POV : Claire.
Aku membuka mata perlahan setelah dokter melepaskan kain perban itu. Aku mulai melihat setitik cahaya putih dan terang, mungkin karena belum terbiasa, aku kembali menutup mataku sesuai instruksi dokter.
"Jangan terlalu di paksa, kedipkan matamu." kata dokter yang ku tahu namanya Phillip. Aku mengikuti semua perkataan dokter Phillip hingga aku benar-benar bisa melihat dengan jelas.
Aku mengedarkan pandanganku mencari seseorang yang sangat ingin aku lihat, aku sudah sangat hafal bentuk wajahnya, dan sekarang aku ingin melihat wajah itu secara langsung.
"Dokter, dimana Grey?" tanyaku membuat dokter Phillip dan seorang suster saling menatap.
"Aku tidak melihat Tuan Grey setelah mengantarkanmu kemari saat itu." kata dokter Phillip diikuti anggukan kecil suster disebelahnya. Aku terdiam mengingat kapan terakhir pertemuan ku dengan Grey.
Dokter Phillip pergi setelah menjelaskan beberapa prosedur tentang perawatan kornea mata yang kini jadi milikku. Aku melamun cukup lama didalam kamar memikirkan kemana perginya Grey. Ya, memang sudah dua hari pria yang aku cintai itu tidak datang menjengukku.
"Kau dimana Grey? Kau tidak menepati janjimu." gumam ku pelan, entah mengapa semakin aku berpikir semakin perasanku tidak enak.
Aku beranjak dari bed rumah sakit dan membereskan pakaianku, aku tidak bisa hanya diam menunggu, aku harus mencari Grey.
"Nona mau pulang?" tanya seorang suster membawakan jatah makan siang ku.
"Aku tidak bisa disini lagi, dimana aku harus mengurus administrasi nya?" tanyaku sambil memasukkan bajuku dalam koper kecil.
"Tunggu sebentar." suster itu keluar setelah meletakkan makananku di meja. Tak lama suster itu masuk dengan membawa sebuah amplop kecil yang aku yakin itu adalah rincian biaya rumah sakit ku.
"Seseorang sudah melunasi semua biaya rumah sakit anda, Nona." katanya sambil menyerahkan amplop itu padaku.
"Apakah itu, Grey?" tanyaku bingung, namun setelah aku baca ternyata bukan Grey yang membayar biaya rumah sakitku, hal ini malah membuatku semakin bingung karena aku tidak mengenal nama yang menanggung biaya rumah sakitku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, kini aku bisa kembali melihat indahnya dunia, selama ini aku hanya bisa merasakan riuh dan ramainya saja. Ternyata kota yang aku tinggali begitu indah, untuk beberapa saat aku melupakan Grey karena kagum dengan sekitarku.
"Aku harus pulang," gumam ku sedikit bingung aku harus kearah mana, padahal saat aku buta tidak bingung seperti ini. Semua menjadi baru bagiku dan aku harus menyesuiakan diri.
🍁🍁🍁
Begitu sampai dirumah, lagi-lagi aku kagum melihatnya. Ternyata rumah ini jauh lebih indah dari yang aku bayangkan, rumah ini tidak begitu besar, namun terlihat rapih, bersih dan banyak tanaman bunga di halaman.
Dengan menyeret koper kecilku, aku membuka pintu rumah dengan bahagia. Mungkin Grey ada di dalam menyiapkan kejutan untukku. Tapi semua itu hanya anganku, ternyata Grey juga tidak menyambutku.
"Grey! Grey! Aku pulang!" teriakku memanggil Grey, tapi tidak ada sahutan siapun. Aku berlari keluar setelah tidak menemukan Grey di dalam rumah. Tujuan terakhirku adalah rumah kaca, dimana biasanya aku menghabiskan waktu sepanjang hari.
"Grey?" Aku membuka pintu rumah kaca itu dan semerbak harum bunga yang menenangkan menusuk hidungku. Mataku mencari Grey kesana-kemari, namun pria tampanku itu juga tidak ada.
Tampan? Apakah Grey benar-benar tampan seperti bayangku? Grey, kau dimana? Kau tidak menepati janjimu.
Pikiranku berkecamuk, hatiku benar-benar tidak tenang karena tidak menemukan Grey dimana-mana.
Bahkan saat malam datang, aku masih belum bertemu dengan Grey. Aku duduk di beranda samping, tempat dimana aku dan Grey selalu menghabiskan waktu setelah sepanjang hari bekerja. Canda tawa dan pelukan hangat masih begitu terasa, Grey dia adalah pria pertama yang mampu membuat hatiku bergetar selama 25 tahun hidupku.
Setahun yang lalu.....
Siang itu, aku duduk di sebuah bangku taman nasional menikmati udara musim gugur, sebentar lagi akan masuk musim dingin. Aku sangat suka udara musim gugur, aku masih bisa merasakannya meskipun aku tidak bisa melihat. Semilir angin menyapa pori-pori kulitku yang hanya mengenakan baju sejenis MIDI dress.
Aku sengaja melipat tongkatku, dan menatap lurus kedepan, aku juga tidak mengenakan kaca mata hitam seperti orang buta pada umumnya. Sekilas, aku terlihat seperti wanita normal pada umumnya, dan sesekali mengembangkan senyum saat aku merasa sentuhan lembut angin.
"Hai, kau sendirian?" tiba-tiba ada yang menyapaku, aku rasa dia duduk di sebelahku mengingat bagiku itu panjang.
"Seperti yang kau lihat." jawabku tersenyum, aku mendengar dia menghela nafas pelan. Tak lama setelah dia aku mendengar suara kaki berlari, kurasa dia sudah pergi. Ya, siapa yang yang akan mengobrol dengan orang buta
sepertiku?.
Aku tidak perduli, toh selama ini aku juga sendirian setelah kematian Ayah dan ibu. Namun sekitar 10 menit, aku merasa ada orang yang kembali duduk di sebelahku.
"Kau kembali lagi?" tanyaku, tapi tidak ada jawaban, setelah hampir dua menit orang itu kembali bersuara.
"Maaf, apa kau buta?" tanyanya, aku tersenyum tipis dan mengangguk.
"Ya, aku buta. Apa itu mengejutkan mu?" tanyaku pelan, aku tak tahu bagaimana reaksi apakah terkejut atau biasa saja.
"Jadi bagaimana kau tahu aku kembali?" suaranya kembali terdengar sangat keheranan. Itu tebakan ku.
"Le Monde Sur Mesure. Aku memang buta, tapi indra penciumanku sangat tajam dan tepat. Right?" ya, tentu saja hidungku ini berfungsi dengan sangat baik. Itulah kelebihan orang buta sepertiku.
"Begitu rupanya." katanya pelan sambil meletakkan sesuatu di sampingku.
"Apa ini?" Aku merabanya dan. "Bukankah ini tasku?" tanyaku heran.
"Hmmm, aku tadi berniat ingin mencuri tas mu. Tapi kau hanya diam saja, bahkan tidak teriak. Itu membuatku penasaran, dan saat aku kembali kau tetap duduk santai seolah tidak terjadi apa-apa." jelasnya membuatku sedikit terkejut.
"Jadi kau seorang pencuri? Apa parfum yang kau gunakan juga hasil curian?" selidikku seolah mengintrogasi nya, bukannya menjawab dia malah tertawa.
"Tebakan mu tidak salah, aku adalah seorang bandit." jawabnya masih terkekeh, seperti ada sesuatu yang lucu.
"Aku pikir kau adalah pria kaya, ternyata kau pencuri parfum orang kaya." kataku, seketika dia terdiam.
"Ini hanya parfum, apa hubungannya dengan kaya dan miskin? Semua orang berhak memakai parfum ini kan? Brand ini memasarkan produknya untuk semua orang." protesnya, benar juga sih apa yang dikatakannya.
"Maaf jika aku sudah menyinggung mu." Aku menunduk sambil menggigit bibirku, dia adalah orang jahat bagaimana jika kerena tersinggung lalu menyakitiku?.
"Wahhh wajahmu lucu sekali nona. Kau takut jika aku menyakitimu, ya?" tanyanya membuatku semakin takut saja.
"Bukankah pria sejati tidak akan menyakiti wanita? Apalagi wanita berkebutuhan khusus seperti ku ini." jawabku tenang menyembunyikan rasa takutku.
"Kau benar juga, tapi tidak ada yang gratis di dunia ini. Karena kau sudah menyinggungku, aku harap kau minta maaf dengan benar. Minggu depan di jam yang sama aku tunggu kau di sini." katanya membuat kesepakatan tanpa perduli pendapatku.
"Ngomong-ngomong, kau sangat cantik." pujinya lalu meninggalkanku begitu saja.
"Apa-apaan ini?" gumam ku, pipiku terasa panas dan jantungku berdetak lebih kencang.
*
*
*
*
*
TBC
Happy reading ya, jangan lupa tinggalkan jejak kalian di kolom komentar, like dan subscribe.
Sehat selalu semuanya dan salam hangat 🤗
Waktu cepat berlalu, hari ini adalah hari dimana pria itu mengajak untuk bertemu. Tapi tunggu, kenapa sepertinya aku yang sangat antusias? Lihatlah aku mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam lemari.
"Nona, kau sedang apa?" Itu suara Bibi Elodi, kebetulan sekali dia datang, aku bisa meminta bantuannya.
"Bibi, kau sudah datang?" Aku tersenyum menyambut kedatangannya. Bibi Elodi memang tidak setiap hari datang kemari, kadang seminggu sekali atau dua minggu sekali baru datang.
"Ya, Bibi merindukan mu. Tapi sepertinya kau akan pergi." Katanya, mungkin bibi melihat bajuku berserakan di ranjang.
"Apa aku membuat semuanya benar-benar berantakan?" Tanyaku pelan.
"Tidak begitu, nanti bibi bereskan." Bibi Elodi menarik tanganku dan mendudukkan ku di ranjang.
"Nona ingin memakai baju seperti apa? Biar bibi bantu pilihkan." Katanya sambil membelai rambutku.
"Entahlah, aku bingung." Jawabku jujur, baru pertama kalinya aku bingung ingin memakai baju apa.
"Begitu ya, memang nona mau kemana? Bukankah hanya ke taman?" Tanyanya yang sudah hafal kegiatanku, aku hanya mengangguk.
"Ini sudah masuk musim dingin, bagaimana jika memakai baju rajut dan celana jeans?" Tanyanya, ya aku juga berpikir begitu.
"Tapi, bisakah bibi pilihkan warna yang cerah untuk hari ini?" Pintaku pelan.
"Tentu saja, bagaimana dengan warna merah? Warna ini sangat segar." Bibi Elodi meletakkan kaus rajut berwarna merah katanya.
"Apakah warna ini cocok untukku?" Tanyaku, entah mengapa aku jadi sangat bingung.
"Kau cocok dengan warna apapun." Kata bibi Elodi melihat kebingunganku.
"Boleh bibi tanya sesuatu?" Aku menjawab dengan anggukan.
"Apa kau akan menemui seseorang?" Ditanya seperti itu malah membuatku gugup.
"Bibi, aku akan pergi ke taman. Tentu saja aku akan bertemu banyak orang, aku hanya ingin terlihat seperti wanita normal. Aku tidak ingin orang-orang meremehkan ku karena aku buta." Jawabku tidak sepenuhnya bohong. Karena aku memang tidak suka diremehkan orang lain, itu sebabnya aku tidak pernah memakai kaca mata hitam.
"Kau benar. Baiklah serahkan pada bibi, bibi akan menjadi stylish yang handal untukmu. Percaya pada bibi." Katanya meyakinkanku.
Aku hanya menurut saja saat bibi menyuruhku memakai ini dan itu, aku juga tidak protes saat bibi mulai memoles wajahku dengan makeup, yang tidak pernah aku pakai sebelumnya.
"Penampilanmu sangat sempurna, Nona." Pujinya setelah selesai dengan segala rituan yang aku tak begitu paham.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang. Maaf sudah merepotkan bibi." Aku berjalan keluar rumah sambil di tuntunnya.
"Anda sama sekali tidak merepotkan, Nona. Bibi senang bisa membantu Anda. Tapi maaf karena bibi tidak bisa menunggu sampai anda pulang. Sebab bibi akan langsung pulang setelah selesai membereskan rumah." Katanya.
"Ya, aku sangat berterimakasih karena bibi masih mengunjungi dan membantu ku." Bibi Elodi sebenarnya sudah tidak bekerja dirumahku setelah kematian ibu lima tahun yang lalu. Tapi bibi masih sering datang mengunjungiku.
***
Hatiku semakin tak karuan begitu memasuki area taman, jantungku berdebar sangat kencang bahkan aku tidak bisa mendeskripsikannya. Untuk pertama kalinya aku janjian dengan seseorang, walaupun dia seorang pencuri atau apapun itu.
"Kau terlambat dua menit." Suara itu mengejutkan ku, rupanya dia datang lebih dulu.
"Be-benarkah?" Tanyaku gugup, aku bahkan lupa memperhatikan waktu.
"Ya, tapi aku memaafkan mu. Kau pasti membutuhkan banyak waktu untuk berdandan secantik ini" katanya.
Blusss....
Pipiku terasa panas, dan jantung serasa mau meledak. Benarkah aku cantik? Ahhh kenapa aku tidak bertanya dulu pada bibi Elodi, tadi.
"Ayo." Pria itu menarik tanganku.
"Ma-mau kemana?" Tanyaku, tapi aku mengikutinya langkah kakinya.
"Sudah ikut saja." Katanya, entah mengapa aku tidak bisa protes sama sekali. Pria itu memasukkanku kedalam mobil.
"Hei, apa kau berencana menculik ku? Dengar, aku ini cacat dan aku bukan orang kaya. Kau salah besar jika menculik ku." Kataku panik, meronta-ronta tapi dia malah tertawa.
"Kau ini lucu juga ya." Tanpa memberikan penjelasan, pria itu malah mengemudikan mobilnya.
"A-aku tidak bercanda!" Teriakku.
"Aku juga tidak bercanda, diamlah dan jangan merusak kencan pertama kita." Katanya santai tapi tetap denganku.
"Apa? Kencan? Kita?" Aku yakin jika pria ini adalah orang gila.
"Kenapa? Kau tidak mau kencan denganku?" Fix, aku sangat yakin dia benar-benar gila.
"Kau sakit Tuan, apa kau waras?" Yang benar saja, bisa-bisanya orang ini membuatku hampir terkena serangan jantung di pertemuan kedua.
"Apa yang kau pikirkan? Aku ini pria tampan dan seratus persen sehat akal dan pikiran." Sanggahnya tak terima.
"Lalu apa masalahmu? Bisa-bisanya kau kencan dengan gadis buta yang baru dua kali kau temui. Atau kau sudah tidak laku?" Kesalku, lagi-lagi dia tertawa.
"Sudahlah, berkencan denganku tidak ada ruginya. Bahkan kau akan menjadi salah satu gadis yang paling beruntung." Katanya percaya diri, seolah dirinya adalah tua muda saja.
"Sudah sampai, ayo kita turun." Katanya keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku.
"Ayo turun." Ulangnya.
"Ti-tidak mau, kau pasti berniat buruk padaku." Tolakku, pikiranku sudah dipenuhi prasangkan buruk.
"Kau mau turun sendiri atau aku gendong?" Tapi aku masih diam saja, apa-apaan itu tadi.
"Rupanya kau ingin digendong. Baiklah, aku sama sekali tidak keberatan menggendong tubuhmu yang kurus itu." Katanya tangannya berada dibawah lutut ku.
"Hei! Jangan macam-macam. Aku bisa jalan sendiri." Ya, meskipun takut. Tapi aku tidak mau jika harus di gendong olehnya.
"Ahhh restoran, aromanya sangat nikmat. Sepertinya aku belum pernah mencium aroma ini." Batinku, aroma makanan ini membuatku sedikit lebih tenang.
"Kendalikan hidungmu, jangan terlihat seperti kucing." Cibirnya, ingin sekali aku memukul kepalanya. Enak saja menyamakan aku dengan seekor kucing, mana ada kucing secantik diriku?. Hahh, cantik. Benarkan yang dia katakan jika aku cantik?.
"Buka mulutmu." Perintahnya, sesuka hati saja memerintah orang.
"Aku bisa makan sendiri." Tolakku, tanganku meraba mencari sendok dan garpu.
"Makanan ini menggunakan sumpit, kau tidak akan bisa." Lihatlah, dia kembali meremehkan ku.
"Aku juga menggunakan sumpit saat makan pasta." Enak saja, dia pikir aku tidak bisa menggunakan sumpit.
"Tapi ini bukan pasta, ayo buka mulutmu." Katanya lagi.
"Come on, makanan ini aman tidak ada racunnya." Dia meyakinkanku, hingga akhirnya aku membuka mulutku.
"Nahh, gitu dong. Enakkan?" Tanyanya setelah berhasil menyuapiku. Aku hanya mengangguk karena mulutku sangat penuh, makanan ini memang asing di lidahku. Tapi aku cocok dengan rasanya.
"Apa kau bisa merasakan apa yang ada di dalam mulutmu?" Sejenak aku terdiam merasakan apa saja yang ada di dalam mulutku.
"Nasi, salmon, timun, alpukat, wortel dan aku tidak tahu lagi." Kataku, entahlah aku tidak tahu lagi.
"Kau ternyata gadis yang pintar," pujinya lagi, hah bisa tidak jangan memujiku? Aku sangat gugup jika di puji.
Setelah selesai makan, pria itu kembali membawaku jalan-jalan, entah kemana karena aku tidak bisa melihat tapi aku bisa merasakan jika pengalaman baru ini sangat menyenangkan. Meski sampai sekarang aku belum tahu siapa nama pria ini, rasa takutku juga perlahan menghilang, aku merasa jika sebenarnya dia orang baik. Tapi kenapa dia bilang jika dia adalah pencuri?.
*
*
*
*
*
TBC
Setelah selesai makan, pria itu masih terus mengajakku jalan-jalan. Aku tidak tahu dia mengajak kemana, tapi aku sangat menikmati kebersamaan kami.
"Kau terlihat lebih cantik saat tersenyum seperti ini." pujinya, aku tersenyum karena mendengarkan lagu dan suara tawa anak-anak.
"Apa yang lucu hingga kau terus tersenyum?" tanyanya penasaran.
"Aku suka suasana disini. Terimakasih sudah mengajakku kesini." ucapku tulus dengan senyum yang masih menghiasi bibirku.
"Sudah aku bilang jika kau tidak akan rugi berkencan denganku." katanya terdengar sombong, pasti wajah pria ini sangat menyebalkan.
"Ini kencan pertamamu, kan?" tebaknya, tidak salah, tapi hal itu membuatku kesal.
"Ya, karena hanya orang gila sepertimu yang mau mengajak kencan gadis buta." sindirku, sayangnya aku tidak bisa melihat wajah tengilnya.
"Bahkan aku tidak tahu namamu." sambungku pelan, padahal hampir setengah hari aku bersamanya, tapi aku belum tahu namanya.
"Ahh, kau ingin berkenalan denganku rupanya." pria itu tertawa, membuatku jadi malu. Maksudku bukan ingin kenalan, hanya saja sangat aneh jika kita bersama orang yang tidak kita tahu namanya.
"Bukan masalah, kau adalah pacarku. Mulai hari ini dan seterusnya kau akan menjadi pacarku. Jadi kau harus tahu namaku." Katanya lagi-lagi membuatku tercengang.
"Pacar? Sejak kapan aku setuju jadi pacarmu? Tidak, aku tidak mau!" tolakku dengan tegas.
"Kau tidak punya pilihan lain, Nona. Aku tahu jika kau juga tidak dekat dengan pria manapun, hanya aku pria yang dekat denganmu." ucapnya seenaknya.
"Tapi bukan berarti aku mau jadi pacarmu." kataku sambil memilin jariku.
"Memangnya kenapa?" tanyanya heran.
"Karena aku ingin punya kekasih yang baik, bukan pencuri seperti mu." jawabku, aku masih ingat jika pria yang sekarang membuatku nyaman ini adalah pencuri, bahkan dia mengaku jika dirinya seorang bandit.
"Baiklah, aku akan berhenti menjadi pencuri. Apa kau puas?" tanyanya.
"Bagaimana aku tahu kau berhenti mencuri atau tidak? Bisa saja kau bohong padaku, aku ini buta." Aku mengingatkannya tentang kondisiku, pria itu menarik kedua tanganku dan menganggapnya, tangankunyang tadinya dingin terasa hangat.
"Cukup percaya padaku, aku memang bukan orang baik. Tapi aku akan belajar memperbaiki diri agar kelak kau bisa membanggakan ku." suaranya terdengar serius, hingga membuatku tidak bisa berkata-kata.
"Kau mau jadi pacarku 'kan? Mendampingiku menata hidup yang lebih baik, memulai semuanya dari nol. Aku janji tidak akan mengecewakanmu." Aku masih terdiam dan tak tahu harus menjawab apa.
"Aku butuh dukungan dari orang yang bisa aku percaya, dan aku percaya padamu." katanya lagi.
"Ke-kenapa harus aku?" yanyaku pelan.
Cup...
Dia mengecup punggung tanganku yang ada di genggamannya, dan menghembuskan nafas pelan.
"Mungkin kau tidak akan percaya, tapi aku tetap akan mengatakannya." ujarnya.
"Saat pertama kali aku melihatmu, aku melihat ketenangan. Matamu memang buta, tapi aku bisa melihat ketenangan didalamnya, lalu senyum mu membuatku merasakan kehangatan dan kebahagiaan. Hal itu menyadarkan ku, jika untuk menikmati hidup tidak perlu sebuah kesempurnaan." katanya membuatku tertegun, kata-kata seperti seorang penyair.
"Kau tidak percaya, bukan?" tanyanya seolah tahu isi kepalaku.
"Kau tidak perlu percaya dengan kata-kataku, tapi aku harap kau mau menemaniku berproses menjadi manusia yang lebih baik lagi." walaupun hatiku ragu, tapi entah kenapa kepalaku mengangguk.
"Terimakasih, aku janji tidak akan mengecewakanmu." ucapnya lalu menciumi kedua tanganku.
"Hentikan, jangan lakukan itu." kataku, namun seolah hanya angin lalu karena pria itu terus melakukannya.
***
"Kau benar tidak mau aku antar pulang?" tanya Grey, ya namanya Grey. Nama yang menurutku cukup keren.
"Grey, aku memang buta. Tapi aku bisa pulang sendiri, next time kau bisa mengantarkanku sampai rumah."
"Aku sangat menunggu hal itu." Grey kembali mengambil tanganku dan mengecupnya.
"Grey, boleh aku megatakan sesuatu?" tanyaku pelan.
"Anything." jawab Grey tanpa melepaskan tanganku.
"Jika suatu saat kau sudah bosan padaku, katakanlah. Jangan membuatku kecewa dengan cara membohongiku." pintaku, aku tidak tahu apa alasan Grey memilih gadis buta sepertiku untuk jadi kekasihnya. Aku tidak tahu tujuan Grey selanjutnya.
"Aku tahu kau ragu dan bingung dengan hubungan yang tiba-tiba ini. Tapi dengan jelas aku katakan padamu, jika kau adalah satu-satunya wanitaku. Aku tidak punya kekasih selain dirimu, aku ingin memulai hubungan dan hidup lebih baik. Dan aku memilihmu untuk menjadi pendampingku." jelas Grey, namun hatiku belum tenang sama sekali.
"Aku tidak menjanjikan apapun padamu. Tapi aku akan berusaha untuk tidak membuatmu kecewa dan menangis. Claire, kau sangat berharga bagiku, aku sama sekali tidak masalah dengan kondisimu yang buta. Karena aku yang akan menjadi matamu." Grey kembali meyakinkanku, aku mengangguk meskipun keraguan masih memenuhi hatiku.
***
Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan Grey, dari mana datangnya pria itu? Apa motifnya mendekati ku? Apa keuntungannya dekat denganku? Siapa Grey sebenarnya?.
Hati dan pikiranku penuh tanda tanya, aku bukan orang kaya yang bisa menguntungkannya. Aku hanya gadis sederhana dan buta, sungguh tidak ada yang menarik dalam hidupku.
"Terlepas dari apapun tujuanmu, aku senang karena untuk pertama kalinya punya teman bicara." gumamku pelan, karena Grey memang teman pertamaku. Orang asing yang mau bicara dan mengenalku, bahkan Grey mengatakan jika aku pacarnya. Aneh memang, tapi entah kenapa aku suka dan nyaman bicara bersamanya.
Setelah pertemuanku dengan Grey hari itu, aku kembali melanjutkan aktivitasku seperti biasanya, yaitu berjualan bunga. Aku memiliki sebuah rumah kaca yang ditanami beberapa jenis bunga, dengan cara itulah aku menafkahi diriku sendiri. Usaha sebagai penjual bunga adalah warisan dari Ayah dan Ibu yang memang bukan orang kaya.
"Harum." aku menghirup aroma setangkai bunga yang ada di tangan. Kali ini aku sedang merangkai bunga lili, dengan mengandalkan indera peraba dan indera penciumanku, aku bisa membuat rangkaian bunga yang sangat cantik. Itu kata pelanggan yang puas dengan hasil rangkaianku.
"Claire, how are you?" itu suara salah satu pelangganku.
"I'm good, how are you, Mrs. Smith?" balasku sambil tersenyum.
"Absolutely great. Bukankah kau bisa mendengar dari nada bicaraku?" katanya memang terdengar sangat baik dan sepertinya juga bahagia.
"Tentu, semoga anda selalu baik dan bahagia." kataku tersenyum sambil memotong tangkai bunga agar tidak terlalu panjang.
"Kau juga, Claire. Bagaimana dengan tawaranku tempo hari? Apa kau setuju?" tanyanya, hampir saja aku lupa jika Mrs Smith ingin menjodohkanku dengan seorang pria.
"I'm sorry Mrs Smith. Aku belum memikirkan tentang pria, setidaknya aku tidak ingin menjadi beban orang lain." kataku tanpa menghentikan pekerjaanku.
"Kau terlalu rendah diri sayang, lihatlah dirimu sekarang. Kau bahkan sangat bisa bekerja dan menghasilkan uang, bagaimana bisa kau menjadi beban orang lain?." Mrs Smith menyentuh pundakku.
"Jika kau berkencan atau bahkan menikah, kau akan punya teman bicara dan tidak akan kesepian." bujuknya.
"Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang." sanggahku tersenyum.
"Aku tahu. Baiklah, mungkin dia memang bukan jodohmu." akhirnya dia menyerah. Aku yakin jika pria yang ingin dia jodohkan denganku adalah pria baik, tapi aku memang belum memikirkan untuk punya pasangan. Lagi pula sekarang aku sudah punya pacar, yaitu Grey.
*
*
*
*
*
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!