NovelToon NovelToon

Surga Dunia Jenna Dan Jagat

Chapter 1 : Wanita Penjual Sapu Tangan

Malam belum terlalu larut, ketika Jagat memutuskan berjalan-jalan seorang diri.

Suntuk. Itulah yang Jagat rasakan. Dia bosan karena terjebak rutinitas. Ternyata, memfokuskan diri pada pekerjaan, tak membuat hidupnya lebih baik.

Empat tahun berlalu tanpa terasa. Umur Jagat terus bertambah. Ketampanan, kegagahan, serta gelimang harta tak membuatnya dapat menyembunyikan rasa sepi yang terus mengiringi.

Ya. Jagat masih terpenjara dalam cinta masa lalu yang tak tergapai.

Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Jagat menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Dia melihat ke sebelah kanan, di mana ada taman dengan air mancur warna-warni.

Jagat menggumam pelan, lalu melepas sabuk pengaman. Dia memutuskan keluar dari mobil. Ketika hendak menutup pintu, tiba-tiba ada seorang wanita menghampirinya.

“Aku menjual sapu tangan sulam. Lihatlah, Pak. Ada banyak pilihan menarik. Semuanya sangat cantik. Cocok sekali diberikan kepada pasangan Anda,” ucap wanita berpenampilan sederhana itu.

Jagat yang awalnya hendak ke taman air mancur, terpaksa mengurungkan niat. Dia menatap wanita penjual sapu tangan itu, lalu beralih pada barang yang ditawarkannya tadi.

“Maaf. Aku bukan penyuka sapu tangan,” tolak Jagat.

“Anda bisa memberikan sapu tangan ini untuk pasangan, ibu, atau saudara perempuan.” Wanita itu membuka lipatan sapu tangan, kemudian memperlihatkannya pada Jagat. “Lihatlah. Cantik, kan? Aku sendiri yang membuat sulaman ini.”

Jagat tidak segera menanggapi. Sesaat kemudian, pengusaha tampan itu menggeleng pelan, lalu pergi meninggalkan si wanita penjual sapu tangan.

Jagat duduk di undakan anak tangga, di antara beberapa orang yang tengah menikmati indahnya malam dengan suguhan air mancur warna-warni. Namun, yang Jagat lakukan justru berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Perhatian pria tampan itu tertuju pada wanita penjual sapu tangan di seberang jalan. Entah mengapa, tiba-tiba ada rasa iba melihat wanita itu berdiri di pinggir jalan, dengan tatapan penuh harap. Paras cantiknya terlihat lusuh. Dia tampak kelelahan.

Jagat memicingkan mata, dengan tatapan terus tertuju pada si wanita yang berjalan gontai meninggalkan tempatnya menjajakan sapu tangan tadi. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba wanita itu jatuh pingsan.

Orang-orang yang kebetulan ada di sana, langsung mengerubungi wanita itu. Begitu juga dengan Jagat, yang bergegas menghampiri. Dia menyibakkan kerumunan, hingga berdiri paling depan.

Jagat memeriksa denyut nadi wanita itu. “Di mana klinik terdekat?” tanyanya.

“Sekitar 10 meter dari sini ada tempat praktik dokter, Pak. Tapi, pada jam seperti ini pasti sudah tutup.”

“Tidak apa-apa. Kita coba ke sana.”

Jagat membopong wanita itu, mengikuti orang yang menjadi penunjuk jalan. Mereka memasuki gang dengan ukuran tidak terlalu lebar, hingga tiba di depan tempat praktik dokter yang dimaksud. Benar saja. Jam praktik sudah .berakhir.

Namun, Jagat terus memencet bel, hingga ada seorang wanita paruh baya yang muncul dari dalam rumah.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya wanita paruh baya itu. Akan tetapi, sepertinya dia tidak membutuhkan jawaban. “Kenapa dia?” tanyanya, tanpa membuka pintu gerbang.

“Izinkan kami masuk,” pinta Jagat. “Wanita ini tiba-tiba pingsan di tepi jalan. Tolong periksa dia. Semoga tidak ada yang serius,” jelasnya.

“Sebentar. Saya harus melapor kepada pak dokter terlebih dulu.”

“Apa? Yang benar saja?” Jagat melayangkan tatapan protes. “Maksud Anda, kami dibiarkan menunggu di luar seperti ini?”

“Anda datang di luar jam praktik. Kami sudah tutup dua jam yang lalu, Pak.”

“Ini darurat\, Bu!” tegas Jagat. “Saya membawa wanita ini kemari karena jaraknya lebih dekat dibanding ke klinik lain atau rumah sakit ____”

“Ini sudah prosedur kami, Pak,” sela wanita paruh baya itu. “Silakan tunggu sebentar.”

Jagat berdecak kesal. Dia harus menahan bobot si wanita lebih lama.

Beberapa saat kemudian, wanita paruh baya yang tadi bicara dengan Jagat, muncul dari dalam rumah. “Maaf, Pak. Sekarang sudah lewat dari jam praktik. Pak dokter sangat lelah. Silakan bawa ke klinik lain saja,” ucapnya.

“Apa?” Jagat menatap tak percaya. “Saya sudah menunggu selama 12 menit 19 detik. Enteng sekali Anda mengatakan itu,” protesnya penuh penekanan.

“Saya hanya menyampaikan pesan dari pak dokter”

“Seperti inikah pelayanan yang dia berikan? Bagaimana jika ada orang yang membutuhkan bantuan medis darurat?”

“Kami memiliki jam praktik ____”

“Keadaan darurat tidak bisa diperkirakan akan datang jam berapa!” sela Jagat tegas. Tak dirasakannya lagi beban berat karena terus membopong wanita yang masih dalam keadaan pingsan itu.

Jagat makin mendekat ke pintu gerbang. “Dia seorang dokter? Seperti itukah cara kerjanya? Sungguh mengecewakan.”

Jagat menoleh pada plang yang terpasang di depan rumah, lalu tersenyum samar. “Saya tidak akan memohon. Namun, jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada wanita ini …. Sampaikan pada pak dokter, dia mendapat salam dari Jagat Hartadi. Pemilik Niskala Madyantara Abadi.” Jagat langsung berbalik setelah berkata demikian.

“Tunggu, Pak,” cegah wanita paruh baya itu, seraya membuka pintu gerbang. “Silakan masuk,” ucapnya.

Jagat mengembuskan napas pelan dan dalam, lalu berbalik. Tanpa banyak bicara, dia membawa wanita itu menuju bangunan tidak terlalu besar, yang merupakan tempat praktik dokter.

“Pak dokter akan segera kemari,” ucap wanita paruh baya itu, seraya berlalu.

“Astaga. Ada apa dengan negara ini?” gumam Jagat, seraya membaringkan wanita penjual tisu itu di ranjang pemeriksaan.

“Nama Anda sangat ditakuti, Pak,” ucap pria yang mengantar Jagat ke sana.

Jagat tersenyum kecil. “Itu nama teman saya,” ujarnya enteng, lalu kembali fokus pada wanita yang terbaring dengan mata terpejam rapat.

Tak berselang lama, dokter yang ditunggu muncul. Dia menyuruh Jagat dan pria penunjuk jalan, agar keluar dari ruang pemeriksaan.

Jagat menurut. Dia menunggu di luar dengan sabar, meskipun sempat terbesit pikiran konyol dalam benaknya. Entah mengapa, Jagat harus melakukan itu terhadap seseorang yang tidak dikenalnya sama sekali.

Namun, satu sisi hati pria tampan 41 tahun tersebut mengatakan sebaliknya. Jagat adalah seorang dermawan, yang mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dengan sesama. Itu dibuktikan dengan berdirinya beberapa yayasan sosial, yang berada di bawah naungan perusahaannya.

Beberapa saat berlalu. Dokter keluar dari ruang periksa. Dia langsung menghampiri Jagat, yang berdiri setelah melihat kemunculannya.

“Anda mengenal wanita itu, Pak?” tanya sang dokter, yang masih terbilang muda.

“Tidak,” jawab Jagat singkat. “Wanita itu pingsan di pinggir jalan. Saya hanya berniat menolongnya,” terang pria dengan T-shirt lengan panjang tersebut.

Sang dokter manggut-manggut pelan. “Saya sudah melakukan pemeriksaan awal. Tapi, saya menyarankan agar wanita itu melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter spesialis, untuk mengetahui dan mendapat penjelasan secara detail,” jelasnya.

“Apa yang terjadi?”

“Wanita itu sedang hamil.”

Chapter 2 : Hanya Sendiri

“Hamil?” ulang Jagat. 

“Ya.” Dokter itu mengangguk. “Dia sudah siuman.”

"Baiklah. Terima kasih."

Setelah membayar biaya pemeriksaan, Jagat membawa wanita itu pergi dari sana.

“Siapa namamu?” tanya Jagat, setelah hanya berdua dengan wanita penjual sapu tangan itu.

“Jenna.”

“Jenna,” ulang Jagat. “Ini sudah malam. Selain itu, kamu juga sedang hamil. Sebaiknya, kuantar pulang.”

“Tidak usah,” tolak Jenna pelan. “Aku sudah sangat merepotkan Anda, Pak.”

Jagat menggumam pelan. “Pepatah mengatakan, ‘Jangan setengah-setengah dalam menolong orang lain.’ Masuklah. Biar kuantar pulang. Kamu bisa turun sebelum tiba di depan rumah. Dengan begitu, suamimu ….”

Jagat tidak melanjutkan kalimatnya, berhubung Jenna lebih dulu masuk ke mobil. Wanita muda itu duduk, lalu memasang sabuk pengaman.

“Berapa biaya yang harus kuganti?” tanya Jenna, setelah Jagat melajukan kendaraan. 

“Maksudmu?” Jagat menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan. 

“Biaya periksa ke dokter tadi pasti mahal. Sejujurnya, hari ini aku hanya mendapat sedikit uang. Jadi, kuberikan semua sapu tangan ini. Anda bisa memakainya untuk membersihkan debu, kotoran di kaca, atau … atau buang saja bila tidak membutuhkan ini sama sekali. Aku tidak punya apa-apa lagi.” Jenna tertunduk, sambil memainkan tepian blus kemeja lengan pendek yang dikenakannya.

“Aku memang tidak membutuhkan sapu tangan yang kamu jual. Jadi, simpan saja untuk besok lagi,” tolak Jagat.

Jenna menggeleng pelan. “Tidak semua orang tertarik dengan sapu tangan. Padahal, satu lembar ini kubuat berhari-hari. Aku juga tidak mematok harga tinggi. Namun ….” 

“Jangan mudah menyerah. Terkadang, kita harus melewati jalan terjal untuk tiba di tujuan. Seorang entrepreneur tak akan mundur dengan mudah, hanya karena satu atau dua kali kegagalan.”

“Entahlah. Terdengar sangat mudah bagi seseorang yang sudah berdiri tegak di kaki sendiri,” ucap Jenna. Dari nada bicaranya, ada keputusasaan yang begitu besar. 

Jagat menggumam pelan. Dia ingin menanggapi, tetapi merasa tak pantas berbicara terlalu banyak, pada seseorang yang belum dikenal baik. Pria itu memilih diam dan fokus pada lalu lintas yang mulai sepi.

"Apa kamu berjualan setiap hari?" tanya Jagat.

"Iya," jawab Jenna pelan.

"Sampai larut malam?" Jagat menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan.

Kali ini, Jenna hanya mengangguk pelan.

"Apa kamu tahu sedang hamil atau ______"

"Aku tahu. Itulah kenapa aku harus bekerja keras. Namun, aku bingung memulainya dari mana," sela Jenna.

"Lalu, suamimu?" tanya Jagat lagi. Namun, sesaat kemudian, pria itu tersadar. "Ah, maaf. Aku tidak bermaksud menginterogasimu. Aku hanya penasaran karena kamu sedang hamil, tetapi masih berada di jalanan hingga larut malam begini."

Jenna yang awalnya hanya menunduk, kali ini mengangkat wajah. "Aku tidak punya suami."

Sontak, Jagat menginjak pedal rem hingga mobil itu berhenti mendadak. Tubuh Jenna bahkan sampai maju dan hampir terantuk ke dashboard. Untunglah, dia memakai sabuk pengaman.

"Maaf," ucap Jagat. "Aku ... aku hanya terkejut."

Jenna menoleh, lalu tersenyum kecil. "Aku bisa memahaminya. Keadaan seperti ini, sangat memalukan. Namun, aku harus menerima segala konsekuensi.” Wanita muda berambut panjang itu menggeleng pelan.

“Berapa umurmu?” tanya Jagat, yang tak segera melajukan kembali kendaraannya.

“23 tahun,” jawab Jenna.

“Astaga. Muda sekali,” gumam Jagat tak percaya. “Bagaimana tanggapan orang tuamu?” 

Jenna tak langsung menjawab. Dia menatap Jagat, dengan sorot tak dapat diartikan. “Anda pikir bagaimana, Pak? Aku tidak akan berada di jalanan hingga larut malam begini. Kelaparan. Aku belum makan dari tadi siang.”

Jenna kembali tertunduk. “Hari ini, sapu tanganku hanya terjual satu buah. Padahal, harganya cuma 15 ribu.”

“Ya, Tuhan,” gumam Jagat teramat pelan. Rasa iba menggelayuti sudut hatinya. Dia menatap Jenna beberapa saat, barulah mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Ayo, turun," ajak Jagat, seraya melepas sabuk pengaman.

"Ke mana, Pak?"

"Ikut saja." Jagat tersenyum kecil, sebelum keluar dari mobil.

Jenna tak banyak bertanya lagi. Wanita muda itu ikut turun, lalu mengekor langkah gagah Jagat menuju rumah makan khas Sunda, yang buka 24 jam.

"Pak, aku tidak punya uang," ucap Jenna agak berbisik. Dia hendak berbalik keluar dari sana.

Namun, Jagat segera meraih pergelangan tangan Jenna. Menahan wanita muda itu agar tidak ke mana-mana.

"Maaf," ucap Jagat, langsung melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan Jenna. "Aku yang bayar. Jangan khawatir."

"Ta-tapi ...." Jenna jadi serba salah. Namun, dia tak bisa menolak. Apalagi, perutnya sudah keroncongan sejak siang.

Beberapa menu khas Sunda, sudah tersaji di meja. Namun, Jenna tak segera menyantapnya. Wanita muda itu tampak ragu. Jenna hanya memperhatikan makanan di hadapannya.

"Kenapa?" tanya Jagat keheranan.

Jenna mengalihkan perhatian kepada Jagat. "Siapa Anda? Kenapa melakukan semua ini untukku? Kita tidak saling mengenal dan ...." Jenna menatap sayu. Paras cantiknya tampak agak pucat.

"Tidak perlu saling mengenal untuk berbagi kebaikan. Begitu, kan?" Jagat tersenyum simpul. "Makanlah."

Meskipun agak ragu, Jenna mulai menyantap makanan yang telah tersaji. Namun, makin lama rasa ragunya hilang. Wanita muda itu menyantap isi dalam piring dengan sangat lahap.

Sementara itu, Jagat hanya memperhatikan dengan tatapan tak dapat diartikan. Entah apa yang ada dalam benak pria 41 tahun tersebut.

Jenna. Wanita muda itu terlihat sangat menyedihkan. Pakaian serta tatanan rambutnya biasa saja, bahkan terbilang lusuh. Mungkin karena itu juga, tak ada yang tertarik dengan barang dagangannya.

"Biar kuantar pulang," ucap Jagat, setelah keluar dari rumah makan.

"Aku bisa pulang sendiri," tolak Jenna halus.

"Ini sudah terlalu malam. Sangat berbahaya bagi wanita muda sepertimu."

Jenna tersenyum kecil. "Aku tidak peduli lagi, Pak. Kalaupun besok atau lusa orang-orang menemukan mayatku tergeletak di jalanan ...." Jenna menggeleng pelan. "Tak akan ada yang peduli," ucapnya kemudian.

"Bagaimana kamu tahu tak ada yang peduli pada hidupmu?"

"Aku menjalani semua ini sendirian." Jenna tersenyum getir.

"Biar kuantar pulang. Mari." Jagat tak ingin berlama-lama di sana karena malam kian larut.

"Ta-tapi ...." Lagi-lagi, Jenna terlihat ragu.

"Kenapa?"

Jenna menggeleng. "Tempat tinggalku sudah dekat dari sini. Aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki," tolak wanita muda itu.

"Terima kasih untuk semua yang Anda lakukan malam ini. Aku tidak akan pernah melupakannya." Jenna memberikan kresek berisi sapu tangan yang akan dijual. Dia tak peduli, meskipun Jagat menolak benda itu sejak awal.

"Selamat malam." Jenna berlalu meninggalkan Jagat yang terpaku menatap kepergiannya.

Jagat memicingkan mata, kemudian bergegas masuk ke mobil. Dia mengikuti Jenna secara diam-diam.

Beberapa saat kemudian, Jagat menghentikan laju kendaraan, dengan tetap menjaga jarak. Dari sana, dia mengawasi Jenna yang memasuki kawasan kumuh. "Ya, ampun," gumamnya.

Chapter 3 : Pemandangan Tak Biasa

Sebenarnya, Jagat masih penasaran dengan kehidupan Jenna. Namun, dia sangat lelah dan ingin segera pulang. Terlebih, malam sudah benar-benar larut. Akhirnya, Jagat memutuskan melanjutkan perjalanan ke rumah. 

Setelah empat tahun berlalu, Jagat memilih meninggalkan apartemen yang telah lama ditempati, lalu membeli rumah tinggal di kawasan township. Jagat memulai hidup baru di sana, meskipun kenyataannya masih terpenjara dalam masa lalu. 

“Ah,” keluhan pelan meluncur dari bibir berkumis tipis Jagat, yang sudah merebahkan tubuh di tempat tidur. Lajang berusia 41 tahun tersebut menatap langit-langit kamar. Pikirannya mulai menerawang tak menentu. 

Perlahan, Jagat memejamkan mata. Berusaha tidur, untuk melepaskan rasa lelah yang membuat tubuhnya kehilangan sebagian tenaga. Namun, tiba-tiba bayangan Jenna melintas di benak sang pemilik Niskala Madyantara Abadi tersebut. 

Jagat segera membuka mata. “Kehidupan seperti apa yang kamu jalani, Jenna?” gumamnya, bertanya pada diri sendiri. 

Jagat kembali termenung, dengan tatapan menerawang ke langit-langit kamar. Beberapa saat kemudian, matanya terasa begitu berat, hingga tanpa sadar tertutup sempurna. 

Meskipun tidur sangat larut, tapi Jagat tetap bangun pagi. Seperti biasa, dia memulai hari dengan olahraga dilanjutkan berenang. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45, ketika Jagat telah selesai sarapan. Dia langsung mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tujuan utamanya kali ini adalah kawasan pemukiman kumuh, yang menjadi tempat tinggal Jenna. 

Setelah memarkirkan mobilnya, Jagat berjalan beberapa meter. Dia harus mengabaikan rasa tak nyaman karena berada di wilayah, yang bagi orang-orang sepertinya merupakan tempat menjijikan.

Sungguh tak nyaman. Kondisi di sana begitu jorok. Tak bisa dimengerti, mengapa ada yang betah berlama-lama tinggal di tempat seperti itu. 

Jagat terpaku sejenak, melihat deretan rumah tak layak huni berhiaskan tali jemuran semrawut. Beberapa wanita asyik berkumpul sambil bergosip. Sebagian dari mereka hanya mengenakan tanktop dan celana kolor lusuh. Ada juga yang berbincang sambil mencari kutu. 

Sungguh pemandangan yang tidak nyaman dan tak biasa bagi seorang Jagat Hartadi. Namun, rasa penasaran terhadap Jenna, berhasil membawanya ke sana. Jagat rela mengabaikan segala ketidakbiasaan itu. 

“Di mana Jenna?” tanya Jagat dalam hati. Berhubung tak ingin berlama-lama di sana, dia memberanikan diri bertanya pada sekumpulan wanita yang tengah asyik bergosip tadi. 

“Ada yang bisa dibantu, Om?” tanya wanita yang kelihatannya paling muda di antara lainnya. 

“Saya mencari Jenna. Ada yang bisa memberitahu di mana ____”

“Jenna?” sela salah seorang wanita. 

Jagat menoleh, lalu mengangguk. 

“Biasanya, dia ada di TPS pada jam seperti ini. Coba saja Om cari ke sana.”

“TPS?” ulang Jagat.

“Iya, Om. Dia biasa _____”

“Anda? Kenapa kemari?” sela suara lembut, yang tak lain milik Jenna.

Jagat langsung menoleh. Ditatapnya Jenna dengan pakaian berbeda, tetapi tak lebih bagus dari yang dikenakan semalam.

"Aku mencarimu. Mari bicara di tempat lain," ajak Jagat, seraya mengarahkan tangan ke luar gang, sebagai isyarat dirinya tak ingin bicara di sana.

Awalnya, Jenna hanya terpaku dengan sorot penuh keraguan. Sesaat kemudian, wanita muda itu mengangguk setuju. Dia mengekor langkah Jagat, meninggalkan para wanita yang menatap kepergian mereka dengan penuh tanda tanya.

"Bagaimana Anda tahu aku tinggal di sini? Jangan katakan _____"

"Aku hanya memastikan kamu pulang dengan selamat," sela Jagat segera. Dia menghentikan langkah, kemudian menoleh pada Jenna yang tertegun di belakangnya.

"Terima kasih, tapi ...." Jenna menatap dengan sorot tak dapat diartikan.

"Apa kamu sudah sarapan?" tanya Jagat.

Jenna mengangguk pelan.

"Ikut aku," ajak Jagat, seraya melanjutkan langkah.

"Ke mana?" tanya Jenna. Meskipun diliputi rasa heran dan penasaran atas sikap Jagat terhadapnya, Jenna tetap mengikuti pria itu.

"Kamu harus memeriksakan kandungan ke dokter spesialis," jawab Jagat. Dia menghentikan langkah di dekat mobilnya terparkir.

Bukannya senang, Jenna justru menggeleng kencang. "Tidak," tolaknya. "Aku tidak punya uang."

"Aku yang akan membayar."

Jenna menatap aneh. "Kenapa Anda melakukan ini? Apa yang Anda inginkan?" Wanita muda itu menatap penuh selidik.

Jagat yang hendak membuka pintu mobil, berbalik menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Jenna. "Kesehatan bayimu harus diutamakan. Hanya itu yang jadi pertimbanganku."

"Kenapa Anda begitu peduli?" Jenna masih dengan tatapan penuh selidik.

"Aku peduli pada semua orang yang membutuhkan bantuan. Aku peduli pada anak-anak terlantar. Kubuatkan rumah untuk berteduh dan memperoleh segala hal yang sepatutnya mereka dapatkan," jelas Jagat lugas.

"Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Namun, bayi dalam kandunganmu berhak mendapatkan sesuatu yang lebih. Dia adalah anugerah."

Jenna menggeleng kencang. "Anda salah, Pak!" bantahnya tegas. "Bayi dalam kandunganku justru merupakan bencana terbesar yang Tuhan berikan. Gara-gara kehamilan ini, aku jadi ...." Jenna tak kuasa melanjutkan kalimatnya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sebelumnya. Namun, sekarang kamu punya tanggung jawab besar untuk mengandung dan melahirkan bayi itu. Jadi, lakukan tugasmu dengan baik. Aku yakin, kamu akan memperoleh timbal balik dari semua yang sudah diperjuangkan selama ini," ucap Jagat bijak.

Jenna kembali menggeleng. "Jika Anda ingin membantuku, maka bantu aku menggugurkan kandungan ini karena aku tidak tahu bagaimana caranya."

"Jangan gila, Jenna!" sergah Jagat cukup tegas. "Aku tahu, kamu masih terlalu muda untuk menghadapi situasi seperti ini seorang diri. Namun, jangan membuatmu makin terperosok dalam dosa. Jika kamu tidak menginginkan bayi itu, tak apa. Cukup lahirkan dia, lalu serahkan padaku. Di negara ini, ada banyak pasangan yang menantikan kehadiran seorang anak."

Jenna terpaku dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak menyukai keadaan ini, Pak. Semuanya terasa begitu berat," isak wanita muda itu pelan.

"Aku bisa memahaminya. Oleh karena itu, biarkan aku membantumu."

Jenna yang masih muda, kebingungan menentukan jalan hidupnya saat ini. Dia hanya menjalani setiap hari, tanpa ada rencana matang ke depan. Semua begitu buram baginya.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya Jagat, ketika dalam perjalanan.

"Aku muak bila mengingat hal itu, Pak," ucap Jenna pelan.

"Pacarmu?" Jagat menoleh sekilas.

Jenna menggeleng pelan, lalu tertunduk lesu. "Aku belum punya pacar, Pak," ujarnya.

Jagat menggumam pelan, sambil terus mengemudi. Untunglah karena kondisi lalu lintas pagi itu tidak sepadat biasanya.

"Apakah itu akibat dari pergaulan bebas?" tanya Jagat lagi. "Tidak apa-apa. Bercerita saja padaku. Jangan khawatir karena rahasiamu pasti aman."

Jenna tidak segera menjawab. Dia justru mengalihkan perhatian ke luar jendela, menatap jalanan yang dilalui. Wanita muda itu terdiam beberapa saat, seakan tengah mempertimbangkan sesuatu.

"Aku hanya gadis biasa, Pak," ucap Jenna, setelah terdiam beberapa saat.

"Lalu?"

"Aku dirudapaksa anak majikan, tempat ibuku bekerja," terang Jenna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!