9 Pintu Perunggu
Anila baru saja melangkah satu kali di depan pintu kamarnya. Tiba-tiba, ia sudah berada di tempat lain yang gelap gulita. "Ini di mana? Kenapa semua gelap?" gumam Anila, menoleh ke kanan dan kiri, namun hanya kegelapan tanpa cahaya yang ia lihat.
Ia mencoba meraba sekelilingnya, dan tangannya menyentuh dinding di sebelah kiri. Anila bangkit, berjalan meraba-raba di sepanjang dinding, tetapi ia tersandung sesuatu dan terjatuh, membuatnya terduduk di tempat.
"Ini di mana sih? Tadi masih siang, kenapa sekarang gelap banget di sini?" batin Anila, firasatnya mulai tak enak. Ia menarik napas dalam-dalam. "Tenang, Anila. Kamu harus tenang dan berpikir jernih."
Di tengah kegelapan total, Anila mencoba fokus. "Apa yang harus kulakukan? Kenapa nasibku sial sekali? Aku cuma mau ambil minum, bukan masuk ke tempat gelap seperti ini," keluhnya. Pikirannya terpecah. Satu sisi memintanya untuk tetap hidup dan mencari jalan keluar, sementara sisi lain membisikkan bahwa ini adalah karma karena ia orang yang tak berguna.
Anila mengabaikan suara-suara itu dan kembali meraba tanah di depannya, berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan. Setelah lama mencari, tangannya menyentuh sesuatu yang aneh. Ia tersenyum tegang dengan wajah berkerut, merasakan ketakutan yang luar biasa. "Ini... bukan tengkorak, kan?" tanyanya pada diri sendiri. Meskipun wajahnya tersenyum, hanya ia yang tahu betapa takutnya ia saat itu. Tapi dia tetap mencari dengan tangan kosongnya untuk bisa keluar dari kegelapan yang aneh dan dingin yang ia rasakan.
“Anila kamu pasti bisa,”ucapnya mencoba merabah kembali yang ada didepannya.
Tanpa pilihan lain, Anila meraba benda di depannya. Ia berharap itu bukan yang ia bayangkan, namun struktur tulang panjang yang ia rasakan membuatnya terdiam. "Kurasa ini seperti yang aku bayangkan. Apa aku sudah mati?" gumam Anila, kini ia yakin dengan apa yang ia sentuh.
"Halo! Ada orang di sini?" teriaknya. Suaranya hanya menggema di lorong yang sunyi.
Anila menunduk lesu, namun ia terus meraba ke depan dengan berani. Tak lama kemudian, ia menemukan sebuah tas dan benda lain, sebuah senter. Dengan cepat, ia menyalakannya senter yang ia temukan. Cahaya yang keluar membuatnya merasa lega, dan ia mengarahkan senter ke depan. Sorot cahaya itu jatuh tepat pada sebuah tengkorak manusia.
"Maaf sudah mengganggu, Tuan. Tolong jangan marah, ya. Jiwa yang kesepian," kata Anila, tersenyum pahit. Ia menggeledah tas di samping tengkorak itu. "Kenapa enggak ada barang bagus?" keluhnya setelah mengeluarkan semua isinya.
Namun, ia menemukan sebuah catatan dan beberapa makanan kering seperti roti. Anila menatap tengkorak itu, bingung. "Bagaimana orang ini bisa mati? Persediaan makanan dan airnya masih ada."
Merasakan ada yang janggal, Anila bangkit. Ia melihat lorong panjang di depannya dan mulai berjalan. Tapi saat melewati tengkorak pertama, ia melihat banyak tengkorak lain tergeletak di depannya membuat dia berhenti melangkah.
“Sebenarnya ini ada dimana sih, kenapa aku bisa ada disini,”tanya Anila sendiri. Didepan Anila dia melihat beberapa di antaranya membawa senjata. Anila tersenyum, menemukan barang bagus untuk perlindungan. Saat ia hendak berbalik, ia terkejut melihat jalan di belakangnya kini hanya tembok.
"Bagaimana bisa? Tadi kan ada lorong di belakangku, kenapa sekarang sudah tidak ada?Apa yang terjadi sebenarnya disini" gumam Anila. "Sial! Ini di mana sih?!" Wajahnya dipenuhi rasa kesal dan ketakutan.
Ia terdiam sesaat, mencoba mencerna situasinya. "Apa aku di dalam makam kuno? Tapi itu tidak mungkin," pikirnya sambil menggelengkan kepala. Anila berjalan melewati setiap tengkorak, mengambil beberapa sepatu yang muat di kakinya, tidak lupa Anila juga mengambil senapan yang bisa dia bawa.
"Oke, sudah siap. Ayo cari jalan keluar. Anila kamu pasti bisa selamat di tempat ini," katanya menyemangati diri sendiri. Dengan sebuah senapan kuno di tangan, yang berbeda dari film yang pernah ia tonton, Anila terus berjalan. "Gimana cara pakai senjata ini ya?" pikirnya lagi.
Ia terus melangkah hingga melihat lorong lain dan segera berbelok. Namun, ia terkejut melihat patung-patung berdiri tidak beraturan di depannya. "Ini apalagi?"
Patung-patung itu menghalangi lorong. Anila mengamati salah satu patung yang terlihat berbeda dan mendekatinya. "Apa ini bisa ditekan? Apa enggak berbahaya?" pikirnya. "Kalau ditekan pakai tangan, mungkin aku bisa kena jebakan. Pakai alat saja."
Anila menggunakan ujung senapan untuk menekan mata patung, tetapi tidak ada yang terjadi. Ia mencoba hidung dan bagian lain. "Bukan ditekan, apa diputar matanya?"
Karena tidak menemukan solusi pada patung, Anila mencari ke sisi dinding. Ia mengamatinya dengan saksama dan menggunakan senapan untuk menekan ubin yang terlihat berbeda.
"Ini bisa ditekan!" serunya, menekan ubin itu hingga ke dalam. Seketika, semua patung bergerak, membuka jalan untuknya. Anila merasa lega, tetapi tetap waspada. "Apa sudah aman?" gumamnya, takut patung-patung itu akan menjebaknya lagi.
Ia berjalan hati-hati, matanya mengawasi ke kanan dan kiri. "Kenapa ada patung di lorong? Sebenarnya mereka menyembunyikan apa?"
"Akhirnya keluar juga," kata Anila lega saat melewati area patung. Namun, melihat lorong panjang di depannya, ia kembali lemas.
“Kapan ini akan berakhir,”guman Anila yang ingin duduk dilorong. Tapi karena suasana lorong yang dingin dan sunyi membuat dia terus berjalan ke depan.
"Aku ingin pulang. Bagaimana aku bisa ada di sini? Apa aku sudah pindah tempat? Atau mati? Itu tidak mungkin," batin Anila.
Di lorong yang panjang dan gelap, ia memikirkan kondisinya dan orang tuanya. Kekhawatiran itu mendorongnya untuk berjalan lebih cepat. Setelah jauh dari lorong patung, ia melihat lorong lain dengan akar rumput kering yang merambat di dindingnya. Anila tidak langsung masuk. "Apa lorong itu aman?"
Saat ia bertanya pada dirinya sendiri, Anila merasa ada bayangan hitam dan sosok tak dikenal di belakangnya. Ketika ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Tubuhnya merinding, dan suasana terasa dingin. Ia berusaha tetap berpikir positif dengan wajah tersenyum polos tanpa dosa.
"Aku harus kuat. Jangan takut, Anila. Kamu pasti bisa," ucapnya menyemangati diri sendiri. Anila pun melangkah ke lorong penuh rumput merambat itu, siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Baru satu langkah ia berhenti karena merasakan ada yang salah dengan rumput kering yang ada di dinding lorong.
“Apa aku berhalusinasi kalau rumput ini bergerak ya,”guman Anila mengarahkan senter ke arah rumput kering disampingnya. Tapi setelah melihat dengan seksama rumput kering itu tidak ada yang salah hanya diam saja.
“Apa ini hanya firasatku saja. Tapi ini membuat aku takut, Anila. Bagaimana ini?,”ucap Anila berjongkok tertunduk dan tidak ingin melangkah maju ke depan. Tapi di saat Anila menyerang dia mendengar suara bisikan di telinga membuat dia merasa merinding.
“Aku harus keluar dari sini,”kata Anila menyemangati dirinya sendiri berdiri dan melangkah ke depan. Tapi apa yang akan ditemukan oleh Anila sebenarnya didepan sana?.
Tubuh Anila bergidik. Hawa dingin yang menusuk seolah menembus setiap lapisan jubahnya. Namun, ia terus melangkah ke depan dengan percaya diri, meskipun hatinya dipenuhi rasa takut. Langkahnya berhati-hati, melewati lorong dengan rumput-rumput kering di sisi kanan dan kirinya. Suara gemerisik yang dihasilkan oleh setiap langkah membuat pikirannya melayang, membayangkan hal-hal aneh di tengah kesunyian.
"Hei, wanita bodoh," sebuah bisikan halus mengalir di telinga Anila. Suaranya terdengar lembut namun anehnya sangat menakutkan. Anila menoleh, mencari sumber suara, tetapi yang ia lihat hanyalah kegelapan yang tak berujung.
"Apa aku salah dengar?" gumamnya, mencoba meyakinkan diri. "Baiklah, aku akan tetap berjalan ke depan."
Saat Anila hendak melangkah, senter di tangannya menyoroti sesuatu. Di ujung cahaya, berdiri sesosok wanita dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Wajahnya terlihat pucat pasi, dan pakaian putihnya robek di sana-sini. Ia berjalan perlahan ke arah Anila, hingga akhirnya berhenti tepat di depannya. Jantung Anila berdebar kencang. Ia merasakan kakinya lemas, ingin jatuh ke tanah. Pegangan pada pistolnya terasa goyah, namun ia berusaha keras untuk tetap tegak.
Anila mencoba tenang, menatap lurus ke depan dengan keyakinan yang dipaksakan. Dalam hatinya, ia menjerit, Ada hantu wanita di depanku. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu harus pergi ke mana.
"Apa kamu takut padaku? Kenapa kamu hanya diam saja?" tanya wanita hantu itu, suaranya terdengar jernih namun tetap menakutkan.
"Kau... bisa bicara?" jawab Anila, memberanikan diri. Meski takut, ia tahu ia harus membuka mulutnya untuk bisa keluar dari situasi ini.
"Tentu saja. Tapi, aku merasa kamu berbeda dari orang-orang yang pernah datang ke sini. Siapa kamu?" wanita hantu itu memiringkan kepalanya, matanya yang tersembunyi menelusuri tubuh Anila dari atas sampai bawah.
"Aku memang bukan berasal dari dunia ini," Anila menjawab jujur. "Jika aku tebak, kamu bisa mengantarkanku keluar dari tempat ini?" Anila bertanya, suaranya sedikit bergetar. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan memanfaatkan setiap kesempatan, bahkan jika itu datang dari hantu.
"Kamu ingin keluar dari sini? Itu sulit," kata wanita hantu itu. "Tapi, mungkin aku bisa membantumu menuju ke tengah makam."
"Makam?" Anila terkejut. "Apa yang kau katakan?"
"Kamu tidak tahu? Lorong-lorong dan jalan yang kamu lewati selama ini adalah lorong menuju makam. Walaupun banyak jebakannya, kamu beruntung bisa selamat."
"Aku tidak tahu aku bisa berada di sini," Anila mengakui. Ia lalu bertanya dengan nada penasaran, "Kalau begitu, di mana ini? Makam siapa? Dan apa kamu yang membunuh orang-orang yang lewat di sini? Aku melihat banyak tengkorak."
Wanita hantu itu tertawa. "Mereka mati karena masuk jebakan, bukan karena aku. Ternyata kamu sudah tidak takut lagi denganku. Aneh sekali."
"Kamu juga aneh," balas Anila, tersenyum tipis. "Kenapa kita saling mengatai aneh, kalau kita berdua juga sama-sama aneh?"
Wanita itu tertawa lagi. Tawa yang merindingkan, namun kali ini Anila tidak terlalu takut.
"Jadi, kamu ingin tahu ini di mana?" tanya wanita hantu itu. Anila mengangguk. Mereka berjalan bersama, dan Anila mencoba mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Ia harus menemukan cara untuk kembali ke orang tuanya, dan ia akan mencari informasi apa pun yang ia bisa.
"Ini adalah makam Penasihat Abhan," kata wanita hantu.
"Penasihat Abhan? Siapa dia? Dan kamu tahu tidak bagaimana aku bisa keluar dari sini?" tanya Anila dengan wajah penuh semangat.
"Kamu tidak bisa keluar dari dunia ini sampai menemukan kesembilan pintu perunggu yang ada di dunia ini," jawab wanita hantu.
Tepat setelah ia mengatakan kata "pintu perunggu", suara tembakan pistol terdengar dari lorong lain. Anila segera mengambil sikap waspada, melihat ke depan, namun suara itu berasal dari kejauhan. Anila segera berlari, mencari sumber suara hingga dia melihat cahaya dari ujung lorong yang baru saja ia lewati.
Saat tiba, ia segera bersembunyi. Dua kelompok sedang berseteru, dan di tengah-tengah mereka berdiri sebuah pintu perunggu. "Apa itu pintu perunggu yang kamu katakan tadi?" tanya Anila.
"Itu benar," jawab wanita hantu.
"Kalau begitu, aku bisa kembali ke duniaku melalui pintu perunggu itu?" tanya Anila, wajahnya berbinar-binar. Wanita hantu itu menatapnya, dan kebahagiaan Anila berubah menjadi kesedihan saat ia mendengar penjelasannya.
"Kamu tidak bisa. Pintu perunggu memang bisa dimasuki, tapi dari semua pintu perunggu yang mana yang tepat untuk kamu bisa kembali? Karena tidak semuanya bisa kamu masuki, jika kamu ingin hidup dengan utuh," ucap wanita hantu.
"Jadi maksudmu, setiap pintu memiliki kegunaannya masing-masing?" Anila tertunduk lesu.
"Begitulah. Tapi, daripada itu, bukankah mereka yang sedang tertangkap, itu kawanmu yang terpisah?" tanya wanita hantu itu.
"Mereka bukan kawanku. Aku tidak mengenal mereka," jawab Anila jujur.
"Kalau begitu, apa orang yang memegang senjata itu kawanmu?" tanya wanita hantu lagi.
"Bukan juga. Aku sudah memberitahumu, aku berasal dari dunia lain," jawab Anila, wajahnya memucat karena bingung.
"Bukan keduanya ya. Ya sudah," ucap wanita hantu itu, acuh tak acuh.
"Tunggu dulu, kamu mau ke mana? Kamu belum memberitahuku bagaimana aku bisa keluar dari sini!" Anila menarik jubah wanita hantu itu.
"Aku tidak tahu. Mungkin kamu bisa mencari tahu dari pintu perunggu itu, atau dari salah satu dari mereka," jawab wanita hantu itu.
"Tapi aku tidak mengenal mereka sama sekali! Bagaimana aku bisa bicara dengan mereka?" Anila memohon.
"Kalau tidak, bantu saja salah satu dari mereka. Gampang, kan? Kenapa kamu meminta bantuan padaku yang berbeda denganmu?" tanya wanita hantu itu.
"Karena hanya kamu yang pertama kali mengajakku bicara," jawab Anila. Ia lalu tersenyum, "Kalau begitu, bantu aku menolong mereka, ya?"
"Yang mana?"
"Tunggu, aku akan melihat situasinya dulu," jawab Anila. Ia mengamati kedua kelompok itu, melihat pihak yang ditundukkan dan pihak yang berkuasa. Setelah melihat wajah mereka yang tertunduk, Anila merasakan sesuatu yang aneh. "Kenapa aku merasa kalau salah satu kelompok itu seperti mencari kebenaran, ya?" batin Anila.
"Sudah memutuskan?" tanya wanita hantu tidak sabar.
"Sudah! Bantu aku menolong mereka yang sudah tertangkap," ucap Anila dengan percaya diri. "Kamu hanya mengalihkan perhatian mereka, aku akan menembak dengan ini." Anila mengangkat pistolnya. Kenapa aku harus bernasib buruk seperti ini? Aku hanya ingin kembali ke orang tuaku saja. Apakah aku harus menjelajahi semua makam kuno di dunia ini? Ini membuatku frustrasi, batin Anila, penuh keputusasaan.
Wanita hantu itu turun, mulai menakuti orang-orang berpakaian hitam yang bersenjata. Pada saat itu, Anila dengan wajah tegas memegang pistolnya. Awalnya ia tidak ingin menggunakannya, tapi untuk bisa keluar dari dunia ini, ia harus bisa membuat rencana masa depan yang baik. Aku harus melakukan semua ini, batin Anila. Pertanyaannya sekarang, akankah rencana Anila berhasil?
Anila bersiap untuk memberikan kejutan. Wanita hantu sudah turun, menghilang seperti bayangan, seolah tak pernah ada. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini. Bagaimana bisa aku berbicara dengan hantu wanita? Apa aku sudah gila karena terbangun di tempat ini? batin Anila, penuh keraguan.
Tepat saat ia hendak menggunakan pistolnya, sebuah senapan terlempar dari bawah, mendarat dengan mulus di tangannya. Senjata itu berat, jauh lebih berat dari pistolnya. "Kurasa ini jenisnya sama seperti yang kulihat di film. Senjata tentara militer," gumam Anila, kagum. Wanita hantu rupanya mengambilnya dari salah satu musuh di bawah.
Namun, Anila harus segera fokus. Nyawa orang-orang di bawah sana bergantung padanya. "Bagaimana cara menggunakannya?" Ia membalikkan senapan itu, mencari pelatuknya. Setelah menemukan dan menariknya, Anila segera memposisikan tubuhnya. Membidik salah satu pria berbaju hitam. Tepat saat wanita hantu membuat pengalihan, Anila menarik pelatuk.
Satu peluru melesat dengan cepat ke arah target. Anila menahan napas. Apa ini berhasil?
Peluru itu mengenai bahu salah satu orang berbaju hitam yang berdiri di dekat para sandera. Semua orang yang tadinya tidak waspada segera mencari sumber suara. Mereka mengangkat senjata, menatap sekeliling dengan waspada.
"Siapa di sana?!" teriak salah satu dari mereka.
“Jika kamu ingin hidup keluarlah,”ucap tetara bersenjata dibawah.
Anila, yang mendengar samar-samar, tetap bersembunyi. Mana mungkin aku keluar, pikirnya. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya bergetar. Suara nyaring senapan masih berdengung di telinganya. "Begini rasanya menggunakan pistol. Maafkan aku, Ayah, Ibu," bisik Anila. "Aku melakukan semua ini untuk bisa selamat dari tempat ini."
Meski ketakutan, mata Anila tetap tertuju ke bawah. Ia terus bekerja sama dengan wanita hantu. Dengan setiap pengalihan, Anila menembak satu per satu musuh. Jumlah mereka terus berkurang. Melihat hal itu, kelompok yang tertahan mulai bergerak. Salah satu dari mereka, seorang pria tampan, bergerak dalam kegelapan, berhasil menangkap musuh yang tersisa.
Saat Anila mengamati pria itu, ia melihatnya menoleh ke atas. Tatapannya dingin, seolah ia tahu persis di mana Anila bersembunyi. Anila terkejut. Tidak mungkin, apa dia tahu posisiku?
“Aku harus tenang dan fokus membantu mereka. Untuk mereka curiga atau tidak belakangan saja,”kata Anila kembali mengamati situasi dibawah dengan analisis yang dia ketahui.
Tiba-tiba, wujud wanita hantu yang tadinya samar-samar, kini sepenuhnya menghilang. Bersamaan dengan itu, Anila merasakan hawa dingin yang tak nyaman menusuknya dari belakang. Ia menoleh, mengarahkan senter ke lorong di belakangnya, tetapi tidak melihat siapa pun. "Hei, wanita hantu, apa itu kamu?"
Tidak ada jawaban. Anila menjadi semakin waspada. Di bawah, semua musuh sudah ditangkap. Anila menghela napas lega. Namun, perasaan dingin dari belakang kembali memanggilnya. Anila menoleh lagi, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke bawah, memutuskan untuk turun.
Anila mengeluarkan tali dan merayap turun. Perasaan apa tadi itu? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang memanggilku dari belakang? Perasaan itu sangat tidak enak, batin Anila. Semua orang di bawah memandangnya. Mereka terlihat waspada.
"Siapa kamu?" tanya seorang pria paruh baya, nadanya tegas.
Anila turun dan mendarat dengan mulus. "Aku orang yang tersesat," jawab Anila ramah. "Maaf sudah membuat kalian takut. Aku orang baik, kok. Aku hanya ingin keluar dari sini saja. Jika tidak keberatan, apa kalian mau membantuku keluar dari makam ini?"
"Paman, jangan seperti itu," ucap pria tampan berkaca mata yang tadi ia lihat. "Lihat dia, dia hanya wanita biasa. Kurasa dia tidak akan melukai kita. Lagipula dia sudah membantu kita. Maaf sudah membuatmu takut. Kami berterima kasih sudah menolong kami dari kepungan."
"Sudahlah," ujar salah satu pria di belakang mereka, "lebih baik kita lihat peti matinya."
Saat semua orang sibuk, Anila berjalan ke arah pintu besar yang terdapat sebuah ukiran waktu, buku dan orang yang menatap ke arah kedua benda didepannya. Tapi Anila sama sekali tidak berduli dengan gambar ukiran di pintu besar itu yang dia inginkan adalah melihat Pintu perunggu yang dimaksud wanita hantu. Anehnya, ia merasakan tatapan dari lorong tempat ia bersembunyi. Anila menoleh ke atas. Wanita hantu itu tersenyum tipis sambil mengucapkan kata-kata tanpa suara. "Semoga berhasil untuk keluar dari dunia ini."
Anila membaca gerakan bibirnya. Apa maksudnya? Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia menaiki tangga menuju pintu perunggu itu. Ia mengamati bagian atas hingga bawah, tidak menemukan sesuatu yang aneh. Namun, di bawahnya, ia melihat sebuah tulisan.
"Perjalanan melintasi 9 dunia Raja Armaan Ars."
"Siapa dia?" gumam Anila, ini pertama kalinya ia mendengar nama itu.
"Apa yang kamu lihat?" Pria tampan dengan pedang di belakang punggungnya itu tiba-tiba berada di belakangnya.
"Aku hanya melihat tulisan ini. Apa kakak tahu siapa Raja Armaan Ars?" tanya Anila, penuh rasa ingin tahu.
Pria tampan membawa pedang itu hanya diam, menatap Anila. "Ada apa? Apa kamu juga tidak tahu? Tidak apa-apa," ujar Anila, melihat ke sisi lain, tapi ia tidak menemukan apa-apa. Pria itu masih mengikutinya dari belakang, membuat Anila merasa tidak nyaman. "Kenapa kamu mengikutiku? Aku tidak akan melukai kawanmu. Aku hanya ingin keluar dari sini. Apa tidak boleh?" kata Anila tegas.
Sementara itu, kawan pria tampan berkaca mata yang bersama dengan paman, itu memperhatikan mereka berdua. "Apa yang kakak ketua lakukan disana bersama wanita itu?" tanya seorang pria bertubuh gemuk didekat pria tampan berkaca mata.
"Aku juga tidak tahu. Mungkin dia masih curiga dengan wanita itu. Ayo ke sana, mungkin kita bisa berkenalan dengannya," kata pria berkacamata.
"Kakak ketua, apa yang kamu lakukan di sana? Kamu membuatnya takut," kata pria gemuk itu berjalan mendekat.
Tidak ada jawaban dari pria tampan membawa pedang itu. "Maaf soal kawanku itu," ucap pria berkacamata. "Dia hanya merasa kamu sedikit berbeda."
"Tidak apa-apa. Aku tahu kok kalau mewaspadai orang asing," jawab Anila tersenyum polos seperti tidak ingin memikirkan apa yang sudah terjadi.
“Tapi bagaimana kamu bisa sampai disini teman,”kata pria berkaca mata mencoba mencari informasi.
“Aku juga tidak tahu bagaimana bisa ada disini. Tapi aku ingin keluar dari sini. Lalu apa kamu tahu siapa raja Armaan Ash. Aku tadi bertanya kepda kakak itu. Dia hanya diam saja, mungkin dia juga tidak tahu siapa dia,”kata Anila.
“Kamu bertanya dengan dia,”tunjuk pria gemuk ke arah pria tampan membawa pedang yang bersikap dingin dan datar wajahnya. Anila mengangguk.
“Dia tahu hanya saja malas menjawab saja. Dia suka diam dari pada bicara,”jawab pria berkaca mata.
“Ohh jadi begitu,”jawab singkat Anila. Tapi pria tampan membawa pedang masih menatap ke arah Anila. Ia tahu kegelisahan pria tampan itu. Tapi, bagaimana ia bisa mendapatkan petunjuk dan keluar dari dunia ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!