setelah membayar sarapan dan kopinya, laki-laki itu masuk kedalam mobil dan hilang dari pandangan pemilik toko.
Lulu yang masih berbelanja bahan kue dan kebutuhan dapur, mendapatkan telepon dari Ningsih yang menyuruhnya segera pulang karena pemilik tanah sudah datang. Segera Lulu menyudahi belanjanya dan kembali pulang. Butuh waktu setengah jam untuknya sampai di panti.
“Orangnya menunggu di teras samping, Mbak!” seru Ningsih saat Lulu baru saja memarkirkan motor.
“Tolong keluarkan box kuenya, ya?” ningsih mengangguk.
Sebelum menemui pemilik tanah, Lulu pergi ke dapur untuk menyiapkan minum dan menata kue yang sengaja ia sisakan di piring, lalu menyuguhkannya.
“Kamu anak pemilik panti?” tanya pemilik tanah.
“Iya, Pak. Saya Lulu.”
“Apakah aku setua itu?” Lulu bingung dengan pertanyaan laki-laki yang ada dihadapannya.
Ia memberanikan diri untuk mendongak dan melilhat penampilan pemilik tanah. Laki-laki tinggi tegap sekitar umur 25 atau 27 tahun. Sadar laki-laki itu juga menatapnya, Lulu kembali menundukkan wajahnya dan meminta maaf.
“Maaf, Kak.”
“Itu lebih baik.” Kata laki-laki itu dengan puas.
“Bawahanku mengatakan kamu ingin bernegosiasi denganku. Apakah kamu punya sesuatu yang bisa menggantikan tanah ini?” tanya pemilik tanah.
“Saya tidak punya apa-apa, Kak. Tetapi saya ingin mengajukan kontrak sewa.”
“Maksud kamu?”
“Sebagai ganti penggusuran, saya akan membayar sewa tanah perbulannya.”
“Berapa yang akan kamu bayarkan?”
“Dilihat dari lokasi, harga rata-rata penyewaan 27 juta rupiah setahunnya. Jadi, saya akan membayar sewa sebanyak 2,5 juta perbulannya. 2/3 dari tanah ini juga masih bisa digunakan sebagai lahan tebu seperti rencana awal Anda.”
“Pintar juga dia!” batin pemilik tanah.
“Apakah ada jaminan kamu bisa membayar 2,5 juta perbulannya? Dilihat dari pekerjaanmu, sepertinya itu tidak mungkin!”
“Anda tahu pekerjaan saya?” tanya Lulu bingung.
“Menjual kue di café dekat pertigaan depan.” Jawab pemilik tanah yang seketika membuat Lulu terkejut.
Dalam hati, Lulu mencoba untuk tetap tenang. Mudah bagi mereka yang memiliki uang untuk mencari informasi tentangnya.
“Saya bisa menyisihkan uang 50-100 ribu rupiah per harinya, jadi tidak ada masalah untuk membayar 2,5 juta rupiah perbulannya.”
“Oh ya? Tapi sayangnya, uang itu tidak sebanding dengan pendapatan kebun tebu yang bisa dipanen dalam waktu kurang dari setahun.
Lulu tidak bisa membantah. Apa yang dikatakan pemilik tanah memang benar. Pendapatan kebun tebu lebih banyak dibandingkan sewa yang ia berikan. Harga tebu 1 tonnya dikisaran harga 690 ribu rupiah, jika dalam satu hektar menghasilkan 150ton tebu, 103,5 juta rupiah sudah ada ditangan. Jika dikurangkan dengan biaya perawatan dan modal awal, nilainya masih melebihi 27 juta rupiah kurang dari setahun.
Pemilik tanah melihat Lulu yang hanya diam, menebak jika di otak Lulu sudah memikirkan kalkulasi apa yang ia katakan. Laki-laki itu tersenyum, kala sebuah ide gila muncul di otaknya.
“Kamu bisa saja tetap menempati bangunan dan tanah ini tanpa harus membayar sewa.” Lulu mendongak tidak percaya.
“Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi!”
“Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi!”
Lulu yang sempat merasa senang segera merasakan kepalanya tertimpa batu. Ia tahu tidak ada yang gratis di dunia ini.
“Apakah orang-orang yang memiliki banyak orang bisa seenaknya seperti ini?” batin Lulu.
“Apa syaratnya?” tanya Lulu setengah hati.
“Sebaiknya kamu ikut denganku. Tidak nyaman mengatakan persyaratannya disini!”
Tanpa pikir Panjang, Lulu setuju dengan keinginan pemilik tanah. Ia pun berpamitan kepada Ibu Asih dengan mengatakan akan membahas kesepakatan di kantor pemilik tanah. Ibu Asih sempat enggan melepaskan Lulu, tetapi kemudian beliau tetap mengizinkan putri angkatnya itu berangkat setelah Lulu mengatakan jika apa yang dilakukannya adalah demi melindungi panti.
Lulu masuk ke dalam mobil Bersama pemilik tanah di kursi penumpang. Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan antara mereka sampai mobil memasuki sebuah hotel. Lulu sudah merasa was-was lebih dulu karena ia mengira pemilik tanah akan membawanya ke kantornya. Ia tidak menyangka jika pemilik tanah membawanya ke hotel.
“Kenapa tidak turun?”
“Sa-saya tidak bisa masuk.”
“Mana keberanianmu tadi?” Lulu hanya diam menunduk.
“Jangan berpikir macam-macam! Aku mengajak mu kesini karena disini adalah tempat yang paling aman untuk membicarakan syarat yang akan aku ajukan.” Kata pemilik tanah dengan tidak sabar.
Mendengar hal itu, Lulu kembali memantapkan hatinya. Ia turun dari mobil dan mengikuti pemilik tanah. Mereka memasuki salah satu kamar hotel. Di sana, pemilik tanah duduk di sofa dan meminta Lulu duduk dimana saja yang ia suka. Lulu duduk di sofa yang ada dihadapan pemilik tanah.
“Datang ke hotel Q sekarang juga! Aku ada di kamar 111.” Kata pemilik tanah kepada seseorang diujung telepon.
“Sebelum membicarakan syarat, perkenalkan namaku Izqian Atthara Zaki. Kamu bisa memanggilku Atthara seperti yang lain.” Azmi menatap kearah Atthara, ia ingat ada membaca nama itu di surat tanah.
“Lu’lu’ul Maknunah, biasa dipanggil Lulu atau Uli.”
“Lulu, syarat yang aku ajukan adalah kamu menjadi istriku selama 2 tahun. Jika kamu menjadi istriku, kamu akan memiliki tanah tempat panti asuhan itu dan kamu juga tidak perlu lagi berjualan kue. Aku hanya memerlukan seorang istri, pernikahan kita hanya diatas kertas.”
Lulu menatap tak percaya laki-laki yang ada di hadapannya. Atthara mengatakan syarat tersebut tanpa mengedipkan mata dan dengan nada yang sangat arogan. Sungguh membuat Lulu tersinggung, tetapi ia bisa menahan diri untuk tidak marah kepadanya.
“Selain itu, kamu juga bisa menikmati semua fasilitas sebagai istriku. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjadi istriku, memperlakukanku sebagai suamimu saat ada orang lain yang melihat, menemaniku menghadiri pertemuan yang memerlukan pendamping, dan kita tidur secara terpisah.”
“Pernikahan itu sakral, bukan permainan!” protes Lulu.
“Kamu bisa saja mencari laki-laki yang sesuai dengan kriteriamu, tetapi kamu bisa angkat kaki dari panti itu. Pilihan ada ditanganmu!”
Tawaran Atthara memang menggiurkan. Tetapi Lulu masih dengan prinsipnya yang menginginkan pernikahan sekali seumur hidup. Belum lagi stigma janda di masyarakat dan bagaimana ia menjalani pernikahan yang hanya didasarkan kontrak itu? Ditengah pemikirannya, bayangan panti asuhan tempatnya tumbuh menyeruak. Banyaknya kenangan dan harta satu-satunya Ibu Asih, serta anak-anak yang bergantung pada kelangsungan panti.
Tok.. Tok.. Tok..
“Masuk!” seru Atthara.
“Siang, Bos!”
“Siapkan perjanjian pernikahan untuk kami! Isinya sama dengan yang aku katakan kemarin. Jika Lulu ingin menambahkan sesuatu, kamu bisa menambahkannya asal tidak melewati batas.”
“Baik, Bos!”
Segera laki-laki yang baru saja sampai itu mengeluarkan dokumen yang telah ia susun kemarin. Beruntung ia sudah menyiapkannya sebagai jaga-jaga. Ia tidak menyangka jika atasannya akan mendapatkan Perempuan secepat ini.
“Ada yang ingin ditambahkan?” tanyanya pada Lulu.
Lulu menggeleng. Ia bahkan belum menyetujui pernikahan kontrak yang diajukan Atthara. Bagaimana bisa ia mengajukan syarat dalam keadaan seperti ini? Mengingat panti asuhan, Lulu akhirnya mengalah dengan prinsipnya. Walaupun ia akan mendapatkan murka Allah karena mempermainkan pernikahan, ia akan menerimanya asalkan Ibu dan adik-adiknya bisa mendapatkan tempat berteduh dan kehidupan yang layak.
“Anda mengambil keputusan yang benar. Walaupun Bos saya terkesan dingin, dia sangat menghargai Perempuan. Saya jamin, masa depan Anda akan tetap cerah. Meskipun sudah bercerai.” Kata laki-laki yang memperkenalkan dirinya sebagai asisten Atthara, Bobby.
“Tutup mulutmu!” sergah Atthara.
“Silahkan tanda tangan!” Bobby menyerahkan kertas tersebut kepada Atthara dan kemudian Lulu.
“Berikan nomor ponselmu!” Atthara menyodorkan ponselnya.
Lulu mnerimanya dan mnegetikkan nomornya disana. Atthara melakukan panggilan yang langsung masuk di ponsel Lulu.
“Simpan dan tunggu kabar dariku!” Lulu hanya mengangguk.
Jiwanya masih tidak berada di tubuhnya saat ini. Sampai-sampai ia menabrak Atthara yang berhenti di depan lift saat akan mengantarnya pulang. Atthara tidak marah. Ia hanya diam dan melanjutkan langkah kakinya masuk kedalam lift yang terbuka.
Mobil Atthara berhenti di panti. Lulu turun dan mengucapkan salam. Atthara tidak menjawabnya dan langsung pergi begitu saja. Lulu melangkah gontai masuk kedalam rumah. Saat Ibu Asih ingin bertanya, beliau mengurungkan niatnya dan membiarkan Lulu masuk kedalam kamarnya.
Di sisi lain.
“Cari informasi tentang perempuan itu!” kata Atthara pada sopirnya.
“Siap, Bos!”
Mobil melaju membelah jalan yang padat di jam makan siang. Satu jam kemudian, mobil memasuki sebuah rumah tingkat 2 dengan gerbang yang besar. Atthara turun dari mobil dan memasuki rumah.
“Darimana saja?” tanya laki-laki paruh baya yang sedang membaca koran di ruang tamu.
“Bukan urusan Papa!” jawab Atthara cuek seraya menaiki tangga menuju kamarnya.
Tetapi langkahnya terhenti kala melihat kamar sang nenek terbuka. Ia memutuskan untuk menemui sang nenek lebih dulu.
“Kamu dari mana?” tanya sang nenek saat melihat cucunya masuk ke dalam kamar.
“Bertemu calon cucu menantu, Nenek.”
“Benarkah? Akhirnya kamu memutuskan untuk menikah! Siapakah Perempuan beruntung itu?”
“Namanya Lulu, berhijab lebar dan baik hati.”
“Berhijab lebar?” tanya sang nenek tidak percaya.
“Ya. Bukankah pilihan cucumu ini sangat bagus?”
“Memang bagus. Tetapi apa yang membuatmu memilihnya?”
“Entahlah, Nek! Aku hanya merasa cocok.”
Atthara tidak berbohong. Tetapi arti cocok yang ia maksud, berbeda dengan apa yang sang nenek pikirkan.
“Kapan kamu akan mengenalkannya dengan nenek?”
“Tunggu waktu yang tepat!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!