Hari demi hari pemuda yang berpenampilan sederhana terkesan culun itu meletakkan kisah hidupnya dengan menelan pahitnya perundungan oleh orang-orang yang menindasnya.
Baik itu dilakukan oleh keluarganya sendiri ketika dia berada di rumah yang katanya rumahnya, maupun dilakukan oleh teman-teman sekolahnya ketika dia berada di sekolah.
Pemuda itu memang pemuda yang berpembawaan sederhana, penurut, tidak suka cari perkara, terkesan mengalah. Jadi wajar saja kalau pembawaannya yang seperti itu menjadi sebab dia mudah dibully orang.
Sementara di keluarga Grayden, apa yang diperbuat oleh pemuda bernama Andreas itu, tidak pernah benar di mata orang-orang yang dia anggap keluarga di rumahnya.
Ya, namanya Andreas, disematkan marga keluarga Grayden dibelakang namanya. Seharusnya dia senang bukan?
Ayahnya yang bernama Hendrick Grayden sering memukulinya dengan dalih menerapkan hukuman dan kedisiplinan terhadap dirinya, katanya.
Selalu mengatakan kepadanya agar bersifat seperti kakak laki-lakinya yang katanya berprilaku amat baik dan sopan santun kepada keluarga.
Tidak seperti dirinya yang selalu membangkang terhadap keluarga dan selalu berbuat onar di keluarga. Itulah makanya ayahnya selalu memukulnya agar dia jera berbuat onar.
Ibunya yang bernama Victoria Harlow sejatinya tidak pernah membelanya ketika dia ditindas oleh keluarganya yang lain. Sebaliknya, sang ibu kandung malah menganggap sikapnya itu sebagai nasehat terhadap dirinya.
Dalam pikiran wanita yang katanya melahirkannya itu selalu Leonard, kakak ketiganya yang selalu benar, sedangkan dirinya tidak pernah benar.
Malah pembelaan yang pemuda itu lakukan terhadap dirinya sendiri, demi menerangkan tentang fakta sebenarnya, bukan saja diabaikan oleh ibunya serta seluruh keluarga lainnya, bahkan dianggap suatu pembangkangan oleh Nyonya Victoria.
Kakak pertamanya yang bernama Stephanie Grayden tidak jauh beda dengan pendirian ibunya. Meski hampir tidak pernah menindasnya, namun gadis berusia 27 tahun itu juga selalu menyalahkannya terhadap perbuatan yang dilakukannya. Apapun itu.
Kakak pertamanya itu tidak pernah menganggap apapun yang ada pada dirinya. Entah itu kecerdasan dan kepintarannya, maupun keahlian yang ada pada dirinya.
Sama seperti ibunya, prioritas utama yang ada dalam pikiran Stephanie adalah Leonard. Leonard yang selalu hebat dan berprestasi gemilang dalam keluarga Grayden.
Adapun dirinya si anak malang yang sebenarnya lebih hebat dalam segala hal ketimbang Leonard, kehebatannya tidak pernah dianggap.
Kakak keduanya yang bernama Evelyne Grayden lebih sadis lagi terhadap dirinya. Bukan saja menghina dan menganggap remeh akan kehebatannya, bahkan gadis berusia 25 tahun itu tidak segan-segan menindasnya.
Sementara Leonard, yang menjadi prioritas utama anak laki-laki dalam keluarga Grayden ketimbang Andreas, memang tidak secara langsung menghina dan menindas pemuda remaja itu.
Namun pemuda yang berpenampilan lugu, tapi menyembunyikan kelicikan dan hati yang keji itu, menjadi sebab utama dan terbesar bagi Andreas menerima perlakuan buruk dari keluarga Grayden.
Leonard melakonkan sebuah drama yang apik dalam rumah yang besar dan megah itu, menciptakan sebuah situasi dan kejadian seperti pencurian. Sehingga jadilah seolah-olah Andreas sebagai pelaku kejahatan.
Maka lahar panas kemarahan Tuan Hendrick, Nyonya Victoria, Stephanie, lebih-lebih Evelyne langsung ditumpahkan secara cuma-cuma kepada Andreas. Tanpa menelusuri dulu bagaimana fakta sebenarnya.
Selanjutnya apa yang bakalan terjadi sudah bisa ditebak bukan?
Tanpa belas kasihan kalau Andreas adalah darah dagingnya yang sebenarnya, Tuan Hendrick langsung mencambuk Andreas hingga berdarah-darah.
Tidak perduli jeritan Andreas yang memohon ampun kepada Tuan Hendrick dengan memelas yang begitu menyedihkan sekaligus miris.
"Ampun, Papa, ampun! Andre nggak mencuri kalung mama, Papa! Percaya sama Andre, Papa!"
Punggung Andreas sudah berdarah hingga mengotori baju kaosnya yang lusuh, Tuan Hendrick tidak perduli. Tangis Andreas terus meraung hingga air matanya tertumpah-tumpah yang kedengarannya amat memilukan, papanya terus mencambuk.
Sudah puas Andreas menelan puluhan cambukan, sudah tidak tertakar air mata Andreas tertumpah, sudah puas hati Leonard menari-nari kegirangan, seketika pemuda bersikap lugu itu tampil ke depan, seolah-olah dia penyelamat bagi Andreas.
"Sudah, Papa, sudah! Andre bisa celaka kalau papa terus memukulinya. Beri dia kesempatan untuk membela diri, Papa!"
Leonard hendak berdiri dari tempat duduknya, seolah-olah hendak menghentikan sang papa yang bertidak kejam kepada sang anak bungsu demi melengkapi sandiwara kejamnya, Evelyne langsung mencegahnya.
"Buat apa kamu membela anak sialan itu, Leon?" tegur Evelyne dengan ketus bercampur marah. "Biar dia tau rasa akibat dari perbuatannya sendiri. Siapa suruh dia mencuri kalung mama."
"Tapi...."
"Sudah, sayang! Biarkan papamu menghukumnya!" kata Nyonya Victoria dengan lembut kepada putra kesayangannya itu. "Anak tidak tahu diri itu pantas menerimanya, tidak perlu kamu membelanya, sayang...."
"Tapi..., meskipun berkali-kali dihukum oleh papa, tetap saja anak kurang ajar itu nggak jera-jera juga," tandas Stephanie bernada ketus sambil sorot matanya yang indah menyorot tajam penuh kemarahan pada Andreas.
★☆★☆
Itulah sebagian kecil drama penindasan yang diterima Andreas yang secara kompak dilakukan oleh orang-orang yang dia anggap keluarga.
Ya..., pemuda culun yang naif itu masih menganggap mereka adalah keluarganya, meski berbagai penindasan dan penghinaan dia terima dari mereka.
Bersamaan dengan penindasan dan penghinaan yang dia terima secara cuma-cuma, tapi Andreas tidak pernah bosan menarik perhatian pada papa dan mamanya serta kakak pertamanya dengan menunjukkan keahliannya dibidang seni lukis dan desainer bangunan.
Tidak lupa menunjukkan prestasi belajarnya di sekolah yang selalu mendapat nilai yang gemilang.
Selalu menurut kepada semua anggota keluarga, tidak pernah membangkang, tidak pernah memberontak, meski hadiah yang dia terima dari hasil jerih payahnya itu adalah penindasan dan penghinaan oleh keluarganya yang dia anggap sebagai keluarga sempurna.
Meski berbuat demikian, tetap saja Andreas dicap sebagai pembangkang karena tidak menuruti nasihat orang tua.
Sejak kecil, sewaktu Andreas masih hidup di panti asuhan, dia selalu memimpikan mempunyai keluarga yang sempurna. Punya papa, punya mama, punya saudara, punya keluarga yang sempurna.
Sungguh naif sekaligus miris sebenarnya....
Tidak Andreas sangka doanya terkabul. Keluarga aslinya, keluarga Grayden telah menemukannya yang katanya telah hilang semenjak dia masih kecil.
Pada hari itu di saat usianya sudah genap 17 tahun, di saat dia sudah duduk di bangku sekolah kelas 11 atau kelas 2 SMA, keluarga Grayden, tepatnya ibunya, Nyonya Victoria dan kakak pertamanya, Stephanie datang ke panti asuhan menjemputnya untuk pulang ke keluarga aslinya.
Hari itu merupakan momen yang amat bahagia bagi Andreas, menurutnya. Namun siapa sangka kalau hari itu bertepatan dengan hari yang amat menyedihkan bagi kehidupannya selanjutnya.
Dia mulai melangkahkan kakinya memasuki keluarga Grayden, berharap kebahagiaan sejati dengan keluarga yang sempurna menjemputnya.
Namun harapan tinggal lah harapan. Drama penindasan yang begitu menyedihkan mewarnai hari-harinya.
Selama 4 tahun dia tinggal bersama keluarga kandungnya, akan tetapi selama itu juga dia tidak pernah menyesap rasanya kebahagiaan hakiki sebagai anggota keluarga.
Meski sekolah dan kuliahnya dibiayai, tapi tidak sepeser pun dia diberi uang jajan.
Tidak kalah sadis dari itu, Andreas tidak diperbolehkan makan di meja makan keluarga. Sudahnya itu dia makan di keluarga kaya raya itu seakan dibatasi.
Dia juga tidak diberi kamar selayaknya putra keluarga Grayden. Padahal kediaman keluarga Grayden cukup megah dan besar.
Terus di mana dia tidur selama 4 tahun di kediaman mewah keluarga Grayden?
Selama 4 tahun pemuda Andreas tidur di gudang bawah tanah yang tidak terlalu besar dan pengap.
Sungguh keluarga Grayden merupakan keluarga yang sempurna. Sempurna memberi penderitaan lahir batin bagi pemuda Andreas.
Bukankah itu sungguh miris....?
★☆★☆★
Andreas jarang diberi makan di rumah keluarga Grayden. Hal itu dikarenakan dia dianggap sering melakukan pelanggaran di rumah besar itu. Maka sebagai salah satu hukumannya adalah dia tidak boleh makan.
Jadi, tentu saja dia sering merasa lapar di rumah itu.
Kelaparan di rumahnya ya....
Bukan berarti dia kurang makan, sebenarnya, sehingga menjadikan tubuhnya tampak sedikit kurus sampai saat ini.
Tidak..., tidak begitu.
Terkadang dia membeli makanan di luar rumah. Itu dari hasil menjual lukisannya yang lumayan punya harga tinggi. Karena memang hasil lukisannya membuat pembelinya puas.
Seperti sudah disinggung sebelumnya Andreas memiliki salah satu bakat, yaitu melukis. Dan dia sudah bisa menghasilkan cukup banyak cuan dari hasil melukisnya itu.
Dan dari hasil menjual lukisan yang menghasilkan banyak duit, Andreas bisa membiayai kuliahnya sendiri. Di fakultas yang sesuai dengan keinginan dan salah satu bakatnya, yaitu fakultas desainer bangunan atau interior.
Sementara keluarga Grayden sama sekali tidak mau membiayai kuliahnya yang sesuai dengan fakultas yang dia inginkan. Alasannya sudah bisa ditebak.
"Fakultas itu terlalu mahal! Kamu cuma buang-buang duit papa kalau kamu kuliah di situ!" cerocos Tuan Hendrick dengan marah kala itu. "Anak pembuat onar seperti kamu pasti tidak akan memperoleh hasil yang gemilang di situ...."
"Kamu jangan belagu, Andre!" Evelyne ikut menyemaraki kemarahan papanya. "Kamu pikir fakultas itu adalah fakultas yang gampangan. Orang yang tidak punya bakat apa-apa seperti kamu mana bisa bersaing di situ...."
"Kamu jangan coba-coba mau menyaingi Leon," lanjut Evelyne dengan berapi-api, "kamu nggak akan pernah bisa...."
"Benar kata papa, Andre," tandas Stephanie bernada ketus dan sinis, "kamu cuma buang-buang uang saja kuliah di fakultas bergengsi itu. Kamu itu tidak punya bakat apa-apa untuk menjadi desainer interior. Tidak usah berkeinginan yang macam-macam lah kamu."
"Nak, kamu kuliah di fakultas bisnis saja," Nyonya Victoria ikut berperan membujuk dengan halus seolah memilihkan yang terbaik buat Andreas. "Toh nantinya kamu juga akan bekerja di perusahaan papamu...."
"Biar Leon, kakakmu saja yang berkuliah di situ, karena Leon lebih bisa dari pada kamu," lanjut Nyonya Victoria masih dengan gaya lemah lembutnya.
"Menurut saja sama papa ya, Andre! Jadilah anak yang baik, nak...."
Entah apa yang ada dalam pikiran keluarga Grayden, mereka sama sekali tidak melihat bakatnya di bidang desainer interior. Bahkan mereka sepakat meremehkannya.
Akhirnya Andreas dikuliahkan di fakultas bisnis, di kampus yang termurah dengan fasilitas yang tergolong tidak mewah.
Sungguh menyedihkan....
Itu pun Andreas berkuliah di kampus murah itu cuma setahun kurang lebih. Setelah itu keluarga Grayden tidak mau lagi bertanggung jawab untuk membiayai kuliah pemuda malang itu. Dengan alasan Leonard butuh banyak duit untuk biaya kuliahnya.
Sungguh ini cuma alasan yang dibuat-buat oleh mereka. Karena meski Tuan Hendrick seorang yang membiayai kuliah Leonard dan Andreas sekaligus, tidak akan mempengaruhi kekayaan keluarga Grayden yang melimpah ruah.
Apalagi Stephanie yang seorang CEO di perusahaan butik, cabang perusahaan Grayden Group dan Evelyne yang seorang dokter di rumah sakit ternama di Kota Nevan City ini ikut membantu, tambah tidak akan mempengaruhi kekayaan keluarga Grayden bukan?
Tapi sudahlah....
Keluarga Grayden tidak pernah mau mengerti akan keinginannya, bahkan tidak perduli akan apa yang dia inginkan.
Di mata keluarga Grayden seorang Andreas hanyalah seonggok sampah yang tidak berguna, yang tidak punya bakat apa-apa selain hanya berbuat onar di keluarga Grayden.
Seorang yang tidak punya masa depan yang gemilang, seorang yang tidak pantas dibela dan didukung.
Sedangkan seorang Leonard merupakan cahaya penerang bagi kebahagiaan keluarga, seorang penerus kekayaan dan bisnis keluarga Grayden. Seorang yang lebih pantas dibela dan didukung.
Sudahlah....
Meski tanpa dukungan orang-orang yang dia masih anggap keluarga, Andreas sampai detik ini masih mampu berpijak di atas kakinya untuk berjuang. Masih mampu membiayai kuliahnya dengan hasil jerih payahnya.
Ada untungnya juga keluarga Grayden hampir tidak pernah menghiraukan tentang apa yang diperbuat seorang Andreas. Jadi, kuliahnya yang sebentar lagi akan selesai tidak pernah terusik.
★☆★☆
Waktu bergulir seakan begitu cepat, menggulirkan berbagai takdir pahit dan peristiwa kejam yang begitu banyak.
Tanpa terasa Andreas sudah menyelesaikan kuliahnya dengan meraih nominasi salah satu predikat terbaik di fakultasnya, lebih tepatnya juara dua.
Itu hasil keringat dan jerih payah serta semangat membaranya seorang diri. Tanpa sepeserpun mendapat bantuan dari keluarga Grayden yang katanya keluarganya, apalagi dukungan.
Catat itu....!!!
Andreas memang pemuda yang pintar lagi cerdas, pemuda yang penuh semangat juang untuk meraih impian. Meski tidak mendapat dukungan dari keluarga Grayden, bahkan mereka menghina dan menindasnya.
Siapa pun tidak ada yang boleh meremehkan seorang Andreas. Meski keluarga Grayden tidak pernah menganggap seorang Andreas.
Acara wisuda sudah selesai dengan penuh khidmat. Saat ini para mahasiswa yang telah lulus kuliah tengah merayakan kegembiraan mereka. Sebagian merayakan dengan keluarga masing-masing.
Foto bersama keluarga atau bersama teman-teman yang telah lulus kuliah, demi mengabadikan momen penting penuh bahagia dalam hidup mereka.
Sedangkan Andreas cuma bisa menyaksikan momen bahagia orang-orang itu dari kejauhan, sambil tersenyum penuh kesahajaan.
Dia sudah cukup bahagia menikmati hasil kerja kerasnya selama ini, tanpa harus merayakannya.
Dia sudah cukup puas memperoleh predikat terbaik di fakultasnya, tidak perlu dukungan maupun pengakuan keluarganya, keluarga Grayden.
Yang terpenting sekarang bagaimana merancang masa depannya setelah ini, untuk lebih memperoleh banyak uang setelah lulus kuliah.
Agar dia bisa berdiri dengan lebih kokoh lagi di atas kedua kakinya. Agar dia tidak diremehkan lagi oleh keluarganya. Agar, bukan saja keluarga Grayden mengakui kemampuannya, bahkan juga dunia.
★☆★☆
"Ndre, kamu kok sendirian di sini?" teman akrabnya yang bernama Julian Robert yang juga sudah lulus datang menghampirinya. "Nggak bareng teman-teman merayakan momen bahagia ini?"
"Aku sudah cukup bahagia merasakan hasil jerih payahku selama ini, Lian," tanggap Andreas sambil tersenyum bersahaja. "Nggak dirayain juga nggak papa."
"Sebenarnya aku kecewa sama kamu, Ndre," kata Julian seolah menegur. "Harusnya tuh, dengan kecerdasanmu yang begitu hebat, yang juara satu di fakultas desainer interior tuh kamu, bukan Nayla...."
"Nayla memang pantas mendapatkan peringkat itu, Julian," tanggap Andreas, ada nada mengalah dalam ucapannya. "Dia memang cewek yang pintar."
"Iya, semua orang tau kalau Nayla memang pintar," ucap Julian menanggapi balik. "Tapi siapa sangka di balik kepintaran seorang Nayla, ada campur tangan seorang Andreas di dalamnya."
Andreas terdiam, tidak menanggapi ucapan Julian. Sepasang matanya terus menyaksikan sekumpulan alumnus merayakan kelulusan mereka. Tapi benaknya memikirkan apa yang dikatakan Julian barusan.
Apa yang dikatakan Julian tidak sepenuhnya salah. Nayla, atau lebih lengkapnya Nayshilla memang tergolong mahasiswi yang pintar. Tapi Andreas cukup banyak berperan agar Nayshilla bisa diakui sebagai seorang mahasiswi yang pintar.
Sepanjang masa kuliah, Nayshilla tergolong sering meminta bimbingan Andreas pada hampir semua mata kuliah yang dia tidak pahami, terutama tentang desain interior. Apalagi pada semester terakhir.
Boleh dikata, Andreas merupakan mentor bagi Nayshilla selain dosen.
Andreas memang pemuda yang baik hati dan berpikiran sederhana. Siapa yang meminta bantuan kepadanya, tanpa banyak pikir langsung dia bantu.
"Aku malah curiga kamu sengaja mengalah agar Nayla bisa meraih juara satu," kata Julian bernada sinis.
"Sudahlah, Lian, nggak usah lagi bicara soal itu. Bagiku nggak penting meraih juara yang terbaik. Yang penting aku sudah lulus dengan baik dan mulus, tanpa gangguan keluargaku."
"Itu sudah cukup bagiku...."
"Jangan-jangan kamu suka sama Nayla, Ndre," kata Julian mengusik hati Andreas, "hingga kamu sengaja mengalah demi dia meraih predikat terbaik."
"Kamu jangan mengada-ngada, Lian," bantah Andreas langsung, "dunia akan menertawakan aku kalau aku sampai suka sama anak pengusaha kaya itu. Dan juga keluargaku pasti akan lebih berat lagi menindasku kalau aku sampai menyukainya."
"Aku membantu cewek itu tanpa ada niatan apa-apa. Kamu harus tahu itu!"
"Tapi setidaknya dia harus berterima kasih padamu 'kan?"
"Apa rencanamu setelah lulus kuliah, Lian?" Andreas langsung merubah topik pembicaraan. Dia sudah jengah mendengar ocehan Julian yang menurutnya tidak penting.
"Kalau kamu, gimana?" Julian malah balik bertanya dengan nada sedikit kesal, Andreas malah merubah topik pembicaraan.
"Entahlah, aku belum tahu spesifiknya," sahut Andreas bernada mendesah. "Yang jelas aku akan terus mengembangkan bakat melukisku. Dan semoga gelarku sebagai desainer bisa menghasilkan banyak duit."
"Ya, aku doakan semoga kamu sukses dengan bakatmu itu," dukung Julian sepenuh hati.
"Apa... kamu nggak kasih tahu keluargamu kalau kamu sudah lulus kuliah?" lanjut Julian seperti menganjurkan. "Bahkan dengan prestasi yang tergolong memuaskan...."
"Aku rasa nggak perlu," sahut Andreas pesimis, "mereka pasti nggak akan menghargai. Apalagi sejak awal mereka nggak dukung aku agar kuliah di fakultas yang aku inginkan."
"OK lah. Yang jelas aku tetap mendukung apapun yang kamu lakukan. Aku harap kamu bisa tenang."
"Kamu memang sahabatku yang terbaik," sambut Andreas sambil tersenyum hangat.
"O iya, aku mungkin akan bekerja di perusahaan papaku setelah ini," kata Julian seolah teringat dengan pertanyaan Andreas tadi. "Kalau kamu mau, aku bisa rekomendasikan kamu bekerja di perusahaan papaku."
"Untuk saat ini nggak usah dulu, Lian," tolak Andreas dengan halus. "Terima kasih....."
"Kamu nggak usah sok sungkan begitu, Andre. Kita sudah bersahabat sejak SMA. Ayo lah...!"
"Beneran, nggak usah dulu. Untuk saat ini aku nggak pingin dulu ngelamar kerjaan. Aku berencana pingin keluar dari rumahku yang bagai neraka itu. Jadi, rencanaku sekarang pingin cari kontrakan."
"Gimana kalau hari ini kamu keluar aja dari rumah kamu itu," tawar Julian serius, "dan tinggal untuk sementara di rumahku?"
"Nggak usah, aku nggak mau merepotkan," tolak Andreas lagi dengan halus.
"Baiklah," kata Julian mengalah. "Tapi kalau kamu pingin tinggal di rumahku, kamu nggak usah sok sungkan untuk mengatakannya."
Andreas hanya tersenyum mengangguk membalas tawaran sahabat baiknya itu.
★☆★☆★
Andreas sudah memutuskan untuk tidak memberi tahu apalagi memperlihatkan hasil kelulusannya selama kuliah di fakultas desainer interior kepada keluarga Grayden, meskipun dia tergolong meraih prestasi yang terbaik kedua.
Dan kalau dia mau, dengan kecerdasannya dia bisa saja meraih prestasi terbaik pertama.
Catat itu...!
Dia sudah bisa membayangkan apa reaksi keluarga Grayden jika dia nekad memberi tahu mereka.
Bukan saja papanya berserta yang lainnya tidak percaya dengan kemampuannya yang bisa meraih prestasi yang fantastis begitu, malah bisa jadi pemuda Andreas akan mendapat penindasan yang lebih keras lagi.
Dengan tuduhan bahwa Andreas telah berdusta. Atau bisa jadi mereka menuduhnya memanipulasi nilai. Atau bisa jadi mereka menuduhnya melakukan trik kotor agar mendapat nilai yang bagus.
Padahal, jika mereka mengetahui bahwa yang menjadikan Nayshilla bisa meraih predikat terbaik pertama di fakultasnya adalah seorang Andreas, mungkin mereka akan tercengang-cengang.
Setelah acara wisuda di kampusnya selesai, setelah pesta kecil-kecilan di kafe bersama Julian, pada sore hari Andreas pulang ke kediaman keluarga Grayden yang masih dia anggap rumahnya.
Ya, bangunan mewah yang besar itu hingga saat ini masih dianggapnya sebagai rumahnya. Meskipun rumah segede itu tidak memberinya jatah kamar tidur untuknya.
Selama empat tahun ini dia harus tidur di ruangan yang tidak luas, yang pengap yang disebut sebagai gudang bawah tanah.
Dengan kata lain, Andreas diberi kamar yang tidak layak ditempati oleh manusia seperti dirinya. Yang mana sejatinya ruangan itu lebih layak ditempati oleh barang-barang rongsokan.
Tapi apa mau dikata, nasib sudah menentukan, seorang Andreas tidur bersama barang-barang rongsokan selama empat tahun ini.
Miris bukan...?
Sementara Leonard yang notabene bukan anak kandung Hendrick Grayden, bukan saja diberi kamar tidur yang layak, bahkan kamarnya begitu luas megah dan mewah.
Bukan saja fasilitas yang baru secuil dari kekayaan keluarga Grayden yang anak sialan itu dapatkan, bahkan kemewahan keluarga Grayden serta kemanjaan tercurah pada Leonard.
Fasilitas mobil pribadi yang mahal lagi mewah, uang jajan perbulan yang banyak, pakaian merek-merek branded yang kalau Leonard mau tiap hari bisa diganti beli-ganti beli.
Sedangkan Andreas, jangan mimpi dia bakalan mendapat keistimewaan seperti itu. Bahkan dia mendapatkan penghinaan dan penindasan dari keluarga tersebut, yang notabene keluarga kandungnya.
★☆★☆
Seperti biasa, seperti hari-harinya di kediaman keluarga Grayden, Andreas berpenampilan lusuh, agar orang-orang seisi rumah tidak curiga kalau dia punya finansial sendiri meski belum banyak.
Semua hartanya; smartphonenya serta kartu ATM-nya dititipkan ke Julian. Bahkan, agar tidak membuat curiga keluarganya, semua perlengkapan kuliahnya juga dititipkan ke rumah Julian.
Yang dia bawa keluar masuk rumah itu cuma tas butut lagi usang, tempat alat-alat atau perlengkapan melukisnya yang sederhana.
Dengan langkah perlahan Andreas masuk ke dalam rumahnya dengan kepala agak tertunduk, bagai layaknya dia itu seorang pembantu yang tidak pantas menegakkan kepala, di rumahnya sendiri.
Melewati ruang tamu suasana terendam dalam sepi. Tapi dari situ sayup-sayup telinganya mendengar suara sedikit ramai yang diselingi percakapan yang penuh kehangatan di ruangan lain.
Dia cukup tahu kalau suara percakapan penuh kehangatan yang membuatnya iri itu di ruangan tengah. Dan itu adalah suara percakapan dari orang-orang yang dia anggap keluarga.
Mau tidak mau, untuk menuju kamar tidurnya yang terletak di bagian belakang, Andreas harus melewati ruang tengah, dengan amat terpaksa.
Seandainya ada jalan lain untuk menuju ke kamarnya, dia akan menempuh jalur itu, tidak melewati ruang tengah.
Karena di ruang tengah itu berkumpul orang-orang yang disebut keluarga, namun membuat hatinya luka yang berbalut rasa sakit.
Pemuda yang tampak malang itu terus melangkah gontai, meski sebentar lagi sepasang kakinya menginjak areal ruang tengah yang luas itu.
Sementara suara percakapan orang-orang yang ada di situ semakin jelas terdengar di telinganya.
"Selamat ya, Leon! Kamu memang anak kebanggaan papa...," kata Pak Hendrick seraya menepuk-nepuk pundak Leonard sambil tersenyum bahagia. "Tidak sia-sia papa dan mama membiayai kamu kuliah di luar negeri di fakultas desainer interior."
"Mama bangga sama kamu, Nak," Nyonya Victoria tidak mau kalah memuji sambil tersenyum penuh bahagia, "kamu lulus tahun ini dengan prestasi terbaik...."
"Kakak juga bangga sama kamu, Leon," imbuh Stephanie sambil tersenyum berseri-seri. "Kamu benar-benar menunjukkan kelasmu sebagai putra dari keluarga Grayden yang jenius."
"Anak yang baik pasti akan memperoleh hasil yang gemilang terhadap usahanya," Evelyne tidak mau ketinggalan memuji sekaligus memberi selamat. "Selamat ya, Leon, kamu benar-benar putra kebanggan keluarga Grayden."
"Kalian terus memujiku, sampai aku tidak enak hati," kata Leonard berlagak merendah sambil tersipu. "Tidak puaskah kalian memujiku dan memberiku selamat sewaktu aku baru tiba di badara tadi?"
"Walau seharian kami memujimu dan memberimu selamat, rasanya kami belum puas," kata Pak Hendrick dengan senyum yang belum lepas.
"Kamu memang pantas mendapatkannya, anakku," kata Nyonya Victoria sambil membelai lembut kedua pipi Leonard.
"Pa, ma, Kak Stephy, Kak Evy, terima kasih atas kepercayaan dan dukungan yang kalian berikan kepadaku selama ini. Aku pastinya nggak akan mengecewakan kalian...."
"So pasti dong," balas Evelyne. "Kamu 'kan anak yang baik. Nggak seperti si Andre yang sukanya bikin onar."
"Kak Evy, jangan selalu merendahkan Andre," kata Leonard berlagak membela. "Biar bagaimana pun dia juga bagian dari keluarga ini...."
"Nggak usah kamu membelanya," tanggap Evelyne. "Anak sialan itu emang pantas direndahkan."
"Pa, ma, aku juga dapat kabar dari Kennan kalau hari ini adiknya juga telah selesai wisuda," kata Stephanie memberi tahu. "Dia juga meraih peringkat terbaik pertama, sama seperti Leon."
Kennan adalah pacarnya Stephanie yang sekarang sudah berstatus tunangan.
"Maksudmu putrinya Pak William yang bernama Nayla itu?" tebak Nyonya Victoria ingin memastikan.
"Benar, Ma, Nayla, adik kedua Kennan."
★☆★☆
Sementara Andreas sudah mulai masuk ke areal ruang tengah. Tentu saja ucapan Evelyne yang merendahkannya serta ucapan Leonard yang sok membelanya tadi jelas dia dengar.
"Benar, papa juga telah diberi kabar oleh Pak William, rekan bisnis papa sekaligus calon besan itu," kata Pak Hendrick ikut mengabarkan.
"Pak William sungguh beruntung punya putri seperti Nayla kalau begitu," komentar Nyonya Victoria turut memuji," tahun ini putrinya telah lulus kuliah dengan nilai terbaik."
"Tidak sia-siap kamu menjadikan Kennan sebagai kekasihmu, Stephy," kata Nyonya Victoria seraya tersenyum manis pada putri pertamanya. "Dia sudah terbukti berasal dari keluarga yang jenius, di samping terhormat dan salah satu yang terkaya di kota ini."
"Tentulah. Dan pastinya keluarga Oom William amat senang mendapat anugrah yang membahagiakan seperti itu ya, Pa, Ma," imbuh Stephanie sambil tersenyum ceria.
"Tentu," tanggap Pak Hendrick. "Papa dengar Nayla memang anak yang pintar...."
"Tapi Leon jauh lebih pinter dong, Pa," sambar Evelyne seakan tidak ingin Leonard ada yang menyamai.
"Hahaha...! Itu sudah pasti," sambut Pak Hendrick juga seakan tidak mau putra angkatnya itu lebih hebat dari yang lain.
Sementara Andreas sudah masuk lebih dalam ke areal ruang tengah. Dia semakin jelas mendengar obrolan-obrolan yang membuat telinganya panas sebenarnya.
Tapi apa mau dikata, dia adalah anak yang tidak dianggap di rumah ini. Kehebatan yang ada padanya seolah terbenam begitu saja bagi keluarga Grayden.
Padahal, jika mereka tahu prestasi terbaik yang diraih Nayla adalah hasil bantuannya. Padahal, jika mereka sedikit saja membuka kesadaran, mereka akan mengetahui kalau seorang Andreas jauh lebih hebat dari pada Leonard, si anak sialan itu.
"Andre!"
Pemuda yang tampak malang itu terpaksa berhenti melangkah demi memenuhi panggilan sang ibu. Lalu dia menoleh pada orang-orang di sekitar sofa ruang tengah itu, tanpa mendekat ke situ.
"Ke mana saja kamu hah?" damprat Nyonya Victoria dengan berang. "Apa kerjamu hanya keluyuran saja di luar sana tanpa berbuat sesuatu yang berarti bagi keluarga?"
"Memang cuma gitu yang bisa dilakukan anak bodoh ini," kata Stephanie bernada sinis dan ketus seraya memandang ilfeel pada Andreas.
"Nggak ada yang bisa dia lakuin buat keluarga, Ma," sinis-ketus Evelyne merundung adik kandungnya itu. "Karena anak sialan ini nggak bisa apa-apa...."
Andreas hanya bisa pasrah mendengar penghinaan yang dilakukan oleh keluarganya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kepalanya semakin tunduk dengan menyedihkan.
"Andre! Kenapa kamu ini semakin hari semakin menyedihkan?" kesal Pak Hendrick penuh kecewa. "Kenapa kamu nggak bisa berbuat sesuatu yang membuat kami senang... sehari saja...."
"Lihat kakakmu ini, Leon! Dia bahkan telah membuat kami semua amat bangga kepadanya," lanjut Pak Hendrick semakin berapi-api menyudutkan Andreas.
"Tahun ini di kampusnya di luar negeri dia sudah lulus kuliah dengan meraih predikat terbaik," lanjut Pak Hendrick merasa bangga.
"Sementara kamu apa? Apa yang kamu dapat hah?!"
"Andre, cobalah kamu menurut!" sambung Nyonya Victoria tampil menasehati. "Jangan berbuat onar lagi di rumah, jangan cari masalah lagi sama Leon! Jadilah anak baik, Nak!"
"Pa, Ma, sudahlah!" lagi-lagi Leonard tampil dengan baik seolah membela yang tertindas. "Jangan memarahi Andre terus-terusan. Dia baru pulang, tentu saja lelah."
"Lihat kakakmu ini yang selalu mengalah padamu!" kata Nyonya Victoria bernada sedih. "Dia terus saja membelamu meski kamu sering menyakitinya."
"Ayo lah, Ndre, gabung ke sini!" ajak Leonard berlagak merendah. "Tidakkah kamu memberi selamat pada kakak yang sudah lulus kuliah di luar negeri?"
"Oh, maaf, Kak Leon, aku nggak punya apa-apa," tanggap Andreas seraya tersenyum enggan dan takut-takut. "Aku nggak bisa beri hadiah."
"Apa kamu ini?" ketus Stephanie bernada kesal dan sinis. "Keluarga ini memberimu banyak uang, tapi kamu habiskan dengan cuma-cuma."
Mendengar ucapan kakak pertamanya barusan, Andreas cuma bisa tersenyum pahit.
Keluarga Grayden memberinya banyak uang?!
Apa mereka tidak sadar atau memang sekedar pura-pura bahwa selama empat tahun ini keluarga Grayden tidak memberinya uang sepeser pun?
"Sudah lah, Kak!" Leonard semakin memerankan lakonnya.
Lalu Leonard kembali beralih pada Andreas, terus berkata.
"Tidak perlu memberi hadiah segala. Bersulang saja dengan aku sudah cukup."
"Oh, iya, baik, baik, kak...."
Kemudian Andreas bergegas menuju sofa. Begitu sampai, dia langsung meraih teko yang berisi minuman.
Sedangkan Leonard meraih sebuah gelas lagi yang kosong di atas meja. Sementara di tangan kanannya masih menggenggam gelas yang sudah kosong yang tadi dipakai bersulang bersama papa-mama serta kedua kakak perempuannya.
Berikutnya, tanpa curiga macam-macam, Andreas menuangkan minuman ke dalam dua buah gelas yang dipegang Leonard.
Setelah itu Andreas menerima gelas berisi minuman yang disodorkan Leonard yang dipegang di tangan kanannya, tanpa bercuriga dan protes, kenapa Leonard memberikan gelas bekas minumnya.
Setelah menaruh kembali teko minuman ke atas meja, setelah bersulang dengan Leonard sambil mengucapkan selamat, Andreas menandas habis minuman dalam gelas pemberian Leonard.
Sedangkan Leonard juga menandas habis minuman dalam gelasnya sambil melirik jahat pada Andreas dengan disertai senyum setannya.
Setelah itu apa yang terjadi, sungguh di luar dugaan.
★☆★☆★
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!