TOKYO, 28 NOVEMBER
Hari itu hujan deras. Seorang mahasiswi bernama Uminoke berjalan pulang dari kampus ke rumah menggunakan payung birunya. Ia hanyalah gadis biasa yang memiliki kehidupan sendiri bersama kakak perempuannya, Kachi. Ia berhenti dan menengadah menatap langit.
"Bau hujan hari ini sangat berbeda," dia terdiam melihat langit dan merasakan sesuatu yang aneh. Ia melihat ke arah barat, di mana langit berwarna biru gelap. Di selatan, langit berwarna abu-abu dengan banyaknya awan.
"Kenapa warna mereka berbeda, ini tidak seperti biasanya?" ia terdiam berpikir.
Ia lalu kembali melanjutkan jalannya. Namun, ia kembali menengadah melihat ke arah atap sebuah gedung besar. Ada seorang lelaki bersandar santai di pojok balkon atap gedung tersebut. Lelaki itu hanya terlihat dari belakang.
"Apa yang sedang dia lakukan di sana? Apa dia tidak kehujanan?" pikir Uminoke dengan bingung. Karena ponselnya berbunyi, Uminoke harus kembali melanjutkan jalannya. Kachi sudah menunggunya pulang. Kachi adalah kakak perempuannya.
"Aku kembali."
"Selamat datang, bagaimana soal sekolahmu?" kata Kachi dengan wajah penuh kasih sayang.
"Ya, seperti biasa. Ngomong-ngomong, Kakak, apa kau merasa hujan kali ini baunya berbeda?"
"Ya, baunya seperti darah kotor. Hm... mungkin hanya efek pemanasan global."
"Tapi aku juga membaca di berita, hujan ini menyebabkan sakit parah bagi mereka yang benar-benar kebasahan."
"Itu sudah biasa, mungkin hanya demam. Cepat ganti pakaianmu, kita makan bersama."
"Baiklah, aku akan mandi dulu," balas Uminoke yang berjalan ke kamar mandi. Dia berendam air hangat di bak mandi sembari berpikir.
"Hujan ini membuat perasaanku tidak nyaman saat mandi. Dan lagi... Aku masih memikirkan lelaki tadi. Dia terlihat seperti seseorang yang tinggi, tapi aku belum tahu karena aku tidak melihatnya berdiri."
Setelah itu, Uminoke berjalan ke kamarnya dan mengganti baju. Lalu, ia berjalan ke meja makan.
"Uminoke, aku ada sedikit pekerjaan di luar kota. Mungkin aku akan pergi selama satu minggu penuh. Apakah kamu bisa menjaga dirimu sendiri?"
Kachi merupakan seorang asisten direktur di sebuah perusahaan. Kali ini, dia harus ikut atasannya pergi ke luar kota dan meninggalkan Uminoke.
"Ya, aku bisa. Kakak tak perlu khawatir. Ini sudah biasa sejak Ibu dan Ayah pergi."
Setelah Uminoke berkata begitu, Kachi mulai memasang wajah sedih. "Uminoke... wajahmu terlihat biasa saja saat membicarakan Ibu dan Ayah... Maafkan aku... Uminoke."
Pagi hari berikutnya adalah waktu bagi Kachi untuk pergi ke luar kota.
"Umin, aku pergi dulu... Astaga, kenapa hujannya tak mau berhenti sejak kemarin," kata Kachi sambil kecewa menatap langit yang terus mendung.
"Apa Kakak benar-benar akan pergi? Di luar hujan dari kemarin belum reda dan sepertinya baunya tercemar."
"Yah, aku tahu. Tapi nanti kamu makan apa jika aku tidak bekerja? Bagaimana dengan sekolahmu?"
"Sepertinya diliburkan karena dosennya tak ada."
"Kalau begitu, belajarlah di rumah. Kau ingin jadi dokter, kan? Jika aku sakit, kau bisa merawatku," Kachi mengelus kepala Uminoke dengan cepat.
"Apaan sih, aku ini sudah mau jadi dokter. Universitas sudah menerimaku."
"Haha, kalau begitu, aku pergi," Kachi membalikkan badan. Tapi, Uminoke seperti menahan sesuatu. "Ka-Kakak," ia memanggil. Lalu Kachi menoleh. Uminoke langsung memeluknya. "Cepatlah pulang."
"Ya, aku janji," Kachi membelai rambutnya. Lalu ia berjalan pergi ke stasiun menggunakan payung.
Selama satu minggu ke depan, Uminoke tinggal sendiri tanpa kakaknya.
Waktu berlalu, Uminoke terlihat duduk sendiri di sofa melihat televisi yang menyala. Ia mendengarkan berita cuaca. "Hujan diperkirakan tidak akan berhenti sampai akhir pekan karena pemanasan global. NASA akan menelitinya lebih lanjut," kata sebuah berita tersebut.
"Benar-benar mengerikan, tapi aku benar-benar tidak percaya sama sekali," Uminoke terdiam bosan melihat televisinya.
Lalu, Uminoke beranjak ke dapur dan membuka rak. Ia menjadi bingung. "Di mana telurnya? Sepertinya habis. Aku akan membelinya," ia mengambil payung dan berjalan keluar di tengah hujan yang tak begitu deras.
Semua orang terlihat tetap bekerja ke kantor meskipun cuacanya buruk. "Mereka benar-benar tidak punya istirahat di saat hujan begini. Itu sebabnya ada banyak yang sakit sekarang. Mereka lebih mementingkan pekerjaannya. Bagaimana jika dunia ini berakhir? Pastinya mereka tidak akan bisa berjalan begini lagi." Uminoke terus melihat orang-orang yang melewatinya. Hingga ia berhenti karena di depannya ada orang yang tak terlihat wajahnya karena tertutup payung.
Orang itu mengangkat payungnya, dan terlihat seorang lelaki tinggi dengan kucing hitam di pundaknya.
"Yo, kau lagi," kata lelaki itu dengan tatapan haus darah, mata sedikit lemas, dan rambut berantakan tipis berwarna biru tua. Ia memakai mantel hitam seperti layaknya seorang pengawal pribadi.
"Apa kita pernah bertemu?" Uminoke menatap bingung.
"Hm... Kita tidak pernah bertemu. Tapi kau yang menemukanku dulu," lelaki itu membalas dengan senyuman palsu. Uminoke semakin curiga, tapi ia terkejut karena lelaki itu adalah lelaki yang pernah ia lihat di balkon sebuah gedung. "A-apa... Bagaimana bisa... Apa dia benar-benar melihatku saat itu? Tapi... saat itu dia sedang membelakangi ku," Uminoke terpaku. Ia melihat sebuah kalung liontin perak yang dipakai lelaki itu. "Liontin itu... Sepertinya aku pernah melihatnya. Biarkan aku mengingat-ingat... Aduh, lupa," dia berkeringat dingin menatap aura lelaki itu.
"Namaku Line, dan kau pasti Uminoke," tatapnya.
"Bagaimana dia bisa tahu namaku?!" Uminoke berpikir terkejut.
"Tak usah kaget, aku adalah orang yang baru saja kau kenal."
"Tu-tunggu, sebelumnya aku tak mau ada masalah. Kau salah paham... Kita belum pernah bertemu sebelumnya."
"Kita pernah bertemu. Apa kau benar-benar tidak ingat aku?"
"Tu-tunggu... Kata 'bertemu' di kalimatnya berarti kita pernah bertemu dan bertatap muka... Tapi aku hanya melihatnya kemarin," Uminoke terdiam dan menjadi bingung. Dia seperti dipermainkan oleh lelaki itu.
"Jadi, aku hanya ingin memberitahumu sesuatu," lelaki yang bernama Line itu mendekat dan berbisik.
"Dalam waktu tujuh hari ke depan, dunia ini akan menjadi dunia orang mati. Saat hujan berhenti di akhir pekan, kau akan melihat sesuatu yang membuatmu berteriak takut," kata Line. Uminoke terbawa arus bisikan Line. Tiba-tiba, ada seseorang yang memegang pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan terkejut.
"Permisi, Gadis, kau menghalangi jalan orang-orang," kata orang yang menepuk pundaknya itu.
Uminoke menoleh ke depan lagi, tapi Line sudah tak ada, membuat Uminoke panik dan bingung.
"Ap-apa... Apa yang terjadi?! Di mana dia? Apa itu tadi hanya perasaanku? Perkataannya seperti sebuah bisikan saja," ia terpaku bingung dan sedikit penasaran dengan lelaki tadi.
Hari selanjutnya, Uminoke terlihat sedang mengerjakan sebuah buku di kelas kampusnya. Di luar, hujan masih turun.
"Haiz... Sampai kapan ini akan berakhir... Juga... Kenapa dia terus masuk ke pikiranku?" dia terdiam mengingat lelaki bernama Line kemarin. "Jika dipikir-pikir, dia memanglah tampan, tapi kenapa terlihat seperti pembunuh bayaran, atau mantan militer, atau yang lainnya... Kenapa dia bisa bilang kita pernah bertemu? Untuk sesaat aku benar-benar merasa takut diteror olehnya," dia mengepalkan tangannya dengan kesal.
Lalu, beberapa temannya datang. "Hei, Umin, apa kau merasa ada yang aneh dengan hujan ini? Aku jadi tak bisa menjemur baju, benar-benar menjengkelkan," kata temannya yang mengeluh.
"Em... Mungkin aku juga merasa begitu... Em... Apa kalian percaya bahwa hujan ini akan membuat kita mati?" Uminoke menatap mereka. Temannya terdiam.
"Pfttt... Hahah... Mana ada hujan bisa membunuh," mereka tertawa tak percaya.
Uminoke merasa bingung. "Kenapa mereka tidak percaya? Tapi benar juga... Jangan-jangan lelaki itu hanya berbohong padaku."
Hingga hari ketujuh, Uminoke terbangun dari tidur paginya. "Hng... Hoamm..." ia menguap, mengumpulkan nyawa. Lalu terdiam karena tak mendengar suara hujan sedikit pun. Ia keluar dari rumah dan terkejut senang karena hujan tujuh hari itu sudah reda. Namun, tanaman-tanaman di sekitar semuanya mati dan jalanan terasa sepi.
"Ini begitu aneh, bukannya terlalu sepi," ia masih melihat ke sekitar dengan bingung.
Mendadak, ada pria berjalan sempoyongan jauh di depannya. Pria itu menundukkan kepalanya.
Uminoke tetap terdiam, lalu memutuskan untuk mendekat perlahan padanya.
"Em... Permisi, Pak, apa kau baik-baik saja?" Uminoke mencoba mendekat, tapi ia terkejut dan terpaku saat melihat wajah pria itu yang penuh darah. Orang itu menggeram pelan dan akan menyerangnya perlahan. Karena takut, Uminoke menjadi berteriak. "A... Tolong!"
Mendengar suara teriakan Uminoke, pria itu langsung mengaum keras dan akan menggigitnya. Uminoke segera berlari masuk ke rumahnya dan menutup pintu.
Pria aneh itu terus berusaha membuka pintu itu dengan menggedor-gedornya, dan anehnya dia seperti orang gila tanpa akal yang memukul-mukul kepalanya di pintu hingga membuat pintu Uminoke berlumur darah. Uminoke hanya bisa menahan pintu itu dengan tubuhnya sambil ketakutan, menutup mata, dan menutup mulutnya dengan tangannya.
Tak beberapa lama kemudian, suara pria aneh itu tak terdengar lagi. Uminoke mencoba melihat dari jendela. Yang ia lihat, pria itu sudah tak ada, menyisakan darah-darah di depan pintu.
Uminoke menghela napas, tapi tiba-tiba pria itu muncul memperlihatkan diri di luar jendela.
"Ah...!!!!" Uminoke terkejut dan mundur perlahan dengan tangisannya. Pria itu terus mencoba memecahkan kaca, dan kaca itu sudah hampir retak. "Seseorang, aku mohon tolong aku, aku tidak mau mati di sini... Aku mohon, seseorang..." kini hidup Uminoke terancam.
Tapi tiba-tiba saja kepala orang itu tertembus pisau dari belakangnya, membuatnya tumbang. Karena tembusan pisau itu, kaca jendela jadi pecah. Untungnya pria itu mati berdarah-darah. Pisau tersebut ditarik kembali oleh seseorang yang ternyata adalah Line, lelaki yang bertemu Uminoke saat hujan. Terlihat ia menatap dingin dengan pisau yang ia kibaskan untuk membersihkannya dari darah. Uminoke yang ketakutan, tak tahu apa yang terjadi karena dia gemetar menutupi wajahnya.
"Hei, bukankah aku sudah bilang?" Line berdiri di depannya dengan suara yang lebih kasar.
Lalu Uminoke menengadah dan menatapnya.
"K-kau," ia berdiri dan menatap bingung.
"Bukankah aku sudah bilang padamu, dunia ini akan hancur."
Uminoke yang mendengar itu merasa geram dan seketika menampar Line, membuat lelaki itu terpaku dengan pipinya yang menjadi berbekas tangan Uminoke.
"Jika kau sudah tahu kenapa kau hanya memberi tahuku saja, apa maksudmu memberitahuku agar aku menyebarkan berita tak masuk akal ini huh... Itu adalah nyawa orang, kau membunuhnya dengan menusuk kepalanya!!" Uminoke terlihat sangat marah.
Ia akan menampar Line lagi tapi Line menangkap tangannya sambil menatap tajam dan berkata.
"Aku memberitahumu karena hanya kau yang bisa percaya, apa kau sudah mengerti, jika belum aku akan menunggumu untuk mengerti, dan akan ku jelaskan semuanya," kata Line yang langsung menyingkirkan tangan Uminoke dan berjalan keluar.
Uminoke terlihat putus asa. "Ini semua tak terjadi, aku melihat dia membunuh seseorang di depanku," ia menutup mulutnya dan merasa mual melihat jasad Pria itu.
Diluar, terlihat Line bersender di dinding sambil mengebul rokoknya.
Dan akhirnya Uminoke mau keluar. Ia menatap heran Line yang merokok. "Kau merokok, kau masih muda kenapa merokok?"
Lalu Line menoleh dan mendekatkan wajahnya. "Umurku sudah sangat panjang aku tidak bisa dibilang muda dengan umur tapi dengan tubuh aku bisa dibilang muda. Jadi, kau sudah merenung?"
"Aku hanya ingin kau memberi tahuku apa yang terjadi."
Lalu Line menghela napas dan mematikan rokoknya. "Ini adalah hari ketujuh dimulai. Atau mungkin hari ketujuh tepat hujan berhenti. Selama hujan manusia tidak bisa melakukan aktivitas harian diluar rumah. Kau pasti juga sama. Aku datang kedunia ini-- Maksudku aku kesini untuk membawamu ikut bersamaku, disini adalah tempat berbahaya."
"Tunggu apa maksudmu, Virus?"
"Bisa di bilang begitu."
"Tapi kenapa pria itu menggila dan bukannya sakit lemas?"
"Kau pikir virus ini bukan virus biasa Huh.... Kau lihat film horor zombie tidak?"
"Um... Ya."
"Yaudah.... Kurang lebihnya seperti itu, kau tahu laboratorium kota kan, di sana tempat yang aman mereka bilang, jadi kau harus ikut denganku."
"Tunggu, aku harus ikut denganmu? memangnya akan kemana kita. Lihat saja tempat ini yang sepi, tempat ini sepi pasti karena kau membunuh mereka semua kan?" Uminoke menyela tapi dari tadi Line mencoba merasakan hawa kedatangan.
"Hei jangan mencueki ku," kata Uminoke. Seketika Line menariknya dan menutup mulutnya kedalam rumah. Line mendekap Uminoke sambil berdiri bersandar tembok melihat jendela yang ada disampingnya. "Sebaiknya kau diam, mereka akan lewat kesini."
"Siapa?!" Uminoke berbatin karena mulutnya ditutupi tangan Line.
Line melihat ke luar jendela dengan hati hati. Yang ia lihat adalah sekumpulan orang orang berciri ciri sama seperti pria yang ia bunuh tadi lewat depan rumah Uminoke, mereka berjalan bersamaan dengan tubuh tubuh yang terjadi bekas gigitan. Rupanya Line mendekap Uminoke karena agar tak menimbulkan suara. Tapi Uminoke bergerak melepaskan diri.
"Hentikan," Line berkata pelan sambil menarik nya dari tangkapan jendela. Salah satu kelompok makhluk itu menyadari sesuatu di rumahnya. Ia berhenti dan melihat ke jendela. Line berusaha untuk tidak membuat Uminoke bergerak. Akhirnya makhluk itu berjalan pergi menyusul kawanannya.
Line melepas Uminoke dan melihat ke jendela. Uminoke yang belum tahu apa apa langsung menarik baju Line dan menamparnya lagi hingga Line hampir terjatuh dengan tamparan kuat itu.
Uminoke akan berteriak.
"Ja-ngan," Line mencoba mencegahnya.
Tapi, "DASAR GILA!!!" Uminoke berteriak keras. Membuat semua kawanan orang orang zombie itu mendengarnya dan balik putar.
"Bagus, sekarang kita akan celaka."
"Apa yang kau katakan, kau itu habis menyentuhku, dasar hidung belang!"
"Aku tidak bermaksud begitu, aku mencoba melindungi kita berdua."
"Melindungi kepalamu, melindungi dari apa memangnya, pokoknya kamu harus minta maaf," Uminoke menyila tangan sambil membuang muka. Tapi mukanya berubah pucat ketika melihat kawanan zombie itu berjalan didepannya.
". . . Aaa!!!" ia berteriak.
"Sudah kuduga," Line berdiri didepan Uminoke dan mengeluarkan sekaligus melemparkan banyak pisau dari balik lengannya. Pisau pisau kecil itu mengenai semua kepala para makhluk itu tanpa ada yang meleset.
Tapi Line terkejut saat tak ada pisau lagi yang keluar dari lengannya.
"Selamatkan diri," Uminoke mendadak menarik lengannya kedalam rumah.
"Ho hoi," Line menjadi teseret.
Uminoke membawa Line ke kamar dan mengunci pintunya. Ia sendiri bernapas cepat sambil menghalangi pintu dengan tubuhnya.
Line melihat sekitar kamar Uminoke dan tersenyum kecil sendiri.
"Jadi ini yang dinamakan kamar perempuan."
". . . Hm? Apa kau tak pernah masuk kamar perempuan?"
"Tidak sama sekali," Line membalas dengan tatapan yang lembut.
"Heran sekali, lelaki se ganteng dirimu tidak pernah masuk kamar wanita," Uminoke meliriknya, ditengah obrolan itu, para zombie zombie itu sudah sampai didepan pintu kamar dan mendorong dorong pintu tersebut.
"Hah kita akan mati!!" Uminoke menjadi panik.
Line berjalan ke balkon kamar Uminoke.
"Hei mereka bisa melihatmu dari luar," kata Uminoke.
Tiba tiba Line mengulur tangan padanya. "Kau mau ikut denganku?" ia menatap.
Uminoke terpesona dengan tatapannya dan tanpa sadar menerima uluran Line. Seketika Line menariknya dan menggendongnya di dada.
"Hah apa yang kau lakukan, dasar!!" Uminoke terkejut.
"Kau percaya padaku kan?" Line menatap. Seketika Uminoke terdiam.
"Aku anggap itu iya," Line berlari keluar dan melompat dari dalam kamar Uminoke yang letaknya ada di lantai 2.
"Kya...!!!" Uminoke terkejut dan berteriak. Untungnya Line handal dan bisa mendarat dengan sempurna.
"Ba-ba-bagaimana bisa?!!"
"Aku bisa melakukannya dengan kepercayaan mu."
". . . Kamu ini bilang aneh dari tadi, sekarang turunkan aku."
"Tidak, ini belum aman, jika aku menurunkan mu, aku akan membuatmu berlari hingga lelah nantinya."
Mendengar balasan itu, Uminoke langsung bermuka merah.
Tapi ada satu zombie yang baru saja melihat mereka dari belakang Line.
"Hah Line, di belakangmu!" Uminoke terkejut, lalu Line menoleh ke belakang. Ia menurunkan Uminoke dan mengambil sebuah pistol dari bajunya menembak kepala pria zombie itu hingga mati. Uminoke yang melihat mayat zombie itu seketika melompat dari pegangan Line dan langsung muntah.
"Akh.... Cough!!"
". . . Kau harus terbiasa," kata Line sambil menyimpan kembali pistolnya.
"Uhuk.... Aku akan mati tersiksa. Ngomong ngomong dari mana kau dapat pistol itu?"
"Ini milikku, aku dapat dari diriku sendiri, sebaiknya kita harus pergi," balas Line kembali dan langsung menggendong Uminoke.
"Eh, aku bisa berjalan sendiri."
"Diam saja dan ikuti kata kataku," Line membalas dengan tatapan yang berubah serius. Ia langsung berlari sangat cepat membawa mereka ketempat aman.
"Dia berlari seperti seorang yang terlatih, sangat cepat tapi ini membuatku tidak nyaman," Uminoke menjadi berwajah pucat membuat Line menoleh dan terkejut melihatnya. "Hei kau baik baik saja kan?"
"Ugh.... Aku akan baik baik saja jika kau berlari pelan pelan," balas Uminoke dengan lemas. Lalu Line terdiam dan melihat langit.
"Hampir sore, kita cari tempat aman."
Sorenya mereka ada di sebuah rumah yang telah dibajak. Mereka sampai baru saja. Terlihat Uminoke yang melihat luar dari jendela balkon.
"Aku benar benar tidak menyangka dunia ini benar benar sudah hancur, apa mereka memang zombie pemakan manusia, aku benar bebar takut akan darah," dia menjadi berwajah khawatir.
Line yang kelelahan langsung terduduk di sofa.
"Aku melihatmu sendiri," ia menatap.
Uminoke yang menoleh. "Maaf apa?"
"Sepertinya kau ditinggal keluargamu ya, karena mereka tak ada selain dirimu."
"Ya aku tinggal bersama... Hah, Kachi, benar Kachi, dia masih ada di Kyoto!!"
". . . Siapa?"
"Kachi, dia Kakak perempuanku, dia pasti sedang ada di sana," Uminoke menjadi panik.
"Aku tak yakin, Kyoto lah tempat yang pertama terkena penyakit ini."
"Dari mana kau tahu?"
"Ada deh," Line membalas dengan tatapan iseng.
"Cih lelaki ini menjengkelkan!! Kachi tak akan terluka kan, dia sudah berjanji pulang kesini," Uminoke jadi khawatir.
"Bagaimana dengan orang tuamu, apa mereka juga ada di Kyoto?"
"Tidak, mereka tidak ada di sana. Mereka pergi selamanya."
"Oh... Aku turut berduka," Line terkejut.
"Hmm, mereka adalah Dokter terkenal, aku dari kecil ingin menjadi seperti mereka. Ketika aku ingin meraih impianku, semua ini terjadi," Uminoke mulai menangis. Line yang mulai mengerti, lalu mendekat dan memeluknya.
"Line aku mohon padamu," Uminoke menarik kerah bajunya. "Aku ingin kau mengantarku ke Kyoto, aku ingin bertemu dengan Kachi."
"Apa kau bercanda, Kyoto itu sangat jauh, butuh berhari hari jika naik mobil ataupun kendaraan lain. Kesana harus pakai stasiun."
"Kalau begitu ayo ke stasiun."
"Paling tidak.... Tidurlah dulu, besok kita kesana, aku akan mengantarmu."
"Beneran nih, janji ya!" Uminoke mengangkat kelingking. Lalu Line tersenyum kecil dan membalas janji jari kelingking.
"Dia baik juga ternyata..... Berapa umurnya yah? Line.... Berapa umurmu?" tatap Uminoke.
"Apa aku perlu memberitahumu itu?"
"Tentu saja, aku harus tahu."
"Tidak bisa maaf, ini terlalu rahasia."
"Hah kenapa?!"
"Cobalah berpikir kembali siapa aku sebenarnya, Uminoke, aku juga ingin kau ingat saat kita pertama kali bertemu."
"Apa yang di pikirkan Line, sudah jelas kita bertemu hanya sebatas aku melihat punggungmu dan kau yang membelakangi ku di hujan itu," Uminoke menjadi terdiam bingung.
"Kalau begitu beritahu aku tinggi badanmu, kau terlihat sangat tinggi... kepalaku saja tidak sampai di bahumu," tatap Uminoke.
"Aku 189," balas Line seketika Uminoke terkejut.
"Dan Kau pasti 150 kan?" Line menambah dan hal itu membuat Uminoke terkejut dua kali.
"Ke-kenapa kau benar... Kau sangat akurat sekali.... Benar benar mengerikan. Dan mencurigakan."
"Yah.... Aku hanya tahu sesuatu karena pernah mempelajarinya, ngomong ngomong cepatlah tidur atau kau mau mandi dulu?" kata Line sambil melepas mantel miliknya.
"Tapi aku takut, bagaimana jika di dalam ada orang yang sudah terinfeksi," Uminoke menjadi ketakutan.
"Haiz... Aku akan mengeceknya," Line berjalan masuk ke kamar mandi lalu keluar lagi.
"Bagaimana?" tanya Uminoke.
"Tak ada apa apa... Kau bisa mandi."
"Kau beneran, Line.... Bagaimana jika nanti muncul saat aku mandi?"
"Ck.... Yaudah aku ikut ke dalam."
"Apa...?! Apa kau gila dasar gila!!"
"Kalau begitu cepatlah mandi, aku akan menyiapkan tempat tidur," kata Line yang berjalan ke ruangan lain.
Uminoke terdiam dan masuk ke kamar mandi luas itu, Ia melihat sekitar dan menelan ludah dengan ketakutan.
"Aku harap tak ada apa apa.... Ini semua benar benar membuatku trauma... Aku sangat takut... Aku butuh Line," dia menjadi ragu lalu kembali menyusul Line yang ada di sofa akan duduk.
"Line," dia memanggil membuat Line tak jadi duduk.
"Kenapa cepat sekali?"
"Um.... Aku belum mandi."
"Hah.... Kenapa?"
"Aku ingin kau duduk di depan pintu luar kamar mandi, aku benar benar ketakutan, aku mohon," tatap Uminoke dengan tatapan memelas. Lalu Line menghela napas dan berdiri menyetujui permintaanya itu.
"Kau ini, benar-benar seperti kucing kecil."
"Apa...! Aku bukan kucing kecil!!"
Esok paginya di tempat yang sama, Line masih tertidur di sofa. Uminoke keluar dari kamar mandi, ia selesai mandi pagi.
"Hm... Baju yang ku pakai ini rasanya berbau darah dan kotor, sepertinya aku harus berganti mungkin meminjam yah..." Uminoke mencari baju di lemari kamar milik orang yang punya rumah.
Selesai berganti pakaian, ia menutup lemari dan mendadak mendengar sesuatu seperti napas dalam dari sebuah pintu gudang di kamar itu.
"Astaga apa itu... Aku, aku terkejut... Bagaimana jika makhluk itu... Tapi aku takut, tapi aku juga penasaran, aku akan melihatnya sedikit saja," ia bingung dengan suara itu, karena penasaran ia berjalan ke pintu gudang itu dan memegang gagang pintu akan membukanya.
Uminoke membukanya pelan-pelan, yang ia lihat hanyalah kegelapan. Tapi tiba-tiba satu zombie muncul menerkamnya.
"Aaaaahhhh!!!" Uminoke langsung terkejut dan berteriak sangat keras membuat Line yang ada di tempatnya menjadi ikut terkejut dari tidurnya karena teriakan itu.
Uminoke mencoba menahan tubuh zombie itu dengan tangannya, sementara zombie itu terus memaksa akan menggigitnya. Ia sudah tidak kuat lagi. "Aku, tidak kuat. Tolong aku.... Tolong..."
Tapi anehnya, secara tiba tiba zombie itu berhenti meronta untuk menyerang Uminoke dan langsung terjatuh ke bawah. Uminoke melihat Line yang sudah menyelamatkannya dengan menusuk kepala zombie itu dari belakang.
Uminoke terdiam perlahan meneteskan air mata.
"Hiks, hiks, aku benar-benar takut, aku tidak ingin hidup dengan ketakutan," Uminoke menangis di depan Line.
"Haizz, aku tahu kau ketakutan tapi kau harus tetap bisa kuat untuk hidup."
"Aku tak bisa!!!" Uminoke membentak dan langsung berlari dari hadapannya.
"Hoi, kau mau kemana?" Line terkejut. Uminoke akan membuka pintu rumah. Dan betapa terkejutnya dia, para zombie yang sangat banyak sudah mengepung rumah itu. Karena ada di depan pintu, Uminoke akan digigit. Dengan cepat Line mendorongnya, mereka berguling-guling hingga berakhir punggung Line yang menabrak tembok.
"Uuhh," ia terkejut kesakitan.
"Hah, kau baik-baik saja?!" Uminoke menatap.
"Ya, aku baik-baik saja," Line membalas, tapi para zombie itu berjalan ke mereka.
"Line cepat bangunlah, mereka akan mendekat," Uminoke panik. Sementara Line mencoba bangun sambil memegangi punggungnya.
"Ayo cepat," ia menarik lengan Uminoke ke dalam rumah itu, tapi mereka harus keluar lewat balkon lantai 2. "Aku tak bisa," Line berbatin sambil melihat ke bawah.
"Mereka mendekat!!" kata Uminoke.
Line terdiam mengumpulkan niat dan menggendong Uminoke lalu terjun dengan cepat. Bukannya mendarat dengan sempurna, mereka malah jatuh terguling-guling. Line lah yang paling parah jatuh.
"Uhh, ah sakit, Line, Line...." Uminoke mencoba berdiri dan terkejut melihat Line yang tidak bangun terbaring di jalanan membelakangi nya.
"Line... Line, katakan padaku kalau kau masih hidup, Line," ia mencoba membangunkannya tapi Line sama sekali tidak bangun.
"Huhu, Line, aku mohon bangunlah, kau sudah janji ingin mengantarku. Jika kau bangun aku janji tidak akan membuka pintu itu lagi... Aku mohon jangan mati Line," Uminoke menangis merengek dengan lucu.
Tiba-tiba terdengar suara Line tertawa kecil. "Pft hahahaha aku hanya bercanda, dasar kau gadis bodoh," Line terbangun dengan tawanya.
"Line, kau masih hidup!" Uminoke senang.
"Tentu saja, aku kan sudah berjanji padamu."
"Line," Uminoke tersenyum. Tapi kebahagiaan itu dihancurkan oleh kawanan zombie yang berjalan ke mereka.
"Hah, mereka menemukan kita!"
"Cepat masuk ke mobil itu," Line menunjuk mobil merah di ujung komplek.
"Apa, apa kau ingin membajak mobil itu?!"
"Ikut saja cepat," Line menarik Uminoke. Mereka berdua segera masuk ke mobil. Line menyambungkan kabel kemudi tanpa kunci. Dia bisa mengambil mobil itu lalu mengendarainya pergi. Alhasil mereka berhasil menjauh dari kawanan zombie itu.
"Huf, wahhhh, bagaimana kau bisa melakukannya, itu sangat hebat tapi itu mencuri," kata Uminoke.
"Biasa saja, oh ngomong-ngomong, apa kau merasa lapar?"
". . . Em, ya, karena kau mengatakannya begitu. Perutku jadi lapar."
"Kalau begitu berhenti di mini market," Line membelokkan kemudi dan langsung terparkir mobilnya secara paralel. Uminoke menjadi terdiam terpelongoh melihatnya.
"Sekarang, ambil sesukamu."
"Apa itu juga mencuri, aku tidak mau mencuri."
"Haizz... Dunia ini sudah kiamat, memangnya kau mau membayar pada siapa?"
"Em, tapi aku masih takut bagaimana jika ada zombie lain yang langsung menerkam ku."
"Bilang saja mau ku temani," Line menyela lalu keluar mobil. Saat keluar mobil mereka mendengar suara dari jalan.
"To-tolong tolong aku..." kata suara itu. Terlihat di kiri jalan ada gadis yang lemas berlari dikejar satu zombie wanita.
"Hah, Line... Selamatkan dia," kata Uminoke dengan panik.
Line berjalan ke tengah jalan lalu gadis itu berhenti dengan ketakutan.
"Menunduk," kata Line, gadis itu menunduk seketika zombie wanita yang ada di belakangnya tumbang begitu saja.
Gadis itu menoleh ke belakang dan melihat zombie wanita itu mati dengan tembakan peluru di kepalanya.
"Te-terima kasih," ia berdiri dengan lemas.
"Apa kau baik-baik saja?" Uminoke mendekat.
"Ti-tidak," gadis yang terlihat hampir sebaya dengan Uminoke itu menjawab dengan lemas dan mendadak pingsan. Line segera menangkap tubuh gadis itu.
"Apa yang terjadi?" Uminoke menjadi terkejut.
"Dia sepertinya kelelahan."
Gadis itu bermimpi ia saat itu ada di kamar dan mendengar suara ibunya berteriak dari luar kamar. Ia membuka dan seketika seekor zombie wanita memakannya dari balik pintu tersebut.
Mimpi itu membuatnya bangun dengan terkejut. Ia melihat sekitar, ia ada di sebuah sofa rumah. Di samping sofa satunya ada Line yang duduk sambil tertidur. Gadis itu menatap sekitar yang gelap.
"Dimana aku... Siapa lelaki itu... Jangan-jangan dia menculik ku."
"Kau sudah bangun," kata Line. Gadis itu terkejut karena Line pura-pura tidur.
"Apa aku sudah mati, kau siapa?"
"Aku Line, ingat yang menyelamatkanmu, sepertinya kau punya mimpi yang menarik," Line menatapnya dengan wajah sedikit licik.
"Kau tahu mimpiku?"
"Tentu saja, zombie yang mengejar mu itu ibumu kan, aku harus minta maaf karena membunuhnya."
"Ti-tidak, dia bukan ibuku. Benar-benar berbeda dari ibuku, entahlah maksudku saat aku terbangun dunia ini sudah menjadi mengerikan, aku berlari dan terus berlari sampai bertemu ibuku yang sudah mati itu."
"Hei, apa kau sudah bangun?" Uminoke menghampiri mereka.
"Siapa kau?"
"Aku Uminoke dan dia Line, kau sendiri?"
"Aku Imea, senang bertemu dengan kalian, aku benar-benar berterima kasih."
"Jangan khawatir, kau aman selama berada pada Line."
"Mas Line, terima kasih banyak, tapi aku sepertinya mengganggu kalian."
". . . Apa maksudmu?!" Uminoke terkejut.
"Em, bukankah kalian sepasang kekasih?"
"Line bukan kekasihku," Uminoke menyela. Line hanya menatap biasa dan berdiri lalu pergi.
"Mas Line, jika Mas Line bukan kekasihmu, bagaimana kau kenal dia?"
"Ba-bagaimana ya...?! Aku juga bingung," Uminoke berpikir sendiri. Mereka menjadi mengobrol dan sepertinya tipe wanita itu begitu lembut.
Sementara itu Line melihat dari balkon atas rumah tadi. Ia melihat zombie-zombie berkeliaran di kompleks itu. Tapi untungnya mereka hanya satu-satu bukan berkelompok.
"Aku benar-benar tidak menyangka akan secepat ini mereka menyebar begitu saja," ia mengambil ponsel dari sakunya dan menyalakannya. Melihat masih ada sinyal. "Masih ada sinyal dan listrik karena kejadian ini juga baru saja," ia terdiam menatap langit lalu menghela napas panjang.
"Cih, menyebalkan... Aku harus cepat-cepat menemukan situs serum itu, ini benar-benar kecelakaan yang berbahaya," ia berbatin dengan rasa kesal.
Lalu ia berjalan ke mereka yang sedang mengobrol.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang, sebelum akses di seluruh tempat mati dan jalan tertutup."
"Kemana kita akan pergi?" Imea menatap.
"Kita akan ke stasiun, menggunakan kereta, aku akan pergi ke Kyoto untuk menjemput kakak."
"Mbak Uminoke punya kakak di sana?"
"Ya... Aku harus menyelamatkannya."
"Tapi Kyoto itu jauh, belum tentu juga aman kan?"
"Tapi aku ingin menjemput Kachi," Uminoke menatap khawatir.
Lalu Line mendekat pada Imea dan berbisik. "Aku sudah memberitahunya beberapa kali tapi dia tidak mau dengar," kata Line membuat Imea terdiam.
"Hei... Aku bisa dengar itu!!" Uminoke melempar Line dengan botol minuman.
BRAK!!
"Uakhh..." Line menjadi tertumbang.
"Baiklah kalau begitu, aku ingin ikut kalian."
"Beneran... Hmm, makasih Imea," Uminoke menatap senang.
"Tapi bagaimana jika agak nanti saja?" tanya Imea.
"Eh... Kenapa?"
"Aku masih harus menggunakan kamar mandi, apa mbak Uminoke tidak butuh mandi?"
"Aku sudah mandi pagi tadi... Kau mandilah dulu kalau begitu, aku akan mencarikan baju," kata Uminoke.
"Ya... Baiklah, terima kasih," Imea mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi.
"Beneran kah... Nanti ada makhluk itu lagi muncul dari lemarimu," tanya Line sambil menakuti Uminoke.
"Apaan sih... Jangan begitu..." Uminoke mencueki-nya dan langsung masuk ke kamar mencari baju.
Sementara Line menyalakan televisi dan televisi itu benar-benar menyala.
"Sepertinya ini masih putus nyambung," ia memindah channel tapi di mana-mana ada banyak berita seperti itu.
Uminoke datang dengan menatap ke televisi melihat siaran langsung yang sedang merekam bahaya di luar.
Di sana seorang pemegang kamera merekam banyaknya orang buas yang menjadi kanibal menyerang semua manusia dan membuat tragedi kebakaran dan ledakan di sana.
Di akhir siaran dia tergigit salah satu zombie itu.
Uminoke yang menatap dari tadi menjadi terkejut dan terkaku. "Di-di mana itu tadi?"
"Itu di Kyoto, aku sudah bilang bukan di luar terlalu buas sekarang," kata Line.
"Tapi aku ingin... Kachi."
"Haiz... Baiklah... Aku akan menyiapkan kendaraan," Line menyerah dengan keras kepala Uminoke lalu pergi ke garasi.
Di garasi rumah tersebut ada sebuah mobil. Line mengendarai mobil itu, Uminoke duduk di samping Imea yang ada di bangku tengah.
"Mas Line, bagaimana kau tahu isi mimpiku waktu itu?" Imea menatap.
"Gampang saja, itu bisa dilihat dari ekspresi wajahmu," Line membalas sambil terus fokus mengemudi.
Uminoke yang mendengar itu mulai curiga pada Line. "Sebenarnya siapa Line ini... Kenapa dia juga tahu ekspresi seseorang, jangan-jangan dia benar-benar bisa membaca ekspresi orang... Apa dia seorang psikolog?" dia terdiam berpikir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!