Pondok Labu, 28 Mei 2013
Gadis itu berdiri di depan kelasnya dengan jantung berdebar kencang, ia tengah menatap sekelompok kakak kelasnya yang sedang bermain basket di lapangan. Alaric adalah sosok yang telah mencuri hatinya pada pertama kali ia menginjakkan kakinya di sekolah itu. Pada hari orientasi siswa Alaric pernah membantunya mengantar Bri ke UKS karena hampir pingsan, kebaikan hati pria itu membuatnya jatuh hati. Semua cerita tentang hatinya ia tuangkan di buki hariannya yang selalu dia tulis dari semenjak SMP.
Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan sekaligus takutkan. Setelah lama menyimpan perasaannya, akhirnya ia memutuskan untuk mengakui cintanya pada Alaric.
Dinda, sahabatnya, menatapnya dengan penuh semangat. “Kau yakin? Ini momen besar! Kalau dia sampai menolakmu bagaimana?"
Bri mencibir. “Yang terpenting adalah melangkah maju, hasil belakangan”
Dinda tertawa kecil. “Baiklah. Semoga sukses kawan.”
Bri menggigit bibirnya, berpikir sejenak. “Tolong berikan ini padanya ya. Aku tunggu di belakang kamar mandi.”
Dinda agak ragu mengambil secarik kertas yang disodorkan temannya itu. “Apa tidak salah Bri? Kamar mandi? Bukankah agak tidak bermoral melakukannya di sana?.”
"Bukan di kamar mandi! Di belakangnya. Hanya disitu yang cukup sepi. Aku jadi malu kalau ada yang tau," ucap Bri cemas.
Raga menemukan buku harian yang ia yakini milik Bri yang terjatuh dari tasnya dan tergeletak di lantai dekat bangkunya. Dia mengambilnya dan dengan iseng membuka halamannya perlahan. Semua yang dibacanya menggelikan ada juga halaman yang mengesalkan ketika Bri menceritakan betapa kesalnya dia pada anak laki-laki tetangga sebelah yang merujuk ke dirinya sendiri. Halaman demi halaman dia buka dan matanya terpaku pada satu halaman yang menurutnya baru saja dia tulis:
"Aku harus jujur mengenai perasaanku. Semoga kak Al menerimanya."
Raga mengerenyitkan dahinya pertanda bingung tentang siapa pemilik nama Al ini. Sampai dilihatnya Bri yang sedang tergesa-gesa menuju ke sebuah tempat.
Raga diam-diam mengikuti Bri ke sebuah tempat. Dengan sigap, ia bersembunyi di balik pohon besar, yang terletak disudut Di kejauhan, Bri tampak gugup saat berdiri di depan Alaric.
"Aku rasa pasti ada tempat yang lebih baik daripada di sinikan Bri?" tanya Alaric ragu.
Bri hanya bisa tersenyum canggung menanggapinya, "Maaf kak. Ada sesuatu yang mau Bri katakan."
"Apa?"
“Kak Al, Bri suka sama Kakak.” Suara Bri pelan namun cukup terdengar jelas ditelinga Raga.
Alaric menatap Nina dengan ekspresi terkejut. “Hah? Bri serius? Aku tidak menyangka.” Raga berdiri menatap dua orang itu dengan ekspresi datar dan setelah mendengar hasil akhir dari percakapan itu, dia segera pergi.
***
Keesokan paginya, sekolah dikejutkan oleh pemandangan di papan mading dekat kantin. Di sana, tertempel selembar foto yang jelas menunjukkan Bri saat menyatakan perasaannya pada Alaric. Tidak hanya itu, di bawah foto tersebut tertulis kalimat besar dengan spidol merah:
“DEKLARASI CINTA BRI: BERANI TAPI NAAS?”
Kerumunan siswa langsung heboh. Ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik Dinda yang baru tiba di sekolah langsung merasa ada yang tidak beres. Ia mendorong tubuhnya melewati kerumunan dan nyaris tersedak ketika melihat foto Bri terpampang di sana.
“Oh, tidak! Bri harus lihat ini,” gumamnya panik.
Sementara itu, Bri baru saja sampai di gerbang sekolah. Langkahnya ringan karena kemarin Alaric menjawabnya dengan baik. Memang, Alaric tidak menerimanya namun kata-kata penolakan darinya sangat baik dan tidak menyakiti Bri, karena sudah kelas tiga Alaric bilang ingin fokus pada ujian nasional yang sebentar lagi akan diadakan.
Namun, Bri langsung heran ketika ia mendekati kantin dan mendengar bisik-bisik aneh dari teman-temannya.
“Dia kan orangnya yang ditolak kemarin?”
“Orang yang mengerjainya benar-benar keterlaluan.”
“Bri pasti malu setengah mati.”
Jantung Bri berdetak kencang. Ia bergegas menuju mading dan seketika wajahnya memucat.
Matanya langsung menangkap foto dirinya dengan ekspresi gugup saat berbicara dengan Alaric kemarin. Ia merasa seperti ada batu besar yang menghantam dadanya.
Dinda buru-buru menarik tangannya. “Bri aku nggak tahu siapa yang melakukan ini, tapi kita harus cepat-cepat ambil fotonya.”
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara tawa familiar terdengar di belakang mereka. “Bri sepertinya jadi selebriti hari ini.” Bri berbalik dan melihat Raga bersandar di dinding.
Kemarahan langsung membakar dirinya. “Kau yang melakukan ini?!” bentaknya.
Raga berdiri tegak dan memasukkan satu tangannya ke saku celana. “Bukan aku. Jangan sembarang menuduh.”
Dinda mengepalkan tangan. “Dasar tidak punya hati! Ini bisa bikin Bri malu seumur hidup!”
Bri menatap Raga dengan mata berkilat penuh amarah. “Kau keterlaluan!”
"Sudah kubilang bukan aku! Apa kau pikir hidupku hanya tentangmu? Untuk apa juga aku melakukan hal-hal seperti itu," ucap Raga mulai kesal.
"Karena hanya kau yang mampu melakukan hal kotor seperti ini. Kau terhibur kan?" Hati Bri sakit bukan main. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang.
Bri tidak bisa tinggal diam. Ia harus memberi Raga pelajaran yang setimpal. Dengan bantuan Dinda, mereka mulai mencari cara untuk membalas Raga. Hingga akhirnya, sebuah ide cemerlang muncul di kepala Bri.
Keesokan harinya, di papan mading sekolah, muncul sebuah foto baru. Kali ini, foto tersebut adalah Raga yang sedang tidur di kelas, dengan mulut sedikit terbuka dan air liur hampir menetes.
Di bawahnya tertulis:
“RAGA, RAJA TIDUR KELAS !”
Kerumunan siswa kembali heboh. Saat Raga tiba di sekolah, ia langsung disambut gelak tawa teman-temannya. Begitu melihat fotonya di mading, wajahnya langsung memerah. Dengan kesal, ia merobek foto tersebut dan berlari ke kelas mencari Bri.
Begitu menemukannya, ia langsung menunjuk wajahnya. “Apa ini?!”
Bri menyilangkan tangan di dada. “Menurutmu?!”
Raga mendengus kesal. “Hebat Bri!”
Bri menaikkan alis. “Bagaimana? Kau sudah merasakan apa yang kurasa. Itulah akibat ide kekanak-kanakan yang kau lakukan.”
Dinda menimpali dengan nada puas. “Rasakan, Ga.” Raga terdiam. Ia dipermalukan untuk hal yang dia tidak perbuat dan Bri selalu melemparkan semua tuduhan negatif padanya.
Dengan marah Raga memegang lengan Bri menariknya dengan kasar, Raga berbisik pelan ke arah Bri "Kau tau, tidak akan ada pria yang menyukaimu. Emosimu mudah sekali tersulut, kau cengeng, kau lemah dan gampang sekali terhasut. Apa kau tau Alaric menolakmu bukan karena alasan dia ingin fokus belajar. Itu karena memang dia tidak menyukaimu. Berkacalah! Kau bahkan tidak cantik!" Bagai tersambar petir Bri terdiam mendengar hal itu dari Raga. Dia tidak pernah merasa serendah diri itu, dirinya tidak berharga, dia tidak cantik dan tidak ada yang akan menyukainya.
Sepanjang hari Bri hanya terdiam tidak bersemangat melakukan apapun bahkan saat temannya membelikan dia roti, dia hanya mencuilnya sedikit. Kata-kata Raga bagai terpatri dihatinya melekat membayangi pikirannya
Lonceng pulang telah dibunyikan semua anak berhamburan keluar kelas buru-buru pulang, beberapa orang mengeluarkan payung dari tas mereka. Saat itu hujan deras turun, Bri berjalan sendirian menuju gerbang sekolah. Dia berjalan sambil memegang erat payungnya dan berhenti pinggir jalan untuk menunggu lampu merah menyala karena ia hendak menyebrang.
Bri melamun disaat hendak menyebrang jalan, dia tersentak kaget karena seseorang menariknya dengan cepat sampai payungnya terlepas jatuh. Truk besar berhenti dan marah-maraj ke dia.
"Matamu di mana! Kau mau mati ya?" Raga menatapnya dengan sorot mata yang berbeda dia tidak tau apa artinya. Tangannya yang sedang memegang payung bergetar dan satunya lagi memegang pundak Bri dengan kuat, deru napasnya menyapu wajah Bri.
Bri yang tersadar bahwa dirinya hampir saja tertabrak balas menatap Raga dengan sinis. "Kalau aku mati kau senang kan?"
"Bicara apa kau ini. Dasar bodoh!" Raga mengambil jaket dari tas dan menyampirkannya ke tubuh Bri yang sudah separuh basah. Namun ditolak Bri dengan kasar.
"Tidak usah pura-pura baik Raga, aku tau kau tidak menyukaiku. Tapi tenang saja karena aku juga membencimu. Sangat." Raga menatapnya bingung wajahnya juga ikut basah, bulir air menetes dari atas rambutnya jatuh menerpa matanya yang menatap dalam Bri.
"Menjauhlah dariku. Kumohon." Bri dengan tangan bergetar meninggalkan Raga yang masih terpaku di sana berdiri menatap gadis itu menghilang di balik belokan jalan.
Di sebuah sore yang cerah namun sibuk, jalan raya dipenuhi kendaraan yang berderet panjang. Suara klakson saling bersahutan, seperti berlomba siapa yang paling kencang suaranya. Asap knalpot bercampur dengan udara sore, menciptakan aroma khas kota yang sibuk. Sepeda motor saling selip di antara mobil-mobil yang berhenti, mencoba mencari celah untuk melaju.
Di tepi jalan, pedagang kaki lima menjajakan makanan ringan, seperti gorengan hangat dan minuman dingin, menjadi penawar lelah bagi para pengendara. Beberapa orang terlihat melamun di dalam mobil, mata mereka terpaku pada lampu merah yang terasa terlalu lama berganti. Di langit, matahari mulai tenggelam perlahan, menyisakan semburat jingga yang memanjakan mata, memberikan kontras indah di tengah kesemrawutan jalanan.
Di sana salah satu pengendara motor tampak memperhatikan suasana jalanan dengan asik, bukannya dia suka mengalami kemacetan di sore hari itu namun setiap hari dia melalui hal yang sama jadi sudah maklum. Raga menghela napasnya pertanda dia sangat lelah dan ingin cepat sampai. Sudah sekitar satu setengah jam dia berada di jalanan itu, sekitar beberapa belokan lagi dia sampai ke rumahnya.
Meski penuh keramaian, ada kehangatan tersendiri. Raga memperhatikan seorang anak kecil di dalam angkutan kota melambai riang ke arah penjual balon. Seorang pengendara sepeda motor berbagi senyuman dengan pejalan kaki yang menunggu di trotoar. Di tengah hiruk-pikuk itu, sore tetap menjadi waktu yang memeluk semua orang, mengingatkan mereka bahwa meski macet, setiap detik tetap punya cerita.
Deru suara motor memasuki sebuah komplek yang mulai tampak sepi karena hari mulai berganti menjadi malam. Di komplek itu ada total 12 rumah saling berhadapan. Rumah Raga terletak di sebelah kiri nomor 4 dari ujung komplek. Rumah yang sudah di tempatinya dari lahir hingga dewasa sekarang.
Raga berhenti di depan rumahnya yang berpagar sederhana warna putih. Rumah itu sudah di renovasi beberapa kali, namun di dalamnya masih sama. Raga turun dari motornya yang dia parkirkan di luar garasi rumahnya. Di sampingnya rumah kosong yang sudah lama tidak berpenghuni kini terlihat ada kehidupan.
Raga memperhatikan rumah itu sambil menenteng tas di bahunya. Rumah yang dulu ia kenali pemiliknya.
Saat umurnya 12 tahun...
Anak perempuan itu menangis tersedu-sedu sambil menunggu seseorang di pinggir lapangan sepak bola yang ada di belakang rumahnya.
"Pulang sana!" Teriak salah seorang anak laki-laki berbaju biru yang sedang asik bermain bola dengan teman-temannya.
Tanpa ada jawaban anak itu terus menangis memegangi lututnya yang luka karena terjatuh barusan. Anak laki-laki terganggu dan menghampirinya.
"Pulang kataku! Kenapa kau terus menangis di sini sih? Mengganggu sekali."
Anak itu menatapnya dengan hidung berair dan matanya yang memerah, sambil terisak dia memegang ujung baju si anak laki-laki, "Ayo pulang bersama. Aku takut pulang sendiri." Sementara itu si anak laki-laki kesal karena ia masih ingin main.
"Lihat kakimu sudah berdarah seperti itu, pulanglah. Aku masih ingin main di sini," ucapnya sembari melihat kaki anak itu.
"Pokoknya aku mau pulang bersama!" Anak perempuan itu berteriak keras dan lanjut menangis menahan sakit di lututnya.
Anak laki-laki itu menarik kepangan rambut anak di hadapannya dengan kesal, "Kau menyebalkan!" ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan teman-temannya yang masih bermain di belakang sana, seorang anak menyadarinya dan berteriak memanggil namun tak dihiraukannya. Anak perempuan itu mengekor di belakang sambil menarik ingusnya yang terus turun.
Raga penasaran orang seperti apa yang akan menempati rumah itu. Tampak ada beberapa orang yang sedang memindahkan beberapa barang di kotak kardus dan berikutnya sebuah sofa berwarna biru di bawa masuk dengan digotong oleh dua pria berbadan gempal.
Di pekarangan seorang wanita yang mungkin berusia 40-an sedang mengawasi para pekerja itu. Mereka kemudian saling bertatapan dan sang wanita melemparkan senyuman ramah yang dibalas juga oleh Raga. Raga berpikir seperti menimbang sesuatu yang sepertinya tidak pernah melihat ada pengumuman apa-apa disekitaran rumah itu bahwasannya rumah itu akan dijual.
Tiba-tiba datang seorang pria berusia 55 tahun memakai kemeja berwarna merah hati dengan celana kain hitam lengkap dengan tas pinggangnya berhenti di depan pagar Raga.
"Aku tidak tau rumah itu dijual," ucapnya sambil membuka pagar Raga dan masuk menghampirinya yang sedang berdiri di samping tembok pembatas dengan rumah di sebelahnya.
"Saya juga rasanya tidak pernah lihat pak, mungkin yang pindah salah satu saudara mereka," ucap Raga beralih pandangan pada pria di sampingnya yang ia kenal sebagai pak RT di komplek itu.
"Bisa jadi seperti itu. Oh iya kau sudah kenal dengan penghuni rumah baru yang ada di ujung sana ? Dia janda beranak satu. Orangnya ramah, beberapa kali mengirimkan makanan ke rumahku." Pak RT melemparkan pandangan pada rumah yang terletak di ujung sana.
"Wah saya saja baru tau ada yang pindah pak. Saya selalu pulang larut beberapa hari ini," ucap Raga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Jangan kerja terus Ga. Ingat hidup itu harus seimbang biar tidak stress." Pria itu meliriknya sambil lalu masih memperhatikan kegiatan di rumah sebelah.
"Mau bagaimana lagi pak, kerjaan menumpuk kalau tidak diselesaikan juga bikin stress," ucap Raga menghela napas.
"Ya sudah, saya pamit dulu mau siap-siap ke mesjid." Pak RT menepuk pelan pundak Raga dan melangkah keluar.
Raga bergegas masuk ke dalam rumahnya. Dia melemparkan tasnya perlahan dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Di bawah kakinya terdengar suara mengeong, Raga melirik sebentar dan mendapati kucingnya Biu sedang mengaruk-garuk celana jeans-nya tanda ia minta makan pada pria itu.
"Sabar kawan. Aku mandi dulu baru setelah itu aku akan mengurusimu," ucapnya sembari menuju tangga dan naik menuju kamarnya.
***
Lampu-lampu utama sebagian besar sudah dimatikan, hanya menyisakan beberapa cahaya redup dari lampu meja yang masih menyala. Suara riuh pekerja yang biasanya memenuhi ruangan kini berganti dengan keheningan, hanya terdengar sesekali suara mesin fotokopi yang masih beroperasi atau bunyi langkah sepatu yang bergaung di lantai.
Di sudut ruangan, terlihat seorang pekerja yang masih sibuk mengetik di depan layar komputer. Matanya sedikit sayu, namun tekadnya untuk menyelesaikan pekerjaan malam itu terlihat jelas. Di meja lain, secangkir kopi yang tinggal setengah mulai dingin, dibiarkan oleh pemiliknya yang sudah lebih dulu pulang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, namun di dalam kantor itu masih terlihat beberapa aktifitas termasuk Bri yang sedang mengetik sesuatu di komputernya. Dia masih sibuk dengan pekerjaannya dan memutuskan untuk menunda waktu kepulangannya.
Matanya sudah sangat lelah, beberapa kali dia memijat tengkuknya yang pegal karena berjam-jam terpaku di depan layar monitor. Mejanya terletak di sudut ruangan dan itu membuatnya agak sedikit khawatir dengan suasana kantor yang semakin sepi. Di meja lain terlihat Prima masih serius dengan beberapa berkas di tangannya.
Panggilan masuk Tante Dea...
Bri bergegas mengangkat panggilan tersebut, "Halo tante."
"Ya, tidak apa. Maaf jadi merepotkan tante. Harusnya Bri sendiri yang membereskan barang-barang pindahan malah jadi tante yang repot," ucap Bri pada tantenya yang ada di seberang sana.
"Baik tante. Terima kasih tante Dea." Bri mematikan ponselnya dan membuka sebuah buku catatan miliknya berwarna jingga.
Di dalamnya ada sebuah tulisan dengan judul 'Pindah Rumah' dia mengamati beberapa poin yang kemarin sudah ia persiapkan guna membantu lancarnya proses pindah rumah. Sekitar sebulan yang lalu dia masih tinggal di rumah tante Dea. Setelah mendapat pekerjaan baru dia memutuskan untuk pindah rumah karena jarak dari rumah tante ke lokasi kantornya sangat jauh.
Awalnya Bri ingin pindah ke kosan saja, ketika hari pertama bekerja dia sudah mensurvei beberapa kosan yang terdapat di sekitar kantornya namun setelah berunding dengan tantenya ia pun memutuskan untuk tinggal di rumah itu.
Rumah peninggalan mendiang orang tua Bri yang kuncinya di pegang oleh sang tante, rencananya nanti akan diberikan pada Bri jika dia menikah nanti.
Karena kesibukannya di kantor, tantenya membantu proses pindahan Bri. Sejujurnya dia sungkan tapi barangnya cukup banyak serta banyak perabotan di rumah itu harus diganti dan Bri tidak punya banyak waktu untuk mengurusnya.
Angin pagi dari jendela yang sedikit terbuka membawa aroma hujan yang baru turun, memberikan kesan damai sekaligus melankolis. Jam dinding berdetak perlahan, mengingatkan waktu yang terus berjalan. Dari dalam kamar, pantulan bayangan lampu dari ruangan luar terlihat bergerak, menambah kesan sunyi.
Raga awalnya sudah bangun untuk melakukan pekerjaan serius di dalam kamar mandi dan setelahnya masuk kembali ke dalam kamar bergelung di atas kasur sambil menarik selimut dengan malas, ia memutuskan untuk tidur kembali.
Di lantai bawah Biu mengeong sambil duduk di depan tangga berharap sang majikan bangun untuk memperhatikannya.
Di luar sana hujan rintik-rintik jatuh perlahan, membasahi dedaunan yang berkilau tertimpa cahaya pagi yang samar. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Suara tetesan hujan yang menyentuh genting menciptakan suara yang menangkan bagai lagu pengantar tidur, berpadu dengan kicauan burung yang terdengar dari kejauhan. Raga tersentak bangun ketika mendengar ponselnya berdering.
Dengan kesal dia mengangkatnya, "Ada apa?" tanyanya sembari bangkit duduk dan memandang keluar jendela.
Telepon di seberang sana dari teman kantornya yang ingin bertanya perihal kerjaan. Hari itu Raga mengambil cuti dari kantornya. Rencananya dia akan mengunjungi sang ayah yang tinggal di luar kota. Raga memutuskan untuk mengemas barang-barangnya pada siang hari nanti sementara di pagi harinya dia mau bersantai sejenak, namun panggilan yang tak diharapkan mengganggu harapannya.
Raga turun ke bawah untuk sekedar mengecek keadaan kucingnya yang sudah lapar. Diambilnya makanan kucing dari dalam lemari dan dia menaruh di piring kucingnya.
Sembari menjawab beberapa pertanyaan dari seberang telepon sana, Raga menangkap beberapa suara ribut dari rumah sebelah. Dia keluar, berdiri di teras sambil menatap aktifitas dari rumah tersebut. Meskipun hujan gerimis namun tidak menyurutkan semangat beberapa orang yang sedang memperbaiki pagar depan rumah itu, tampak ada beberapa kaleng cat yang di bawa masuk. Tak lama hujan berangsur reda meninggalkan jejaknya di atas rumput. Raga memakai sendalnya dan melangkah berjalan ke pekarangan depan sembari memperhatikan suasana komplek yang mulai ramai dengan aktifitas pagi.
Tetangga depannya mas Rifan sedang memanasi mobilnya dan bersiap untuk pergi kerja, di ambang pintu ada istrinya sedang berdiri yaitu mbak Dita mereka pindah kesana sekitar 4 tahun yang lalu. Rifan lalu berteriak menyapa Raga yang terlihat berdiri dari balik pagar dan dijawab Raga dengan lambaian tangan.
Pandangan Raga kembali ke rumah di sampingnya tampak ada yang berbeda, pintunya telah diganti mungkin karena rusak atau permintaan dari sang pemilik sekarang yang berwarna merah, dulu diingatnya berwarna khas kayu yaitu cokelat tua.
Beberapa pekerja berlalu lalang di sekitaran depan pagar dan membuat tong sampah Raga terjatuh, isinya berhamburan. Raga bergegas mengedarkan pandagan untuk mencari seorang pekerja agar bertanggung jawab dengan kejadian itu, namun tidak ada satupun yang menggubrisnya.
"Tunggu sebentar aku lihat di laptopku dulu," ucap Raga sembari bergegas masuk kembali dalam rumah.
Raga memeriksa pekerjaan yang harus dia segera kirimkan dari laptopnya. Sial! Ada saja yang harus aku kerjakan ketika cutibatinnya.
Raga merapikan beberapa baju dan keperluannya lalu memasukkannya ke dalam tas ransel yang lumayan besar, dia memutuskan untuk tidak membawa koper. Setelahnya dia turun ke bawah untuk membuka pintu rumahnya karena ada yang mengetuk.
"Sepertinya kau sedang sibuk," ucap seorang pria bertubuh gemuk dan memakai kacamata. Pria itu masuk ke dalam rumah diikuti dengan Raga mengekor di belakangnya.
Pria itu bernama Theo teman dekat Raga dari SMA. Dia mengeluarkan dua bungkusan yang mengeluarkan bau wangi, sementara Raga bergegas mengambil mangkok dan sendok dari atas lemari.
Mereka berdua pun bergegas naik ke atas tepatnya masuk ke dalam kamar Raga yang berantakan.
Theo duduk di lantai dekat jendela sambil menikmati semangkok bakso yang tadi di belinya.
Raga duduk di depan tasnya memasukkan beberapa helai celana dan merapikan barang-barang yang tidak jadi dia bawa, setelah itu bergabung dengan temannya.
"Jam berapa besok kau akan pergi?" tanya Theo.
"Aku harus berangkat pagi-pagi sekali agar tak terjebak macet," balas Raga sambil memotong baksonya.
"Iya juga. Ngomong-ngomong kulihat rumah sebelah sudah ada yang menempati. Dia kembali ?" tanya Theo penasaran seraya meletakkan mangkok ke lantai.
"Orang lain yang tinggal di sana. Wanita berumur 40-an mungkin. Kemarin aku melihatnya." Raga menyeruput kuah bakso dari sendok lalu melap mulutnya dengan selembar tisu.
"Aku penasaran bagaimana kabarnya. Apa kau tidak penasaran?" Theo melirik ke arah temannya itu yang sedang mengangkat mangkok bakso ke atas meja yang terletak di sudut ruangan.
"Tidak sama sekali. Kenapa kau penasaran? Kalian kan tidak dekat," ucap Raga yang heran dengan temannya itu.
"Karena saat itu menyenangkan melihat kalian berdua selalu bertengkar. Setiap kali selesai bertengkar dengannya matamu akan menyala-nyala penuh api sampai aku berkhayal melihat asap keluar dari kepalamu," ucap Theo sambil tertawa mengenang masa lalu. Sementara itu Raga hanya melirik sinis temannya dan tidak ingin mengingat apapun yang terjadi di masa lalu.
***
Bri sedang menikmati makan malamnya dengan sangat nikmat, dia memesan dua porsi karena merasa sangat lapar. Di depannya dua orang sahabatnya Nina dan Vita hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan hal itu.
Beberapa hari yang lalu mereka bertiga membuat janji temu di restoran favorit mereka dekat tempat kerja Nina. Restoran tidak terlalu istimewa namun hidangannya sangat enak, dari makanan indonesia ataupun dari luar semua ada. Suasana di dalam pun sangat tenang dan nyaman.
"Kenapa sih kita selalu bertemu di tempat ini?" tanya Vita salah satu teman Bri yang bosan selalu berkumpul di restoran yang sama.
"Jaga bicaramu. Nanti ada yang dengar, tidak enak," ucap Nina sambil berbisik ke arahnya.
"Karena ini tepat di tengah. Jadi adil untuk kita semua. Awalnya kau tidak protes, apa karena pegawai itu ya?" Bri menunjuk seorang pegawai restoran yang sepertinya menaruh perhatian dengan temannya. Vita tampak risih dengan hal itu.
"Jangan menunjuknya Bri." Bri dan kedua temannya itu berteman dari semasa kuliah.
Mereka bertiga kuliah di jurusan yang sama dan sekarang bekerja di tempat yang berbeda-beda.
"Kapan kau akan menempati rumah itu?" tanya Vita sambil menggigit sepotong ayam bakarnya yang baru tiba.
"Mungkin lusa. Aku sudah minta ijin dengan atasanku untuk pulang cepat," sahut Bri menatap teman-temannya di depan.
"Apa kau akan baik-baik saja? Maksudku sudah bertahun-tahun kau belum pernah datang ke rumah itu lagi." Nina sangat hati-hati dalam mengajukan pertanyaan itu.
Bri meminum jus jeruknya dan sejenak berpikir, "Jujur aku takut dan penasaran juga. Penasaran bagaimana keadaan di sana, apa orang-orang yang tinggal di komplek sana masih sama atau tidak."
Nina dan Vita berpandangan lalu tersenyum ke arahnya.
"Maksudmu anak laki-laki yang sering mengejekmu itu ya?" tanya Nina diiringi dengan seringaian di sudut bibirnya dibalas Vita dengan gelak tawa.
"Cih! Aku harap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi," ucap Bri penuh keyakinan namun di dalam hatinya dia masih sangat kesal bila mengingat anak laki-laki itu.
Sepuluh tahun yang lalu...
Berita kecelakaan itu menyayat hati Bri, setelah menangis tak kunjung hentinya dia kini terduduk lemas di kamarnya. Matanya yang lelah kini bahkan sudah kering namun hatinya masih sakit. Kepergian mendadak kedua orang tuanya belum bisa ia terima.
Di bawah orang-orang sudah ramai berdatangan memenuhi seluruh ruangan untuk menyampaikan ucapan belasungkawa pada keluarga mereka. Bri lelah dan mencoba menghindar dengan berdiam diri di sudut kamarnya, kakinya bahkan sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
"Bri," suara seseorang terdengar olehnya, dia hapal betul milik siapa suara itu.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu bergema yang menurutnya sangat mengganggu.
"Bri, aku masuk ya," ucap Raga membuka pintu perlahan dan masuk dengan melangkah pelan.
Raga memandangi gadis itu dengan ekpresi khawatir. "Maaf mengganggu, apakah kau baik-baik saja."
Tidak ada balasan dari Bri, dia hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong.
"Aku–aku ada di sini kalau kau ingin cerita, aku siap mendengarkan." Raga ikut duduk tak jauh dari hadapan Bri.
"Pergilah. Tinggalkan aku."
"Aku akan menemanimu." Raga tetap bersikeras.
"Enyahlah dari pandanganku!" bentak Bri dengan mata menyalak.
"Aku hanya ingin membantumu, itu saja."
"Tidak ada satupun orang yang bisa mengerti, tidak kau atau siapapun juga."
"Maka dari itu kau harus mengeluarkan semuanya. Untuk itu aku di sini. Kau tidak perlu menanggungnya sendiri."
"Itu urusanku. Aku tidak membutuhkanmu. Pergi dan tinggalkan aku!" Bri tetap tidak goyah dengan pendiriannya.
Raga yang semula tenang kini perlahan mulai muak dan bangkit meninggalkan gadis itu sambil menutup pintu dengan kasar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!